Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Job Demand –Resources

Job Demand Resources merupakan topik yang telah

menjadi pembahasan peneliti (Bakker & Schaufeli, 2004). Melalui Artikel

Schaufeli & Bakker (2004) mengemukakan bahwa JD-R diprakarsai

melalui munculnya teori Demand Control Model (Karasek, 1979). Job

Demand Resources merupakan suatu model yang secara langsung

mempengaruhi terhadap kondisi well being dari masing-masing karyawan

dalam berbagai jenis pekerjaan (Schaufeli & Bakker, 2004). Pada

penelitian ini akan mengkaji hubungan challenge stressor pada komitmen

,kinerja dan memberlakukan keterikatan kerja dan burnout sebagai

mediator. Teori Job Demand Resources ini akan menjadi dasar dalam

penjelasan hubungan antar variabel. Selain itu teori Job Demand

Resources juga menjelaskan mengapa penelitian ini menjadi suatu hal

urgensi dalam aplikasi keorganisasian.

Demerouti et al, 2001 menjelaskan bahwa model yang

dibangun JD-R merupakan karakteristik lingkungan kerja yang

dikategorikan menjadi dua hal yaitu Job Demand (Permintaan Pekerjaan)

dan Job Resources (Sumber Daya Pekerjaan) yang hal ini akan

bergabung secara spesifik sesuai dengan konteks penelitian yang

diinginkan. Demerouti et al (2001) menyatakan bahwa permintaan

pekerjaan adalah hal fisik, sosial atau aspek organisasional dalam

pekerjaan yang membutuhkan energi fisik terus menerus maupun usaha

7
psikologis yang dengan secara langsung hal ini akan berasosiasi dengan

pengeluaran psikologis. Sedangkan Job Resources adalah hal fisik, sosial

dan aspek organisasional yang memiliki fungsi untuk meraih tujuan

pekerjaan, mengurangi permintaan pekerjaan dalam berasosiasi dengan

pengeluaran psikologis dan yang terakhir akan mendorong

perkembangan dan pengembangan setiap individu tersebut. (Demerouti

et al, 2001).

Hakanen et al (2008) telah mengemukakan bahwa

penelitian seputar JD-R telah dilakukan oleh banyak peneliti dimana

melalui hubungan yang dibangun antara kondisi permintaan dan sumber

daya di tempat kerja yang dimiliki oleh karyawan yang mana akan

mempengaruhi kinerja mereka dalam pencapaian tujuan mereka. Serta

Porsi JD-R yang dimiliki karyawan akan mempengaruhi motivasi maupun

penurunan kesehatan karyawan yang berbeda pula.

Hal ini didukung pula oleh Hakanen et al (2008) bahwa

penelitian yang berdasar dan mengenai JD-R menjadi suatu urgensi

keorganisasian dikarenakan job resources dapat mengembangkan

motivasi ekstrinsik di tempat kerja dikarenakan mereka membutuhkan

untuk dapat berhubungan dengan permintaan pekerjaan untuk mencapai

tujuan kerja.

JD-R ini memiliki berbagai faktor yang akan mempengaruhi

kondisi-kondisi individu dalam konteks manajerial. Secara lebih jauh

Schaufeli & Bakker (2004) menyatakan bahwa ada bukti bahwa pada

mediasi keterikatan kerja anatara job resources secara postif terhadap

hasil motivasi yang diindikasikan melalui rendahnya keinginan turnover.

8
Meskipun dukungan terhadap proses motivasi juga masih sedikit hal ini

juga didukung pada penelitian sebelumnya (Bakker et al, 2003; Hakanen

et al, 2006) menunjukkan bawah beberapa job resources seperti

dukungan dan pembinaan akan mengarah pada keterikatan kerja

Pada kajian penelitian yang dilakukan Crawford et al

(2010) menjelaskan bahwa Maslach dan Leiter (1997) menyatakan

bahwa prediktor utama keterikatan seperti faktor permintaan pekerjaan,

job control, upah, pengakuan, komunitas pendukung, keadilan dan

perbandingan nilai antara kebutuhan pekerjaan dengan nilai-nilai individu.

Utamanya, Crawford et al (2010) menyatakan bahwa model Job Demand

Resources menyarankan bahwa Job Resources akan meningkatkan

keterikatan kerja melalui proses motivasional dan permintaan pekerjaan

akan berpengaruh terhadap burnout sebuah sindrom kelelahan dengan

pekerjaan yang dikarakteristikan oleh kepenatan, sinisme, dan inefficacy

(Maslach & Leiter, 1997, 2008) melalui proses penipisan energi.

Selain itu Crawford et al (2010) juga menerangkan bahwa Model

Job Demand- Resources menjelaskan dua proses hubungan antara

keterikatan kerja dan burnout (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli &

Bakker, 2004) yaitu pertama Permintaan Pekerjaan (Job Demand) akan

mengaktifkan proses penipisan energi dimana karyawan akan terus

meerus meningkatkan usaha mereka terhadap persepsi permintaan

pekerjaan. Crawford et al (2010) menekankan bahwa persepsi ini akan

disesuakan dengan kompensasi psikologis dan pengeluaran psikologis

yang akan menguras energi mereka.

9
Individu mengevaluasi challenge stressor sebagai hal yang

memotivasi dan mereka akan rela untuk mengeluarkan usaha dalam

menghadapi permintaan menantang ini (Challenge demands) ini

(Crawford et al,2010). Pada penelitian Crawford et al (2010)

menerangkan bahwa Kahn (1990) berargumentasi kondisi psikologis

yang berarti, aman, dan mampu menetapkan tingkat keterikatan kerja

karyawan kondisi psikologis ini akan dipengaruhi dengan karakteristik

bermacam-macam baik dari segi lingkungan kerja dan individu karyawan

itu sendiri. Crawford et al (2010) menekankan kembali bahwa Britt (1999)

menjelaskan dalam triangle model yaitu kejelasan tanggung jawab

pekerjaan, kontrol pekerjaan, dan relevansi pekerjaan adalah kunci dari

keterikatan.

2.1.2 Keterikatan kerja

Pada Artikel penelitian Crawford et al (2010) mengutip

Kahn (1990) bahwa keterikatan personal merepresentasikan suatu

kesatuan bahwa karyawan cenderung membawa dirinya sendiri dalam

suatu peran kinerja dan mampu untuk mengeluarkan energi personalnya

sehingga menjalani suatu hubungan secara emosional dengan pekerjaan

mereka. Melalui pandangan ini memberikan gambaran bahwa peran

kinerja meskipun dapat mengarah pada stressor juga bisa membuat

karyawan untuk kerja secara positif.

Sebagai variabel motivasi, keterikatan kerja

didefinisikan sebagai hal positif, suatu pemenuhan dan kerja yang

berkaitan dengan tiga karakteristik yaitu vigor, dedication dan absorption

(Schaufeli, 2001). Keterikatan kerja juga berhubungan dengan aktivasi

10
serta pengoptimalan fungsi individu di tempat kerja dalam ranah well

being masing-masing individu nya (Christian et al, 2011)

Kajian yang telah dipaparkan dalam artikel Rich et al, 2010

dalam konteks keterikatan kerja oleh (Kahn, 1992) menggambarkan

bahwa keterikatan anggota organisasi akan menggambarkan diri mereka

secara aktif dan menyelesaikan peran kinerja mereka melalui energi, hal

fisik, kognitif dan emosional. Rich et al (2010) menekankan pada individu

yang terikat ini digambarkan sebagai individu yang secara psikologis

merasa benar-benar ditempat kerja, merasakan,terhubung maupun

terintegrasi, sehingga mampu fokus terhadap pekerjaanya. Sehingga

mereka membuka dirinya untuk orang lain dalam konteks pekerjaan

dalam tujuan memenuhi pekerjaannya.

Komitmen organisasional berhubungan dengan kekuatan

pendekatan emosi terhadap organisasi. Kepuasan kerja berasosiasi

dengan evaluasi dari karakteristik pekerjaan (Christian et al, 2011).

Sebagai konstruk kognitif, keikutsertaan pekerjaan dapat dianggap

sebagai aspek dari keterikatan namun tidak merepresentasikan tugas

kerja yang secara spesifik namun cenderung pada aspek pekerjaan yang

berhubungan dengan seberapa pekerjaan dapat memuaskan kebutuhan

individual (Christian et al, 2011; Karatepe et al, 2014).

Pada penelitian Hallberg dan Schaufeli (2006)

menyediakan bukti bahwa validitas antara keterikatan, keikutsertaan

pekerjaan dan komitmen pekerjaan dan demonstrasi pada keterikatan

kerja secara konsisten berasosiasi dengan komplain kesehatan

11
dibandingkan dentgan komitmen dan keikutsertaan kerja. Christian et al

(2011) melalui penelitian meta analyticnya meneliti kepuasan kerja,

komitmen dan keikut sertaan kerja sebagai mediator dalam model

konseptual yang mirip dengan keterikatan kerja dan kedekatannya

terhadap kinerja. Meskpun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

keterikatan kerja adalah varian yang inkremental dalam memprediksi

kinerja karyawan. Dari hal yang sudah disebutkan menunjukkan bahwa

keterikatan kerja, komitmen organisasional dan kepuasasan kerja,

keikutsertaan kerja secara empiris berbeda (Christian et al, 2011) dan

juga menunjukkan bahwa keterikatan kerja merupakan konstruk yang

kritis dalam memprediksi kinerja karyawan dibandingkan konstruk sikap

kerja (Rich et al, 2010).

2.1.3 Burnout

Banyak teori baik secara konseptual maupun operasional

mengenai definisi burnout. Dari pemamparan konsep burnout dalam artikel

penelitian Makikangas et al (2012) menjelaskan Pines dan Aronson (1988)

mendefinisikan burnout sebagai keadaan fisik, emosional, dan kecapekan

mental yang dikarenakan keterlibatan jangka panjang secara emosional di

suatu situasi yang diminta. Sehingga burnout ini bisa juga dianggap

sebagai dampak jangka panjang dari suatu kepenatan secara emosional di

tempat kerja. Burnout sendiri memiliki dua dimensi yang paling umum

digunakan sebagai penilai tingkat burnout yaitu kepenatan (exhaustion)

dan sinisme (cynicism) (Makikangas et al, 2012).

Oleh Makikangas et al (2012) menyatakan bahwa definisi

burnout yang paling diterima secara umum dalam dunia psikologi adalah

12
Maslach (1996) . Menurut 3 dimensional, burnout menggambarkan hal

yang tetap dan berhubungan dengan pekerjaan yang dikarakteristikan oleh

kepenatan, cynicism dan berkurangnya keberhasilan profesionalisme.

Kepenatan mengarah pada habisnya energi dan perasaan emosional

kronis yang secara berlebihan dan Cynicism digambarkan sebagai hal

yang berbeda dan sikap negatif pada suatu pekerjaan. Sedangkan,

penurunan keberhasilan profesionalisme adalah pada kepercayaan

mengenai individu bahwa mereka sudah tidak efektif lagi dalam memenuhi

suatu tanggung jawab pekerjaan (Makikangas et al, 2012).

MojsaKaja et al (2012) menjelaskan bahwa menurut

penelitian Schaufeli (1998) telah dilakukan terhadap berbagai faktor pada

burnout yang dibagi menjadi dua yaitu anteseden situasional dan individu.

Bentuk yang dikemukakan oleh Schaufeli (1998) pada artikel penelitian

MojsaKaja et al (2012) mengarah pada karakteristik pekerjaan seperti

kuantitas permintaan pekerjaan, overload, tekanan waktu, kualitatif

permintaan pekeerjaan, peran konflik dan ambiguitas serta tidak adanya

job resources hingga kontrol dan otonomi. Sedangkan untuk individu yaitu

mengarah pada variabel demografi yaitu kelamin, status pernikahan,

tingkat pendidikan serta sikap terhadap pekerjaan baik berekspetasi tinggi

maupun tidak realistik dan yang terakhir dalah karakteristik kepribadian.

Burnout ini cenderung menjadi suatu repon psikologis yang

negatif. Burnout dapat dilihat sebaga respon negatif psikologis yang

didapatkan dari hasil interaksi karyawan dengan pekerjaannya ( Maslach,

1982).

13
2.1.4 Challenge stressor

Anti waktu sosial kerja, politik organisasi, ketidakcocokan

emosional, dan konflik kerja-keluarga merupakan potensial yang paling

tinggi terhadap pekerjaan perusahaan jasa dibagian front-line. Hal ini

menjadi hal utama yang menjadi perhatian bagi para manajer hotel,

dikarenakan kondisi stress dan menuntut yang mempengaruhi motivasi

karyawan dan hasil kerja seperti komitmen dan kepuasan pekerjaan

(Kusluvan et al., 2010; Zhao dan Mattila , 2013).

Pada artikel penelitian Crawford et al(2010) menjelaskan berbagai

konsep mengenai stressor seperti teori tranksaksional stress(Lazarus &

Folkman, 1984) , stress orang meningkat secara signifikan berhubungan

dengan well being mereka baik secara potensial mengancam atau

menantang. Mendukung teori ini Cavanaugh et al (2000) menemukan dua

faktor yang dinamakan challenge stressor dan hindrance stressor, dalam

pengukuran ini berbagai pengukuran popular telah digunakan.

Pada Artikel Crawford et al(2010) juga memberi paparan konsep

Challenge dan Hindrance stressor menurut (Lazarus & Folkman, 1984)

yaitu tantangan (Challenge) cenderung pada meningkatnya stress pada

permintaan untuk meningkatkan kemampuan, perkembangan diri, dan

peningkatan di masa depan. Crawford et al (2010) menerangkan bahwa

contoh dari challenge salah satunya beban kerja yang tinggi, tekanan

waktu, dan tingkat tanggung jawab yang tinggi. karyawan cenderung akan

menganggap permintaan ini sebagai kesempatan untuk belajar, meraih

dan memperlihatkan kompetensi dan pantas mendapat reward.

14
Crawford et al, 2010 menjelaskan bahwa penghambat

(Hindrance) cenderung pada peningkatan permintaan stress yang

mengancam dari peningkatan dan pembelajaran personal, serta

pencapaian tujuan. Crawford et al (2010) menyatakan bahwa contoh dari

“Penghambat” ini adalah peran konflik, peran ambiguitas, politik

organisasi, birokrasi, dan kerepotan. Sesuai dengan istilah “Penghambat”

karyawan menganggap hal ini menjadi halangan mereka untuk

mengembangkan kemampuan dan berkinerja maksimal mencapai tujuan

organisasi.

Kekonsistenan ini juga diungkapkan oleh Crawford et

al(2010) dengan menunjukan bahwa penelitian Macey & Schneide (2008),

Britt et al (2001), dan May et al (2004) bahwa dengan melihat situasi

menantang karyawan akan menginvestasikan waktu dan energi dalam

cara yang berarti. Selain itu individu akan menganggap dan memberi

respon bahwa permintaan stress (Challange demand) ini menjadi suatu

kesempatan dan keuntungan (Crawford et al, 2010). Menurut Artikel

Crawford et al, 2010 mengemukakan bahwa penelitian oleh May telah

menunjukkan pengalaman emosi positif dan pengalaman dalam tertantang

keduanya berasosiasi dalam tingkat yang baik dalam motivasi dan

keterikatan.

Adanya sebuah ketidakkonsistesinan dalam hubungan job

demands dan keterikatan dalam teori transaksional stress (podsakoff &

lepine , 2005) menunjukkan bawah permintaan pekerjaan cenderung

menunjukkan bahwa hindrances akan menunjukkan secara negatif

15
terhadap keterikatan dan challange akan secara positif berhubungan

dengan keterikatan (Crawford et al, 2010)

Meskipun pada berbagai literatur menunjukkan bahwa

tidak semua mempengaruhi secara negatif terhadap karyawan.

Cavanaugh et al (2000) membagi stressor menjadi dua yaitu Hindrance

stressor dan Challenge stressor. Hindrance stressor lebih condong

terhadap peran konflik, politik organisasi, peran ambiguitas yang secara

negatif mempengaruhi kinerja karyawan (Crawford et al, 2010; Rodell dan

Judge, 2009) sedangkan Challenge stressor terdiri dari beban kerja dan

tanggung jawab kerja. Crawford et al, 2010 menyatakan bahwa Challenge

stressor telah meningkatkan motivasi dan hasil kerja karyawan melalui

peningkatan emosi positif, dukungan pengembangan personal dan rasa

pencapain personal (Lepine et al, 2005)

2.1.5 Komitmen

Komitmen organisasional dikarakteristikan dengan rasa

dekat emosional terhadap organisasi yang menghasilkan nilai dan

ketertarikan (Mowday, 1998). Sesuai yang telah dikemukakan dalam

berbagai literatur salah satunya pada artikel penelitian oleh Christian et al,

2011 yaitu konsep keterikatan dibedakan menjadi dua yaitu komitmen

organisasional yang menggambarkan nilai dimiliki organisasi sebagai hal

yang utuh (Brooke, Russel & Price, 1998) sedangkan keterikatan

merupakan persepsi terhadap pekerjaan itu sendiri bukan terhadap

organisasinya. Hal yang kedua adalah keterikatan merupakan konstruk luas

yang melibatkan pengeluaran energi berbagai kondisi emosional. Pada

16
artikel Christian et al(2011) pula menjelaskan bahwa Macey & Schneider

(2008) menyarankan bahwa komitmen mungkin merupakan segi

keterikatan namun keterikatan tidak berlaku sebal pada komitmen.

Komitmen organisasional dan kinerja karywan merupakan

nilai utama yang berhubungan langsung dengan keterikatan kerja. Analisis

mengenai penelitian saat ini menggambarkan bahwa adala studi empiris

mengenai keterikatan kerja dan hasil potensial yang dikeluarkan. Pada

studi yang dilakukan di Finland mengindikasikan dampak positif terhadap

komitmen organisasi (Hakanen et al, 2006). Pada penelitian terhadap

karyawan frontline hotel di Nigeria, Karatepe et al (2011) menunjukkan

bahwa keadilan prosedural mempengaruhi komitmen dan kinerja karyawan

melalui keterikatan kerja. Karatepe pada penelitian selanjutnya tahun 2013

juga menyimpulkan bahwa keterikatan kerja mampu menjadi full mediator

dalam persepsi politik organisasional ke komitmen organisasional

karyawan.

Penelitian Wong et al (2015) menerangkan halangan dalam

pekerjaan akan berkontribusi terhadap mental burnout dan penyakit fisik,

kinerja yang tidak efektif, absentasi, dan menurunnya komitmen organisasi

serta turnouver (Karasek, 1979; Karasek dan Theorell, 1990). Skala

pencapaian pribadi oleh Maslach Burnout Inventory (MBI) (Maslach dan

Jackson, 1981) item nya hampir sama merefleksikan dari kinerja karyawan.

Hal ini menjadi penting untuk menilai hubungan antara burnout dan kinerja

karyawan serta perilaku job withdrawal yang diukur burnout serta tidak

memasukkan fenomena untuk diprediksi (Lazaro, 1984).

17
2.1.6 Kinerja

Christian et al (2011) pada artikelnya menjelaskan bahwa peran

kinerja yang mengarah pada bagaimana baik individu melakukan tugas

yang dibutuhkan oleh pekerjaan itu sendiri (Borman & Motowidlo,1997).

Sebagai konsep motivasional, keterikatan seharusnya berhubungan

dengan persistensi dan intesitas yang mana individu dalam melaksanakan

kinerjanya (Rich et al, 2010). Karyawan yang “terikat” akan lebih berhati-

hati dan fokus terhadap tugas kerja dan oleh karena itu keterikatan ini akan

berpengaruh secara positif terhadap kinerja karyawan. (Christian et al,

2011).

Karatepe (2011) menerangkan bahwa berbagai penilitian yang

berfokus pada pengaruh dari keterikatan kerja pada hasil kinerja dalam

berbagai literatur (Bakker & Demerouti, 2008). Karatepe (2011) juga

menegaskan bahwa secara umum penelitian menyatakan bahwa keterikatan

kerja memicu kinerja karyawan (Halbesleben & Wheeler, 2008) serta pada

penelitian petugas penerbangan menemukan bahwa keterikatan kerja akan

meningkatkan tingkat peran kinerja karyawan tersebut (Schaufeli et al,

2008).

Karatepe (2013) menerangkan bahwa burnout adalah respon stressor

pada pekerjaan (Leiter & Maslach, 2005) dan mengarah pada hasil yang

tidak diinginkan seperti menurunnya kinerja, kepuasan kerja serta

penggunaan waktu kerja yang tidak tepat dan penurunan komitmen dan

peningkatan keinginan turnover.

18
2.2 Pengembangan Hipotesis

2.2.1 Challenge Stressor dan Burnout

Penelitian Bakker et al (2007) menerangkan bahwa dalam

tiga dekade ini banyak penelitian menunjukkan karakteristik pekerjaan

memiliki dampak besar terhadap well being karyawan seperti halangan

pekerjaan, burnout, dan keterikatan kerja. Bakker et al (2007) menjelaskan

sebagai contohnya penelitian telah memastikan bahwa permintaan

pekerjaan yang tinggi seperti tekanan kerja, permintaan emosional, dan

peran ambiguitas akan mengarah pada masalah tidur, kepenatan dan

kesehatan (e.g Doi, 2005; Halbesleben and Buckley, 2004) dimana job

resources seperti dukungan sosial, feedback kinerja dan otonomi yang

mungkin meningkatkan proses motivasional yang mengarah pada

pembelajaran pekerjaan, keterikatan kerja dan komitmen organisasi (e.g

Demerouti et al, 2001; Salanova et al, 2005; Taris dan Feji, 2004).

Pada penelitian Bakker (2007) ini juga menjelaskan bahwa efek

utama pada permintaan pekerjaan dan job resources model JD-R akan

mengarahkan pada interaksi antara permintaan pekerjaan dan job

resources menjadi penting dalam pengembangan halangan dalam

pekerjaan dan aspek motivasional. Lebih spesifik dijelaskan oleh Bakker

(2007) bahwa job resources memungkinkan untuk menyeimbangkan

dampak permintaan pekerjaan pada halangan di pekerjaan, termasuk

burnout (Bakker et al, 2003c). Asumsi menurut Bakker et al, 2007 ini

konsisten dengan model Demand-control (DCM; Karasek, 1979, 1998)

namun lebih memperluas model melalui beberapa job resources yang

19
memainkan peran di beberapa organisasi tergantung pada karakteristik

pekerjaan spesifik yang merata.

Bakker et al (2007) menjelaskan bahwa otonomi membuktikan

menjadi penyeimbang paling penting dalam permintaan pekerjaan baik

dimensi burnout yang diikuti dengan dukungan dan kesempatan untuk

pengembangan professional. Hasil menunjukkan bahwa semua interaksi

signifikan dengar arah yang diperkirakan. Kondisi ini dimana empat

permintaan pekerjaan yang tinggi dan lima job resources yang rendah

menghasilkan tingkat tinggi pada kepenatan dan sinisme. Secara berbeda

dalam berbagai kasus menunjukkan bahwa ketika job resources yang

tinggi, melalui permintaan pekerjaan dimensi inti dari burnout juga ikut

menurun. (Bakker, 2007)

Crawford et al (2010) menenkankan bahwa permintaan pekerjaan

yang dalam penelitian ini juga disebut challenge stressor diasumsikan

akan mengaktifkan proses penipisan energy yang mana meningkatkan

usaha karyawan untuk memenuhi persepsi permintaan pekerjaan dan

pastinya akan meningkatkan kompensasi psikologis dan pengeluaran

energi dan akan menguras energi karyawan. Penipisan energi ini akan

meningkatkan stress melalui respon permintaan (Challenge stressor) yang

mengarah pada karyawan mulai merasa lelah dan tidak bertenaga.

Sehingga permintaan pekerjaan telah diasumsikan memiliki hubungan

positif langsung dengan burnout (Crawford, 2010).

20
Sehingga dari bukti dukungan teori maupun penelitian dapat

dihipotesiskan :

H1 : Challenge Stressor berpengaruh secara positif terhadap burnout

2.2.2 Challenge stressor dan Keterikatan Kerja

Dalam penelitian kuantitatif oleh crawford et al (2010)

menunjukkan ketidakkonsistesian hubungan permintaan pekerjaan dan

keterikatan kerja melalui teori yang terintegrasi yaitu teori tranksaksional

stress (Cavanaugh et al, 2000) bahwa anggapan karyawan mengenai job

demand hindrance (penghambat) akan berpengaruh negatif terhadap

keterikatan kerja sedangkan dengan challange (tantangan) akan

berpengaruh secara positif terhadap keterikatan kerja (Crawford, 2010)

Kekonsistenan ini juga diungkapkan oleh Crawford (2010)

dengan menunjukan bahwa penelitian Macey & Schneide (2008), Britt et al

(2001), dan May et al (2004) bahwa dengan melihat situasi menantang

karyawan akan menginvestasikan waktu dan energi dalam cara yang

berarti. Individu akan cenderung menganggap bahwa permintaan

pekerjaan ini menjadi hal yang positif bagi mereka. Penelitian May telah

menunjukkan pengalaman emosi positif dan pengalaman dalam tertantang

keduanya berasosiasi dalam tingkat yang baik dalam motivasi dan

keterikatan (Crawford, 2010).

Tanggung jawab kerja merupakan tanggung jawab

keseluruhan terhadap pekerjaan. Choi et al (2012) menekankan bahwa

pekerjaan frontline services membutuhkan tanggung jawab peronal

terhadap pekerjaan. Secara khusus karyawan frontline seharus melayani

21
pelanggan, memberikan perhatian secara personal kepada pelanggan,

dan mampu menyampaikan pelayan sesuai harapan ke pelanggan (Choi

et al, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa studi di lingkungan kerja hotel

yang secara langsung dapat kita simpulkan bahwa hampir semua divisi

perhotelan akan langsung berhadapan dengan tuntutan pelanggan yang

mana tentu saja memicu stressor dari segi “challenge” itu sendiri.

Pada penelitian Rodell & Judge (2009) mengenai stressor

juga menunjukkan bahwa stressor penghambat (hindrance) dan

tantangan (challange) akan sama-sama berpengaruh secara positif

dengan sikap gelisah dari karyawan namun hanya stressor tantangan

(challenge) yang akan berpengaruh secara positif denga perilaku

perhatian lebih terhadap pekerjaan tersebut. Sehingga melalui hubungan

challenge stressor dengan keterikatan kerja melalui berbagai penelitian

dapat dihipotesiskan :

H2 : Challenge stressor berpengaruh secara positif pada keterikatan kerja

karyawan.

2.2.3 Keterikatan kerja dan Komitmen, kinerja

Pada artikel penelitian oleh Rich et al, 2010

mengemukakan bahwa sesuai dengan kerangka yang dibuat Kahn (1990)

mengembangkan suatu teori bahwa posisi keterikatan menjadi kunci

hubungan diantara karakteristik individu dan faktor organisasi dan kinerja

kerja. Rich et al (2010) menjelaskan bahwa individu yang terikat

digambarkan secara psikologis perhatian, merasa, terhubung dan

22
terintegrasi sehingga fokus pada peran kinerjanya sehingga mereka

terbuka terhadap orang lain dan melaksanakan secara penuh terhadap

pekerjaan mereka (Kahn, 1992). Rich et al (2010) memperjelas bahwa

Kahn mengobservasi dari sisi pengeluaran keperilakuan seperti fisik,

kognitif dan energi emosional terhadap peran kerja (Kahn, 1992) dan

orang yang memiliki keterikatan kerja tinggi akan melakuka tugas baik

sendiri atau dengan orang lain dan mereka secara emosional

berhubungan dengan pekerjaan mereka dan memberikan pelayanan

terbaik pada pekerjaan mereka (Kahn, 1990)

Artikel penelitian oleh Rich et al (2010) juga menegaskan

bahwa konsep keterikatan Kahn adalah konsep motivasional dikarenakan

alokasi sumber daya personal pada peran kerja dan secara intens dan

persisten memberikan energi ini pada pekerjaan mereka (Kanfer, 1990).

Secara spesifik, penelitian teoritis memiliki pengeluaran energi antara job

engagement dan kinerja. Pertama pengeluaran energi fisik memberikan

kontribusi pada pernan kinerja yang pada akhirnya akan mempengaruhi

pencapian tujuan orgamisasi sehingga mereka akan mendapatkan nilai

organisasional serta meningkatkan usaha dari waktu ke waktu (Rich et al,

2010).

Pada penelitian karyawan keramah-tamahan di Cina, Hon

et al (2013) meunjukkan bahwa challenge stressor meningkatkan

kreatifitas. Sehingga secara seingkatnya karyawan hotel yang merasa

berenergi dan berdedikasi akan meningkatkan wujud komitmen terhadap

perusahaan serta memberikan laporan kinerja yang berkualitas tinggi

23
pada proses pelayanan ke pelanggan (e.g kinerja, perilaku inovatif dan

kinerja kreatifitas) (Hon et al, 2013) sehingga dihipotesiskan :

H3a : Keterikatan kerja berpengaruh secara positif pada komitmen

organisasional karyawan

H3b : Keterikatan kerja berpengaruh secara positif pada kinerja karyawan

2.2.4 Burnout dan Komitmen, kinerja

Pada penelitian Wong et al (2015) menerangkan bahwa model

karasek (1979) Job Demands- control (JDC), halangan pekerjaan muncul

ketika individu merasakan permintaan beban kerja yang tinggi namun

memiliki kontrol untuk menyelesaikan pekerjaan yang rendah (Kain dan

Jex, 2010). Wong et al (2015) menyatakan bahwa halangan dalam

pekerjaan yang terlalu lama dapat meningkatkan burnout dan penyakit

fisik, ketidakefektifan kinerja, absentensi, dan menurunnya komitmen

organisasional dan turnover (Karasek, 1979; Karasek dan Theorell, 1990)

Sedangkan Tingyu et al, 2014 juga menjelaskan melalui model

JD-R, permintaan pekerjaan dan resources keduanya akan

mempengaruhi burnout dan burnout memiliki pengaruh langsung dan

mediasi pada komitmen dan niat untuk turnover (Babakus et al., 2009).

Tingyu et al (2014) menjelaskan meskipun peran konflik merupakan

dimensi penting dalam permintaan pekerjaan kebanyakan penelitian

memberkan asumsi bahwa pekerja hanya menghadapi satu tugas kerja,

sehingga penelitian JD-R cenderung mengabaikan potensi peran konflik

dari berbagai permintaan pekerjaan yang ada seperti gaji vs keikut

sertaan. Melalui artikel penelitian Tingyu (2014) menegaskan bahwa

24
burnout berhubungan langsung dengan komitmen organisasional, data

empiris menunjukkan ketidakkonsistenan dalam hubungan ini dan

memunculkan pertanyaan apakah benar burnout berhubungan secara

signifikan dengan komitmen organisasional (Ashill dan Rod, 2011;

Hakanen et al, 2008).

Menurut pembahasan penelitian terdahulu oleh Tingyu et al, 2014

bahwa permintaan pekerjaan yang menyebabkan stress ini bisa

mengarah pada burnout, yang mana memiliki konsekuensi negatif yaitu

niat turnover. Tingyu et al (2014) menyatakan bahwa kondisi permintaan

pekerja berlebih mengarah burnout ini juga mendukung menurunnya

komitmen organisasional dan meningkatkan niat turnover (Babakus et al,

2009; Hu et al., 2011; Lewig et al., 2007).

Pada artikel penelitian Lazaro et al, 1984 menerangkan mengenai

penelitian Roelens (1983) mengenai pengaruh burnout terhadap kinerja

kerja pada 261 staf keperawatan. Pada penelitian ini kinerja yang dinilai

oleh perawat itu sendiri dan kepala supervisornya. Roelens menggunkan

kepenatan emosional dan depersonalization dalam mengukur burnout.

Seperti yang diprediksi bahwa burnout secara negative berpengaruh

terhadap kinerja yang dinilai oleh mereka sendiri.

Pada artikel penelitian oleh Cohen et al, 2013 menjelaskan

bahwa emosi dapat mempengaruhi proses dalam mengelola informasi

strategi yang ada contohnya, emosi positif akan cenderung meningkatkan

proses heuristic yang mungkin akan berguna pada tugas kreatif dan tugas

memori jangka pendek. Cohen et al (2013) menjelaskan emosi negatif

akan menyebabkan proses yang lebih dalam dan lama serta kinerja tugas

25
yang lebih baik (Lyons dan Schneider, 2005). Menghasilkan fasilitas

interaksi yang efektif yang merupakan esensi kineja, secara khususnya

disini guru. Hal ini menunjukkan bahwa individu memiliki kekuatan dalam

mengelola emosi mereka sendiri dibanding dengan pihak lain.

Penelitian Karatepe et al (2013) menunjukkan penelitian

hubungan antara burnout dan kinerja, dua model regresi menggunakan

komponen (kepenatan dan ketidakterikatan) sebagai variabel independen

dan peran serta peran lebih kinerja yang diukur sebagai variabel

dependen menunjukkan signifikan. Dari penelitian ini juga menunjukkan

bahwa prediktor yang lebih baik adalah kepenatan emosional (Karatepe

et al, 2013)

Melalui penelitian-penelitian terdahulu serta teori pendukung

hubungan antara burnout dan pengaruhnya terhadap komitmen dan

kinerja dapat disimpulkan sebagai berikut :

H4a : Burnout berpengaruh secara negatif pada komitmen organisasional

karyawan

H4b : Burnout berpengaruh secara negatif pada kinerja karyawan

2.2.5 Keterikatan Kerja sebagai mediator

Penelitian ini menyatakan bahwa keterlibatan kerja

memediasi tantangan stressor pada komitmen organisasional dan kinerja

karyawan. Hal ini menjelaskan bahwa beban kerja yang diterima

karyawan akan memicu peningkatan usaha karyawan untuk

menyelesaikan masalah dan tantangan ditempat kerja. Oleh karena itu,

manajemen dari hotel dapat memberdayakan karyawan mereka untuk

memecahkan permasalahan mereka di tempat (Kusluvan et al., 2010).

26
Hal ini membuat mereka merasakan tanggung jawab pribadi yang tinggi.

Dengan kondisi ini, karyawan hotel cenderung berinvestasi lebih banyak

waktu dan energi terhadap tuntutan menantang (challenge stressor)

dikarenakan mereka menilai menjad kesempatan untuk belajar,

pengembangan diri (Crawford et al, 2010). Akibatnya, beberapa karyawan

merasa semangat, memiliki rasa hubungan efektif dengan pekerjaan

mereka, dan mengalami rasa pencapaian personal. Artinya, mereka

sangat terlibat dalam pekerjaan mereka. Karyawan dengan keterlibatan

kerja tingkat tinggi pada gilirannya menampilkan komitmen afektif untuk

perusahaan dan memenuhi persyaratan kinerja formal dalam proses

penyampaian pelayanan. Oleh karena itu, berikut mediasi penuh

dihipotesiskan :

H5a : keterikatan kerja akan memediasi antara challenge stressor pada

komitmen

H5b : keterikatan kerja akan memediasi antara challenge stressor

pada kinerja

2.2.6 Burnout sebagai mediator

Burnout ini sudah menjadi variabel mediator dalam berbagai

penelitian salah satunya penelitian Gumbau et al (2015) yang juga

menggunakan dua mediator seperti penelitian ini yaitu burnout dan

keterikatan kerja. Dalam penelitian ini mengkaji burnout dan keterikatan

kerja berhasil menjadi mediator antara fasilitas dan halangan ditempat

kerja dengan self efficacy. Selain itu burnout juga menjadi variabel

mediator dalam penelitian Yong Um et al, 1983 dan Cohen et al, 2013.

27
Pada penelitian Crawford et al (2010) menegaskan bahwa

permintaan pekerja yang pada penelitian ini disebut juga challenge

stressor (Beban kerja dan tanngung jawab kerja) yang secara terus

menerus akan mengarah pada energi yang terkuras dan stress sehingga

meningkatkan tingkat burnout karyawan itu sendiri. Dipertegas melalui

Artikel penelitian Tingyu et al (2014) bahwa Kondisi permintaan pekerja

berlebih mengarah burnout ini juga mendukung menurunnya komitmen

organisasional dan meningkatkan niat turnover (Babakus et al, 2009; Hu

et al., 2011; Lewig et al., 2007). Sehingga variabel burnout ini dapat

menjadi mediator hubungan antara Challenge stressor dengan

komitmen.

Penelitian oleh Karatepe et al (2013) menunjukkan bahwa

burnout mempengaruhi secara negative terhadap peran kerja dan peran

ekstra kinerja karyawan. Pada artikel penelitian Bakker (2007)

mengemukakan bahwa pada penelitiannya di tahun 2004 menunjukkan

bahwa burnout menjadi variabel antiseden paling penting dalam

permintaan pekerjaan yang merupakan challenge stressor adalah

burnout. Sehingga melalui penelitian yang menjelaskan adanya hubungan

signifikan antara challenge stressor terhadap burnout dan burnout

terhadap kinerja itu sendiri, variabel burnout ini dimungkinkan untuk

menjadi mediator antara challenge stressor dan kinerja karyawan.

Berdasarkan penjabaran sebelumnya, berikut mediasi penuh

dihipotesiskan :

H6a : burnout akan memediasi antara challenge stressor pada komitmen

H6b : burnout akan memediasi antara challenge stressor pada kinerja

28
2.3 MODEL PENELITIAN

Gambar II.1

H3a(+)
Keterikatan komitmen
H2(+) kerja
H4a(-)

Challenge
(+))
stressor

H3b(+)
burnout kinerja
H1(+)

H4b(-)

Sumber : Modifikasi Crawford (2010) & Karatepe (2014)

Pada kerangka model ini dilakukan modifikasi dengan

penambahan satu variabel baru yaitu Burnout sebagai dual mediator

dengan keterikatan kerja sesuai dengan saran penelitian yang

dikemukakan oleh Crawford (2010). Kerangka model yang dibuat oleh

Karatepe (2014) juga menindaklanjuti saran penelitian dari Crawford

(2010) yang menjadikan keterikatan kerja untuk menjadi mediator antara

challenge stressor dengan berbagai output dan kondisi psikologis

karyawan.

29

Anda mungkin juga menyukai