Anda di halaman 1dari 72

MODUL KULIAH

VIROLOGI DASAR DAN DIAGNOSTIK


Dr. Harapan, M.Infect.Dis, DTM&H, PhD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
MODUL KULIAH
VIROLOGI DASAR DAN DIAGNOSTIK

Dr. Harapan, M.Infect.Dis, DTM&H, PhD


Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala

Copyright ®2021
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Cetakan Pertama: Agustus 2021

Diterbitkan oleh:
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Semua hak cipta terpelihara

Penerbitan ini dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta dan harus ada izin
oleh penerbit sebelum memperbanyak, disimpan, atau disebar dalam bentuk
elektronik, mekanik, foto kopi, dan rekaman atau bentuk lainnya.

ii
Daftar Isi

Daftar Isi ........................................................................................................................... iii


Daftar Gambar .................................................................................................................iv
Bagian I ............................................................................................................................... 1
Tujuan Umum Pembelajaran ...................................................................................... 1
A. Definisi virus ........................................................................................................... 2
B. Struktur virus .......................................................................................................... 2
C. Bentuk-bentuk virus .............................................................................................. 3
D. Materi genetik virus ............................................................................................... 5
E. Replikasi virus ........................................................................................................ 8
F. Klasifikasi virus .................................................................................................... 11
Bagian II ........................................................................................................................... 13
Tujuan Umum Pembelajaran .................................................................................... 13
A. Pendahuluan ......................................................................................................... 14
B. Sel kultur................................................................................................................ 15
C. Identifikasi mikroskopik ..................................................................................... 18
D. Identifikasi serologis ............................................................................................ 18
E. Deteksi antigen virus ........................................................................................... 20
F. Deteksi asam nukleat virus ................................................................................. 20
Bagian III .......................................................................................................................... 24
Tujuan Umum Pembelajaran .................................................................................... 24
A. Hepatitis................................................................................................................. 25
B. HIV ......................................................................................................................... 27
C. Meningitis dan Ensefalitis ................................................................................... 29
D. Influenza ................................................................................................................ 31
E. SARS ....................................................................................................................... 33
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 36

iii
Daftar Gambar

GAMBAR I.1 STRUKTUR VIRUS (A). VIRUS BERSELUBUNG DENGAN NUKLEOKAPSID IKOSAHEDRAL.
(B). VIRUS BERSELUBUNG DENGAN NUKLEOKAPSID HELIKS. ...................................... 2
GAMBAR I.2 STRUKTUR DASAR VIRUS (A) NUKLEOKAPSID MENGANDUNG DNA ATAU RNA
YANG DIENKAPSULASI DALAM KAPSID YANG TERDIRI DARI SUBUNIT PROTOMER. (B).

VIRION TERSELUBUNG DENGAN LAPISAN LIPID BILAYER LUAR DAN SPIKE

GLIKOPROTEIN TRANSMEMBRAN .................................................................................. 3

GAMBAR I.3 STRUKTUR VIRUS DENGAN BENTUK IKOSAHEDRAL YANG MENUNJUKKAN 12 SIMPUL,
20 SISI, DAN 30 SISI. BOLA BERWARNA MENUNJUKKAN POSISI PROTOMER YANG

MEMBENTUK PENTAMER PADA IKOSAHEDRON [3]. ..................................................... 4

GAMBAR I.4 STRUKTUR VIRUS DENGAN BENTUK HELIKS (A) DAN KOMPLEK (B) .......................... 5
GAMBAR I.5 METODE SINTESIS MRNA PADA SISTEM KLASIFIKASI BALTIMORE ............................. 6
GAMBAR I.6 CONTOH VIRUS BERDASARKAN MATERI GENETIKNYA ............................................... 8
GAMBAR I.7 FASE-FASE REPLIKASI VIRUS[6] .................................................................................... 9
GAMBAR I.8 METODE PELEPASAN VIRUS DARI SEL INANG ............................................................ 10
GAMBAR II.1 EFEK SITOPATIK PADA VERO CELL YANG DIINFEKSI OLEH VIRUS HSV-1[10]. ....... 16
GAMBAR II.2 DETEKSI VIRUS DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK HEMAGLUTINASI[11]. ............. 17
GAMBAR II.3 METODE RADIOIMMUNOASSAY[12] ......................................................................... 21
GAMBAR II.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)[2] ......................... 21
GAMBAR II.5 SKEMA PROSEDUR PCR ............................................................................................ 23

iv
Bagian I

Dasar-Dasar Virologi

Tujuan Umum Pembelajaran


Mahasiswa memahami struktur, virus secara komprehensif
Mahasiswa memahami klasifikasi virus secara umum
Mahasiswa memahami proses replikasi virus secara detail
A. Definisi virus
Virus adalah entitas kecil berukuran 20 hingga 300 nm yang genomnya bereplikasi di dalam
sel hidup menggunakan instrumen seluler inangnya untuk membuat virion (partikel virus)
keturunannya[1]. Virus berbeda dengan mikroorganisme uniseluler lainnya seperti
protozoa, fungi, dan bakteri yang berbentuk sel, mempunyai DNA dan/atau RNA, memiliki
instrumen untuk menghasilkan energi dan makromolekul, serta bereplikasi menggunakan
pembelahan biner[2]. Virus tidak berbentuk seluler dan bukanlah mikroorganisme. Virus
dapat dianggap sebagai makromolekul biokimia kompleks yang dorman karena tidak
mempunyai organel fungsional (misalnya, mitokondria, Golgi, kloroplas, dan retikulum
endoplasma) sehingga virus tidak dapat bereplikasi di luar sel hidup.

B. Struktur virus
Struktur virus bervariasi berdasarkan kelompok virus yang berbeda, namun semua partikel
virus tertutup oleh struktur kapsid yang mengelilingi genom virus. Struktur virus secara
umum dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 0.1 Struktur virus (A). Virus berselubung dengan nukleokapsid ikosahedral. (B).
Virus berselubung dengan nukleokapsid heliks.

Kapsid adalah cangkang protein yang terdiri dari subunit berulang, atau protomer (juga
disebut sebagai kapsomer). Kapsid bersama dengan asam nukleat (DNA atau RNA) tertutup
disebut nukleokapsid. Istilah virion menunjukkan partikel virus infektif yang lengkap.
Beberapa kelompok virus memiliki selubung luar yang terdiri dari lapisan lipid bilayer yang
mengelilingi kapsid virus (Gambar 1.2). Amplop/selubung virus tersebut sebagian berasal

2
dari membran sel inang yang dimodifikasi selama pembentukan dan pelepasan partikel
(budding) dari sel yang terinfeksi. Bagian luar lipid bilayer terdiri dari tonjolan protein
transmembran, yang dinamakan spike glikoprotein[1].

Gambar 0.2 Struktur dasar virus (A) Nukleokapsid mengandung DNA atau RNA yang
dienkapsulasi dalam kapsid yang terdiri dari subunit protomer. (B). Virion terselubung
dengan lapisan lipid bilayer luar dan spike glikoprotein transmembran

C. Bentuk-bentuk virus
Bentuk kapsid virus dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan susunan
morfologi kapsomernya, yaitu:

3
Ikosahedral
Struktur kapsid ikosahedral mendekati bola (sferis). Ikosahedral memiliki permukaan
geometris yang disebut ikosahedron. Jika dilihat dengan mikroskop elektron,
nukleokapsid ikosahedral memiliki subunit berbentuk bola identik, yang disebut
kapsomer. Kapsomer umumnya terdiri dari lima atau enam molekul protein individu
yang disebut sebagai protomer. Lima atau enam protomer ditempatkan di masing-
masing 12 simpul ikosahedron sehingga berbentuk pentamer atau heksamer. Sebuah
ikosahedron memiliki 12 simpul, 30 sisi, dan 20 sisi segitiga (Gambar 1.3). Contoh virus
yang berbentuk ikosahedral adalah poliovirus dan herpesvirus.

Gambar 0.3 Struktur virus dengan bentuk ikosahedral yang menunjukkan 12 simpul, 20
sisi, dan 30 sisi. Bola berwarna menunjukkan posisi protomer yang membentuk
pentamer pada ikosahedron [3].

Heliks
Struktur heliks terdiri dari subunit protein terikat secara periodik ke asam nukleat virus,
di mana kapsomer disusun dalam kumparan berongga yang tampak berbentuk batang.
Heliks bisa kaku atau fleksibel. Semua virus manusia yang memiliki nukleokapsid
heliks tertutup oleh membran luar yang disebut selubung (Gambar 1.4). Contoh virus
dengan nukleokapsid haliks adalah tobacco mosaic virus (TMV), influenza virus,
parainfluenza virus, measles virus, mumps virus, coronavirus, ebola virus, and rabies
virus.

4
Kompleks
Beberapa partikel virus tidak menunjukkan bentuk icosahedral ataupun heliks tetapi
strukturnya lebih rumit. Seperti poxvirus yang berbentuk ovoid dan bacteriofag (virus
yang menyerang bakteri) yang berbentuk huruf T (Gambar 1.4).

B
A

Gambar 0.4 Struktur virus dengan bentuk heliks (A) dan komplek (B)

D. Materi genetik virus


Virus membawa gen yang penting untuk infeksi dan replikasi. Konfigurasi genom virus
sangat bervariasi dalam jenis, bentuk, struktur, jumlah, dan sekuens. Genom virus dapat
terdiri dari DNA untai tunggal(ssDNA) atau ganda (dsDNA), RNA untai
tunggal(ssRNA) atau ganda (dsRNA), RNA antisense untai tunggal atau tersegmentasi,
atau RNA tersegmentasi untai ganda. Genom RNA virus sense-strand dapat
diterjemahkan langsung menjadi protein, sedangkan RNA antisense harus disalin ke
dalam RNA yang dapat diterjemahkan (Gambar 1.5). Genom sense dan antisense juga
disebut sebagai genom untai positif dan genom untai negatif. Protein yang dibentuk dari
genom ini dapat merupakan protein nonstruktural seperti enzim polimerase asam
nukleat (yang dibutuhkan saat replikasi materi genetik) maupun protein struktural
(seperti kapsid). Contoh virus berdasarkan materi genetiknya dapat dilihat di Gambar
1.6.

Klasifikasi virus berdasarkan materi genetik dapat dilihat di Tabel 1 sesuai dengan
Sistem Klasifikasi Baltimore[4]:

5
Gambar 0.5 Metode sintesis mRNA pada sistem klasifikasi Baltimore

Tabel 1. Jenis virus, metode sintesis mRNA, dan contoh virus sesuai dengan klasifikasi
Baltimore

Virus I DsDNA Virus ini dapat membuat DNA dan Herpesvirus


DNA mRNA seperti sel pada umumnya, Adenovirus
sehingga virus ini dapat langsung
menggunakan instrumen sel inang
untuk replikasi .
II ssDNA Virus ini juga dapat langsung Parvovirus B19
menggunakan instrumen sel inang
untuk membentuk virus baru. Sebagai
virus beruntai tunggal, virus ini lebih
mudah untuk bermutasi dan
berekombinasi.
Virus III dsRNA Virus ini bersifat mutagenik, tetapi Rotavirus
RNA karena protein sel tidak bekerja pada
template RNA, maka virus RNA ini
harus mengkode dan membentuk
enzim polimerase sendiri
IV (+) Kelas virus ini mempunyai materi Poliovirus
ssRNA genetik setara dengan mRNA sehingga Norovirus
dapat menyebabkan infeksi langsung West Nile virus

6
ketika telah masuk sel inang. Virus in Hepatitis C
juga sangat mutagenik. virus
Namun karena sel inang tidak
membuat enzim polimerase, jadi virus
ini perlu mengkode dan membuat
enzim polimerase sendiri.
V (-) Virus ini merupakan virus yang sangat Influenza virus
ssRNA umum secara medis karena antisense Ebola virus
ssRNA adalah template untuk mRNA.
Materi genetik virus ini tidak infeksius
tetapi mRNA dapat langsung dibuat.
Virus VI (+) Virus ini menggunakan enzim reverse HIV
kompleks ssRNA transcriptase untuk membuat DNA
RT intermediate. DNA intermediate ini
dapat berintegrasi ke genom sel inang
dan menyebabkan infeksi laten.
VII dsDNA Virus ini mirip dengan virus dsDNA Hepatitis B
RT pada umumnya dalam membentuk virus
mRNA, tetapi saat replikasi virus ini
juga memproduksi RNA intermediate
yang akan dikonversi kembali ke DNA
oleh enzim reverse transcriptase.

7
Gambar 0.6 Contoh virus berdasarkan materi genetiknya

E. Replikasi virus
Siklus replikasi virus biasanya terdiri dari enam fase terpisah[5]:
1. Perlekatan ke sel inang yaitu interaksi virion dengan situs reseptor spesifik di
permukaan sel.
Virus menginfeksi sel dengan berlekatan pada reseptor spesifik. Sel yang tidak
mempunyai reseptor tersebut tidak akan terinfeksi. Tropisme adalah afinitas
virus pada suatu sel tertentu.
2. Penetrasi atau masuk
Virus memasuki sel inang setelah perlekatan melalui berbagai cara termasuk (1)
translokasi, di mana virus melintasi membran secara utuh; (2) penyisipan materi
genetik, di mana virus yang menempel dan menyuntikkan materi genetik
langsung ke dalam sitoplasma; (3) fusi membran, di mana isi genom virus
dibuang ke dalam sitoplasma sel inang; dan (4) endositosis, ditentukan oleh
pengikatan ke reseptor permukaan dan transpor yang dimediasi clathrin,
kadang-kadang menyebabkan fusi menjadi endosom intraseluler.

8
3. Uncoating untuk melepaskan genom
Uncoating adalah pemisahan fisik asam nukleat virus dari komponen struktural
luar virion sehingga dapat berfungsi. Genom dapat dilepaskan sebagai asam
nukleat bebas (picornaviruses) atau sebagai nukleokapsid (reovirus).
Nukleokapsid biasanya mengandung polimerase. Uncoating mungkin
memerlukan pH asam dalam endosom. Infektivitas virus induk hilang pada
tahap uncoating (Gambar 1.7).

Gambar 0.7 Fase-fase replikasi virus[6]

4. Ekspresi genom virus dan sintesis komponen virus


Fase sintetis dari siklus replikasi virus terjadi setelah genom virus tidak dilapisi.
Tema penting dalam replikasi virus adalah bahwa mRNA spesifik harus
ditranskripsi dari asam nukleat virus untuk ekspresi sukses dan duplikasi
informasi genetik. Setelah ini selesai, virus menggunakan komponen sel untuk
menerjemahkan mRNA. Dalam proses replikasi virus, semua makromolekul
khusus virus disintesis dalam urutan yang sangat terorganisir.
5. Perakitan
Perakitan nukleokapsid virus dapat terjadi baik di nukleus (herpesvirus,
adenovirus) atau sitoplasma (poliovirus) atau di permukaan sel (influenza).
Genom virus yang baru disintesis dan polipeptida kapsid berkumpul bersama
untuk membentuk virus baru. Kapsid ikosahedral dapat terbentuk tanpa adanya
asam nukleat, sedangkan nukleokapsid virus heliks tidak dapat terbentuk tanpa

9
RNA virus. Secara umum, virus yang tidak terbungkus terakumulasi dalam sel
yang terinfeksi, dan sel akhirnya melisis dan melepaskan partikel virus.
6. Pelepasan dari sel
Tahap akhir dari replikasi virus adalah pelepasan virion yang baru terbentuk
dari sel inang. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara[7]:
• Lisis: virus menghancurkan sel inang
• Budding: virus bergerak ke pinggir sel inang dan menggunakan sebagian
sel inang sebagai selubung untuk menghindar dari deteksi sistem imun.
• Eksositosis: virion terbungkus oleh selubung yang kemudian berfusi
dengan membran plasma sel inang sehingga partikel virus keluar dari sel
tersebut.
• Transpor sel ke sel: beberapa virus dapat menyebabkan fusi dari sel-sel
inang. Metode ini memungkinkan virus masuk ke sel yang berdekatan
dengan sel awal secara langsung tanpa mengekspose virus tersebut ke
sistem imun (Gambar 1.8).

Gambar 0.8 Metode pelepasan virus dari sel inang

Metode replikasi virus terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:


a. Lisis: virus menghancurkan (lisis) sel inang ketika pelepasan virus dari sel
inang. Proses ini akan berhubungan dengan fase prodormal dimana pasien
menunjukkan gejala infeksi virus non spesifik.
b. Lisogenik: Virus menyebabkan infeksi laten dimana materi genetik virus
bergabung dengan materi genetik sel inang yang disebut dengan provirus.
DNA provirus akan bereplikasi secara pasif setiap sel inang bereplikasi. Hal
ini akan membuat virus-virus tersebut bertahan lama di dalam tubuh dan
sulit terdeteksi oleh sistem imun.

10
c. Pseudolisogenik atau episomal: virus bertahan di dalam sel inang tanpa
mengintegrasikan materi genetiknya. Materi genetik virus terpisah dalam
bentuk episom. Episom ini akan keluar dari sel ketika sel inang mati.

Replikasi virus sangat berhubungan dengan tahap infeksi virus pada sel inang, yang
terbagi menjadi beberapa tahap:
a. Masa inkubasi: virus akan menginfeksi sel inang dan bere[likasi. Pada masa
inkubasi, kadar virus dalam tubuh masih rendah, sehingga pasien belum
bergejala.
b. Penyebaran virus: setelah bereplikasi dan melepaskan diri dari sel inang, virus
baru akan menginfeksi sel-sel yang berdekatan, dan juga menyebar melalui
darah (viremia) atau berdifusi melalui cairan tubuh. Viremia dapat
diindentifikasi melalui pemeriksaan asam nukleat atau antigen dari sampel
darah.
c. Fase prodormal: Jumlah virus dalam sel inang sudah banyak dan respon imun
bawaan (innate immune response) sudah mulai teraktifasi. Respon imun bawaan
berupa interferon, sel NK (natural killer), sel T CD8+ (yang merusak sel
terinfeksi) dan sel T CD4+ (yang mengaktifasi sel memori). Infeksi virus mulai
menyebabkan gejala non spesifik seperti demam, nyeri sendi dan mual.
d. Fase aktif: virus akan menyebabkan infeksi dengan gejala spesifik.

e. Resolusi penyakit: Sistem imun membersihkan infeksi virus dari sel inang yang
terbagi menjadi respon bawaan dan respon adaptif. Respon adaptif terdiri dari
antibodi (imunoglobulin) yang terbagi menjadi:
• IgM: diproduksi dalam waktu 1 hingga 2 minggu setelah paparan.
• IgG: diproduksi dalam waktu 2 sampai 4 minggu setelah paparan
• IgA: dilokalisasi ke membran mukosa dan memberikan kekebalan terhadap
infeksi pernafasdan dan pencernaan.

F. Klasifikasi virus
Klasifikasi virus didasarkan pada pembagian tingkat taxonomi virus menjadi 15 tingkatan,
yaitu:
Realm (dengan akhiran …viria)
Subrealm (dengan akhiran …vira)

11
Kingdom (dengan akhiran …virae)
Subkingdom (dengan akhiran …virites)
Filum (dengan akhiran …viricota)
Subfilum (dengan akhiran …viricotina)
Kelas (dengan akhiran …viricetes)
Subkelas (dengan akhiran …viricetidae)
Order (dengan akhiran …virales)
Suborder (dengan akhiran …virineae)
Famili (dengan akhiran …viridae)
Subfamili (dengan akhiran …virinae)
Genus (dengan akhiran …virus)
Subgenus (dengan akhiran …virus)
Species (dengan akhiran yang irregular)

Saat ini klasifikasi virus terbagi menjadi 6 realm, 10 kingdom, 17 filum, 2 subfilum, 39 kelas,
59 order, 189 famili,136 subfamili, 2224 genus, 70 subgenus dan 9110 spesies [8].

12
Bagian II

Teknik Diagnosis
Virologi Kedokteran

Tujuan Umum Pembelajaran


Mahasiswa memahami struktur, virus secara komprehensif
Mahasiswa memahami klasifikasi virus secara umum
Mahasiswa memahami proses replikasi virus secara detail
A. Pendahuluan
Virus dapat bermanifestasi baik secara asimptomatik, latent, akut local maupun
sistemik. Unutk mendiagnosis penyebab dari infeksi, sangat penting mengambil
spesimen dan melakukan tes yang akurat. Sebagian besar diagnosis virus yang
akurat membutuhkan pemeriksaan laboratorium. Hal ini penting karena:
• Penatalaksanaan pasien yang tepat bergantung pada diagnosis. Diagnosis
yang cepat, spesifik, dan akurat sering dapat menghindari kebutuhan
untuk tes lebih lanjut yang tidak perlu, membatasi penggunaan antibiotik
yang tidak perlu, memastikan pasien mendapatkan terapi yang benar dan
efisiensi biaya.
• Penggunaan agen antivirus biasanya membutuhkan akurasi identifikasi
virus yang menginfeksi. Dalam beberapa penyakit kronis, misalnya, yang
disebabkan oleh HIV dan virus hepatitis B, keputusan tentang kapan harus
memulai terapi membutuhkan pemahaman penuh tentang klinis dan
temuan laboratorium. Kombinasi obat yang sesuai untuk setiap pasien
dipilih dan kemudian dimodifikasi berdasarkan profil resistensi obat dari
strain virus yang menginfeksi.
• Infeksi mungkin menuntut tindakan kesehatan masyarakat untuk
mencegah penyebaran ke orang lain. Misalnya, bank darah secara rutin
skrining untuk HIV dan virus hepatitis B dan C yang mungkin hadir dalam
darah yang disumbangkan oleh pembawa tanpa gejala. Infeksi nosokomial
(misalnya, varicella, campak), sering dalam bentuk epidemi, dapat
membuat kekacauan di bangsal leukemia di rumah sakit anak-anak.
Identifikasi strain baru virus influenza menandai dimulainya epidemi
besar yang akan berdampak pada lansia sehingga kelompok rentan ini
dapat segera diimunisasi.
• Surveilans infeksi virus dapat menjelaskan signifikansi, sejarah dan
prevalensi virus di masyarakat, memungkinkan tindakan pencegahan dan
pengendalian penyakit.
• Pengawasan berkelanjutan terhadap suatu komunitas dapat memberikan
bukti epidemi baru, penyakit baru, virus baru, atau asosiasi virus-penyakit
baru. Virus baru dan hubungan virus-penyakit baru terus ditemukan
setiap tahun.

14
Ada lima pendekatan untuk diagnosis penyakit virus dengan menggunakan
spesimen klinis:
• Identifikasi virus dengan kultur sel
• Identifikasi mikroskopis secara langsung
• Identikasi serologis untuk mendeteksi peningkatan titer antibodi atau
adanya antibodi IgM
• Deteksi antigen virus dalam darah atau cairan tubuh
• Deteksi asam nukleat virus dalam darah atau sel pasien.

B. Sel kultur
Karena virus hanya dapat bereplikasi dalam sel hidup, maka untuk
menumbuhkan virus diperlukan sel kultur, bukan pada media yang biasa
digunakan untuk bakteri. Banyak virus tidak aktif pada suhu kamar, sehingga
penting untuk menginokulasikan spesimen ke dalam sel kultur sesegera mungkin.

Jenis sel yang paling banyak digunakan untuk diagnosis virus adalah sel ginjal
monyet rhesus primer (RhMK), sel ginjal kelinci primer, MRC-5, fibroblas kulup
manusia (hFFs), HEp-2, dan A549. Metode sel kultur secara umum adalah sebagai
berikut:

1. Pertama, media yang berisi sampel divortex. Medium cair kemudian


disentrifugasi dan supernatan yang diperoleh digunakan dalam kultur sel. Dalam
metode ini, jamur, sel, bakteri, dan darah tetap berada di dasar tabung (bentuk
pelet), sedangkan virus tetap tersebar di dalam cairan.
2. Kemudian, 0,2-0,3 mL cairan ditambahkan ke media kultur sel untuk inokulasi
virus. Tabung kultur sel yang berisi virus kemudian diinkubasi pada suhu 35°C
dan 5% CO2 selama 90 menit, setelah itu inokulum dibuang dan diganti dengan
media segar. Tabung kultur sel diinkubasi sampai virus mulai tumbuh. Proses ini
dapat memakan waktu 1 hari hingga beberapa minggu tergantung pada jenis
virusnya. Tabung kultur sel diperiksa setiap hari menggunakan mikroskop
terbalik 8, 9[9].
Deteksi virus dalam sel kultur dapat di deteksi dengan beberapa cara:

15
a. Efek sitopatik, adalah perubahan tampilan sel monolayer yang terinfeksi
virus. Perubahan ini dapat berupa perubahan ukuran, bentuk, dan
peleburan sel untuk membentuk sel raksasa berinti banyak (syncytia). Efek
sitopatik biasanya merupakan manifestasi dari sel yang terinfeksi virus yang
sekarat atau mati. Waktu yang dibutuhkan untuk efek sitopatik muncul dan
pada jenis sel efek ini muncul adalah petunjuk penting dalam identikasi
virus (Gambar 2.1).

Gambar 0.1 Efek sitopatik pada Vero cell yang diinfeksi oleh virus HSV-1[10].

b. Hemaglutinasi adalah aglutinasi (penggumpalan) eritrosit (sel darah


merah). Teknik ini terbatas pada virus dengan protein hemaglutinin pada
selubungnya, seperti virus gondong, parainfluenza, dan influenza.
Hemaglutinasi dapat diamati tanpa menggunakan mikroskop, tetapi
metode ini tidak selalu membedakan antara partikel virus yang menular dan
tidak menular, karena keduanya dapat mengaglutinasi eritrosit.
Uji hemaglutinasi terdiri dari 2 jenis, yaitu:
• Teknik langsung, dimana sampel yang mengandung virus diproses
dalam seri pengenceran dua kali lipat (biasanya dalam pelat
mikrotiter 96 sumur). Larutan yang mengandung sel darah merah
kemudian ditambahkan ke setiap sampel sumur. Setelah jangka

16
waktu tertentu, sumur diamati secara visual untuk keberadaan sel
darah merah yang mengalami hemaglutinasi yang muncul sebagai
lapisan sel tipis yang menutupi permukaan dasar sumur. Sel darah
merah yang tidak mengalami aglutinasi mengendap menjadi
"tombol" kecil sel di tengah sumur. "Titer HA" dari sampel virus stok
dilaporkan sebagai kebalikan dari pengenceran tertinggi yang
sepenuhnya mengaglutinasi sel darah merah (Gbr. 2.2).
• Teknik tidak langsung, dimana kita menggunakan antibodi untuk
virus tersebut. Pengikatan antibodi dengan hemaglutinin akan
mencegah eritrosit berinteraksi langsung dengan virus. Jadi ketika
eritrosit ditambahkan ke virus yang dilapisi antibodi, tidak ada
penampakan aglutinasi; aglutinasi telah dihambat.

Gambar 0.2 Deteksi virus dengan menggunakan teknik hemaglutinasi[11].

c. Penurunan produksi asam oleh sel-sel yang terinfeksi dan sekarat dapat
dideteksi secara visual dengan perubahan warna pada fenol merah
(indikator pH) dalam media kultur. Indikator pH akan tetap merah (basa)
dengan adanya sel yang terinfeksi virus, tetapi berubah menjadi kuning
dengan adanya metabolisme sel normal yang dideteksi dari produksi asam
yang dihasilkan. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi enterovirus
tertentu.

17
C. Identifikasi mikroskopik
Virus dapat dideteksi dan diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis
langsung dari spesimen klinis seperti bahan biopsi atau lesi kulit. Tiga prosedur
berbeda dapat digunakan, yaitu: (1) Mikroskop cahaya dapat mengungkapkan
karakteristik badan inklusi atau sel raksasa berinti banyak (syncitia). Contoh:
Apusan Tzanck, yang menunjukkan sel raksasa berinti banyak yang diinduksi
virus herpes pada lesi kulit vesikular, (2) Mikroskop UV dapat digunakan untuk
pewarnaan antibodi fluoresen virus dalam sel yang terinfeksi, (3) Mikroskop
elektron dapat mendeteksi partikel virus, yang dapat dicirikan oleh ukuran dan
morfologinya.

D. Identifikasi serologis
Kenaikan titer antibodi terhadap virus dapat digunakan untuk mendiagnosis
infeksi virus. Serokonversi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
adanya antibodi terhadap virus (atau mikroba apa pun) dalam serum pasien dari
yang sebelumnya tidak memiliki antibodi.

Sampel serum diperoleh segera setelah etiologi virus dicurigai (fase akut), dan
sampel kedua diperoleh 10 hingga 14 hari kemudian (fase konvalesens). Jika titer
antibodi dalam sampel serum fase konvalesens setidaknya empat kali lipat lebih
tinggi dari titer dalam sampel serum fase akut, pasien dianggap terinfeksi. Titer
adalah ukuran konsentrasi antibodi dalam serum pasien yang didefinisikan
sebagai pengenceran serum tertinggi yang memberikan reaksi positif dalam
pengujian serologis.

Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan serologis lainnya, seperti:


Fiksasi komplemen
Jika antigen (virus yang tidak diketahui dalam cairan kultur) dan antibodinya
adalah homolog, komplemen akan difiksasi (terikat) ke kompleks antigen-
antibodi yang membuatnya tidak bisa melisiskan sistem sel darah merah.

Penetralan virus
Jika virus dan antibodi pasien homolog, antibodi yang terikat pada permukaan
virus akan menghalangi masuknya virus ke dalam sel. Hal ini akan menetralkan

18
infektivitas virus karena mencegah replikasi virus dan pembentukan efek
sitopatik.

Tes Immunofluorescein
Jika sel yang terinfeksi virus dan antibodi berfluorescein adalah homolog, warna
fluorescein hijau yang khas akan terlihat dalam sel dengan mikroskop ultraviolet
(UV).

Radioimmunoassay
Radioimmunoassay menggunakan antigen murni berlabel radioisotop yang
bersaing dengan antigen tidak berlabel (tidak diketahui dari serum pasien) untuk
mengikat pada jumlah antibodi yang diketahui. Kompleks antigen dan antibodi
yang terbentuk kemudian dapat diendapkan menggunakan antibodi kedua dan
jumlah radioaktivitas kompleks terikat diukur dengan alat penganalisis
radioisotop dan autoradiografi (Gambar 2.3).

Ketika sampel mengandung antigen dalam jumlah tinggi, banyak tempat


pengikatan antigen dari antibodi ditempati oleh antigen yang tidak berlabel. Jadi
kompleks terikat akan menunjukkan sedikit radioaktivitas. Radioaktivitas yang
dihasilkan sebenarnya berbanding terbalik dengan jumlah antigen yang ada
dalam sampel. Kemudian konsentrasi antigen yang tidak diketahui (tidak
berlabel) atau hapten yang ada dalam sampel ditentukan dengan memplot nilai
radioaktivitas yang dihasilkan dalam grafik standar yang dihasilkan
menggunakan konsentrasi berbeda dari antigen yang sama terhadap
radioaktivitas kompleks terikat.

Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Tes ELISA terbagi 2 jenis, yaitu:
a. Langsung
antibodi yang diketahui akan dilapisi pada media. Jika virus ada dalam
spesimen pasien, virus tersebut akan mengikat antibodi. Antibodi kedua
yang terikat dengan enzim ditambahkan, yang nantinya akan menempel
pada virus tersebut. Enzim yang paling umum digunakan adalah
horseradish peroksidase dan alkalin fosfatase. Substrat enzim

19
ditambahkan, dan jumlah enzim yang terikat akan ditentukan. Pembacaan
hasil didasarkan pada perubahan warna yang mengikuti penambahan
substrat organik yang sesuai untuk enzim tertentu. Produk berwarna dari
aksi enzim pada substrat harus terlihat jelas oleh mata. Tes dapat dibuat
kuantitatif dengan pengenceran serial antigen atau dengan menggunakan
spektrofotometri untuk mengukur jumlah antibodi terkonjugasi enzim
terikat pada antigen yang ditangkap.
b. Tidak langsung
Dalam metode ini, ada tambahan antibodi berlabel biotin sebelum enzim
ditambahkan. Langkah lainnya sama dengan metode ELISA langsung
(Gambar 2.4).

Mikroskop imunoelektron
Jika antibodi homolog dengan virus, kumpulan kompleks virus-antibodi akan
terlihat di mikroskop elektron.

E. Deteksi antigen virus


Antigen virus dapat dideteksi dalam darah atau cairan tubuh pasien dengan
berbagai tes, terutama dengan ELISA. Tes untuk antigen p24 untuk human
immunodeficiency virus (HIV) dan antigen permukaan virus hepatitis B adalah
contoh untuk pemeriksaan ini.

F. Deteksi asam nukleat virus


Asam nukleat virus (yaitu, baik genom virus atau mRNA virus) dapat dideteksi
dalam darah atau jaringan pasien dengan DNA atau RNA komplementer (cDNA
atau cRNA) sebagai probe. Jika hanya sejumlah kecil asam nukleat virus yang ada
pada pasien, tes PCR dapat digunakan untuk memperkuat asam nukleat virus. Tes
untuk RNA HIV dan tes DNA untuk virus hepatitis C dalam darah pasien (viral
load) biasanya digunakan untuk memantau perjalanan penyakit dan untuk
mengevaluasi prognosis pasien.

20
Gambar 0.3 Metode radioimmunoassay[12]

Gambar 0.4 Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)[2]

21
Hibridisasi Asam Nukleat
Pemeriksaan ini biasanya melibatkan reaksi hibridisasi antara target asam nukleat
dan probe berlabel. Probe berlabel yang terikat dengan asam nukleat virus akan
dideteksi dengan hibridisasi Southern blot dimana asam nukleat virus dipisahkan
berdasarkan berat molekul dengan menggunakan elektroforesis dan divisualisasi
menggunakan autoradiogram

Polymerase Chain Reaction (PCR)


PCR memungkinkan salinan tunggal dari urutan gen apa pun untuk diamplifikasi
secara enzimatik in vitro setidaknya satu juta kali lipat dalam beberapa jam. Jadi
DNA virus diekstraksi dari sejumlah kecil virion atau sel yang terinfeksi dapat
diperbanyak agar dapat dengan mudah diidentifikasi. PCR juga bisa digunakan
untuk mendeteksi RNA virus dengan menggunakan enzim reverse transkriptase
yang digunakan untuk mengubah RNA menjadi DNA. PCR memerlukan dua
primer oligonukleotida yang dikenal dengan primer forward dan reverse yang akan
berhibridisasi menjadi untaian berlawanan dari target DNA yang ingin
diamplifikasi. PCR juga menggunakan enzim DNA polimerase yang
mengarahkan sintesis DNA pada template DNA untai tunggal. Proses amplifikasi
menggunakan PCR adalah sebagai berikut:
1. Denaturasi
Template DNA dipanaskan hingga 94° C untuk memutuskan ikatan hidrogen
lemah dari double stranded DNA sehingga menjadi DNA untai tunggal.

2. Annealing (pengikatan)
Campuran diatas kemudian didinginkan pada suhu 50-70°C untuk
memungkinkan primer untuk mengikat ke urutan komplementer mereka dalam
DNA template.

3. Ekstensi
Reaksi kemudian dipanaskan hingga 72 ° C, suhu optimal untuk DNA polimerase
untuk bekerja. DNA polimerase memperpanjang primer dengan menambahkan
nukleotida secara berurutan, menggunakan DNA target sebagai template (gambar
2.5).

22
Gambar 0.5 Skema prosedur PCR

23
Bagian III

Metode Diagnosis
Penyakit Infeksi

Tujuan Umum Pembelajaran


Mahasiswa memahami struktur, virus secara komprehensif
Mahasiswa memahami klasifikasi virus secara umum
Mahasiswa memahami proses replikasi virus secara detail

24
A. Hepatitis
Penyakit hepatitis biasanya disebabkan oleh beberapa jenis virus, yaitu:
• Virus hepatitis A
• Virus hepatitis B
• Virus hepatitis C
• Virus hepatitis D
• Virus hepatitis E
Manifestasi Klinis
Tidak ada gambaran klinis yang secara definitif membedakan satu bentuk hepatitis
virus dari yang lain. Hepatitis virus akut memiliki empat tahap penyakit:
• Masa inkubasi. Periode ini bervariasi dari beberapa minggu sampai 6 bulan,
tergantung pada agen virus (Tabel 4.1). Selama periode ini, pasien tidak
memiliki gejala.
• Tahap praikterik. Gejala selama tahap ini tidak spesifik. Keluhan awal yang
paling umum adalah malaise, dengan pasien melaporkan perasaan umum
tidak enak badan. Kelelahan juga bisa menjadi keluhan yang menonjol,
disertai dengan kelemahan umum. Anoreksia, mual, dan muntah adalah
gejala umum lainnya. Hilangnya rasa untuk rokok dilaporkan di kalangan
perokok. Nyeri kuadran kanan atas yang tumpul juga sering dikeluhkan.
Beberapa pasien mengalami penyakit seperti flu yang terdiri dari mialgia,
sakit kepala, kedinginan, dan demam. Sebagian besar gejala yang terkait
dengan hepatitis virus secara dramatis sembuh dengan timbulnya penyakit
kuning.
• Tahap ikterik. Tahap ini dimulai 4-10 hari setelah timbulnya tahap preikterik.
Penyakit kuning dan urin berwarna gelap adalah gejala klasiknya. Feses
berwarna pucat sebagai akibat dari berkurangnya ekskresi pigmen empedu.
Pembentukan kompleks imun pada tahap ini dapat menyebabkan vaskulitis
(terutama dengan hepatitis B), dan glomerulonefritis dapat berkembang
sehubungan dengan infeksi hepatitis B atau C.
• Tahap pemulihan. Durasi fase ini tergantung pada tingkat keparahan serangan
dan etiologi virus.
Temuan fisik yang paling menonjol adalah ikterus yang dapat dideteksi di
sklera atau di bawah lidah ketika kadar bilirubin mencapai 2,5–3,0 mg/dL.
Pembesaran hati ringan dengan nyeri tekan ringan sampai sedang sering
terjadi. Hepatitis fulminan dapat disertai dengan ensefalopati hepatik.

25
Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
penyakit hepatitis, yaitu:
a. Hepatitis A: Diagnosis dibuat dengan mengukur titer imunoglobulin M
antibodi anti-hepatitis A (IgM) serum. IgM anti-HAV dapat diperiksa pada
saat penyakit bergejala dan biasanya bertahan selama 6 bulan. Antibodi IgG
anti-HAV akan semakin meningkat dan mencapai puncaknya sekitar 4 bulan.
Titer IgG yang meningkat bertahan selama beberapa dekade.
b. Hepatitis B: Hepatitis B dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan,
diantaranya:
• Anti-HBs (antibodi terhadap permukaan HBV/HbsAg). HBsAg
terdapat di serum dalam 1-10 minggu setelah terinfeksi HBV dan akan
hilang dalam waktu 4-6 bulan yang mengindikasikan kesembuhan.
Jika HBsAg bertahan didalam serum lebih dari 6 bulan, hal ini
menunjukkan progres ke arah penyakit kronis. Anti-HBS akan muncul
dalam beberapa minggu setelah HBsAg menghilang dari serum, yaitu
dalam 6-12 bulan dan akan bertahan seumur hidup untuk mencegah
reinfeksi.
• Anti-HBc (antibodi terhadap inti HBV): HBcAg akan terdeteksi dalam
hepatosit yang terinfeksi. IgM anti-HBc positif menandakan infeksi
masih dalam tahap awal. Walaupun demikian, IgM anti-HBc dapat
bertahan sampai 2 tahun setelah infeksi akut. IgG anti HBc akan
muncul dan bertahan seumur hidup.
• HBeAg dan anti-HBe. Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan
replikasi aktif dari HBV dan juga menunjukkan bahwa pasien dalam
fase infeksius. HBeAg akan bertahan dalam serum pasien dengan
infeksi kronis. Sedangkan pada infeksi akut, HBeAg akan hilang dan
anti-HBe akan muncul bersamaan dengan hilangnya HBV DNA dari
serum
• HBV DNA. DNA HBV paling sering diperiksa pada pasien dengan
hepatitis kronis aktif. Pemeriksaan DNA HBV biasa dilakukan dengan
metode PCR[13].
c. Hepatitis C: Infeksi HCV dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan antibodi
terhadap HCV dan juga HCV RNA[14].

26
• Antibodi terhadap HCV: Antibodi terhadap HCV bisa diperiksa
menggunakan ELISA maupun enhanced chemiluminescence
immunoassya (CIA) yang menggunakan beberapa antigen HCV
seperti core, protein nonstruktural (NS3 dan NS5). Antibodi HCV
akan terdeteksi dalam 6-12 minggu setelah infeksi, walaupun 50-70%
dapat terdeteksi pada saat pasien bergejala.
• HCV RNA: RNA dari HCV dapat terdeteksi dalam waktu 2-3 minggu
setelah infeksi bahkan sebelum kadar alanine aminotransferase (ALT)
meningkat. RNA dari HCV dapat diperiksa menggunakan Reverse
Transcriptase-PCR (RT-PCR).
d. Hepatitis D: Pemeriksaan HDV biasa menggunakan IgM dan IgG antibodi
terhadap kapsid dari virus HDV pada serum. IgM HDV muncul setelah 3
minggu terinfeksi dan akan bertahan selama beberapa minggu, sedangkan
IgG akan bertahan selama bertahun-tahun. Pada pasien dengan koinfeksi,
anti-HBc dan antibodi HDV terdeteksi dalam waktu bersamaan. Sedangkan
pada superinfeksi, anti-HBc muncul terlebih dahulu dan diikuti dengan
antibodi HDV beberpa waktu kemudian. Pada infeksi HBV kronis,
superinfeksi dengan HDV akan terdeteksi dengan adanya HBsAg dan
antibodi HDV.
e. Hepatitis E: diagnosis HEV dapat dikonfirmasi menggunakan IgM antibodi
terhadap HEV maupun HEV RNA menggunakan RT-PCR dengan sampel
darah maupun feses.

B. HIV
Immunodeficiency virus (HIV), yang berasal dari lentivirus, adalah etiologi dari
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Penyakit ini pertama kali dijelaskan
pada tahun 1981, dan HIV-1 diisolasi pada akhir tahun 1983. Ukuran virion HIV
adalah 100-140nm dan memiliki 2 genom RNA. RNA tersebut dilapisi oleh protein
nukleokapsid p7 dan diselubungi oleh kapsid p24. Kapsid ini dilapisi lagi oleh
membran yang disebut p17. Virus ini memiliki glikoprotein permukaan gp120 dan
glikoprotein transmembran gp41. Gp120 akan melekat pada reseptor CD4, CCR5 dan
CXCR4 (reseptor kemokin) pada sel T CD4+[15].

27
Manifestasi Klinis
Pada infejsi primer dapat ditemukan demam dengan onset tiba-tiba pada 2-4 minggu
setelah terpapar. Gejala ini diikuti dengan faringitis noneksudatif dan adenitis
limfatik. Tampak adanya ruam kulit makulopapular di kepala, leher, dan tubuh
bagian atas. Keluhan gastrointestinal seperti nausea, anorexia dan diare sering terjadi.
Nyeri kepala adalah gejala dominan lainnya yang diikuti dengan meningitis aseptik
(terjadi pada 25% pasien dengan infeksi HIV primer). Nyeri kepala biasa terjadi pada
retroorbital dan diperparah dengan gerakan mata. Penyakit akut akan berlangsung 2-
6 minggu. Kelesuan dan kelelahan dapat bertahan selama beberapa bulan[16].
Infeksi oportunistik biasanya disebabkan oleh mikroorganisme dengan virulensi
rendah secara intrinsik. Toxoplasma gondii, CMV, virus dari kelompok herpes, PCP,
papovavirus John Cunningham (JC) (agen leukoensefalopati multifokal progresif),
dan Mycobacterium tuberculosis biasanya telah didapat bertahun-tahun sebelumnya,
tetapi tidak aktif selama respon imun masih utuh. Setelah defisiensi imun parah,
mikroorganisme ini dapat mulai berkembang biak. Pada tahap lanjut dari
imunosupresi, agen yang biasanya nonpatogenik dapat memiliki konsekuensi yang
parah. Contohnya termasuk kerusakan retina oleh CMV, atau cachexia yang
disebabkan oleh Mycobacterium avium yang terjadi pada 25% pasien dengan jumlah
CD4 di bawah 10/µm3.

Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium


Diagnosis awal infeksi HIVdilakukan dengan menggunakan immunoassay yang
mendeteksi antibodi terhadap HIV dan antigen p24 dalam serum. Tes kombinasi ini
berguna untuk diagnosis infeksi awal karena antigen p24 biasanya terdeteksi lebih
awal daripada antibodi. Spesimen yang positif dalam tes kombinasi dilanjutkan ke tes
antibodi untuk membedakan HIV-1 dari HIV-2 dan ke tes berbasis PCR untuk
mendeteksi RNA virus.
Setelah infeksi HIV telah ditetapkan, jumlah RNA virus dalam plasma (yaitu, viral
load) juga dapat ditentukan dengan menggunakan tes berbasis PCR. Jumlah RNA
virus digunakan untuk memandu keputusan pengobatan dan untuk memprediksi
risiko perkembangan menjadi AIDS. Tes laboratorium lain yang penting dalam
pengelolaan orang yang terinfeksi HIV termasuk jumlah CD4+ dan tes untuk
resistensi obat dari jenis HIV yang menginfeksi pasien[17].
.

28
C. Meningitis dan Ensefalitis
Etiologi
Virus paling umum yang menyebabkan meningitis akut adalah enterovirus seperti
virus Coxsackie, echovirus, dan enterovirus 71. Selain itu, HSV-2 juga merupakan
penyebab umum meningitis. Infeksi genital primer dengan HSV-2 lebih mungkin
menyebabkan meningitis daripada infeksi HSV-2 rekuren. Infeksi virus varicella-
zoster (VZV) primer dan reaktivasi juga dapat dikaitkan dengan meningitis[18]. Selain
itu, virus herpes lain seperti cytomegalovirus, virus Epstein Barr dan human
herpesvirus 6 juga menyebabkan meningitis. Virus lain yang juga menyebabkan
meningitis adalah adenovirus, lymphocytic choriomeningitis virus (LCMV),
influenza, dan parainfluenza[19]. Arbovirus seperti virus West Nile (WNV) dan virus
ensefalitis St. Louis juga dapat menyebabkan meningitis. Virus gondong (mumps)
dulunya merupakan penyebab umum meningitis, tetapi penggunaan vaksin MMR
secara luas telah sangat mengurangi angka kejadian meningitis akibat virus ini[18].
Sedangkan virus yang paling sering menyebabkan ensefalitis adalah HSV-1 (60-70%
kasus ensefalitis virus). Sisanya disebabkan oleh VZV, enterovirus dan arbovirus.
Virus ensefalitis yang dapat menyebar dari orang ke orang antara lain mencakup virus
gondong, campak, VZV, human herpesvirus 6 dan HSV-1. Sedangkan ensefalitis
mematikan biasa disebabkan oleh virus rabies[20].

Manifestasi Klinis
Pasien dewasa imunokompeten dengan meningitis virus biasanya datang dengan
sakit kepala, demam, dan tanda-tanda iritasi meningeal. Sakit kepala hampir selalu
ada dan sering ditandai sebagai frontal atau retroorbital dan sering dikaitkan dengan
fotofobia dan nyeri saat menggerakkan mata. Kekakuan leher ada dalam banyak
kasus. Gejala lain dapat mencakup malaise, mialgia, anoreksia, mual dan muntah,
sakit perut, dan/atau diare. Pasien sering mengalami kelesuan atau kantuk ringan;
namun, perubahan kesadaran yang mendalam, seperti pingsan, koma, atau
kebingungan yang nyata, tidak terjadi pada meningitis virus. Demikian pula, kejang
atau tanda atau gejala neurologis fokal atau kelainan neuroimaging yang
menunjukkan keterlibatan parenkim otak tidak khas meningitis virus dan
menunjukkan adanya ensefalitis atau proses infeksi atau inflamasi SSP lainnya[21].
Pasien yang terkena ensefalitis rabies sering menderita hidrofobia akut. Saat mencoba
minum air, mereka mengalami spasme faring. Spasme ini menyebar dari faring ke
otot-otot pernapasan, menyebabkan pernapasan cepat dan dangkal. Kelainan ini

29
diduga akibat keterlibatan batang otak dan kerusakan di medula atas. Hiperaktif,
kejang, dan koma biasanya mengikuti gejala spasme ini. Disfungsi hipofisis sering
terlihat dan dapat menyebabkan diabetes insipidus atau sekresi hormon antidiuretik
yang tidak tepat (menyebabkan hiponatremia). Aritmia jantung dan disfungsi otonom
juga sering terjadi. Pasien biasanya meninggal dalam waktu 1-2 minggu setelah onset
koma[20].

Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium


Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis
diantaranya:
• CT-Scan atau MRI dengan kontrast
MRI lebih sensitif unutk mendeteksi lesi yang lebih kecil, dan area korteks
dengan serebral edema. Pada ensefalitis herpes simpleks, tampak adanya
keterlibatan lobus temporal.
• Elektroensefalogram (EEG)
EEG sangat membantu dalam ensefalitis herpes simpleks dan sering
menunjukkan lonjakan listrik di wilayah lobus temporal yang terinfeksi.
• Pungsi lumbal (lumbal puncture/LP)
LP biasanya menunjukkan jumlah WBC CSF di bawah 500/mm3, dengan
dominasi sel mononuklear. Protein CSF biasanya normal atau sedikit
meningkat (0.2–0.8 g/L atau 20–80 mg/dL), dan glukosa CSF biasanya
normal, meskipun glukosa rendah dapat terlihat pada herpes. Tidak terlihat
adanya organisme pada pewarnaan Gram dari CSF. Jumlah sel CSF total pada
meningitis virus biasanya 25-500/µL, meskipun jumlah sel beberapa ribu/µL
kadang-kadang terlihat, terutama dengan infeksi karena virus
choriomeningitis limfositik (LCMV) dan virus gondong. Pasien dengan
ensefalitis HSV-1 mungkin juga mengalami peningkatan jumlah sel darah
merah di CSF mereka. Jumlah leukosit CSF biasanya berkisar antara 100 dan
1000/mm3. Dalam beberapa bentuk meningitis virus (gondong dan
koriomeningitis limfositik), glukosa CSF bisa rendah pada awal penyakit.
PMN juga mungkin mendominasi di CSF pada awal penyakit sehingga
mustahil untuk mengecualikan meningitis bakteri dengan aman. Oleh karena
itu, pasien ini tidak boleh dipulangkan tetapi diberi antibiotik empiris sambil
menunggu CSF dan kultur darah serta pungsi lumbal tindak lanjut. Dalam
kebanyakan kasus, pungsi lumbal berulang 12-24 jam kemudian

30
menunjukkan dominasi limfosit, dan pasien dapat dipulangkan. Namun,
pada beberapa pasien, PMN dapat bertahan hingga 48 jam, memerlukan
observasi lanjutan di rumah sakit dan pemberian antibiotik. Kultur CSF
negatif setelah 48 jam sangat mengurangi kemungkinan meningitis bakteri,
tetapi ambang batas untuk cakupan antibiotik harus rendah untuk mencegah
keterlambatan yang tidak disengaja dalam pengobatan meningitis bakteri.
Laktat CSF (tinggi pada bakteri, rendah pada meningitis virus) serta kadar
prokalsitonin serum telah terbukti membantu dalam membedakan meningitis
virus dari meningitis bakteri.
Berbeda dengan meningitis, temuan CSF pada ensefalitis lebih bervariasi.
Peningkatan ringan pada limfosit CSF (pleositosis) dapat dilihat bersamaan
dengan peningkatan protein dan glukosa normal. Pola CSF yang normal juga
dapat dilihat pada ensefalitis.
• PCR
Amplifikasi DNA atau RNA virus dari CSF menggunakan PCR telah menjadi
metode tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis infeksi virus SSP.
Pada infeksi enteroviral dan HSV pada SSP, PCR CSF telah menjadi prosedur
diagnostik pilihan dan secara substansial lebih sensitif daripada kultur virus.
Pemeriksaan PCR untuk HSV dari sampel CSF juga merupakan tes diagnostik
penting pada pasien dengan episode berulang meningitis "aseptik" dimana
banyak ditemukan DNA HSV setelah amplifikasi oleh PCR meskipun kultur
virus negatif. PCR dengan sampel CSF juga digunakan secara rutin untuk
mendiagnosis infeksi virus SSP yang disebabkan oleh CMV, virus Epstein-
Barr (EBV), VZV, dan human herpesvirus 6 (HHV-6).

D. Influenza
Etiologi
Ada tiga virus influenza yang menyebabkan infeksi pada manusia, yaitu: virus
Influenza A, B dan C. Virus ini berbentuk lingkaran tidak beraturan berukuran 80-
120nm dan memiliki selubung lipid dan spike yang dibentuk oleh dua glikoprotein
yaitu hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Hemaglutinin berfungsi dalam
perlekatan virus dimana H akan mengikat reseptor pada sel epitel superfisial saluran
napas. Neuraminidase berfungsi untuk memisahkan virus dari sel membran dan
mencegah agregasi virus. Virus influenza A memiliki 8 segmen RNA untai tunggal
pada genom nya yang mengkodekan hemaglutinin dan neuraminidase, polimerase,

31
matriks, nukleoprotein dan juga protein nonstruktural(Gambar 7.1). Sifat genomnya
yang tersegmentasi memungkinkan virus ini menyusun ulang gen nya yang terjadi
jika satu sel terinfeksi dengan dua strain virus yang berbeda.

Manifestasi Klinis
Influenza merupakan penyakit pernapasan yang menyebabkan pilek, sakit
tenggorokan, konjungtivitis, dan batuk. Droplet adalah cara penularan yang paling
umum terjadi. Penyakit ini memiliki onset yang tiba-tiba dan secara epidemiologis
terkait dengan kontak dekat dengan orang-orang yang memiliki gejala serupa. Yang
membedakan influenza dengan penyakit pernapasan lainnya adalah derajat demam
yang menyertainya, kelelahan, mialgia, dan malaise. Gejala biasanya dimulai dalam
48-72 jam setelah terpapar. Gejala pernapasan, terutama batuk berulang, bertahan
lebih dari 2-5 hari. Fungsi paru terus menurun setelah influenza akut. Pada orang tua,
presentasi pernapasan mungkin kurang menonjol, tetapi sering ada penurunan
aktivitas dasar dan kehilangan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan
influenza tampak sakit dan nyeri sendi, berkeringat, batuk, konjungtivitis nonpurulen,
dan eritema faring. Pemeriksaan paru biasanya menunjukkan ronki, dan wheezing
yang menyebar. Penemuan adanya gejala paru pada lokasi tertentu menunjukkan
pneumonia dengan infeksi bakteri sekunder oleh Staphylococcus aureus atau
Streptococcus pneumoniae[22].

Sindrom Reye, yang ditandai dengan ensefalopati dan degenerasi hati, adalah
komplikasi langka yang mengancam jiwa pada anak-anak setelah beberapa infeksi
virus, terutama influenza B dan cacar air. Aspirin yang diberikan untuk menurunkan
demam pada infeksi virus telah diduga terlibat dalam patogenesis sindrom Reye[23].

Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium


Berbagai tes diagnostik, termasuk kultur virus, serologi, rapid antigen, dan uji
molekuler (asam nukleat virus), imunofluoresensi dan RT-PCR dapat dilakukan. Tes
rapid antigen dan RNA membutuhkan waktu sekitar 15 hingga 20 menit,
imunofluoresensi (menggunakan antigen) membutuhkan 1 - 4 jam, real-time RT-PCR
membutuhkan waktu 8 jam, dan kultur virus membutuhkan waktu 3 hingga 10 hari.
RT-PCR merupakan tes yang sensitif dan spesifik, dengan menggunakan metode
multiplex memungkinkan deteksi cepat berbagai patogen dalam satu pengujian.
Untuk kultur sel, sebagian besar strain virus influenza akan tumbuh dalam sel ginjal

32
monyet primer, dan dapat dideteksi dengan hemadsorpsi atau hemaglutinasi.
Diagnosis serologis (tes antibodi) sangat membantu secara epidemiologis yang
biasanya menunjukkan peningkatan titer antibodi HAI empat kali lipat atau lebih
pada spesimen akut dan konvalesen yang dikumpulkan dengan selang waktu 10 - 14
hari[24]. Usap nasofaring dan aspirasi hidung atau cairan bronkoalveolar lavage
adalah spesimen terbaik untuk pengujian diagnostik dan harus diperoleh dalam
waktu 3 hari setelah timbulnya gejala.

E. SARS
Etiologi
Severe acute respiratory syndrome (SARS) adalah penyakit pneumonia
yang muncul pada tahun 2002. Penyakit ini disebabkan oleh SARS
coronavirus (SARS-CoV). Virus corona memiliki 4 genera yaitu: α-CoV, β-
CoV, δ-COV, dan γ-CoV. SARS corona virus termasuk dalam β-CoV. Virus
corona adalah virus berukuran 120-160 nm dengan RNA (27-32kB) untai
tunggal tidak bersegmen dengan nukleokapsid heliks. Virus ini
mempunyai tonjolan yang tampak berbentuk halo atau corona pada
mikroskop elektron (Gambar 10.1).

Saat ini ada 7 virus corona yang sudah diidentifikasi menginfeksi manusia,
yaitu:
• Infeksi saluran napas ringan: HCoV-OC43 dan HCoV-HKU1
(keduanya adalah β-CoV), HCoV-229E dan HCoV-NL63 (keduanya
adalah α-CoV).
• Infeksi saluran napas berat: SARS-CoV, MERS-CoV dan SARS-CoV-
2 (ketiganya adalah β-CoV)[25].

Kelelawar adalah reservoir bagi banyak virus corona mamalia.


Berbagai coronavirus yang mirip SARS-CoV telah ditemukan pada
kelelawar dari Cina, Asia, dan Eropa, tetapi tidak ada yang dianggap
sebagai progenitor dari SARS-CoV. Namun, baru-baru ini, para
peneliti dari Tiongkok melaporkan genom dari dua virus korona

33
kelelawar baru dari Tiongkok yang terkait erat dengan SARS-CoV.
Salah satu isolat (SL-CoV-w1V1) menggunakan angiotensin-
converting enzyme-2 (ACE-2) untuk masuk ke sel[26]. Reseptor ini
juga digunakan oleh SARS-CoV dan SARS-CoV-2 sebagai reseptor
virus pada permukaan sel manusia[23].

Manifestasi Klinis
SARS adalah pneumonia atipikal yang menyerang orang-orang di semua kelompok
umur. Tingkat keparahan berkisar dari penyakit tanpa gejala hingga penyakit
pernapasan yang parah. Masa inkubasi adalah 2-7 hari, dan tetap infeksius selama 10
hari. Waktu rata-rata dari timbulnya gejala klinis hingga masuk rumah sakit adalah 3-
5 hari. Gejala klinis meliputi: demam persisten 38°C, batuk tidak produktif, sesak
napas, dan ronki. Sebagian pasien juga mengalami sakit kepala, mialgia, dan sakit
tenggorokan, serta diare. Pasien lanjut usia juga melaporkan malaise dan delirium,
tanpa respon demam yang khas[27].

Beberapa kasus memburuk dengan gangguan pernapasan akut, yang membutuhkan


dukungan ventilator. Kematian akibat gagal napas progresif terjadi pada hampir 10%
kasus, dengan tingkat kematian tertinggi di antara orang tua. SARS melibatkan badai
sitokin, dengan peningkatan kadar beberapa kemokin dan sitokin dalam sirkulasi
perifer selama sekitar 2 minggu[28].

Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan darah akan menunjukkan penurunan jumlah limfosit absolut dan
leukosit. Sebanyak 50% pasien mengalami leukopenia dan trombositopenia (50.000-
150.000/µL). Enzim otot dan hati sering meningkat pada awal fase gangguan
pernapasan, mencerminkan timbulnya rhabdomyolysis dan hepatitis. Kadar kreatin
fosfokinase dapat mencapai 3000 IU/L, dan kadar transaminase hati biasanya dua
sampai enam kali normal. LDH serum meningkat pada 70-80% pasien. Fungsi ginjal
biasanya tetap normal. Saturasi oksigen ,95% dengan infiltrat paru ditemukan pada
80% kasus.

Rontgen dada biasanya normal selama demam prodromal, tetapi berubah secara
dramatis selama fase gangguan pernapasan. Abnormalitas awal yang terlihat adalah

34
infiltrat interstisial fokal yang dengan cepat berkembang menjadi infiltrat interstisial
yang lebih umum, tidak merata. Pada tahap akhir, infiltrat interstisial ini berkembang
menjadi area konsolidasi padat. Pada otopsi, patologi paru dapat mengungkapkan
edema paru, membran hialin, dan deskuamasi pneumosit tipe 2. Pada tahap
selanjutnya, proliferasi fibroblas diamati di interstitium dan alveoli[29].
Pemeriksaan laboratorium untuk keperluan diagnosis dapat dilakukan dengan:
• Deteksi Antigen dan Asam Nukleat
Antigen virus corona dalam sel dalam sekresi pernapasan dapat dideteksi
menggunakan tes ELISA jika tersedia antiserum berkualitas tinggi. Virus
corona enterik dapat dideteksi dengan pemeriksaan sampel tinja dengan
mikroskop elektron. PCR adalah metode yang lebih disukai untuk mendeteksi
asam nukleat virus corona dalam sekresi pernapasan dan sampel tinja.
Viremia dengan coronavirus SARS dan MERS dapat dideteksi dalam plasma
dengan PCR.
• Isolasi dan Identifikasi Virus
Isolasi virus corona manusia dalam kultur sel sulit dilakukan. Namun, virus
SARS dan MERS telah ditemukan dari spesimen orofaring menggunakan sel
Vero.
• Serologi
Karena sulitnya isolasi virus, serodiagnosis menggunakan serum akut dan
konvalesen merupakan salah satu sarana konfirmasi infeksi virus corona
untuk tujuan epidemiologis. ELISA, tes antibodi imunofluoresen tidak
langsung, dan tes hemaglutinasi dapat digunakan[28].

35
Daftar Pustaka

1. Actor JK. Basic Virology. Elsevier's Integrated Review Immunology and


Microbiology 2012:121-128.
2. Burrell CJ, Howard CR, Murphy FA. Fenner and white's medical virology:
Academic Press; 2016.
3. Willey JM, Sherwood L, Woolverton CJ, et al. Prescott, Harley, and Klein's
microbiology. New York: McGraw-Hill Higher Education; 2008.
4. Khare R. 1.4 Viral Genomes. In: Guide to Clinical and Diagnostic Virology.
American Society for Microbiology (ASM); 2019.
5. Riedel S, Hobden JA, Miller S, et al. General Properties of Viruses. In: Jawetz,
Melnick, & Adelberg's Medical Microbiology, 28e. edn. New York, NY:
McGraw-Hill Education; 2019.
6. Ryu W-S. Virus Life Cycle. Molecular Virology of Human Pathogenic Viruses
2017:31-45.
7. Khare R. 1.3 Life Cycle. In: Guide to Clinical and Diagnostic Virology. American
Society for Microbiology (ASM); 2019.
8. Virus Taxonomy: 2020 Release [https://talk.ictvonline.org/taxonomy/]
9. Hematian A, Sadeghifard N, Mohebi R, et al. Traditional and Modern Cell
Culture in Virus Diagnosis. Osong Public Health Res Perspect 2016; 7(2):77-82.
10. Chattopadhyay D, Ojha D, Mondal S, et al. Chapter 8 - Validation of Antiviral
Potential of Herbal Ethnomedicine. In: Evidence-Based Validation of Herbal
Medicine. edn. Edited by Mukherjee PK. Boston: Elsevier; 2015: 175-200.
11. Kaufmann L, Syedbasha M, Vogt D, et al. An Optimized Hemagglutination
Inhibition (HI) Assay to Quantify Influenza-specific Antibody Titers. J Vis Exp
2017(130):55833.
12. Alhabbab RY. Radioimmunoassay (RIA). In: Basic Serological Testing. edn.
Edited by Alhabbab RY. Cham: Springer International Publishing; 2018: 77-81.

36
13. Riedel S, Hobden JA, Miller S, et al. Hepatitis Viruses. In: Jawetz, Melnick, &
Adelberg's Medical Microbiology, 28e. edn. New York, NY: McGraw-Hill
Education; 2019.
14. Ryan KJ. Hepatitis Viruses. In: Sherris Medical Microbiology, 7e. edn. New York,
NY: McGraw-Hill Education; 2017.
15. Ryan KJ. Retroviruses: Human T-Lymphotropic Virus, Human
Immunodeficiency Virus, and Acquired Immunodeficiency Syndrome. In:
Sherris Medical Microbiology, 7e. edn. New York, NY: McGraw-Hill Education;
2017.
16. Hirschel B. HIV Infection. In: Infectious Diseases: A Clinical Short Course, 4e.
edn. Edited by Southwick FS. New York, NY: McGraw-Hill Education.
17. Levinson W, Chin-Hong P, Joyce EA, et al. Human Immunodeficiency Virus. In:
Review of Medical Microbiology & Immunology: A Guide to Clinical
Infectious Diseases, 16e. edn. New York, NY: McGraw Hill; 2020.
18. Levinson W, Chin-Hong P, Joyce EA, et al. Central Nervous System Infections.
In: Review of Medical Microbiology & Immunology: A Guide to Clinical
Infectious Diseases, 16e. edn. New York, NY: McGraw Hill; 2020.
19. Cantu RM, M Das J. Viral Meningitis: StatPearls Publishing, Treasure Island
(FL); 2020.
20. Southwick FS. Central Nervous System Infections. In: Infectious Diseases: A
Clinical Short Course, 4e. edn. Edited by Southwick FS. New York, NY:
McGraw-Hill Education.
21. Roos KL, Tyler KL. Acute Meningitis. In: Harrison's Principles of Internal
Medicine, 20e. edn. Edited by Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL et al. New York,
NY: McGraw-Hill Education; 2018.
22. Wright PF. Influenza. In: Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e. edn.
Edited by Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL et al. New York, NY: McGraw-Hill
Education; 2018.
23. Levinson W, Chin-Hong P, Joyce EA, et al. Respiratory Viruses. In: Review of
Medical Microbiology & Immunology: A Guide to Clinical Infectious
Diseases, 16e. edn. New York, NY: McGraw Hill; 2020.
24. Ryan KJ. Respiratory Viruses. In: Sherris Medical Microbiology, 7e. edn. New
York, NY: McGraw-Hill Education; 2017.

37
25. Cascella M, Rajnik M, Aleem A, et al. Features, Evaluation, and Treatment of
Coronavirus (COVID-19). In: StatPearls. edn. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing
Copyright © 2021, StatPearls Publishing LLC.; 2021.
26. Ge X-Y, Li J-L, Yang X-L, et al. Isolation and characterization of a bat SARS-like
coronavirus that uses the ACE2 receptor. Nature 2013; 503(7477):535-538.
27. Clark E, Shandera WX. Common Viral Respiratory Infections. In: Current
Medical Diagnosis & Treatment 2021. edn. Edited by Papadakis MA,
McPhee SJ, Rabow MW. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2021.
28. Riedel S, Hobden JA, Miller S, et al. Coronaviruses. In: Jawetz, Melnick, &
Adelberg's Medical Microbiology, 28e. edn. New York, NY: McGraw-Hill
Education; 2019.
29. Swaminathan S. Serious Viral Illnesses in the Adult Patient. In: Infectious
Diseases: A Clinical Short Course, 4e. edn. Edited by Southwick FS. New York,
NY: McGraw-Hill Education.

38
PENGANTAR VIROLOGI KEDOKTERAN:
STRUKTUR, KLASIFIKASI, REPLIKASI
DAN DETEKSI VIRUS

HARAPAN
School of Medicine
Universitas Syiah Kuala
INDONESIA
E: harapan@unsyiah.ac.id
MODUL KULIAH

2
STRUKTUR VIRUS

3
BENTUK-BENTUK VIRUS

4
METODE SINTESIS mRNA

5
MATERI GENETIK VIRUS

6
MATERI GENETIK VIRUS

7
REPLIKASI VIRUS

8
METODE PELEPASAN DARI
SEL INANG

9
METODE REPLIKASI

10
METODE REPLIKASI: HIV

11
METODE REPLIKASI: HIV

https://www.nature.com/articles/nrmicro2747

12
TEKNIK DIAGNOSIS: KULTUR

13
TEKNIK DIAGNOSIS: HEMAGLUTINASI

14
TEKNIK DIAGNOSIS: MIKROSKOPIK

https://microbenotes.com/electron-microscope-principle-types-components-applications-advantages-limitations/

15
TEKNIK DIAGNOSIS: MIKROSKOPIK

https://www.futurelearn.com/info/courses/frontier-physics-future-technologies/0/steps/240739

16
TEKNIK DIAGNOSIS: MIKROSKOPIK

https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmicm2023328

17
TEKNIK DIAGNOSIS: MIKROSKOPIK

https://vaccoat.com/blog/electron-microscope/

18
TEKNIK DIAGNOSIS: SEROLOGIS

Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)

19
TEKNIK DIAGNOSIS: SEROLOGIS

20
TEKNIK DIAGNOSIS: SEROLOGIS

21
TEKNIK DIAGNOSIS: ANTIGEN VIRUS

22
TEKNIK DIAGNOSIS: DETEKSI ASAM
NUKLEAT

23
TEKNIK DIAGNOSIS: DETEKSI ASAM
NUKLEAT

https://www.thermofisher.com/id/en/home/life-science/cloning/cloning-learning-center/invitrogen-school-of-molecular-
biology/pcr-education/pcr-reagents-enzymes/pcr-basics.html

24
TEKNIK DIAGNOSIS: DETEKSI ASAM
NUKLEAT

https://www.youtube.com/watch?v=iQsu3Kz9NYo

25
TES KEMAMPUAN

https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)31188-0/fulltext

26
TES KEMAMPUAN

https://www.mdpi.com/2075-4418/11/7/1270

27
TES KEMAMPUAN

https://www.mdpi.com/1422-0067/21/10/3544/htm

28
TES KEMAMPUAN

https://www.antibodies-online.com/resources/18/5410/sars-cov-2-life-cycle-stages-and-inhibition-targets/

29
Thank you
HARAPAN
School of Medicine
Universitas Syiah Kuala
INDONESIA
E: harapan@unsyiah.ac.id

30

Anda mungkin juga menyukai