Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH TOKSIKOLOGI MKP B2

Perbandingan dari Dua Metode ELISA untuk deteksi mikrosistin


pada serum darah
(Comparison of two ELISA-based methods for the detection of
microcystins in blood serum)

Disusun oleh:
NAADIYAH PUTRI UTAMI
151710113015

PROGRAM STUDI D3 TEKNOLOGI LABORATORIUM


MEDIS
FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019

i
ii
DAFTAR ISI

Cover
Daftar Isi ................................................................................................................i
Kata Pengantar ......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................4
1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cyanobacteria.............................................................................................5
2.2. Microcystin ...............................................................................................6
2.3. Serum Darah..............................................................................................7
2.4. ELISA........................................................................................................8
2.5. Antibodi...................................................................................................16
2.5.1 Antibodi Monoklonal......................................................................16
2.5.2 Antibodi Poliklonal.........................................................................16
2.5.3 Perbedaan Antibodi Monoklonal dengan Antibodi Poliklonal.......16
2.6 Metode Spiked dan Recovery....................................................................18
2.6.1 Arti dan Tujuan Spike dan Recovery...............................................18
2.6.2 Prosedur Percobaan Spiked dan Recovery......................................18
2.6.3 Memperbaiki Hasil Spiked dan Recovery yang Buruk...................19
BAB III BAHAN DAN METODE
3.1 Bahan Penelitian ......................................................................................21
3.2 Metode Penelitian / Prosedur Kerja..........................................................21
3.2.1 Preparasi Sampel.............................................................................21
3.2.2 Ekstraksi Sampel Untuk Deteksi Menggunakan Adda-Elisa..........22

i
3.2.3 Pemurnian Racun Dari Ekstrak Melalui Solid Phase Extraction
(Spe) Untuk Pendeteksian Melalui Adda-Elisa..............................22
3.2.4 Adda-ELISA...................................................................................23
3.2.5 Preparasi Sampel untuk Mendeteksi MC dengan Kit Serum-
ELISA.............................................................................................23
3.2.6 Sampel Untuk Perbandingan Penyimpanan Pada Bejana/Wadah
Yang Berbeda.................................................................................24
3.2.7 Sampel Untuk Perbandingan Antar Laboratorium..........................25
3.2.8 Perhitungan Dan Analisis Statistik................................................25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian.........................................................................................26
4.1.1 Recovery MC-LR dari Serum Manusia Pada Kedua Metode
ELISA.............................................................................................26
4.1.2 Recovery MC-LR dari Bovine Serum dan Media Kultur Sel pada
Metode Serum-ELISA....................................................................27
4.1.3 Recovery dari Enam Jenis MC yang Ditambahkan kedalam Serum
Manusia pada Kedua Metode ELISA.............................................28
4.1.4 perbedaan antar laboratorium tentang efek dari tempat
penyimpanan terhadap recovery.....................................................29
4.2 Pembahasan...............................................................................................31
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
merupakan suatu keharusan, karena berkat rahmat dan Karunia-Nya lah sehingga
penyusun mampu menyelesaikan makalah yang sederhana ini sebagaimana waktu
yang telah ditentukan. Karya tulis ini berjudul “Comparison of two ELISA-based
methods for the detection of microcystins in blood serum”. Karya tulis ini
merupakan hasil dari bedah jurnal karya Alexandra H. Heussner, Isabel Winter,
Stefan Altaner, Lisa Kamp, Fernando Rubio, dan Daniel R. Dietrich.

Karya tulis ini terbentuk sebab adanya koordinasi yang baik dari berbagai
elemen, termasuk dosen pembimbing mata kuliah Toksikologi Ibu Ni Nyoman
Purwani, S.Si.,M.Si. serta ibu Anita Kurniati, S.Si.,M.Si. oleh karenanya
penyusun ucapkan terimakasih. Dimana penulisan makalah ini, tersirat harapan
dari penyusun yaitu semoga mampu memberikan pengetahuan uang benar
berkaitan dengan cara penyusunan makalah secara tepat.

Suatu kebanggaan bagi kami manakala makalah ini mampu memberikan


manfaat yang signifikan, baik untuk penyusun maupun pembaca. Demikian kata
pengantar yang dapat disampaikan, dan penyusun sangat menyadari bahwa apa
yang dibuat masih tergolong kurang lengkap. Hal itu disebabkan keterbatasan
pengetahuan, waktu, dan sumber bacaan. Kami sangat mebgharapkan masukan-
masukan dari pembaca yang bersifat membangun untuk kami jadikan rujukan
dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya,

Surabaya, 27 Juli
2019

Penyusun

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Microcystins (MCs) adalah hepta-peptida siklik beracun yang


diproduksi oleh cyanobacteria (ganggang hijau biru) tertentu, terutama
jenis cyanobacterial Anabaena, Microcystis, Nostoc dan Planktothrix.
Ganggang beracun adalah masalah di seluruh dunia karena dapat
ditemukan di semua jenis air. Ganggang ini dapat meningkat frekuensinya
dengan adanya perubahan iklim yang berkaitan dengan rata-rata suhu
lingkungan tahunan yang semakin meningkat. Meskipun sudah banyak
negara di dunia Barat yang telah memperkenalkan strategi pemantauan,
namun negara-negara berkembang khususnya negara yang menghadapi
peningkatan populasi ganggang beracun semakin berbahaya karena pada
negara bekembang kegiatan pertanian dan industri dilakukan secara
intensif, yang dapat menimbulkan ancaman besar bagi kesehatan
masyarakat.

Lebih dari 80 jenis MC telah diidentifikasi sampai saat ini, di mana


MC-LR adalah jenis racun dengan karakteristik terbaik dan juga
diklasifikasikan sebagai karsinogen 2B oleh Badan Internasional untuk
Penelitian Kanker (IARC). Karena cyanobacteria mampu menghasilkan
jenis MC yang berbeda secara bersamaan, perairan yang terkena dampak
selalu terkontaminasi dengan berbagai macam MC yang berbeda. Hal ini
ditunjukkan misalnya untuk cyanobacterium Microcystis aeruginosa PCC
7820, di mana MC-LR, -LY, -LW dan -LF terdeteksi. Bersamaan dengan
perbedaan struktural toksisitas masing-masing dari jenis MC yang
bervariasi, di mana toksisitas tampaknya lebih banyak disebabkan oleh
perbedaan kinetik daripada dinamis antar jenis MC. Sementara kinetika
serapan MC tergantung pada transmembran pengangkut oleh peptida yang
mengangkut anion organik (OATPs), toksikodinamik ditandai oleh
penghambatan yang sangat spesifik dari ser/thr protein fosfatase (PPs).

1
Sesuai dengan efek paparan pertama (akut) dengan ekspresi OATPs dan
PPs yang tinggi, dampak langsung dari paparan akut pada MC manusia
dan mamma-lian lainnya adalah kerusakan hati yang diikuti oleh sindrom
hati-ginjal dan kegagalan multi-organ, seperti yang dicontohkan oleh
pasien dialisis di Caruaru, Brasil, pada tahun 1996 yang merupakan pasien
terakhir terpapar MC di pusat dialisis dengan air dialisis yang
terkontaminasi MC.

Setelah morbiditas parah dan mortalitas pasien, serum dari pasien


ini dianalisis berulang kali untuk kehadiran MC oleh berbagai peneliti.
Analisis mencakup beberapa metode deteksi seperti ELISA, LC-MS dan
GC-MS serta beragam metode persiapan sampel. Sementara satu
kelompok peneliti menemukan konsentrasi serum MC mulai dari 60,16
hingga 0,96 µg / L, yang lain mendeteksi konsentrasi serum rata-rata
sebesar 2,2 µg / L. Nilai tunggal setinggi 133 µg / L. Jenis MC yang
dominan pada serum pasien yang terdeteksi adalah MC-LR, - YR, dan
-AR. Sampai saat ini, sebagian besar data yang tersedia tentang deteksi
MC dalam serum manusia dikaitkan dengan peristiwa Caruaru.

Selain itu, kejadian paparan MC kedua yang tidak terlalu parah


selama hemodialisis terjadi di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 2001.
Dari peristiwa ini, pasien yang terpengaruh disaring antara lain untuk
deteksi MC di serum pasien (Humpage, 2008). Tiga belas dari 44 pasien
menunjukkan tingkat MC yang terdeteksi dengan tingkat median
maksimum yakni 0,61 µg / L.

Di luar paparan MC akut yang terjadi karena paparan melalui


intravena yang tidak disengaja., terdapat rute paparan MC yang lebih
umum. Hal ini termasuk pengambilan suplemen makanan dari alga yang
terkontaminasi MC, konsumsi makanan yang terkontaminasi (misalnya
ikan dan lobster air tawar yang diperoleh dari perairan dengan kejadian
kontaminasi ganggang beracun yang sering terjadi atau sayuran dan salad
yang disiram dengan air yang terkontaminasi), serta paparan MC melalui
air minum yang terkontaminasi, sehingga menyebabkan paparan MC

2
kronis (Merel Et Al, 2013). Namun, kebanyakan MC dan racun lainnya
sering terdeteksi dalam suplemen makanan alga, mulai dari sekitar 0,1-5,7
µg MC-LReq per gram berat kering.

Sampai saat ini, data yang tersedia dari kasus keracunan setelah
terpapar air minum, makanan atau suplemen makanan yang terkontaminasi
hanya sedikit. Sebagai contoh, Chen dan rekan kerja menyelidiki nelayan
di Danau Chaohu, Cina, yang secara kronis terpapar MC melalui air
minum, aerosol, dan konsumsi makanan air. MCs terdeteksi dalam sampel
serum dengan rata-rata 0,39 µg MC-LReq / L [24]. Demikian pula, Li dan
rekan kerja menganalisis sampel dari anak-anak yang terpapar air minum
yang terkontaminasi dan makanan air dan menemukan konsentrasi serum
berkisar antara 0,4 hingga 1,3 µg MC-LReq / L (Grosse Et Al, 2006).

Mengingat klasifikasi karsinogen manusia 2B MC-LR oleh IARC


dan mengingat saran baru baru ini bahwa neurotoksisitas yang dimediasi
MC dapat menjadi predisposisi penyakit neurodegeneratif manusia, maka
paparan apa pun yang terkait dengan MC harus dianggap berpotensi
membahayakan kesehatan manusia. Dengan demikian, deteksi rutin yang
kuat dan sensitif terhadap kadar rendah microcystin dalam serum darah
manusia akan menjadi kunci untuk mengidentifikasi pasien yang
berpotensi berisiko tinggi terkena penyakit yang terkait dengan paparan
MC kronis. Metode berbasis ELISA telah terbukti sebagai alat yang cocok
untuk mendeteksi MC di air, dalam sel cyanobacterial dan pada manusia,
hewan dan bahan tanaman yang terpapar, meskipun terdapat beberapa
kendala pada persyaratan metodologis yang sangat mempengaruhi hasil.
Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dua ELISA
yang tersedia secara komersial, dengan masing-masing metode persiapan
sampel, sehubungan dengan penerapannya untuk deteksi MC-LR, -YR,
-RR,-LA, -LW, -LF serta campuran MC yang ditentukan dalam darah
manusia. Selain itu, kesesuaian metode ini untuk mendeteksi MC dalam
aplikasi in-vitro diuji menggunakan bovine serum (FBS), yang merupakan
bahan khas dalam media kultur sel, dan media kultur sel standar lengkap
yang mengandung 10% FBS.

3
1.2. Rumusan Masalah
Apakah Adda ELISA dan Serum ELISA yang tersedia secara komersial
dapat mendeteksi MC-LR, -YR, -RR,-LA, -LW, -LF serta MC yang
sengaja ditambahkan ke dalam darah manusia.

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dua ELISA yang


tersedia secara komersial, dengan masing-masing metode persiapan
sampel, sehubungan dengan penerapannya untuk deteksi MC-LR, -YR,
-RR,-LA, -LW, -LF serta campuran MC yang ditentukan dalam darah
manusia. Selain itu, kesesuaian metode ini untuk mendeteksi MC dalam
aplikasi in-vitro diuji menggunakan bovine serum (FBS), yang merupakan
bahan khas dalam media kultur sel, dan media kultur sel standar lengkap
yang mengandung 10% FBS.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Cyanobacteria
Cyanobakteri adalah salah satu dari makhluk hidup tertua,
ditemukan fosil berumur lebih dari 3 milar tahun. Peranannya sangat
besar dalam siklus biogeokimia dan dalam menyusun struktur,
pemeliharaan dan keanekaragaman mikroba dan makhluk hidup di planet
bumi kita ini. Pabrik oksigen sehingga kehidupan bisa berlangsung.
Atmosfer bumi mengalami perubahan yang drastis, misterius, sulit
ditemukan penjelasannya tentang peningkatan kadar gas oksigen dari
yang sangat sedikit menjadi 10 persen seperti yang ada sekarang.
Cyanobakteri mampu mengikat nitrogen, sehingga membantu
kesuburan tanah pertanian. Berbagai senyawa metabolit yang dihasilkan,
diteliti secara intensif sebagai antikanker, antivirus dan antifungi dalam
bentuk peptida dan glikolipida. Namun dibalik peranan besarnya itu,
bakteri ganggang biru-hijau ini menghasilkan beberapa toksin yang tidak
bisadiabaikan.
Dikenal sebagai ganggang biru-hijau (blue-green algae),
berkembang di perairan terutama air tercemar limbah industri, rumah
tangga dan pertanian, misalnya deterjen, buangan nitrat dan fosfat
sehingga danau atau waduk maupun sungai mengalami eutrophication,
sarat dengan nutrisi. Kelompok penghasil racun terkuat mendapat julukan
Mike (Microcystis), Anna (Anabaena), dan Fanny (Aphanizomenan),
juga Ocillatoria, Nostoc, dan Nodularia menghasilkan toksin
microcystin-LR. Microcystis aeruginosa paling banyak ditemukan
(Ibelings, 2008).
Cyanobakteri tidak sekelompok dengan bakteri pathogen yang
ditularkan melalui air seperti Salmonella, Shigella, Aeromonas maupun
Enterobacter, sebab Cyanobakteri tidak bisa hidup maupun berinvasi
dalam tubuh manusia maupun hewan dan tidak menimbulkan penyakit.

5
Yang berbahaya adalah sel dan toksinnya mencemari air sehingga
mengganggu kesehatan. Cuaca, polusi air, dan suhu air sangat
menentukan komposisi komunitas cyanobakteri. Keberadaannya dalam
jumlah besar mudah sekali terdeteksi oleh mata kita dengan air yang biru
kehijauan, dan bau yang tidak
menyenagkan......................................................................
Cyanotoksin dibagi menjadi dua kelompok, yaitu peptida yang
meracuni hati, dan alkaloid yang meracuni syaraf merusak DNA. Secara
umum ada 5 jenis, hepatotoksin menyerang hati, neurotoksin menyerang
syaraf dan otot, sitotoksin mengakibatkan kerusakan DNA, dermatoksin
dan iritan toksin, berupa lipopolisakharida yang terkandung dalam
dinding selnya, mengakibatkan gatal di kulit, penyebab tumor kulit dan
peradangan saluran cerna (Robilot Et Al,2000).
1.2. Microcystin
Microcystins adalah heptapeptides siklik dengan variabel asam
amino pada 7 posisi yang berbeda. Nama microcystin berasal dari racun
yang pertama kali diisolasi dari aeruginosa Microcystis. Itu toksisitas
microcystins adalah karena mereka yang kuat untuk mengikat protein
fosfatase (1, 7, 11, 12). Saat utilitas air banyak yang prihatin tentang cara
mengontrol bau dan rasa dan mungkin tidak sepenuhnya menghargai
potensi konsekuensi jangka panjang rendah konsentrasi
eksposur. Dengan keragaman racun, maka akan muncul bijaksana untuk
fokus pertama pada microcystin, racun yang terjadi paling sering pada
permukaan air pasokan. 
Ada berbagai microcystins yang sedikit berbeda namun
microcystin standar dan umum adalah mikrosistin LR (9CI) (RN
101.043-37 - 2). Mikrosistin kadang-kadang dikenal sebagai CN I
Toxin (aeruginosa Microcystis) atau Toksin T 17 (Microcystis
aeruginosa) dengan nama kimia Cyclo [2,3 - didehydro-N-methylalanyl-
D-alanyl-L-leucyl-erythro-3-metil-D-B-Aspartyl- L-arginyl-(2S, 3S, 4E,
6E, 8s, 9S) -4,5,6,7-tetradehydro-9-metoksi-2 ,6,8-trimetil-10-fenil-3-

6
aminodecanoyl-D-.gamma.-glutamil] (Feurstein Et Al, 2010). Struktur
adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur kimia Microcystin

Microcystis sp. paling banyak tumbuh di perairan di seluruh dunia,


menghasilkan toksin microcystin, suatu heptapeptida siklik dan racun
kuat terhadap hati. Pada mamalia, mikrosistin fatal bagi hati dan juga
promoter tumor. Dilaporkan, sapi yang minum air tercemar cyanotoksin,
dalam susu sapi maupun dagingnya tidak terdeteksi toksin ini.
Mikrosistin LR adalah inhibitor poten dari fosfatase protein 1 (PP-
1) dan PP-2A  in vitro, tetapi tidak berpengaruh pada protein kinase C
atau siklik AMP-dependent kinase. Microcystins muncul untuk bertindak
serupa dengan promotor asam akadaic melalui PP-1 dan PP-2A berbeda
dengan ester phorbol yang mengikat dan mengaktifkan protein kinase
C. Mutagenisitas belum diamati untuk dimurnikan racun berasal
dari Microcystis tetapi clastogenic untuk limfosit manusia.. Ekstrak
dari aeruginosa Microcystis tidak menyebabkan transformasi Suriah
hamster embrio (SHE) sel tetapi ketika SHE sel pertama kali dimulai
dengan methylcholanghrene, sebuah transformasi meningkat diamati
(Ibelings, 2008).
1.3. Serum darah

7
Serum merupakan bagian yang ada di dalam darah serta memiliki
komposisi pembuatnya sama dengan pembuat plasma darah. Namun
serum darah ini tidak memiliki fungsi dalam membekukan darah. Hal ini
membuat serum tidak menggumpal seperti plasma darah. Jika ingin
membuat serum darah bisa dilakukan dengan cara membekukan semua
agen yang ada di dalam darah kemudian agen tersebut dilakukan
pemutaran progesif (sentrifugasi). Lalu didapatkan bagian yang
mengendap dan bagian yang tidak mengendap.bagian darah yang
mnegendap terdiri dari sel-sel darah sedangkan bagian yang tidak
mengendap merupakan serum darah. Zat yang ada di dalam serum darah
mencakup elekrolit termasuk protein. Hal ini disebabkan protein tidak
bisa menggumpalkan darah. Serum darah yang ada di tubuh manusia
biasanya digunakan untuk
mendapatkan pengujian
diagnostik seda ngkan serum darah
pada hewan bisa digunakan sebagai
vaksin baik itu vaksin anti racun dan
sebagai obat vaksinasi berbagi
jenis penyakit.

Gambar 2. Gambar kiri plasma setelah dilakukan pemisahan. Gambar kanan serum
darah setelah dilakukan pemisahan

Serum darah perlu dipisahkan karena bisa lebih efektif digunakan


dalam penelitian. Hal ini disebabkan karena serum darah memiliki zat
antigen lebih banyak dari pada plasma atau sel darah lainnya. sedangkan

8
plasma darah memiliki zat antikoagulan yang bisa membuat reaksi kimia
rusak dalam darah sehingga tidak efektif digunakan dalam proses
penelitian.

1.4. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA) dapat diartikan


penentuan kadar imunosorben taut-enzim. ELISA merupakan teknik
pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi
dan antigen. Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang
imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam
suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG dan IgA pada
saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya). Namun seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga
diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan dan kedokteran (Brena,
2006).

Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh


Peter Perlmann dan Eva Engvall. Mereka menggunakan teknik ELISA
ini dalam bidang imunologi (ELISA konvensional) untuk menganalisis
interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana
interaksi tersebut menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai
pemberi signal. Secara umum, teknik ELISA dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu teknik ELISA kompetitif yang menggunakan konjugat
antigen-enzim atau konjugat antibodi-enzim dan teknik ELISA
nonkompetitif yang menggunakan dua antibodi (primer dan skunder).
Pada teknik ELISA nonkompetitif, antibodi kedua (sekunder) akan
dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai sinyal. Teknik
ELISA nonkompetitif ini seringkali disebut sebagai teknik ELISA
sandwich. Dewasa ini, teknik ELISA telah berkembang menjadi berbagai
macam jenis teknik. Perkembangan ini didasari pada tujuan dari
dilakukannya uji dengan teknik ELISA tersebut sehingga dapat diperoleh
hasil yang optimal (Brena, 2006). Beberapa macam teknik ELISA yang
relatif sering digunakan antara lain adalah :

9
1. ELISA Direct

Teknik ELISA ini merupakan teknik ELISA yang paling


sederhana. Teknik ini seringkali digunakan untuk mendeteksi dan
mengukur konsentrasi antigen pada sampel. ELISA direct
menggunakan suatu antibodi spesifik (monoklonal) untuk
mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel
yang diuji. Secara prosedur, microtiter diisi dengan sampel yang
mengandung antigen yang diinginkan, sehingga antigen tersebut
dapat menempel pada bagian dindingdinding lubang microtiter,
kemudian microtiter dibilas untuk membuang antigen yang tidak
menempel pada dinding lubang microtiter. Lalu antibodi yang
telah ditautkan dengan enzim signal dimasukkan ke dalam lubang
lubang microtiter sehingga antibodi dapat berinteraksi dengan
antigen yang diinginkan, yang dilanjutkan dengan membilas
microtiter untuk membuang antibodi tertaut enzim signal yang
tidak berinteraksi dengan antigen. Lalu, ke dalam lubang-lubang
microtiter tersebut ditambahkan substrat yang dapat bereaksi
dengan enzim signal, sehingga enzim yang tertaut dengan
antibodi yang telah berinteraksi dengan antigen yang diinginkan
akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang
dapat dideteksi. Pendeteksian interaksi antara antibodi dengan
antigen tersebut selanjutnya dapat dihitung dengan menggunakan
kolorimetri, chemiluminescent, atau fluorescent end-point.

ELISA direct memiliki beberapa kelemahan, antara lain:


immunoreaktivitas antibodi kemungkinan akan berkurang akibat
bertaut dengan enzim, tidak memiliki fleksibilitas dalam
pemilihan tautan enzim (label) dari antibodi, amplifikasi signal
rendah, larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus
dimurnikan sebelum digunakan untuk uji ELISA direct.
Kelebihan dari ELISA direct antara lain: metodologi yang cepat
karena hanya menggunakan 1 jenis antibodi, kemungkinan

10
terjadinya kegagalan dalam uji ELISA akibat reaksi silang dengan
antibodi lain (antibodi sekunder) dapat diminimalisasi.

2. ELISA Indirect

Teknik ELISA indirect ini pada dasarnya juga merupakan


teknik ELISA yang paling sederhana, hanya saja dalam teknik
ELISA indirect yang dideteksi dan diukur konsentrasinya
merupakan antibodi. ELISA indirect menggunakan suatu antigen
spesifik (monoklonal) serta antibodi sekunder spesifik tertaut
enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang
diinginkan pada sampel yang diuji.

Pada ELISA indirect, pertama microtiter diisi dengan


larutan yang mengandung antigen spesifik, sehingga antigen
spesifik tersebut dapat menempel pada bagian dinding lubang
microtiter. Selanjutnya microtiter dibilas untuk membuang
antigen yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter.
Kemudian larutan sampel yang mengandung antibodi yang
diinginkan dimasukkan ke dalam lubang lubang microtiter,
sehingga terjadi interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi
yang diinginkan. Selanjutnya, microtiter kembali dibilas untuk
membuang antibodi yang tidak berinteraksi dengan antigen
spesifik.

Lalu, ke dalam lubang microtiter dimasukkan larutan yang


berisi antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, sehingga
pada lubang microtiter tersebut terjadi interaksi antara antibodi
yang diinginkan dengan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim
signal. Selanjutnya microtiter dibilas lagi untuk membuang
antibodi sekunder tertaut enzim signal yang tidak berinteraksi
dengan antibodi spesifik. Kemudian pada tahap akhir ELISA
indirect, ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim
signal, lalu enzim yang tertaut dengan antibodi sekunder spesifik

11
yang telah berinteraksi dengan antibodi yang diinginkan akan
bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat
dideteksi.

ELISA indirect memiliki beberapa kelemahan, antara lain:


membutuhkan waktu pengujian yang relatif lebih lama daripada
ELISA direct karena pada ELISA indirect membutuhkan 2 kali
waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen
spesifik dengan antibodi yang diinginkan dan antara antibodi
yang diinginkan dengan antibodi sekunder tertaut enzim signal,
sedangkan pada ELISA direct hanya membutuhkan 1 kali waktu
inkubasi yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen yang
diinginkan dengan antibodi spesifik tertaut enzim signal.
Sedangkan kelebihan dari ELISA indirect antara lain: terdapat
berbagai macam variasi antibodi sekunder yang terjual secara
komersial di pasar, immunoreaktivitas dari antibodi yang
diinginkan (target) tidak terpengaruh oleh penautan enzim signal
ke antibodi sekunder karena penautan dilakukan pada wadah
berbeda, tingkat sensitivitas meningkat karena setiap antibodi
yang diinginkan memiliki beberapa epitop yang bisa berinteraksi
dengan antibodi sekunder.

3. ELISA sandwich

Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer


spesifik untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi
sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan
antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA
sandwich mirip dengan ELISA direct, hanya saja pada ELISA
sandwich, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu
dipurifikasi. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut
harus dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan
antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik
ELISA sandwich ini cenderung dikhususkan pada antigen

12
memiliki minimal 2 sisi antigenik (sisi interaksi dengan antibodi)
atau antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau
protein.

Pada ELISA sandwich, antibodi primer seringkali disebut


sebagai antibodi penangkap, sedangkan antibodi sekunder
seringkali disebut sebagai antibodi deteksi. Dalam aplikasinyaa,
ELISA sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
keberadaan antigen multivalen yang kadarnya sangat rendah
dalam suatu larutan dengan tingkat kontaminasi tinggi. Hal ini
disebabkan ELISA sandwich memiliki tingkat sensitivitas tinggi
terhadap antigen yang diinginkan akibat keharusan dari antigen
tersebut untuk berinteraksi dengan kedua antibodi. Pada ELISA
sandwich, pertama microtiter diisi dengan larutan yang
mengandung antibodi penangkap, sehingga antibodi penangkap
tersebut dapat menempel pada bagian dinding lubang microtiter.
Selanjutnya microtiter dibilas untuk membuang antibodi
penangkap yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter.

Kemudian larutan sampel yang mengandung antigen yang


diinginkan dimasukkan ke dalam lubang lubang microtiter,
sehingga terjadi interaksi antara antibodi penangkap dengan
antigen yang diinginkan. Selanjutnya, microtiter kembali dibilas
untuk membuang antigen yang tidak berinteraksi dengan antibodi
penangkap. Lalu, kedalam lubang microtiter dimasukkan larutan
yang berisi antibodi detektor, sehingga pada lubang microtiter
tersebut terjadi interaksi antara antigen yang diinginkan dengan
antibodi detektor. Selanjutnya microtiter dibilas lagi untuk
membuang antibodi detektor yang tidak berinteraksi dengan
antibodi spesifik.

Kemudian pada tahap akhir ELISA indirect, ditambahkan


substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal, lalu enzim
yang tertaut pada antibodi detektor yang telah berinteraksi dengan

13
antigen yang diinginkan akan bereaksi dengan substrat dan
menimbulkan signal yang dapat dideteksi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat sensitivitas dari hasil pengujian dalam
ELISA sandwich, antara lain: banyak molekul antibodi
penangkap yang berhasil menempel pada dinding lubang
microtiter dan afinitas dari antibodi penangkap dan antibodi
detektor terhadap antigen.

Teknik ELISA sandwich ini merupakan pengembangan dari


ELISA direct. Kelebihan teknik ELISA sandwich ini pada
dasarnya berada pada tingkat spesitifitasnya yang relatif lebih
tinggi karena antigen yang diinginkan harus dapat berinteraksi
dengan 2 jenis antibodi, yaitu antibodi penangkap dan antibodi
detektor. Namun demikian, teknik ELISA sandwich ini juga
memiliki kelemahan, yaitu teknik ini hanya dapat diaplikasikan
untuk mendeteksi antigen yang bersifat multivalent serta sulitnya
mencari dua jenis antibodi yang dapat berinteraksi antigen yang
sama pada sisi antigenik yang berbeda (epitopnya harus berbeda).

4. ELISA kompetitif

Prinsip dasar dari teknik ELISA kompetitif adalah dengan


menambahkan suatu kompetitor ke dalam lubang microtiter.
Teknik ELISA kompetitif ini dapat diaplikasikan untuk
mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi. Pada
pendeteksian antigen, pertama microtiter diisi antibodi spesifik
yang dapat berinteraksi dengan antigen yang diinginkan maupun
antigen spesifik tertaut enzim signal, sehingga antibodi spesifik
tersebut dapat menempel pada bagian dinding-dinding lubang
microtiter, kemudian microtiter dibilas untuk membuang antibodi
spesifik yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter.

Lalu larutan yang mengandung antigen spesifik yang telah


ditautkan dengan enzim signal dan larutan sampel yang

14
mengandung antigen yang diinginkan dimasukkan ke dalam
lubang-lubang microtiter sehingga terjadi kompetisi antara
antigen spesifik tertaut enzim signal dengan antigen yang
diinginkan untuk dapat berinteraksi dengan antibodi spesifik,
yang dilanjutkan dengan membilas microtiter untuk membuang
antigen spesifik tertaut enzim signal atau antigen yang tidak
berinteraksi dengan antibodi spesifik.

Lalu, kedalam lubang-lubang microtiter tersebut


ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal
yang tertaut pada antigen spesifik, sehingga enzim yang tertaut
dengan antigen yang telah berinteraksi dengan antibodi spesifik
akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang
dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, pendeteksian
positif ditandai oleh tidak adanya signal yang ditimbulkan, yang
berarti bahwa antigen yang diinginkan telah menang berkompetisi
dengan antigen spesifik tertaut enzim signal dan berinteraksi
dengan antibodi spesifik.

Sedangkan proses pendeteksian antibodi, langkah pertama


microtiter diisi antigen spesifik yang dapat berinteraksi dengan
antibodi yang diinginkan maupun antibodi spesifik tertaut enzim
signal, sehingga antigen spesifik tersebut dapat menempel pada
bagian dinding-dinding lubang microtiter, kemudian microtiter
dibilas untuk membuang antigen spesifik yang tidak menempel
pada dinding lubang microtiter. Lalu larutan yang mengandung
antibodi spesifik yang telah ditautkan dengan enzim signal dan
larutan sampel yang mengandung antibodi yang diinginkan
dimasukkan ke dalam lubang-lubang microtiter, sehingga terjadi
kompetisi antara antibodi spesifik tertaut enzim signal dengan
antibodi yang diinginkan untuk dapat berinteraksi dengan antigen
spesifik, yang dilanjutkan dengan membilas microtiter untuk

15
membuang antibodi spesifik tertaut enzim signal atau antibodi
yang tidak berinteraksi dengan antigen spesifik.

Lalu, kedalam lubang-lubang microtiter tersebut


ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal
yang tertaut pada antibodi spesifik, sehingga enzim yang tertaut
dengan antibodi yang telah berinteraksi dengan antigen spesifik
akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang
dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, pendeteksian
positif juga ditandai oleh tidak adanya signal yang ditimbulkan,
yang berarti bahwa antibodi yang diinginkan telah menang
berkompetisi dengan antibodi spesifik tertaut enzim signal dan
berinteraksi dengan antigen spesifik. Kelebihan dari teknik
ELISA kompetitif ini adalah tidak diperlukannya purifikasi
terhadap larutan sampel yang mengandung antibodi atau antigen
yang diinginkan, tapi hasil yang diperoleh tetap memiliki tingkat
sensitivitas tinggi akibat sifat spesifisitas dari antibodi dan
antigen.

1.5. Antibodi

1.5.1 Antibodi Monoklonal

Antibodi Monoklonal adalah antibodi monospesifik yang


dapat mengikat satu epitop saja. Antibodi monoklonal ini dapat
dihasilkan dengan teknik hibridoma.

Teknik Hibridoma adalah penggabungan dua sel dari


organisme yang sama maupun berbeda sehingga menghasilkan sel
tunggal berupa sel hibrid ( hibridoma ) yang memiliki kombinasi
dari sifat kedua sel tersebut. Teknik hibridoma ini sangat penting
untuk menghasilkan antibodi dan hormon dalam jumlah yang besar.

16
Gambar 3. Prosedur pembuatan Antibodi Monoklonal

Kegunaan antibodi monoklonal cukup beragam. Para


ilmuwan berharap dapat menggunakan antibodi monoklonal dalam
pengobatan kanker. Beberapa jenis sel kanker membuat antigen yang
berbeda dengan protein yang dibuat oleh sel-sel sehat. Dengan
teknologi yang ada, dapat dibuat antibodi monoklonal yang hanya
menyerang protein dan menyerang sel-sel tanpa mempengaruhi sel-sel
yang sehat (Hafeezl, 2018).

1.5.2 Antibodi Poliklonal

Antibodi poliklonal adalah campuran antibodi heterogen


yang berikatan terhadap berbagai epitop dari antigen sama. Antibodi
ini dihasilkan oleh klon sel yang berbeda. Pada
penyakit seperti ebola ini efektifkarena virus mengalikan dan
bertindak sangat cepat dalam tubuh sehingga sistem kekebalantubuh
tidak punya ,aktu untuk meningkatkanpertahanan sendiri. Persentase
ketikaseseorangterinfeksivirus ebola- dia meninggal jauh sebelumsiste
m kekebalan tubuh dapat memerangi virus- oleh karena itu

17
pengobatan hanya efektif diberikan oleh antiserum dari seseorang
yang mengalami infeksi sebelumnya (Hafeezl, 2018).

1.5.3 Perbedaan Antibodi Monoklonal dengan Antibodi Poliklonal

1.6. Metode spike dan recovery

1.6.1 Arti dan tujuan spike dan recovery

Spike dan recovery adalah metode penting untuk


memvalidasi dan menilai akurasi ELISA. Spike dan recovery
digunakan untuk menentukan apakah deteksi analit dipengaruhi
oleh perbedaan dalam pengencer kurva standar dan matriks sampel
biologis. Matriks sampel adalah sampel biologis yang bersih
(murni) atau campuran sampel biologis dengan pengencer sampel.
Dalam spike dan recovery, sejumlah analit yang telah
diketahui sengaja ditambahkan (dibubuhi) ke dalam matriks sampel
uji alami. Kemudian pengujian (di sini diasumsikan ELISA)
dijalankan untuk mengukur respon (penarikan kembali analit) dari
matriks sampel dibandingkan dengan lonjakan identik dalam
pengencer standar (Heussner Et Al, 2014).
Metode ELISA melibatkan perbandingan sampel uji
dengan kurva standar yang dibuat menggunakan konsentrasi analit
yang diketahui (misalnya, protein rekombinan murni). Tujuan

18
dalam pengembangan pengujian adalah untuk memaksimalkan
rasio signal-to-noise sambil mencapai tanggapan yang identik
untuk jumlah analit tertentu dalam pengencer standar (kurva
standar) dan matriks sampel (sampel biologis + sampel pengencer).
Matriks sampel dapat berisi komponen yang memengaruhi respons
uji terhadap analit secara berbeda dari pengencer standar.
Eksperimen spiked dan recovery dirancang untuk menilai
perbedaan ini dalam respons pengujian.

1.6.2 Prosedur percobaan spiked dan recovery

1. Jumlah analit yang diketahui ditambahkan ke matriks sampel


dan pengencer standar.
2. Dua set respons dibandingkan berdasarkan nilai yang dihitung
dari kurva standar.
3. Jika pemulihan yang diamati untuk lonjakan identik dengan
analit yang disiapkan dalam pengencer standar, matriks sampel
dianggap valid untuk prosedur pengujian. Jika pemulihan
berbeda, maka komponen dalam matriks sampel menyebabkan
perbedaan, dan penyesuaian harus dilakukan pada metode untuk
meminimalkan perbedaan.

1.6.3 Memperbaiki hasil spike dan recovery yang buruk

Dua jenis penyesuaian dapat dilakukan untuk


mengoptimalkan kembali ELISA ketika percobaan lonjakan dan
pemulihan mendeteksi perbedaan.
1. Ubah pengencer standar. Gunakan pengencer standar yang
komposisinya lebih cocok dengan matriks sampel akhir.
Misalnya, media kultur dapat digunakan sebagai pengencer
standar jika sampelnya adalah supernatan kultur. Jika
pengencer standar sebelumnya telah dioptimalkan untuk
kinerja signal-to-noise, mengubah pengencer agar sesuai
dengan kinerja matriks sampel akan menghasilkan
penurunan rentang pengujian, sensitivitas atau rasio signal-
to-noise. Dalam beberapa kasus, kompromi mungkin
diperlukan.

19
2. Ubah matriks sampel. Jika sampel biologis yang rapi telah
digunakan, uji ulang pada pengenceran dalam pengencer
standar atau "pengencer sampel" logis lainnya. Misalnya,
jika sampel serum yang tidak diencerkan menghasilkan
lonjakan dan pemulihan yang buruk, mungkin sampel yang
diencerkan 1: 1 dalam pengencer standar akan bekerja lebih
baik. Jika tingkat analit dalam sampel encer cukup untuk
dideteksi oleh uji, metode ini akan memperbaiki banyak
masalah pemulihan.

Hasil yang lebih baik untuk matriks sampel dapat


diperoleh dengan mengubah pH-nya (agar sesuai dengan pengencer
standar yang dioptimalkan) atau dengan menambahkan BSA atau
protein murni lainnya sebagai pembawa / penstabil. Ketahuilah
bahwa pengencer sampel terbaik tidak harus sama dengan
pengencer standar terbaik. Misalnya, sampel serum mengandung
protein latar belakang yang cukup besar (mis., Albumin dan
imunoglobulin). Tetapi, protein rekombinan murni yang digunakan
sebagai standar mungkin tidak mengandung protein pembawa apa
pun. Dalam hal ini, pengencer standar terbaik mungkin adalah
saline fosfat-buffered (PBS) yang mengandung 1% BSA dan
sampel pengencer terbaik untuk serum mungkin PBS tanpa protein
tambahan (Heussner Et Al, 2014).

20
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Bahan Penelitian

Material yang dibeli sebagai berikut: Abraxis, Warminster,


PA, USA (kit ELISA), PAA Laboratories GmbH, Cölbe, Jerman
(FBS gold, DMEM), air GmbH, Eschborn, Jerman (Oasis® HLB 6
cc (200 mg) kartrid ekstraksi), Enzo Life Sciences GmbH, Lörrach,
Jerman (MC-LR, MC-YR, MC-RR, MC-LA, MC-LW dan MC-
LF), dan Sigma-Aldrich GmbH, Seelze, Jerman (semua bahan
kimia lainnya).

3.2. Metode Penelitian / Prosedur Kerja

3.2.1 Preparasi sampel

MC-LR dan MC-RR dilarutkan dalam 100% MeOH ke


konsentrasi nominal 200 µM dan konsentrasi sebenarnya ditentukan

21
melalui deteksi absorbansi pada λ238 nm dan menggunakan
-1 -1
koefisien absorbsi molar 39.800 mol L cm setelah kalibrasi
spektrofotometer dengan kalium dikromat dalam 1 mM per-asam
klorat. Karena kurangnya koefisien yang divalidasi lainnya, maka
jenis MC lainnya disiapkan dengan cara yang sama. Meskipun
beberapa peneliti menggunakan koefisien kepunahan spesifik
(Wayne Carmichael, komunikasi pribadi), menggunakan koefisien
yang sama untuk jenis MC utama merupakan pendekatan yang
dapat diterima secara luas karena perbedaannya kecil (komunikasi
pribadi dengan Jussi Meriluoto dan Linda Lawton). Tiga matriks
yang berbeda dipilih sebagai sampel, yaitu serum manusia, FBS dan
media kultur sel standar yang mengandung 10% FBS. Sampel-
sampel ini dicampur dengan jenis MC masing-masing untuk
menghasilkan kisaran konsentrasi akhir dan disimpan pada -20°C
sampai digunakan. Masing-masing sampel disiapkan setidaknya
sebanyak tiga kali.

3.2.2 Ekstraksi sampel untuk deteksi menggunakan Adda ELISA

22
Gambar 4. Peninjauan secara luas preparasi sampel dari serum manusia yang telah
ditambahkan

3.2.3 Pemurnian racun dari ekstrak melalui Solid Phase Extraction


(SPE) untuk pendeteksian melalui Adda-ELISA

Solid Phase Extraction (SPE) dilakukan dengan


menggunakan kartrid Oasis HLB 6 cc (200 mg), sesuai dengan
instruksi pabrik (Waters GmbH, Eschborn, Jerman), untuk
memurnikan dan mengkonsentrasikan racun ke dalam ekstrak
(Gambar 1) . Secara singkat, kolom SPE diprioritaskan dengan
100% MeOH (2 ml) dan diseimbangkan dengan air deionisasi (2
ml). Ekstrak diletakkan pada kolom dan kolom kemudian dicuci
dengan 30% (v / v) MeOH dalam asam asetat 0,1 M (3 2 ml). 80%
MeOH (5 ml) digunakan untuk MC-elusi dari kolom. Eluat yang
dikumpulkan dari sampel yang sama digabungkan dan diuapkan
hingga kering di bawah aliran nitrogen. Kemudian Sampel kering
disuspensi kembali dalam 500 µl 5% (v / v) berair MeOH,
dicampur dengan kuat dan disonikasi selama 5 menit. Selanjutnya
sampel akhir disimpan pada suhu -20 ° C sampai digunakan lebih
lanjut.

3.2.4 Adda-ELISA

Ekstrak, disiapkan melalui ekstraksi metanol dan SPE,


dianalisis menggunakan kit Adda-ELISA yang tersedia secara
komersial ('' Mikrokimia / Nodularin (ADDA) ELISA '', Abraxis
LLC, Warminster, PA, USA; cat # 520011) sesuai dengan
instruksi pabrik. ELISA kompetitif tidak langsung ini secara
khusus dapat mengenali Adda-moiety yang ada di semua jenis MC
melalui antibodi poliklonal, sehingga dapat mendeteksi
Microcystin yang independen dari berbagai jenis MC. Semua
sampel dianalisis sebanyak tiga kali pada setiap lempeng dan tiga

23
sampel independen dihasilkan untuk semua analisis. Sebelum
digunakan dalam ELISA sampel harus diencerkan agar sesuai
dengan rentang linear pengujian (0,15-5 lg / L), semua sampel
yang memiliki konsentrasi di atas 1 µg / L akan diencerkan hingga
menjadi 1 µg / L. Konsentrasi MC yang dihasilkan dihitung dari
kurva kalibrasi standar MC-LR dan disajikan sebagai padanan
MC-LR (MC-LReq). Sampel, yang berada di luar kisaran kurva
standar setiap ELISA, dianggap di bawah batas deteksi (<LOD).
Sensitivitas dan reproduktifitas pengujian diberikan oleh pabrikan
dengan batas deteksi (LOD) 0,1 lg MC-LR / L dan koefisien
variasi (CV) masing-masing <10% dan <15% untuk standar dan
sampel. Tidak ada informasi yang tersedia berkaitan dengan
recovery Mc dari serum manusia, namun kisaran teoritis recovery
sekitar 80-120% ditetapkan berdasarkan data awal, mendeteksi CV
dan pengamatan lain dari produsen dan peneliti lainnya.

3.2.5 Preparasi sampel untuk mendeteksi MC dengan kit Serum-


ELISA

Sampel serum diekstraksi dan dianalisis menggunakan kit


Microcystin ELISA yang tersedia secara komersial untuk serum
(Abraxis LLC, Warminster, PA, USA; cat # 522031) prosedur
sesuai dengan instruksi pabrik (Gambar 1). ELISA kompetitif
langsung ini mengakui secara spesifik Adda-moiety yang ada di
semua jenis MC yang diketahui melalui antibodi monoklonal,
sehingga mendeteksi Microcystin yang independen dari berbagai
jenis MC. Semua sampel diencerkan sampai nominal 0,5 µg / L
agar sesuai dengan rentang kalibrasi standar dari Serum-ELISA
kompetitif langsung ini (0,1–1,0 µg MC-LR / L), konsentrasi MC
yang dihasilkan dihitung dari standar MC-LR kurva kalibrasi dan
disajikan sebagai MC-LReq. Sampel, yang berada di luar
jangkauan dari kurva standar masing-masing ELISA, dianggap di
bawah batas deteksi (<LOD). Sensitivitas dan reproduktifitas tes
diberikan oleh pabrikan dengan LOD 0,40 µg MC-LR / L dan CV

24
masing-masing 10% dan <15% untuk standar dan sampel. Kisaran
recovery sampel dari serum manusia sekitar 70-130%.

3.2.6 Sampel untuk perbandingan penyimpanan pada bejana/wadah


yang berbeda

MC-LR, -LW atau -LF ditambahkan ke dalam larutan


ELISA pada 1 µg / L pada botol kaca dan kemudian dipindahkan
ke bejana yang berbeda: polypro-pylene microcentrifuge tabung
(PP (E), sedikit buram, Eppenphorf, cat # 022363352), tabung
microcentrifuge polypropylene (PP (T), bening, Thomas
Scientific, cat # 1232G82), tabung polipropilen mikro-sentrifuge
(PP (V), jelas, VWR, cat # 20170-355), polietilena berdensitas
rendah (LDPE) botol (Wheaton, cat # W242831-A), botol high-
density polyethylene (HDPE) (Nalgene, cat # 0331325A), dan vial
gelas dengan tutup berlapis te (La-Pha-Pack, cat # 13090222).
Sampel-sampel ini disimpan pada suhu 4° C dan diuji setelah 24
jam dan 48 jam menggunakan ELISA berbasis monoklonal seperti
dijelaskan di atas. Untuk setiap jenis bejana, satu alikuot dianalisis
tanpa pencampuran sedangkan alikuot lainnya dianalisis dengan
pencampuran sebelum pemipetan ke pelat mikrotiter.

3.2.7 Sampel untuk perbandingan antar laboratorium

Tiga jenis sampel yang telah dilakukan penambahan


dianalisis di masing-masing tempat dari dua laboratorium yang
berbeda: (1) sampel menggunakan lot serum laboratorium sendiri
dan solusi stok MC sendiri, (2) sampel menggunakan lot serum
laboratorium sendiri dan solusi stok MC dari laboratorium lain dan
(3) sampel disiapkan sepenuhnya oleh lab lain. Sampel-sampel ini
diproduksi menggunakan MC-LR, -LW dan -LF dan 10 µg / L dan
100 µg / L.

3.2.8 Perhitungan dan analisis data statistik

25
Data ELISA diproses sesuai dengan instruksi pabrik. Secara
singkat, nilai absorbansi dihitung sebagai persentase dari kontrol
negatif untuk setiap pelat dan dibandingkan dengan data kalibrasi
yang dicapai melalui analisis regresi linier. Jika sesuai, berarti ± SD
dihitung dari setidaknya tiga sampel independen yang dilakukan
sebanyak tiga kali pengulangan. Data pemulihan ini kemudian
dibandingkan dengan One-way ANOVA dengan Dunnett's Multiple
Comparison Test untuk rentang pemulihan teoritis 80-120% untuk
Adda-ELISA dan 70-130% untuk Serum-ELISA, masing-masing.
Data disajikan sebagai sarana ± SEM. Perbedaan yang signifikan
ditunjukkan sebagai berikut: p <0,05 (*), p <0,01 (**) dan p <0,001
(***). Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak GraphPad Prism 5.03. Dalam kasus ini dilakukan
percobaan tunggal dan data yang disajikan dilakukan tanpa
perhitungan lebih lanjut atau analisis statistik.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


4.1.1 Recovery MC-LR dari serum manusia pada kedua metode
ELISA

26
Gambar 5. Recovery MC-LR dari serum manusia. MC-LR yang telah ditambahkan
pada serum manusia pada konsentrasi yang berbada dan sampel di ekstraksi sesuai
dengan prosedur masing-masing. (gambar A) untuk poliklonal Adda-ELISA dan
(gambar B) untuk monoklonal Serum-ELISA. Kolom mewakili rata-rata dari tiga
sampel independen (n=3) + SEM yang dianalisis dalam rangkap tiga teknis: garis
putus-putus mewakili rentang pemulihan yang diharapkan (Adda ELISA: 80-
120%, Serum ELISA: 70-130%)

Gambar diatas merupakan kesimpulan dari Recovery MC-


LR yang menggunakan dua metode ELISA. Pada gambar A hasil
Recovery tampak baik berkisar antara 80% sampai 120% dan
Reproducibility tercapai dengan konsentrasi MC-LR 1 – 100 µg/L
ketika menggunakan poliklonal Adda-ELISA. Nilai ini sesuai
dengan spesifikasi pengujian dari pabrik. Pada monoklonal Serum-
ELISA (gambar B) semua sampel yang ditambahkan dengan MC-
LR dengan konsentrasi 2-200 µg/L dapat tertarik. Namun semua
hasilnya terlalu tinggi dari konsentrasi sebenarnya sekitar 60-80%.
Kemudian dilakukan pengujian tambahan dengan kadar
MC-LR hingga 1000 µg/L, pengujian ini menujukkan hasil yang
sama pada kedua metode ELISA (data tidak ditampilkan).

4.1.2 Recovery MC-LR dari bovine serum dan media kultur sel pada
metode Serum-ELISA

Menggunakan antibodi monoklonal pada Serum-ELISA,


yang di desain secara spesifik untuk serum manusia. Dilakukan
seperti percobaan diatas hanya saja serum nya diganti dengan Fetal
Bovine Serum (FBS ) dan media kultur sel dengan penambahan 10%
FBS. Lagi-lagi hasilnya terlalu tinggi dari konsentrasi sesungguhnya.
Hal ini dikarenakan penambahan FBS yang terlalu tinggi kedalam
matrik sampel memberi kesan bahwa bovine serum tidak dapat larut

27
sehingga dapat meningkatkan matrik yang berefek pada monoklonal
Serum-ELISA.
Gambar 6. Recovery pemulihan MC-LR dari FBS dan media kultur sel
menggunakan serum ELISA. (gambar A) untuk MC-LR dengan konsentrasi yang
berbeda ditambahkan bovine serum / serum sapi (FBS), sedangkan (gambar B)
untuk media kultur sel yang mengandung 10% FBS. Sampel diekstraksi sesuai
dengan prosedur untuk Serum-ELISA. Kolom mewakili sarana dari tiga sampel
independen (n=3) dianalisis sebanyak tiga kali teknis + SEM ; garis putus-putus
mewakili kisaran pemulihan yang diharapkan dari serum ELISA monoklonal (70-
130%).
4.1.3 Recovery dari enam jenis MC yang ditambahkan kedalam seum
manusia pada kedua metode ELISA

28
Gambar 7. Recovery enam jenis MC dari serum manusia. Jenis MC yang
ditambahkan kedalam manusia dalam konsentrasi yang berbeda yakni 1, 10,
100µg/L. sampel diekstraksi sesuai dengan prosedur masing-masing. (gambar A)
untuk polikonal Adda-ELISA dan (gambar B) untuk monoklonal Serum-ELISA.
Kolom mewakili sarana dari tiga sampel independen (n=3) + SEM kecuali
dinyatakan lain dan dianalisis sebanyak tiga kali teknis; garis putus-putus
mewakili rentang pemulihan yang diharapkan (Adda-ELISA 80-120%, Serum-
ELISA:70-130%). ANOVA satu arah dengan uji perbandingan berganda Dunnet
dengan p<0,05 (*), p<0.01 (**), dan p<0,001 (***); perhatikan pada seri sampel
1µg/L tidak ditentukan (n. d.) dalam Serum-ELISA (gambar B)

Keenam jenis MC (MC-LR, -YR, -RR, -LA, -LW, dan -LF)


dan kemudian campuran equimolar dari keenam jenis MC tersebut di
tes dengan menggunakan kedua metode ELISA setelah preparasi
sampel. Percobaan ini menggunakan tiga konsentrasi yang berbeda
yakni 1, 10, dan 100 µg/L. Kemudian dilakukan pengamatan pada
kedua metode ELISA berdasarkan konsentrasi dan jenis MC seperti
yang tertera pada gambar diatas. Pada poliklonal berbasis Adda-
ELISA, MC-LR, -YR, -RR menunjukkan hasil recovery yang baik.
Sedangkan untuk MC-LA, -LE, dan –LF menunjukkan hasil
recovery yang lebih rendah secara signifikan. Hasil recovery akan
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi.
Pada monoklonal Serum-ELISA semua jenis MC serta
konsentrasinya ter-recovery setelah dilakukan pengulangan.
Meskipun untuk MC-LR, -YR, -RR dan konsentrasinyan memiliki
nilai yang sedikit lebih tinggi. Secara keseluruhan terdapat sedikit
perbedaan recovery yang dapat diamati antara dua konsentrasi (10
dan 100 µg/L).

4.1.4 Perbedaan antar laboratorium tetang efek dari tempat


penyimpanan terhadap Recovery

29
Gambar 8. Recovery MC (Monoklonal ELISA) setelah penyimpanan jangka
pendek pada wadah yang berbeda. MC-LR (gambar A), MC-LW (gambar B),
dan MC-LF (gambar C) dibubuhi kedalam pengencer ELISA pada 1 µg/L dalam
botol kaca dan kemudian dipindahkan ke wadah yang berbeda: PP (E (tabung
polipropilen microcentrifuge, sedikit buram, Eppendorf), PP (T) (tabung
polipropilen mikrosentrifuge bersih, Thomas Scientific fi c), PP (V)
(polipropilen microsentifuge tabung bening, VWR), polietilen berdensitas rendah
(LPDE) botol-botol high-density polyethylene (HDPE), dan botol kaca dengan
tutup Te-on-lined. ELISA monoklonal setelah 24 jam dan 48 jam (disimpan pada
suhu 4°C diantara masing-masing analisis) setelah vorteks (V) atau non vorteks
(NV) (n=1)

Perbandingan awal hasil yang diperoleh dari dua


laboratorium terlibat dalam penelitian ini menunjukkan perbedaan
dalam menentukan recovery dan presisi pada kedua metode ELISA
yang digunakan. Perbedaan akhir yang paling menonjol untuk MC-
LW dan MC-LF (data tidak ditampilkan). Oleh karena itu
perbandingan antar laboraturium dilakukan secara mendalam
dengan menggunakan MC-LR, -LW, dan –LF dan monoklonal
yang berbasis Serum-ELISA digunakan untuk mengidentifikasi dan
menghilangkan parameter parameter yang bertanggung jawab
terhadap hasil yang diferensial. Tiga parameter pertama yang perlu
diadaptasi adalah konsentrasi methanol, jenis wadah sampel yang
digunakan, dan persiapan stok MC. Khususnya jenis wadah sampel
yang digunakan untuk pengenceran sebelum ELISA memiliki efek
besar pada hasil dan telah dianalisis dengan lebih rinci. Gambar
diatas menunjukkan efek dari perbedaan standar wadah terhadap
recovery MCs setelah dilakukan penyimpanan jangka pendek pada
tiga jenis MC yang terpilih baik setelah vorteks maupun tidak.
Untuk MC-LR urutan yang paling baik: glass>HDPE>LDPE>PP.

30
Untuk PP terdapat komposisi khusus oleh pemasok yang berbeda
juga penting untuk diperhatikan. Urutan material dari MC-LW dan
MC-LF ditemukan sama dengan MC-LR, akan tetapi recovery
yang teramati adalah MC-LR>MC-LW>MC-LF dengan semua
jenis wadah kecuali yang terbuat dari gelas. Selanjutnya
pencampuran sampel sebelum pemipetan menghasilkan recovery
yang lebih tinggi dari ketiga jenis MC dari semua jenis material
wadah. Kontak yang lebih lama dari MC ke wadah penyimpanan
mengakibatkan hilangnya MC yang lebih tinggi.
Setelah melakukan persetujuan pada prosedur umum
analisis ELISA memberikan hasil yang serupa di kedua
laboratorium.

Gambar 9.
Perbandingan antar laboratorium (Monoklonal Serum-ELISA) Univesitas
Konstanz (Lab A), Abraxis (Lab B); kolom mewakili 6-12 sampel independen
yang dianalisis dalam sampel duplikat teknis dengan SEM kecuali dinyatakan
lain (Lab A) atau 3 sampel independen dengan SEM (Lab B).
4.2. Pembahasan
Pertumbuhan cyanobacteria yang beracun membutuhkan
pemantauan yang ketat untuk meminimalkan potensi risiko kesehatan
manusia, terutama di daerah dimana pengolahan air untuk air minum
tidak secanggih negara-negara barat yang lebih maju. Eropa, Amerika
Utara, Australia dan Selandia Baru. Contoh yang menonjol adalah
Danau Atitlan di Guatemala, dimana pertumbuhan cyanobacteria
pertama secara signifikan terjadi pada 2008 dan setelah itu efek yang
ditimbulkan semakin serius dengan efek bencana bagi negara di
Uruguay, muara Sungai Rio Uruguay dan sistem muara sungai La

31
Plata, yang merupakan terbesar kelima di dunia, juga terpengaruh
(Feurstein Et Al, 2010). Untuk sistem ini, sebuah program penelitian
dimulai untuk mengeksploitasi potensi ELISA untuk menyediakan
analisis lingkungan berbiaya rendah. Pengujian ini memang
memungkinkan pemantauan air secara sistematis pertama dari Rio de
la Plata di Montevideo dan akhirnya diintegrasikan ke dalam upaya
dua nasional untuk memantau Rio de la Plata. Demikian pula sistem
pemantauan ELISA dapat berguna untuk penilaian penduduk yang
terpapar akan memungkinkan penilaian yang lebih baik terhadap
serapan toksin yang potensial serta memberikan dasar untuk
menyelidiki kejadian dengan insiden tinggi dari penyakit yang dapat
disebabkan oleh paparan MC.
Metode deteksi kuantitatif yang diketahui untuk MC
meliputi uji inhibisi fosfatase protein (PPIA), HPLC, LC-MS dan
ELISA dengan masing-masing tingkat sensitivitas dan ketahanan yang
berbeda. PPIA sangat sensitif (LOD = 0,01-0,3 lg / L) tetapi rentan
terhadap efek matriks penghambatan. Pendekatan HPLC kurang
sensitif dengan batas deteksi tipikal 0,5-1 lg / L. LC – MS sangat
sensitif (LOD 0,02-0,5 lg / L) dan sangat spesifik, tetapi
membutuhkan peralatan yang mahal dan personel yang sangat
terampil. Baik HPLC dan LC-MS sebagian besar tergantung pada
ketersediaan standar MC bersertifikasi yang kemudian memungkinkan
mengukur congener MC individu (Robilot Et Al, 2000). Sebaliknya,
ELISA umumnya sangat sensitif (LOD = 0,02-0,15 lg / L), cukup kuat
untuk efek matriks dan tidak memerlukan standar tersertifikasi MC-
congener individu.

Berdasarkan sensitivitas dan selektivitas, peringkat ELISA>


LC-MS = HPLC telah ditentukan, sedangkan untuk biaya, waktu dan
pelatihan yang diperlukan peringkatnya terbalik, mis. LC- MS>
HPLC> ELISA. Terlepas dari selektivitas dan sensitivitas, tidak ada
metode tunggal yang tersedia yang mampu mendeteksi,
mengkuantifikasi, semua MC yang berpotensi hadir dalam sampel

32
karena kurangnya standar, sensitivitas deteksi terbatas untuk jenis MC
yang diberikan, dan keterbatasan dalam kuantifikasi. Karena hilanga
selama ekstraksi atau efek matriks dll. Salah satu pelarut potensial
dalam analisis adalah LC-MS, namun terdapat masalah yang terakhir
pada penggunaan isotop stabil yang diberi label jenis MC sebagai
standar internal dan pelacak ekstraksi. Meskipun, penambahan sampel
analitik dengan isotop MC stabil sebelum ekstraksi memungkinkan
untuk mengoreksi kehilangan sampel selama persiapan dan penekanan
ion selama analisis namun, dengan tidak adanya isotop stabil yang
tersedia secara komersial berlabel jenis MC, standar internal lainnya,
seperti tiol-MC-LR dapat digunakan dalam deteksi HPLC dan LC-
MS, meskipun dengan batasan tiol-MC-LR diperlakukan berbeda
selama ekstraksi sampel organik dibandingkan dengan induk MC-LR
(Meriluoton, 2005).

Tantangan penting lain yang akan memungkinkan


implementasi deteksi MC yang lebih luas di seluruh dunia adalah
membuat analisis MC lebih cepat, lebih murah, dan lebih kuat,
menjadikannya layak untuk daerah tanpa personil yang sangat
terampil dan peralatan yang canggih dan mahal. ELISA yang
digunakan dalam penelitian ini mewakili metode semacam itu. Serum-
ELISA berbasis monoklonal adalah pendekatan yang cepat dan
nyaman. Persiapan sampel dicapai dalam 30 menit (dibandingkan
dengan 2-3 hari di Adda-ELISA), sangat mudah (berbasis kit) dan
hanya membutuhkan peralatan berbiaya rendah (microcentrifuge dan
pembaca plat) (Brena Et Al, 2006).

Dalam studi di sini, kedua ELISA yang dipilih dalam


kombinasi dengan prosedur ekstraksi yang sesuai mampu mendeteksi
MC-LR dalam serum manusia, tetapi dengan recovery yang berbeda.
Recovery MC-LR berada dalam kisaran recovery yang diharapkan
untuk semua konsentrasi yang diuji dalam Adda-ELISA poliklonal,
sedangkan semua konsentrasi umumnya terlalu tinggi menggunakan
Serum-ELISA monoklonal (Heussner Et Al, 2014).

33
Gambar yang sama diperoleh ketika menggunakan enam
jenis MC yang berbeda (mis. MC-LR, -YR, -RR, -LA, -LW dan -LF)
dan campuran equimolarnya. Pada Adda-ELISA poliklonal, MC-LR,
-YR dan -RR terdeteksi dengan hasil recovery yang normal sementara
recovery ditaksir terlalu tinggi dalam Serum-ELISA monoklonal, jika
dibandingkan dengan rentang pemulihan yang diharapkan. MC-LA,
-LW dan -LF tidak dianjurkan menggunakan Adda-ELISA poliklonal
namun lebih dianjurkan menggunakan Serum-ELISA monoklonal,
meskipun yang terakhir mungkin mewakili efek kompensasi dari
estimasi berlebihan umum dan pemulihan yang lebih rendah
(Heussner Et Al, 2014). Lebih lanjut, MC digunakan sebagai racun
tunggal dan sebagai campuran yang ditentukan, menghasilkan deteksi
yang sebanding dari MC dalam campuran dibandingkan dengan
deteksi tunggal, menunjukkan pengakuan yang sama atau setidaknya
sama dari congener yang dipilih oleh antibodi, yang menguatkan
sebelumnya data.

Perbedaan hasil recovery yang diamati dari MC yang


berbeda karena itu bukan karena perbadaan antibodi melainkan karena
perilaku yang berbeda selama prosedur ekstraksi. Asumsi ini
didukung oleh data awal tentang efek dari wadah penyimpanan dan
dikonfirmasi oleh data yang sangat baru dari laboratorium peneliti.
Singkatnya, dari data saat ini dapat disimpulkan bahwa kedua ELISA
cocok untuk analisis MC dalam serum manusia. Meskipun
kuantifikasi yang benar tergantung pada MC yang ada dalam analit
serum, setidaknya ELISA merupakan alat yang cocok untuk skrining
awal sampel (Brena, 2006). Recovery yang diperoleh dalam penelitian
saat ini sesuai dengan data dari penelitian lain menggunakan teknik
serupa. Misalnya ELISA yang menggunakan serum poliklonal anti-
MC menunjukkan reaktivitas silang yang sama dari jenis MC (MC-
RR, 68%; MC-YR, 68%, MC-LW, 52%, MC-LF, 77%) (Metcalf,
2003).

34
Pengujian tambahan dilakukan dengan Serum-ELISA untuk
menentukan kesesuaiannya untuk aplikasi lain. Karena itu, percobaan
pemulihan MC-LR diulang menggunakan bovine serum (FBS) bukan
serum manusia. Di sini, hasilnya menunjukkan penyimpangan tinggi
dari konsentrasi sesungguhnya yang menunjukkan efek matriks tinggi
dari serum. Hasil ini sesuai dengan pengamatan serupa menggunakan
serum anjing (Rubio, data tidak dipublikasikan). Dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa Serum-ELISA secara khusus bermanfaat untuk
analisis serum manusia tetapi mungkin tidak cocok untuk serum dari
spesies lain karena efek matriksnya tinggi.

Selain itu, kesesuaian Serum-ELISA untuk deteksi MC


dalam media kultur sel standar (DMEM yang mengandung 10% FBS)
diselidiki karena ELISA ini dapat berfungsi untuk memverifikasi
konsentrasi MC yang digunakan dalam eksperimen in vitro.
Konsentrasi MC yang biasa digunakan dalam eksperimen in vitro
berkisar dari kadar rendah konsentrasi molar ke mikromolar (mis.
hingga 5 µM) dan karenanya mewakili konsentrasi yang berada dalam
jangkauan deteksi ELISA (Metcalf, 2013). Namun, berdasarkan hasil
yang diperoleh dalam penelitian di sini harus disimpulkan bahwa
Serum-ELISA tidak cocok untuk jenis pendekatan ini karena terlalu
tinggi terkait matriks konsentrasi MC yang sesungguhnya.

Dalam tubuh manusia, serta pada organisme lain yang


terpapar termasuk tanaman dan prokariota dan Protista. Pada MCs
sebagian besar terikat secara kovalen dengan protein, khususnya
serin / treonin fosfatase dan oleh karena itu, ekstrak dari sampel
biologis dapat mencerminkan hanya MC yang tersedia secara bebas.
Ini juga ditunjukkan untuk serum manusia ketika analisis sampel
serum dari pasien dialisis ginjal yang terpapar MC menunjukkan
bahwa terdapat bentuk MC yang bebas dan terikat (Meriluoton, 2005).
Selain itu, ditunjukkan bahwa prosedur ekstraksi metanol standar
tidak cocok untuk mengekstraksi MC yang terikat secara kovalen.
Sebaliknya, data yang disajikan di sini mencerminkan sampel yang

35
hanya mengandung MC non-kovalen dan karenanya tidak mewakili
situasi di mana kedua bentuk hadir. Namun demikian, karena jenis
interaksi ikatan kovalen antara residu sistin dari protein fosfatase 1
dan 2 (PP) dan residu metil-dehidroalanin (Mdha) dari MC, sehingga
dapat diasumsikan bahwa anti-Adda-antibodi yang digunakan dalam
kedua ELISAs harus dapat mendeteksi MC yang bebas dan terikat
selama metode persiapan sampel sehingga akan disediakan kedua
jenis molekul tersebut (Brena Et Al, 2006). Memang, asumsi terakhir
dikuatkan oleh fakta bahwa anti-Adda anti-body dapat digunakan
dalam Western blots untuk mendeteksi MC yang secara kovalen
berikatan dengan protein fosfatase 1 dan 2.

Karena jangkauan deteksi ELISA, konsentrasi sampel dan


dengan penambahan mungkin diperlukan untuk mendeteksi MCs
tingkat rendah dalam serum manusia. Namun, karena ELISA tidak
membedakan antar jenis MC, namun jenis MC tunduk pada pemulihan
jaringan / serum yang berbeda, hanya penambahan standar MC
internal yang stabil dengan label isotop yang akan memungkinkan
kuantifikasi yang lebih tepat, terutama ketika digabungkan untuk
analisis LC-MS berikutnya.

Kesimpulan dari penelitian ini, terlepas dari upaya


penelitian dekade terakhir, penelitian lebih lanjut diperlukan
sehubungan dengan paparan MC, ketersediaan bio MC dan toksisitas
berikutnya pada manusia. Untuk itu, pemantauan langsung tingkat
paparan manusia dan efek terkait adalah prasyarat. Dalam penelitian
yang dipaparkan di sini, dimungkinkan untuk menunjukkan bahwa
ELISA adalah metode yang terjangkau, kuat dan sensitif yang dapat
berfungsi untuk memenuhi persyaratan pemantauan racun yang
disebutkan di atas. Untuk ini, pantauan langsung mengenai tingkat
efek paparan terhadap manusia yang terkait adalah prasyarat. Dalam
penelitian yang dipaparkan di sini, dapat digunakan untuk mendukung
ELISA adalah metode yang dapat diakses, kuat dan sensitif yang
dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan yang diperlukan.

36
BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah. Kedua metode


ELISA merupakan metode yang cocok untuk analisis MC dalam
serum darah manusia, meskipun keduanya juga meiliki beberapa

37
kelemahan terutama waktu yang dibutuhkan untuk persiapan sampel
atau hasil recovery yang berlebihan dari beberapa konsentrasi jenis
MC yang spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

A. Humpage, Toxin types, toxicokinetics and toxicodynamics, in:


H.K. Hudnell (Ed.), Cyanobacterial Harmful Algal
Blooms: State of the Science and Research Needs,
Springer, New York, 2008, pp. 383–415.

38
S. Merel, M.C. Villarín, K. Chung, S. Snyder, Spatial and thematic
distribution of research on cyanotoxins, Toxicon 76(2013)
118–131.

Y. Grosse, R. Baan, K. Kurt Straif, B. Secretan, F. El Ghissassi, V.


Cogliano, Carcinogenicity of nitrate, nitrite, and
cyanobacterial peptide toxins, Lancet Oncol. 7 (2006) 628–
629.

B.W. Ibelings, K.E. Havens, Cyanobacterial toxins: a qualitative


meta-analysis of concentrations, dosage and effects in
freshwater, estuarine and marine biota, Adv. Exp. Med.
Biol. 619 (2008) 675–732.

C. Robillot, J. Vinh, S. Puiseux-Dao, M.-C. Hennion, Hepatotoxin



production kinetics of the cyanobacterium Microcystis
aeruginosa PCC 7820, as determined by HPLC mass
spectrometry and protein phosphatase bioassay, Environ. Sci.
Technol. 34 (2000) 3372–3378.

D. Feurstein, K. Kleinteich, A.H. Heussner, K. Stemmer, D.R.


Dietrich, Investigation of microcystin congener-dependent
uptake into primary murine neurons, Environ. Health
Perspect. 118 (2010) 1370–1375.

Hafeez1, U., Gan, H.K., Scott, A.M. 2018. Monoclonal antibodies as


immunomodulatory therapy against cancer and autoimmune
diseases. Journal of Current Opinion in Pharmacology. doi:
10.1016/j.coph.2018.05.010

39
J. Meriluoto, L. Spoof, Preparation of standard solutions of microcystin-
LR for HPLC calibration, in: J. Meriluoto, G.A. Codd (Eds.),
Toxic: Cyanobacterial Monitoring and Cyanotoxin Analysis,
Acta Academiae Aboensis. Ser. B, Mathematica et physica,
Åbo Akademi University Press, 2005, pp. 65–68.

A.H. Heussner, S. Altaner, L. Kamp, F. Rubio, D.R. Dietrich, Pitfalls in


microcystin extraction and recovery from human blood serum,
Chem-Biol. Interact. 223 (2014) 87–94.

B.M. Brena, L. Díaz, D. Sienra, G. Ferrari, N. Ferraz, U. Hellman, G.


Gonzalez- Sapienza, J.A. Last, ITREOH building of regional
capacity to monitor recreational water: development of a non-
commercial microcystin ELISA and its impact on public
health policy, Int. J. Occup. Environ. Health 12 (2006) 377–
385.

J.S. Metcalf, G.A. Codd, Analysis of cyanobacterial toxins


by immunological methods, Chem. Res. Toxicol. 16
(2003) 103–112.

40

Anda mungkin juga menyukai