Anda di halaman 1dari 50

SARI KEPUSTAKAAN KEPADA YTH :

PERIPHERAL ULCERATIVE KERATITIS

RESIDEN : Muhammad Dede Gunawan


DIVISI : External Eye Disease
PEMBIMBING : dr. Marina Yusnita Albar, M.Ked(Oph), Sp.M
dr. T. Siti Harilza Zubaidah, M.Ked(Oph), Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3


2.1. Anatomi Kornea ..................................................................... 3
2.1.1. Epitel .......................................................................... 3
2.1.2. Membran Bowman ..................................................... 4
2.1.3. Stroma ........................................................................ 5
2.1.4. Membran Descemet.................................................... 6
2.1.5. Endotel ....................................................................... 7
2.1.6. Limbus........................................................................ 8
2.1.7. Pasokan Vaskular ....................................................... 9
2.1.8. Palisades Of Vogt....................................................... 9
2.2. Fisiologi Kornea...........................................................................10
2.3. Peripheral Ulcerative Keratitis (PUK).........................................10
2.3.1. Predisposisi untuk Reaksi Imun.......................................12
2.3.2. Patogenesis.......................................................................12
2.3.3. Evaluasi Klinis.................................................................15
2.3.4. Penyakit Spesifik..............................................................19
2.3.5. PUK Terkait Penyakit Sistemik.......................................21
2.3.6. Penyakit di Kornea Perifer...............................................24
2.3.7. Modalitas Investigasi..................................................25
2.4. Penatalaksaaan.............................................................................28
2.4.1. Medikamentosa................................................................28
2.4.2. Mengobati Penyakit Aktif................................................30
2.4.3. Manajemen, Timing dan Indikasi untuk Operasi.............36

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40

i
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 1. Epitel Kornea dan membran bowman ........................................ 4


Gambar 2. Lapisan Kornea ...................................................................... 6
Gambar 3. Lapisan sel endotel pada mikroskop specular ......................... 7
Gambar 4. Anatomi Mikroskopis Limbus.................................................. 8
Gambar 5. Patofisiologi PUK : interaksi respon imun seluler & humoral,
yang akhirnya menyebabkan ulserasi kornea perifer....................15
Gambar 6. Gambaran Keratitis Ulseratif Perifer Pada Slit-Lamp....................18
Gambar 7. Keratitis Ulseratif Perifer dengan defek Stroma.............................18
Gambar 8. Gambaran AS-OCT pada PUK......................................................27
Gambar 9. Algoritma pengobatan PUK dengan kecurigan akibat
penyakit infeksi menular................................................................30
Gambar 10. Algoritma pengobatan PUK akibat penyakit infeksi menular........31
Gambar 11. Algoritma pengobatan dalam kasus infeksi bakteri (kultur
gram negatif)...................................................................................32
Gambar 12. Manajemen dalam kasus keratitis ulseratif perifer pada kasus
inflamasi.........................................................................................32
Gambar 13. Algoritma pengobatan PUK karena autoimun...............................33
Gambar 14. Pola Langkah-Tangga Pengobatan untuk Ulkus Mooren...............34
Gambar 15. Algoritma penatalaksaan untuk PUK.............................................38
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 1. Tanda klinis dan penyakit sistemik pada PUK...................................19


Tabel 2. Klasifikasi Watson tentang Ulkus Mooren.........................................21
Tabel 3. Obat yang umum digunakan pada PUK..............................................35
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea perifer merupakan bagian yang terletak di antara 50% sentral


kornea dan limbus. Karakteristik secara anatomi dan imunologi yang unik dari
kornea perifer menimbulkan gejala klinis yang tidak melibatkan kornea sentral.
Tidak seperti kornea sentral yang avaskular, kornea perifer dan limbus
mendapatkan suplai nutrisi melalui konjungtiva anterior dan pembuluh darah
bagian dalam episklera yang dapat memanjang hingga 0,5 mm ke dalam kornea
yang jernih. Bersamaan dengan pembuluh darah tersebut, terdapat aliran limfatik
subkonjungtiva yang menyediakan jalur aferen dari reaksi imunologis pada
kornea.1,2
Peradangan ulseratif kornea perifer terjadi pada kornea perilimbal
berhubungan dengan penyakit vaskular kolagen dan arthritis autoimun.
Rheumatoid Arthritis (RA) dan Systemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah
penyakit autoimun yang paling umum. Penyakit autoimun dapat menyebabkan
banyak komplikasi, salah satunya pada mata. Komplikasi okular dapat menjadi
tanda pertama dari suatu penyakit. Manifestasi okular yang umum adalah
keratokonjungtivitis sicca, episkleritis, skleritis, uveitis, dan vaskulitis retina.
Manifestasi okular penyakit autoimun yang paling sering adalah sindrom mata
kering dan keratokonjungtivitis sicca. Manifestasi okular yang paling berat dan
merusak adalah keratitis ulseratif perifer. Kerusakan okular akibat penyakit
autoimun merupakan manifestasi yang jarang dan lambat terjadi.3,4
Keratitis ulseratif perifer adalah peradangan unilateral stroma berbentuk
sabit, yang melibatkan kornea juxtalimbal dan ditandai dengan penipisan sektoral
kornea yang terkena. Keratitis ulseratif perifer seringkali disertai inflamasi ke
konjungtiva, episklera, dan sklera yang berdekatan. Adanya inflamasi jaringan
yang berdekatan tersebut memperburuk perjalanan keratitis ulseratif perifer dan
menyebabkan komplikasi yang berpotensi serius, seperti perforasi kornea.
Komplikasi keratitis ulseratif perifer dapat dicegah dengan diagnosis dini, deteksi
penyakit inflamasi sistemik yang mendasarinya, dan perawatan yang tepat. Pasien

1
dengan penyakit vaskular kolagen sering terkait dengan keratitis ulseratif perifer,
membutuhkan pengobatan sistemik yang agresif untuk mengurangi progresivitas
dari kerusakan kornea. Prinsip tatalaksana keratitis ulseratif perifer adalah
menghambat progresifitas ulserasi kornea, mempertahankan integritas bola mata,
mempercepat penyembuhan defek epitel, dan menatalaksana penyakit sistemik
yang mendasari. 5.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kornea


Kornea merupakan lapisan terluar bola mata yang bersifat transparan.
Kornea memiliki diameter horizontal 10-12 mm dan vertikal 10-11 mm, ketebalan
rerata sekitar 550 μm yang meningkat dari sentral ke perifer. Kornea berperan
sekitar 75% dari total kekuatan refraksi atau sekitar 43,25 dioptri, indeks bias
antara 1,423 - 1,436. Diameter, kelengkungan, dan ketebalan kornea dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, ras, panjang aksial, dan status
refraksi. Kornea merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis sel dan padat
dengan protein, terutama kolagen. Protein tersusun dengan padat dan teratur
dalam matriks yang kaya akan proteoglikan sehingga kornea terjaga
transparansinya. Selain itu, kornea tidak memiliki jaringan pembuluh darah
(avaskular) kecuali di bagian tepinya yang disebut limbus. Dari anterior ke
posterior, kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu epitel, lapis Bowman, stroma,
membran Descemet, dan lapisan endotel.7.8.9

2.1.1. Epitel
Lapisan epitel kornea terdiri dari sel epitel dan membran atau lamina
basalis. Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 50 μm. Fungsi utama epitel kornea
adalah sebagai sawar yang mencegah masuknya benda atau zat asing,
mengakomodasi penyerapan nutrisi seperti oksigen dari air mata yang melewati
permukaan epitel, membantu mempertahankan kadar hidrasi stroma, dan sebagai
permukaan optik. Epitel kornea terdiri dari 5-7 lapis sel skuamosa bertingkat non-
keratin, yang secara morfologis dibedakan menjadi selapis sel kolumna basalis, 2-
3 lapis sel sayap, dan 1-2 lapis sel skuamosa superfisial. Sel basalis membentuk
lapisan tunggal tepat di depan lamina basalis. Sel basalis ini merupakan sel-sel
terdalam dan tertinggi di epitel kornea, menyumbang sekitar 40% dari ketebalan
epitel keseluruhan. Di depannya, terdapat dua hingga tiga lapis sel sayap, yaitu
sel sel yang lebih pendek dari sel basal.7
Gambar 1. Epitel Kornea dan membran bowman.9

Pada epitel kornea terdapat proses pergantian rutin, di mana sel sayap akan
berubah menjadi sel skuamosa dan mengisi lapisan sel skuamosa superfisial,
sedangkan dan sel-sel skuamosa dipermukaan akan mengalami deskuamasi ke tear
film melalui proses berkedip. Peralihan dari sel basal, ke sel sayap, kemudian ke
sel skuamosa membutuhkan waktu 1-2 minggu. Pergantian ini merupakan
mekanisme protektif untuk mengganti sel epitel yang terinfeksi atau rusak.
Membran atau lamina basalis epitel memiliki ketebalan 0,3 μm dan disusun
terutama oleh kolagen tipe IV dan laminin. Laminin membentuk ikatan kuat
dengan subunit α6β4 integrin dari hemidesmosom yang krusial dalam
mempertahankan stabilitas hemidesmosom.7.8.9

2.1.2. Membran Bowman


Lapisan ini merupakan lapisan aseluler dengan tebal sekitar 17 μm, yang
terdiri dari serat kolagen yang tipis dan transparan. Lapisan ini tidak mampu
beregenerasi setelah terjadi cedera. Oleh karena itu, cedera kornea yang merusak
lapisan ini dapat menimbulkan pembentukan jaringan parut. Pada lokasi dan luas
tertentu, jaringan parut dapat mengganggu penglihatan.10
2.1.3. Stroma
Stroma merupakan lapisan kornea yang paling tebal dan menyusun sekitar
80-85% ketebalan kornea (500 μm) (Gambar 2). Secara embriologis, ini
merupakan hasil migrasi neural crest yang terjadi pada minggu ke-7 kehamilan.
Stroma bersifat transparan yang tersusun dari serat stroma dan matriks
ekstraseluler dan keratosit. Matriks ekstraselular terdiri dari kolagen (Tipe I, III,
V, VI) dan glikosaminoglikan. Matriks ekstraselular paling banyak tersusun atas
Kolagen tipe I. Glikosaminoglikan terdiri dari keratan sulfat, kondroitin sulfat,
dan dermatan sulfat.11
Serat kolagen tersusun dalam bundel paralel yang disebut fibril. Fibril ini
berada di dalam lapisan atau lamela. Stroma mengandung 200-250 lamella yang
berbeda, setiap lapisan tersusun teratur dan berdekatan. Pada sentral kornea, lebih
dari dua ratus serat lamela bertumpuk satu sama lain. Kepadatan nya lebih tinggi
di lamella anterior daripada posterior stroma. Fibril kolagen tersusun dalam
banyak lapisan dan terletak saling sejajar sehingga memungkinkan terjaganya
fungsi transmisi cahaya dan sebagai faktor penting dalam transparansi kornea.
Ada sekitar 300-400 molekul triple-heliks dalam penampang fibril.10
Jarak antar lamela kolagen dipertahankan oleh proteoglikan. Proteoglikan
ini relatif higroskopik, sehingga membuat stroma rentan mengalami
pembengkakan, namun untuk mempertahankan transparansinya stroma harus
berada dalam ketebalan yang konstan dan dalam keadaan deturgesensi (relatif
dehidrasi). Kondisi ini dapat dicapai dengan tight junction dari sel epitel dan peran
dari sistem pompa ion endotel.6.9
Keratosit merupakan struktur sel utama dari stroma. Keratosit berperan
dalam sintesis molekul kolagen dan glikosaminoglikan, serta matriks
metaloproteinase (MMP), yang semuanya penting dalam mempertahankan
homeostasis stroma. Sebagian besar keratosit berada di stroma anterior.7
Gambar 2. Lapisan Kornea.7

2.1.4. Membran Descemet


Membran Descemet adalah lapisan tipis yang tersusun oleh serat kolagen
yang dihasilkan oleh sel endotel di belakang stroma. Lapisan dengan ketebalan 10
μm ini relatif mudah mengalami perbaikan setelah cedera dan memiliki peran
penting dalam melindungi struktur internal mata dari infeksi dan trauma.7.8
Membran Descemet terdiri dari dua zona, anterior banded zone yang
berisi kolagen dengan jarak yang lebar dan posterior non-banded zone yang
tampak amorf. Bagian ini melekat pada anterior stroma kornea melalui zona
transisi yang disebut interfacial matrix. Distribusi fibronektin dan komponen P
terdapat pada lapisan membran Descemet ditemukan menggunakan teknik
imunogold ultrastruktural. Fibronektin sebagian besar terdapat di bagian posterior
non-banded zone dan di anterior banded zone. Bagian anterior dari posterior non-
banded zone lebih sedikit fibronektin.11
2.1.5. Endotel
Lapisan endotel kornea merupakan lapisan kornea terdalam yang tersusun
atas selapis sel berbentuk heksagonal dan kaya akan mitokondria. Sel endotel
merupakan lapisan tunggal yang tampak mosaik seperti sarang lebah jika dilihat
dari sisi posterior. Ketebalan struktur ini 5 μm. Sel endotel saling berhubungan
dengan gap junction dan “leaky” tight junction. Adanya “leaky” tight junction ini
memungkinkan perpindahan cairan antara stroma dan bilik mata depan, sebuah
proses yang penting dalam suplai nutrisi ke kornea. Sel endotel berisi pompa aktif
NaK –ATPase berfungsi pada sistem transpor ion dan jalur intraseluler karbonat
anhidrase. Aktivitas di kedua jalur ini menghasilkan aliran ion dari stroma ke
aqueous humor bersifat hipertonik. Mekanisme ini penting untuk memelihara
kornea agar tetap jernih dan relatif dehidrasi. Sel endotel pada manusia bersifat
non proliferatif setelah lahir dan tidak dapat beregenerasi, sehingga kerusakannya
dapat menimbulkan disfungsi kornea yang berkepanjangan. Kehilangan sel akan
menyebabkan pembesaran dan penyebaran sel-sel untuk menutupi area defek.
Normal densitas sel endotel sekitar 2000-3000 sel/mm2. Pada permukaan sel
endotel mengandung banyak hemidesmosom yang meningkatkan adhesi pada
membran Descemet. 10.12

Gambar 3. Lapisan sel endotel pada mikroskop specular.12


2.1.6. Limbus
Limbus terletak diarea perifer kornea dengan lebar 1 mm yang membentuk
transisi antara kornea (transparan) dan konjungtiva (putih)/sklera. Meskipun
transparan seperti kornea, limbus kaya akan pembuluh darah dan ujung saraf
seperti halnya konjungtiva. Limbus dibagi menjadi secara anatomis, histologis,
dan bedah.13

Gambar 4. Anatomi Mikroskopis Limbus13

Secara anatomis limbus dibentuk oleh pertemuan antara konjungtiva dan


epitel kornea, dimana terdapat stem sel yang multipotensial untuk berdiferensiasi.
Limbus secara histologis didefinisikan sebagai pertemuan kornea dan sclera yang
gambarkan secara potongan cross-sectional. Yang mana hanya terdiri dari dua
lapisan yaitu epitel dan stroma, dikarena membran bowman yang berhenti tumbuh
dan membran Descemet bergabung menjadi bagian dari trabecular meshwork.
Epitel disini masih merupakan sel skuamosa bertingkat tetapi memiliki 10 lapisan
atau lebih dengan lapisan sel basal yang lebih kecil, lebih padat, dengan
sitoplasma yang sedikit.14
Stroma didaerah ini akan menjadi jaringan ikat normal dengan banyak
pembuluh darah yang merupakan cabang anastomosis dari arteri silier anterior
yang berakhir pada lingkaran dari plexus marginal dan kemudian mengalir
kembali ke venula konjungtiva. Limbus terdiri dari stem cell yang memiliki siklus
lambat dan mampu menjalani proliferasi serta diferensiasi. Setiap stem cell terbagi
menjadi stem cell anakan dan sel amplifikasi yang transien. Sel transien ini
terletak di lapisan basal di mana mereka membelah lagi untuk menghasilkan sel
pasca-mitosis. Sel-sel pasca-mitosis ini mengalami diferensiasi lebih lanjut untuk
menghasilkan sel yang dibedakan secara terminal. Sel-sel ini mencapai lapisan
superfisial di mana kelonggaran epitel terus menerus terjadi.14
Secara klinis, limbus secara bedah ditandai sebagai zona transisi yang
berwarna biru-abu-abuan yang menggambarkan konjungtiva dari Limbus. Daerah
ini memiliki lebar kira-kira 1,2 mm tetapi lebih kecil dalam meridian
horizontalnya. Batas posterior zona biru ini sejajar dengan posisi trabecular
meshwork secara internal. Dengan demikian sayatan bedah yang terletak di
anterior ke zona biru ini akan masuk jauh ke trabecular meshwork.15

2.1.7. Pasokan Vaskular


Pembulu darah limbal menyuplai nutrisi ke kornea perifer, konjungtiva,
episclera, sclera, dan uvea perifer. Pembulu darah limbal menerima aliran darah
dari arteri ciliary anterior. Arteriol dari arteri ini memasok nutrisi ke kornea
perifer dan beberapa ujung arteriol mencapai Palisades of Vogt. Vena dari kornea
perifer mengalir ke vena orbital bersama dengan vena dari Episclera.16.

2.1.8. Palisades Of Vogt


Palisades of Vogt pertama kali dijelaskan pada tahun 1914 dan VOGT
memberikan istilah “palisades” ke bagian anatomi ini pada tahun 1921. Palisades
of Vogt adalah tonjolan fibrovaskular yang berlokasi di limbus korneoscleral
superior dan inferior. Pada bagian ini terdapat banyak stem sel limbal dan dapat
diidentifikasikan sebagai indikator kesehatan pada stem sel. Palisades of Vogt
memiliki bentuk (i) standar, (ii) meningkat, atau (iii) menurun. Dalam pola
standar, palisade berbentuk seperti gelombang silinder tipis dengan jarak yang
cukup seragam dan dengan sedikit atau tanpa pigmentasi. Dalam pola yang
meningkat, gelombang lebih luas, sangat berpigmen, dan bertrabekulasi,
sedangkan dalam pola yang menurun, gelombang akan lebih tipis dan lebih halus.
Antara jaringan ikat palisades, ada zona epitel yang menebal yang disebut antar-
palisad. Visualisasi Palisades telah dipelajari secara ekstensif dengan berbagai
metode seperti menggunakan confocal mikroscopy dan bahkan dengan OCT.14,18-
25

2.2. Fisiologi Kornea


Nutrisi kornea bergantung pada difusi glukosa dari aquos humor dan
oksigen melalui tear film,7 sedangkan kornea perifer mendapat suplai oksigen dari
sirkulasi limbus. Kornea memiliki densitas ujung saraf dan sensitifitas yang tinggi
yang mana serabut saraf sensoris berjalan dari nervus siliaris dan membentuk
plexus subepitel. Neurotransmitter pada kornea meliputi asetilkolin, katekolamin,
substansi P, peptida kalsitonin gene-related, neuropeptida Y, peptipda intestinal,
galanin, dan methionine-enkephalin. Epitel permukaan kornea memiiliki
pertahanan mekanis terhadap invasi mikroba. Sel epitel kornea, keratosit, dan sel
endotel sedikit menghasilkan molekul MHC-I namun tidak menghasilkan MHC-
II. Pada kornea yang sehat tidak ditemukan leukosit, namun sel-sel Langerhans
dan sel dendritik yang aktif pada epitel kornea perifer dapat dengan cepat
melakukan migrasi menuju sentral kornea jika adanya invasi dari mikroba. Invasi
mikroba memicu sel epitel mensekresikan interleukin-1 dan sitokin lain yang
meningkatkan respon imun lokal melalui migrasi, adhesi dan aktivasi sel imunitas.
Saat terjadi infeksi, keratosit pada kornea mengaktivasi kaskade inflamasi dengan
sekresi sitokin proinflamasi. Limfosit dan neutrophil yang berasal dari tear film,
kaskade vaskuler limbus, maupun dari bilik mata depan juga akan migrasi ke
kornea.12

2.3. Peripheral Ulcerative Keratitis (PUK)


Peripheral ulcerative keratitis (PUK) adalah penyakit inflamasi destruktif
pada juxtalimbal stroma kornea yang berkaitan dengan defek epitel, adanya sel
inflamasi di stroma dan peleburan stroma yang progresif. Mekanisme
patofisiologis dari PUK masih belum diketahui secara pasti. Hal ini dapat
dikaitkan dengan berbagai macam penyakit ocular maupun sistemik baik infeksi
maupun non-infeksi. Meskipun diduga terdapat etiologi yang berbeda, namun
mekanisme keseluruhanya dianggap identik pada semua bentuk PUK. Sejumlah
kondisi sistemik diketahui terkait dengan PUK. Hal ini termasuk penyakit
pembuluh darah kolagen seperti rheumatoid arthritis, Wegener's granulomatosis,
systemic lupus erythromatosus, relapasing polychondritis, polyarteritis nodosa,
dan kondisi infeksi seperti sifilis dan hepatitis C. Beberapa kondisi lokal non-
infeksi seperti Ulkus Mooren juga dapat menyebabkan PUK.26.27
Kornea perifer memiliki keunikan baik dalam karakteristik morfologis
maupun imunologis yang menjadi predisposisi untuk reaksi inflamasi. Kornea
sentral mendapat suplai oksigen dari udara sekitar, tear film dan humor aqueous.
Sebaliknya, kornea perifer menerima oksigen dan nutrisi tambahan dari kapiler
perilimbal. Aliran vaskular dan limfatik perilimbal terutama berperan sebagai
reservoir untuk sel imunokompeten seperti makrofag, limfosit, Langerhans, dan
sel plasma. Proksimitas jaringan kornea dengan arkade ini dengan mudah
mengekspos kornea perifer ke sel inflamasi dan mediator inflamasi, yang dapat
menyebabkan keratitis ulseratif perifer.26
Secara morfologis, matriks ekstraseluler kornea terdiri dari lamellae serat
kolagen yang sangat terorganisir yang tersusun dalam rangka glikosaminoglikan.
Sel-sel utama yang terletak di antara lamellae ini adalah fibroblas pipih, meskipun
kadang-kadang juga terdapat leukosit polimorfonuklear, makrofag, dan limfosit.
Fibroblas kornea (keratosit) memainkan peran penting dalam pemeliharaan dan
pergantian matriks kornea. Mekanisme utama yang terlibat dalam laju pergantian
matriks adalah keseimbangan optimal antara kolagenase dan penghambat
jaringannya.27
Kolagenase terutama diproduksi oleh fibroblas dan sel mononuklear yang
menginvasi. Dikemukan bahwa adanya ketidakseimbangan antara kadar
kolagenase spesifik (MMP-1) dan penghambat jaringannya (TIMP-1) di PUK
dimana menyebabkan keratolisis cepat yang merupakan ciri khas pada kondisi ini.
Namun, masih belum dapat dipastikan apakah faktor-faktor tersebut dapat
menginisiasi PUK. Penelitian cenderung menunjukkan bahwa proses autoimun
yang dimediasi humoral dan yang dimediasi sel terlibat dalam mekanisme
tersebut.28.29
2.3.1. Predisposisi untuk Reaksi Imun
Kornea perifer memiliki karakteristik morfologis dan imunologis berbeda
yang mempengaruhi reaksi imun. Pembuluh darah limbal diketahui
mengakumulasi IgM, kompleks imun, C1 (komponen pertama dari kaskade
komplemen) serta molekul dengan berat molekul tinggi lainnya. Deposisi
kompleks imun ini mengaktivasi jalur klasik sistem komplemen. Proses ini,
selanjutnya, menghasilkan kemotaksis sel inflamasi termasuk neutrofil dan
makrofag ke kornea perifer. Sel inflamasi ini melepaskan enzim kolagenase dan
protease yang berpotensi mengganggu stroma kornea. Destruksi stroma
selanjutnya dapat dipercepat dengan pelepasan sitokin seperti interleukin-1 dari
sel inflamasi ini yang memungkinkan keratosit stroma menghasilkan matriks
metaloproteinase-1 & 2.16.30
PUK dapat terjadi pada pasien dengan beberapa penyakit autoimun,
terutama rheumatoid arthritis, yang sering dikaitkan dengan skleritis nekrotikans
yang parah. Lesi ini memiliki patogenesis vaskulitik di mana kompleks imun
terletak di kornea perifer dan juga di pembuluh limbal. Terdapat pula kemotaksis
sel inflamasi, terutama neutrofil dan histiosit selain pembebasan enzim dari sel
inflamasi. Akibatnya terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan.16

2.3.2. Patogenesis
Ada perbedaan besar dalam anatomi dan fisiologi kornea perifer
dibandingkan dengan kornea sentral yang membuatnya lebih rentan terhadap
kerutan, ulserasi, dan manifestasi lain dari gangguan autoimun dan sistemik
metabolik. Kornea perifer adalah zona transisi antara kornea dan sklera dan
mencakup beberapa karakteristik histologis yang merupakan kombinasi dari
kornea, konjungtiva, episklera, dan sklera. Ketebalan kornea perifer lebih besar
(∼1 mm) dari pada ketebalan kornea sentral (∼0,5 mm). Pada kornea perifer sel-
sel epitel lebih melekat erat pada membran basal dan stroma di bawahnya
daripada di sentral. Konsentrasi dan potensi replikasi sel induk epitel (reservoir
untuk sel epitel kornea) adalah yang tertinggi ada di kornea perifer, bersama
dengan aktivitas mitogenik maksimum dari sel-sel endotel.17
Extracellular Corneal Matrix (ECM) terdiri dari fibril kolagen yang
tertanam dalam kerangka glikosaminoglikan. Susunan fibril kolagen terorganisasi
dengan baik di kornea sentral dibandingkan dengan susunan yang lebih longgar di
kornea perifer. Suatu keadaan keseimbangan antara kolagenase dan penghambat
jaringannya mempertahankan integritas kornea dan laju pergantian matriks
kornea. 17
Ketidakseimbangan antara tingkat matriks metalloproteinase (MMP),
kolagenase spesifik yang menyebabkan degradasi ECM dan penghambat jaringan
MMP (TIMP) di stroma kornea dapat mengakibatkan gangguan pergantian
matriks kornea menuju peningkatan tingkat keratolisis yang telah didalilkan
sebagai patomekanisme utama pada PUK. MMPs disekresikan oleh fibroblas
lokal, sel mononuklear yang menginvasi, dan granulosit. TIMP ditemukan
kekurangan ketika ada lesi di kornea. peran MMP-2 dan MMP-9 yang
disekresikan oleh keratosit stroma kornea, kelenjar lakrimal, epitel konjungtiva
dan kornea. Ada peran MMP-2 dan MMP-9 yang disekresikan oleh keratosit
stroma kornea, kelenjar lakrimal, sel epitel konjungtiva dan kornea, dan oleh
infiltrasi sel inflamasi dari neovaskularisasi limbus, dalam proses penyakit pada
PUK. Korelasi telah ditemukan antara kadar MMP-1 dan perforasi kornea pada
pasien dengan PUK. Selain MMP, faktor apoptosis dan proteolitik lainnya juga
dapat berkontribusi pada pencairan stroma. 17
Fisiologi kornea perifer juga berbeda dari kornea sentral. Kornea perifer
memiliki persarafan saraf yang lebih sedikit dan oleh karena itu sensitivitasnya
lebih rendah. Kornea perifer memiliki tingkat yang lebih tinggi dari gen
glikoprotein Mucin4 terkait permukaan sel (MUC4) yang memiliki aktivitas
pelindung epitel dan juga mengatur pembaruan dan diferensiasi sel epitel. Sumber
nutrisi dari kornea sentral sebagian besar adalah film air mata dan humor aquos,
sedangkan untuk kornea perifer, sumber nutrisi utama adalah melalui kapiler
perilimbal yang memanjang sekitar 0,5 mm di kornea. 17
Meskipun kornea sentral avaskular, kornea perifer memiliki suplai
vascular serta limfatik yang cukup baik. Gangguan suplai vaskular ini dapat
menyebabkan nekrosis dan ulserasi. Arcade vaskular dan limfatik perilimbal juga
bertindak sebagai sumber imunoglobulin (misalnya, IgM) dan sel imun, termasuk
makrofag, sel plasma, dan limfosit. Kedekatan dengan arcade ini, oleh karena itu,
menempatkan kornea perifer pada risiko yang lebih tinggi dari paparan sel-sel
inflamasi dan mediator seperti IgM, kompleks imun, dan protein pelengkap
(misalnya, C1). 17
Mekanisme pasti yang menyebabkan PUK masih belum jelas, tetapi
penelitian menunjukkan bahwa mekanisme imun humoral dan seluler terlibat.
Telah dihipotesiskan bahwa respons sel T abnormal memulai produksi antibodi
dari sel plasma, dengan pembentukan kompleks imun berikutnya yang disimpan
di stroma kornea perifer. Hal ini menyebabkan aktivasi jalur komplemen, yang
menyebabkan kemotaksis sel inflamasi lebih lanjut dan pelepasan kolagenase dan
protease, yang menyebabkan invasi dan destruksi stroma kornea perifer. 17

Pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA), autoantibodi dan antigen


diri bersatu untuk membentuk kompleks imun, yang menyebabkan aktivasi lebih
lanjut sel B dan protein pelengkap. Sel B, selain memproduksi autoantibodi, juga
dapat menghasilkan sitokin yang merangsang respon sel T patogen. Sel B juga
membantu dalam menyajikan peptida antigenik melalui molekul MHC kelas II,
yang selanjutnya menyebabkan sel T mengeluarkan sitokin yang terkait dengan
RA. Ada juga ekspresi abnormal antigen HLA kelas II pada keratosit pada pasien
dengan PUK, bersama dengan vaskulitis konjungtiva yang berdekatan.
Pembentukan pannus juga merupakan peristiwa kunci yang dipertahankan melalui
angiogenesis dan pengelompokan sel imun di kornea perifer. 17
Gambar 5. Patofisiologi keratitis ulseratif perifer melibatkan interaksi
respon imun seluler dan humoral, yang akhirnya menyebabkan
ulserasi kornea perifer.17

2.3.3. Evaluasi Klinis


Riwayat Klinis
Anamnesis yang cermat sangat penting untuk menegakkan diagnosis PUK.
Timbul dan berkembangnya gejala dalam kasus PUK merupakan suatu
karakteristik. Bentuk PUK yang paling umum, yaitu ulkus Mooren
diklasifikasikan menjadi tiga kategori berbeda tergantung pada onset, usia pasien,
perkembangan, dan temuan pemeriksaan. Onsetnya bisa sangat akut pada kasus
ulkus Mooren. Penyakitnya bisa unilateral atau bilateral. Sebagian besar kasus
yang terkait dengan penyakit sistemik dapat memiliki presentasi bilateral.36

Gejala dan Tanda


Berbagai keluhan dalam kasus PUK antara lain sebagai berikut:
Kemerahan dan nyeri pada mata, Berair, dan Fotofobia: Nyeri yang
dirasakan dapat prominen dan mungkin parah. Nyeri yang menyiksa yang tidak
sebanding dengan tingkat keparahan ulkus, sering kali merupakan ciri khas ulkus
Mooren. Selama tahap penyembuhan ulkus, pasien dapat mengalami peredaan
nyeri yang berat selama perjalanan penyakit.
Penglihatan yang menurun: Dalam kasus akut, ketajaman visual
mungkin normal atau dapat ditemukan pengurangan ketajaman visual secara
ringan. Sangat jarang, kasus dapat muncul dengan kehilangan penglihatan akut
jika dikaitkan dengan perforasi kornea. Dalam kasus kronis, ketajaman visual
dapat berkurang secara sekunder untuk astigmatisme yang diinduksi atau opasitas
kornea.
Gambaran sistemik: PUK dapat menjadi manifestasi dari penyakit
sistemik yang tersembunyi. Dengan demikian, riwayat sistemik yang menyeluruh
sangat penting dan harus mencakup keluhan utama, karakteristik penyakit saat ini,
riwayat kesehatan masa lalu, riwayat keluarga, dan tinjauan sistem yang cermat.43-
45
Penyakit sistemik seperti; Rheumatoid arthritis (RA), Wegener's
granulomatosis (WG), Relapsing polychondritis (RP), Systemic lupus
erythematosus (SLE), Polyarteritis nodosa (PAN), Microscopic polyangiitis,
Sjogren syndrome, Giant cell arteritis (GCA), dan sindrom Churg-Strauss
mungkin hadir dengan gejala berikut:
• Umum — Gejala konstitusional seperti menggigil, demam, suhu badan
meningkat di malam hari, rasa tidak enak badan, nafsu makan buruk,
penurunan berat badan baru-baru ini, dan kelelahan.
• Muskuloskeletal — Mialgia, nyeri sendi, artritis, nyeri punggung, dan
keterbatasan gerak.
• Kulit — Ruam, pigmentasi, nodul, vesikula, ulkus, perubahan kuku, dan
infark periungual.
• Gastrointestinal — Nyeri perut, mual, muntah, kesulitan menelan, dan diare.
• Pernapasan — Batuk, nyeri dada, mengi, pneumonia, dan sesak napas.
• Jantung — Nyeri dada seperti angina, dan dispnea
• Neurologis — Sakit kepala, kejang, gangguan psikiatri, kelumpuhan, dan
gejala neuropati perifer seperti mati rasa / kesemutan / sensasi terbakar.
Gejala berulang: Kekambuhan sering terjadi. Oleh karena itu, riwayat
keluhan serupa sebelumnya dapat ditemukan. Riwayat trauma masa lalu atau
pembedahan baru-baru ini dapat mendahului serangan akut PUK.5.39.40
Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan slit-lamp yang cermat dapat menemukan tanda-tanda berikut.
• Ulserasi cresentic perifer dengan defek epitel, penipisan dan infiltrasi stroma
di limbus. Ini dimulai sebagai infiltrat putih keabuan berbentuk bulan sabit di
kornea perifer kemudian diikuti oleh defek epitel dan penipisan stroma. Ulkus
biasanya melibatkan sepertiga superfisial dari stroma pada awalnya. Ulkus
konsentris pada limbus; tepi terdepan mengalami kerusakan, infiltrasi, dan de-
epitelisasi. Penyebarannya melingkar dan kadang-kadang sentral dengan
kehilangan epitel dan penipisan stroma. Jika keadaan berlanjut, hal ini
menciptakan tepi yang menjorok ke perbatasan tengahnya. Tepi bagian depan
yang mengalami kerusakan dan infiltrasi merupakan karakteristik dari
penyakit ini. Probing bagian perifer dapat mengungkapkan tingkat destruksi
stroma yang lebih besar berbeda dengan apa yang tampak secara klinis.41-43
Dalam kasus yang parah, penipisan stroma dapat berkembang menjadi
perforasi kornea. Area yang mengalami perforasi sering tersumbat oleh iris
yang menutup celah tersebut.
• Limbitis kemungkin ada, juga beberapa penyakit dapat ditemukan
• Jika terdapat skleritis ini dapat membantu membedakan dari PUK terkait
penyakit sistemik.
• Kita dapat melilhat vaskularisasi yang melibatkan dasar ulkus hingga bagian
perifer depan tetapi tidak lebih dari itu.
• Saat penyakit berkembang, dibagian belakang tepi ulkus yang semakin
berlanjut, penyembuhan mungkin terjadi. Tahap penyembuhan ditandai
dengan penipisan, vaskularisasi, dan pembentukan skar. Area yang sembuh
tetap keruh.
• Dalam kasus tingkat lanjut dari ulkus Mooren, sebagian besar kornea hilang,
meninggalkan area sentral yang dikelilingi oleh area jaringan yang sangat
menipis, dengan skar, dan bervaskularisasi.
• Iritis dan cell & flare di bilik mata depan juga dijumpai.
• Konjungtiva dan sklera yang berdekatan biasanya mengalami inflamasi dan
hiperemis.
• PUK yang terkait dengan penyakit autoimun sistemik muncul dengan
gambaran spesifik tertentu yang sering membantu dalam membedakan dari
ulkus Mooren.38-40
- Nyeri tidak separah Ulkus Mooren
- Berbeda dengan ulkus Mooren, ekstensi ke sklera dapat terjadi.
- Tidak ada pemisahan antara proses ulseratif dan limbus

Gambar 6. Gambaran Keratitis Ulseratif Perifer Pada Slit-Lamp38

Menunjukkan karakteristik tepi yang menjorok kedalam, kehilangan


stroma dengan penipisan dan infiltrasi stroma yang berdekatan dengan edema
kornea. Sementara ulkus berkembang secara sentripetal, penyembuhan dapat
dilihat di perifer yang ditandai dengan pembentukan skar dan vaskularisasi.38

Gambar 7. Keratitis Ulseratif Perifer yang Menunjukkan Kehilangan


Stroma.38

Tabel 1. Tanda klinis dan penyakit sistemik pada keratitis ulseratif perifer 5
2.3.4. Penyakit Spesifik
Ulkus Mooren
Diagnosis banding yang paling penting untuk PUK adalah ulkus Mooren.
Ini merupakan diagnosis eksklusi, dibuat dalam kasus PUK tanpa hubungan
dengan sistemik dan tanpa skleritis. Kasus tipikal dari ulkus Mooren
membutuhkan waktu sekitar 4-18 bulan untuk penyembuhan total yang
mengakibatkan kornea yang mengalami vaskularisasi dan skar.36-38 Komplikasi
seperti iritis, hipopion, glaukoma, dan katarak dapat terjadi. Perforasi kornea dapat
terjadi pada 35-40% kasus, sering dikaitkan dengan trauma minor pada kornea
yang melemah.36.40 Watson telah mengklasifikasikan penyakit berdasarkan
presentasi klinis dan temuan fluoresens segmen anterior dosis rendah:
(1) Ulkus Mooren unilateral
(2) Ulkus Mooren agresif bilateral, dan
(3) Ulkus Mooren lamban bilateral.41

Ulkus Mooren unilateral: Ini merupakan tipe langka yang terutama


menyerang pasien berusia diatas 60 tahun. Onsetnya cepat dengan kemerahan dan
nyeri hebat di mata yang terkena. Pada pemeriksaan, kornea akan menunjukkan
gambaran khas ulkus Mooren, yang dapat berkembang perlahan atau sangat cepat
dari satu titik fokus. Selama fase stroma, kornea sentral dihilangkan seluruhnya
dan lapisan tipis pembentukan skar menutupi endotel yang intak dan ditutupi oleh
epitel yang berasal dari sisa-sisa konjungtiva.41
Ulkus Mooren progresif cepat bilateral: Ulkus Mooren bilateral
umumnya ditemukan di subkontinen India dan di komunitas asal India dan di
beberapa bagian Afrika Barat. Kelompok usia yang terkena biasanya antara 14
dan 40 tahun. Presentasi yang biasa terjadi adalah lesi khas unilateral di satu mata
diikuti dengan perkembangan lesi di mata lainnya. Angiografi mengungkapkan;
perubahan arsitektur pembuluh episkleral dengan beberapa area penutupan,
pecahnya arkade limbal, kebocoran dari ujung pembuluh ini, dan perluasan
pembuluh darah ke dasar ulkus. 41
Ulkus Mooren progresif lambat bilateral: Biasanya menyerang pasien
pada usia dekade kelima atau lebih. Tampak sebagai ulkus lamban bilateral yang
berlangsung lambat. Beberapa mungkin sembuh secara spontan.41

Tabel 2. Klasifikasi Watson tentang ulkus Mooren41


2.3.5. PUK Terkait Penyakit Sistemik
PUK dapat dikaitkan dengan kondisi sistemik dan dapat menjadi
manifestasi awal dari vaskulitis yang mendasarinya. Sebagian besar kasus kondisi
sistemik telah diketahui pada saat diagnosis, namun, sekitar 25% kasus PUK
didahului oleh manifestasi sistemik.41.45 Dengan demikian, riwayat medis yang
cermat, tinjauan sistem yang komprehensif, dan pemeriksaan laboratorium yang
sesuai diperlukan dalam kasus PUK.40 44
Artritis reumatoid
Artritis reumatoid/rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit sistemik
paling umum yang terkait dengan PUK. RA diamati pada 34-42% kasus PUK.40.44
Prevalensi PUK pada pasien RA sekitar 3%.35 PUK dapat muncul sebagai
komplikasi skleritis atau terlepas dari kondisi ini. PUK reumatoid sering terjadi
pada pasien dengan RA yang destruktif, seringkali nodular, dalam jangka waktu
lama, seringkali setelah 20 tahun perkembangan penyakit, dan pada pasien dengan
titer RF dan antibodi anti-CCP yang tinggi. Serial kasus pasien skleritis terbesar
yang dipublikasikan, terdiri dari 500 pasien, PUK terkait diamati pada 7,4% kasus
skleritis, tetapi pada 35% kasus merupakan skleritis nekrotikans. 43 Dihipotesiskan
bahwa presentasi PUK dapat menandakan transformasi RA menjadi fase
vaskulitik sistemik.44.49-51 Presentasi PUK pada pasien dengan RA menunjukkan
tahap penyakit yang mengancam jiwa dan harus diperlakukan sebagai keadaan
39.43-45
darurat dengan terapi imunosupresan dan sitotoksik . Angka kematian 5
tahun untuk RA yang tidak diobati dengan PUK atau skleritis adalah sekitar 50%.
Profil klinis pasien dan studi serologi positif membantu menegakkan diagnosis.

Granulomatosis Wegener
Granulomatosis Wegener/Wegener's granulomatosis (WG) adalah
penyakit langka, dengan etiologi yang tidak diketahui, yang ditandai dengan
vaskulitis pada saluran pernapasan bagian atas dan bawah, seringkali merupakan
kombinasi dengan glomerulonefritis.36.37.46 WG dapat mengenai banyak organ,
termasuk kulit, mata, jantung, sistem saraf, dan saluran pencernaan dan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi pada mata seperti skleritis, proptosis, PUK,
dan konjungtivitis. Keratitis ulseratif perifer yang dialami pada pasien dengan WG
adalah penyakit nonspesifik yang menyebabkan inflamasi konjungtiva dan skleral
yang pada akhirnya menyebabkan penipisan kornea jika terapi sistemik tidak
dimulai. Berbeda dengan RA, PUK sering bermanifestasi pada awal WG, yang
mengarah pada diagnosis kondisi sistemik. Keterlibatan pada mata terjadi hingga
50-60%.37.46 Pasien mungkin datang dengan konjungtivitis dan skleritis yang
dapat berkembang menjadi PUK atau PUK dapat muncul sebagai temuan
tersendiri. Sklera biasanya terlibat dalam kasus tersebut dan ini membedakannya
dari ulkus Mooren di mana sklera umumnya tidak terlibat. 37 Tes laboratorium,
seperti tes antibodi sitoplasma anti-neutrofil serum (ANCA) membantu
menegakkan diagnosis, titer ANCA berkorelasi dengan tingkat keparahan dan
luasnya penyakit dan cenderung menurunkan remisi penyakit. Dua pola
pewarnaan dikaitkan dengan tes ini - C-ANCA (antibodi sitoplasma anti-neutrofil
sitoplasma) dan P-ANCA (antibodi sitoplasma anti-neutrofil perinuklear). Tes C-
ANCA memiliki spesifikasi 99% dan sensitivitas 96%.46 Tes ini juga membantu
untuk mengikuti respons klinis terhadap terapi dan kemungkinan kambuhnya
PUK lebih besar jika nilai-nilai ini belum dinormalisasi, meskipun ada remisi
klinis ketika terapi dikurangi atau dihentikan. Ketika penyakit terbatas, sensitivitas
turun dan fluktuasi titer c-ANCA mungkin berkorelasi dengan keadaan
penyakit.37.46

Polyarteritis Nodosa
PAN adalah penyakit multi-sistem langka dengan vaskulitis nekrotikans
pada arteri kecil dan menengah.47.48 Etiologi tidak diketahui, dan diagnosis
bertumpu pada identifikasi histopatologi dari perubahan vaskular yang khas.
Skleritis, PUK, dan vaskulitis retinal adalah manifestasi inflamasi mata yang
dominan dari penyakit ini. PAN merupakan penyakit yang mengancam jiwa
dengan angka kematian 85% jika tidak diobati, angka kematian sebesar 50% jika
diobati dengan kortikosteroid saja, dan angka kematian hanya 5% jika diobati
dengan siklofosfamid dan kortikosteroid sistemik dengan pengurangan
kortikosteroid.48 Ciri klinis PUK pada penyakit ini mirip dengan Ulkus Mooren.
Antigen permukaan hepatitis B positif pada sekitar 50% pasien dengan PAN.
Terapi imunosupresif sistemik adalah kunci untuk memperlambat perkembangan
PUK.37.48 Perkembangan keratitis ulseratif perifer atau skleritis atau vaskulitis
retinal pada pasien dengan poliarteritis nodosa yang telah didiagnosis, pada terapi,
merupakan indikasi kebutuhan akan terapi yang lebih kuat.48
Infeksi pada Mata dan Sistemik
Infeksi mata dan sistemik juga dapat menyebabkan atau berhubungan
dengan PUK. Patogen mikroba yang terlibat dalam etiologi PUK meliputi bakteri
(spesies Staphylococcus dan Streptococcus), spirochetes (Treponema pallidum),
Mycobacteria (tuberculosis), virus (hepatitis C, virus herpes simpleks, virus
varicella zoster), acanthameoba, dan jamur.37.40

2.3.6. Penyakit di Kornea Perifer


Beberapa gangguan kornea perifer dapat menyerupai PUK. Keratitis
marginal dan ulkus phlyctenular dapat muncul dengan gambaran klinis yang mirip
dengan PUK. Diferensiasi seringkali sulit selama tahap aktif ulserasi. Namun,
tanda-tandanya tidak terlalu parah dan sembuh sendiri. Infeksi herpes dimulai
dengan defek epitel, diikuti oleh infiltrat, yang merupakan urutan kebalikan dari
yang diamati pada keratitis periferl.36.37 Keratitis perifer merespons dengan cepat
terhadap steroid topikal, sedangkan PUK mungkin memburuk karena kurangnya
pengobatan sistemik yang ditargetkan. Zona intervensi yang jelas antara infiltrat
dan limbus, dan blepharitis dapat dilihat pada kasus keratitis marginal
stafilokokus. Pasien umumnya tidak mengeluhkan rasa sakit yang parah seperti
yang terlihat pada kasus ulkus Mooren.36.37 Terrien Marginal Degenerative (TMD)
dapat disalahartikan dengan PUK karena terkait penipisan kornea perifer progresif
dan vaskularisasi superfisial. Namun, tidak seperti PUK dan ulkus Mooren,
inflamasi dan defek epitel bukanlah ciri khas dari TMD, TMD biasanya tidak
menimbulkan rasa sakit, tidak mengalami ulserasi. Demarkasi dari kornea tengah
dengan garis abu-abu merupakan ciri TMD. TMD dimulai secara superior sebagai
kekeruhan stroma pungtata halus dan zona bening ada di antara limbus dan
infiltrat. Terdapat vaskularisasi superfisial di hampir semua kasus. Zona penipisan
perifer ditentukan oleh garis lipid putih di tepi tengahnya yang perlahan-lahan
mengalami penipisan progresif yang menyebar secara melingkar dan
menyebabkan astigmatisme yang ireguler.36.37 Degenerasi furrow senilis ditandai
dengan menipisnya interval lucid antara arkus dan limbus, dapat terjadi pada
lansia.37 Namun, epitel masih intak dan tidak ada infiltrasi atau inflamasi.
Alurnya dangkal dan tidak mengalami vaskularisasi, dengan tepi sentral dan
perifer yang melandai. Progresi penyakit sangat lambat, dan tidak memiliki risiko
perforasi. 36.37

2.3.7. Modalitas Investigasi


Evaluasi harus mencakup riwayat penyakit yang cermat, pemeriksaan
fisik, dan tinjauan yang sistematis. Pendekatan holistik harus diarahkan pada
gejala dan riwayat sistemik yang terkait dengan keratitis ulseratif perifer dan
skleritis, meliputi rheumatoid arthritis (RA), granulomatosis dengan poliangiitis
(Wegener granulomatosis), polyarteritis nodosa, plate polikondritis, sistemik
lupus eritematosus, sindrom churg-strauss, dan penyakit radang usus. Infeksi dan
trauma juga harus ditanyakan. Berbagai modalitas investigasi bertujuan untuk
menemukan entitas penyakit yang mendasarinya.49
Pengujian standar pada semua pasien dengan keratitis ulseratif perifer dan
skleritis mencakup investigasi hematologis seperti pemeriksaan hemoglobin,
pemeriksaan darah lengkap, uji fungsi ginjal dan hati, serta urinalisis. Selain itu,
pengujian imunologis untuk penanda vaskulitis direkomendasikan, seperti
[Antibodi Antineutrophil Cytoplasmic (ANCA)], dan penanda lain yang perlu
dipertimbangkan berdasarkan riwayat klinis dan pemeriksaan meliputi antibodi
antinuklear (ANA Test), faktor reumatoid, dan antibodi terhadap siklus peptida
citrullin(antibodi anti-PKC).49.50
Selain itu, semua pasien harus menjalani pengujian untuk sifilis. Biasanya,
kedua tes nonspesifik [Rapid Plasma Reagin (RPR)] dan tes khusus Treponema
[antibodi treponemal fluorescent (FTA-ABS)] digunakan untuk mengevaluasi
infeksi spirochetal. Selain itu, x-ray dada harus diperoleh untuk mengevaluasi
penyakit paru yang dapat dilihat pada beberapa kondisi sistemik yang terkait
dengan keratitis ulseratif perifer dan skleritis (mis., Sarkoidosis, vaskulitis,
tuberculosis). Selain itu, infeksi mikrobiologi lokal harus dipertimbangkan pada
semua pasien, terutama yang tinggal di iklim tropis di mana infeksi mata lebih
sering terjadi.49.50
Pada mata yang curigai memiliki infeksi lokal (seperti tampak gambaran
nekrosis, pembentukan abses), pemeriksaan mikrobiologis menggunakan kultur
diperlukan untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan lain yang mungkin
diperlukan dalam situasi tertentu berdasarkan riwayat klinis dan pemeriksaan
misalnya pengujian serologis untuk penyakit Lyme, skin-test untuk tuberkulosis.
Tes serologis dan radiografi tambahan mungkin diperlukan untuk menyingkirkan
kondisi inflamasi dan infeksi tertentu Misalnya, pada pasien dengan artritis aksial,
radang sendi sacroiliac.49.50

- Tes imunologis
1. Antibodi Antirheumatoid
2. Antibodi peptida citrullin (anti-CCP) anti-siklik
3. Antibodi Antinuklear
4. Antibodi sitoplasma antineutrofil
5. Antibodi Antiphospholipid.49.50

Pemeriksaan mikrobiologis dilakukan untuk mengatahui penyebab dari infeksi


keratitis. Yang mana sampel harus dikumpulkan pada kunjungan awal sebelum
dimulainya terapi. Kemudian dikirim untuk pemeriksaan smear dan diinokulasi
pada media kultur. Terapi dapat dimulai berdasarkan hasil pemeriksaan smear
dan, jika diperlukan dapat dimodifikasi sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas.49.50

Imaging modalities
a. Angiografi fluorescein dosis rendah,
Angiografi fluorescein telah dipercaya sebagai modalitas yang bermanfaat
pada monitoring skleritis. Daerah yang diminati pertama kali difoto pada
pembesaran 10 dan 16. Angiografi fluorescein kemudian dilakukan setelah
menyuntikkan 5 ml 10% natrium fluorescein ke dalam vena antecubital dan
gambar ditangkap menggunakan kamera yang sama pada interval kedua, dimulai
setelah 10 detik setelah injeksi. Angiografi fluorescein dosis rendah lebih disukai
daripada angiografi fluorescein konvensional karena memanfaatkan dosis yang
lebih rendah dari pewarna fluorescein dan penggunaan film fotografi yang lebih
sensitif. Ini menghasilkan kebocoran yang lebih sedikit dan kualitas gambar yang
lebih baik kelainan atau penyakit yang dapat dideteksi menggukan pemeriksaan
ini, Sclerokeratitis, Stromal Keratitis dan Destructive Keratitis. 51.52

b. Anterior Segment Optical Coherence Tomography


AS-OCT adalah alat penting untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis
skleritis. Perbedaan dalam jenis kolagen dan distribusinya antara kornea dan
sklera menghasilkan sifat optik yang berbeda. Inilah alasan mengapa kita dapat
membedakan antara lapisan kornea dan sklera. Gambaran scleral dipandang
sebagai struktur yang sangat reflektif sementara kornea adalah struktur yang
menyebar lemah. Gambaran dari pemeriksaan ini sangat berguna dalam
menunjukkan sepenuhnya proses inflamasi. Diffuse Anterior Scleritis, Necrotizing
Anterior Scleritis, Nodular Anterior Scleritis 53

Ganbar 8. Gambaran AS-OCT yang menunjukkan area peradangan dengan


edema dan terpisahnya serat kolagen 53

c. Ultrasonography
Ultrasonografi B sangat membantu dalam pencitraan skleritis anterior dan
posterior. Namun, peran utamanya adalah memantau skleritis posterior. Kompleks
retina, koroid, dan scleral dipandang sebagai lapisan heterogen dikelilingi oleh
lemak orbital echogenic dan vitreous echolucent. Dalam skleritis posterior, ada
pengurangan echogenecity mantel posterior bola mata. Cairan dalam kapsul
Tenon dan selubung saraf optik memunculkan "T-Sign". Bilah vertikal dari 'T'
dibentuk oleh saraf optik melebar yang merupakan echolucent dan bar horizontal
yang dibentuk oleh cairan echolucent Tenon.53

d. CT SCAN
Pemindaian CT Pemindaian Tomografi Terkomputerisasi menggunakan
sinar-X untuk menghasilkan pemindaian cross-sectional mata dan orbit. Ini sangat
berguna di hadapan skleritis granulomatosa di mana ada penghancuran tulang atau
infiltrasi sinus. Namun, tidak cocok untuk memantau jalannya penyakit karena
mempekerjakan sinar-X.54

2.4. Penatalaksaaan
2.4.1. Medikamentosa
Kunci untuk terapi medikamentosa adalah pendekatan sistematis dan logis
berdasarkan pemahaman yang kuat tentang proses penyakit yang mendasarinya.
Work up dan investigasi awal akan mengarahkan apakah anti-biotik atau anti-
inflamasi akan digunakan. Perawatan empiris harus dimulai berdasarkan klinis
dan investigasi dasar sementara penetalaksanaan yang lebih rinci dan tes lebih
lanjut sedang berlangsung. Hasil dari pengobatan dan hasil investigasi awal akan
membantu menentukan tindakan lebih lanjut. Pendekatan yang disesuaikan
khusus untuk setiap pasien diperlukan berupaya membantu menyingkirkan
diagnosis diagnosis lainya.
Manajemen mencakup investigasi dan pengobatan penyakit yang tepat.5.58
Pendekatan sistematis dan logis dengan gejalan klinis berdasarkan sejarah dan
pemeriksaan yang disesuaikan sesuai dengan diagnosis banding. Pemeriksaan
imunologis diperukan jika pemeriksaan awal tidak dapat mengevaluasi penyebab
dasar penyakit. Untuk tujuan praktis, pengobatan dimulai secara empiris di klinik
dan kemudian dimodifikasi atau diubah sesuai dengan respons pasien dan hasil
pemeriksaan lainya. Ini juga mempertimbangkan etiologi infeksi sebelum
memulai penatalaaksaan steroid topikal. Dalam mempertimbangkan protokol
pengobatan, keratitis ulseratif perifer dapat ditangani mengingat mereka sebagai
sindrom klinis. Berikut adalah protokol penatalaksanaan utama: 59-61
- PUK dengan dugaan etiologi infeksi atau infeksi sekunder aktif bakteri /viral/
jamur/protozoal/parasite.
- PUK dengan dugaan etiologi inflamasi sekunder pada infeksi lokal yang
dikendalikan dengan pengobatan tanpa bukti infeksi aktif
- PUK dengan dugaan etiologi inflamasi sekunder pada infeksi sistemik (TBC,
virus zoster varicella, demam berdarah, leishmaniasis, arthritis gonococcal,
sifilis)
- PUK dengan etiologi inflamasi dari sifat autoimun terkait dengan penyakit
vaskular kolagen sistemik
- PUK dengan etiologi inflamasi dari sifat autoimun tanpa penyebab etiologis
lokal atau sistemik yang terbukti didiagnosis sebagai ulkus MooNen dengan
pengecualian konsisten dengan manifestasi klinis.59.60

Selain itu, informasi berbasis bukti menunjukkan bahwa mungkin ada


respons yang diharapkan berbeda terhadap pengobatan dan juga kemungkinan
respons terhadap strategi perawatan tertentu berdasarkan lateralitas keterlibatan
dan kronologi. Seseorang dapat merampingkan proses pengambilan keputusan
seseorang dengan mempertimbangkan presentasi dalam sub-kategori berikut:
1. PUK Unilateral.
2. PUK bilateral.
a. Keterlibatan non-simultan dari kedua mata
b. Keterlibatan simultan kedua mata. 59.60

Selanjutnya, pasien dengan kekambuhan harus ditangani dengan seksama,


apakah gejala yang timbul serupa atau berbeda dari serangan sebelumnya dan
apakah kekambuhan terjadi setelah terapi dihentikan atau pada pasien dengan
terapi imunosupresif yang sedang berjalan atau terdapat faktor risiko baru lainnya.
Prinsip-prinsip luas yang mengatur pendekatan terapeutik untuk pengobatan
keratitis ulseratif perifer dapat diuraikan secara individual dengan tujuan
manajemen berikut:
1. Selidiki untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya termasuk faktor
risiko dan penyakit terkait sehingga pengobatan yang ditargetkan khusus dapat
direncanakan
2. Mengevaluasi dan menilai tingkat keterlibatan untuk menentukan urgensi
situasi dan merencanakan intervensi yang sesuai
3. Carilah komorbiditas lokal yang membutuhkan perhatian
4. Berikan perhatian pada penyakit sistemik aktif apa pun dengan merujuk pada
dokter bagian lain.
5. Jika obat sistemik diharuskan untuk diresepkan terutama obat-obatan dengan
efek samping sistemik yang cukup besar, konsultasikan dengan dokter lainya
untuk perawatan bersama.59.60

2.4.2. Mengobati Penyakit Aktif


Tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan peradangan, menghentikan
perkembangan, mempromosikan penyembuhan dari cacat epitel dan perbaikan
stroma yang rusak, hindari komplikasi sekunder, meminimalkan jaringan parut
dan menyelamatkan atau memulihkan penglihatan. Ikuti pendekatan berbasis
bukti yang sistematis. Kita menargetkan perawatan khusus jika agen etiologis
diketahui, terutama jika infeksi aktif hadir (Tabel 5.1; Gambar 5.3, 5.4 dan 5.5).

Gambar 9. Algoritma pengobatan PUK dengan kecurigan akibat penyakit


infeksi menular 59.60
Gambar 10. Algoritma pengobatan PUK akibat penyakit infeksi menular 59.60
Gambar 11. Algoritma pengobatan dalam kasus dugaan etiologi infeksi
bakteri (kultur gram negatif) 59.60

Gambar 12. Manajemen dalam kasus keratitis ulseratif perifer pada kasus
inflamasi 59.60
Rencanakan perawatan bertahap yang dimulai dengan steroid topikal untuk
tukak inflamasi dikombinasikan dengan langkah-langkah bedah tergantung pada
respons terhadap terapi atau tingkat penyakit. Waspadai indikasi untuk lembaga
awal imunosupresi sistemik dengan agen kemoterapi yang dapat mencakup
berikut.61-64:

Gambar 13. Algoritma pengobatan PUK karena autoimun61-64


Gambar 14. Pola Langkah-Tangga Pengobatan untuk Ulkus Mooren.70

- PUK dengan penyakit autoimun sistemik aktif terutama vaskulitis yang


berpotensi mematikan yang berkaitan dengan rheumatoid arthritis, poliarteritis
nodosa, granulomatosis Wegener, dan polikondritis yang berulang
- PUK dengan skleritis
- PUK dengan vaskulitis okular yang terdeteksi dengan biopsi konjungtiva
- PUK dengan simultan bilateral
- PUK yang mengelami perburukan yang progresif meskipun dengan terapi
medis dan bedah konvensional agresif.

Agen anti-inflamasi primer sebagai andalan pengobatan satu pendekatan


bertahap penting ketika mempertimbangkan perawatan dengan agen
imunosupresif. Pengobatan mengkerucut berdasarkan respons yang terlihat setelah
6 bulan terapi intensif. Bergeser ke agen yang kurang toksik ketika pengobatan
memiliki respon yang baik dan ada kontrol peradangan yang baik.73
Cyclophosphamide adalah obat penting yang digunakan dalam kasus keratitis
ulseratif yang terkait dengan rheumatoid dan wegner. 5.61.63.68-73
Obat yang umum digunakan dengan dosis, frekuensi, durasi, dan efek
sampingnya.

Tabel 3. Obat yang umum digunakan pada PUK73

Mecanism of
No Medication Dose Frequency Duration Side effect
action
1 Prednisolone Blocks 1 Single dose Taper Hyperglycemia,
transcription of mg/kg/ over 8– hypertension,
anti-inflammatory day 12 weeks osteoporosis,
genes [65] gastric ulcers
2 Methotrexate Antimetabolite 5–25 Once a Taper as Hepatotoxity,
which inhibits mg/wee week Required low
formation of k WBC count,
THFR* thus ulcerative
decreasing DNA stomatitis,
synthesis It nausea,
induces apoptosis fatigue, renal
of T-Helper cells failure
3 Cyclophosphamide Alkylating agent 2 Single dose Taper as Bone marrow
Decreases mg/kg/d Required suppression,
replication of ay nausea,
T-cells vomiting,
stomach aches,
haemorrhagic
cystitis, diarrhea
4 Azathioprine Purine synthesis 1–2.5 Single/two Taper as Hypersenstivity
inhibitor. It mg/kg/ divided Required reaction, skin
inhibits enzyme day doses rashes,
required for DNA predisposition to
synthesis, thus neoplasias,
affecting nausea,vomiting
proliferating cells , hepaticand
renal damage
5 Cyclosporine Calcineurin 2.5–5 Divided Taper as Gum
Inhibitor Inhibits mg/kg/ doses required hyperplasia,
the T-cell activity day hypertension,
hyperkalemia,
hirsuitism,
fever,
vomiting,dyspne
a,
convulsions
6 Mycophenolate Inhibits purine 1–3 Two Taper as Gastrointestinal
mofetil synthesis pathway gm/day divided required upset, elevated
inhibits doses liver enzymes,
replication bone marrow
of T and B cells suppression,
malaise, fatigue
Recent advances
1 Infliximab Anti-TNF-α 3 mg/kg 0,2 and 18 nfections, drug
chimeric (I.V.) 6 weeks, months induced lupus,
monoclonal and then 2 psoriatic lesions,
antibody monthly demyelinating
diseases, new
onset
vitiligo
2 Etanercept TNF inhibitor Taper as Serious
(decoy receptor) required infections,
reactivation of
tuberculosis and
hepatitis B
3 Rituximab Anti-CD20 Taper as Infusion
chimeric required reaction,
monoclonal cardiac arrest,
antibody reactivation of
infections

2.4.3. Manajemen, Timing dan Indikasi untuk Operasi


Pada pasien dengan PUK, manajemen dapat secara luas dibagi menjadi
medis, terapi tambahan dan/atau intervensi bedah. Ini dapat terjadi dalam bentuk
keratoplasty dengan pendekatan minimalis. Sangat bijaksana untuk mengadopsi
pendekatan bertahap pada eskalasi terapi tergantung pada tahap dan tingkat
keparahan PUK (Gbr. 6.1). Terapi medis adalah andalan pengobatan untuk puk
untuk mengobati kondisi primer yang mendasarinya dan dengan demikian untuk
mencegah memburuk dan bahkan menghentikan proses penyakit pada tahap awal.
Selain terapi sistemik, terapi topikal mengurangi peradangan, dengan demikian
membatasi pencairan kornea, mempromosikan penyembuhan cacat epitel, dan
mencegah atau mengobati infeksi apa pun. Terapi medis jangka panjang, biasanya
dalam bentuk imunosupresi sistemik, juga diindikasikan untuk mempertahankan
keadaan bebas penyakit, atau dalam kasus penyakit berulang atau kambuh dan
pada pasien yang telah menjalani keratoplasti. Jika perkembangan penyakit terjadi
meskipun terapi medis penuh, prosedur tambahan dapat dilakukan. Ini dapat
membantu mengekang perkembangan penyakit sambil menghindari kompleksitas
keratoplasty dan manajemen selanjutnya. Contoh prosedur tambahan termasuk
perekatan kornea60 (dengan atau tanpa cangkokan), transplantasi membran
amniotik75.76dan reseksi konjungtiva77 (dalam maag mooren). Namun, meskipun
teknik-teknik ini berfungsi untuk memulihkan dan melindungi integritas tektonik
kornea, tidak cukup untuk peningkatan fungsi optik. Akhirnya, intervensi bedah
invasif yang lebih invasif harus dilakukan dalam perkembangan penyakit dengan
peleburan berat yang dapat menyebabkan pembentukan atau perforasi
descemetocele, atau jika pasien sudah hadir dengan penyakit lanjutan. Indikasi
dan prinsip bedah tercantum dalam Tabel 6.3. Pada pasien kami dengan PUK,
ketika langkah-langkah konservatif tidak cukup untuk mengendalikan proses
penyakit dan pasien berisiko tinggi memburuknya morbiditas, intervensi bedah
diperlukan. Kami bertujuan untuk mencapai tujuan tektonik, terapeutik dan optik,
terlepas dari
Metode pilihan kami adalah untuk melakukan cangkok kornea lamellar
tectonic, tekan, berbentuk C78, yang menggunakan jaringan donor yang terlalu
kecil untuk tidak hanya mengobati lelehan perifer, mengoreksi ectasia dan
mengurangi astigmatisme, tetapi juga untuk mengurangi risiko penolakan graft.
dan kegagalan. Ini mirip dengan teknik yang dijelaskan oleh Schanzlin et al. 79,
dengan penambahan efek tekan dari graft untuk mengurangi ectasia dan
meniadakan pengaruh tonjolan jaringan. Meskipun beberapa pasien mengalami
kekambuhan penyakit, dan diperlukan cangkok berulang dan selain operasi
katarak, mereka mencapai hasil visual yang baik. Gambar 13 menunjukkan
seorang pasien yang memiliki penipisan kornea inferior yang signifikan dari
degenerasi marjinal terrien dan silinder preoperative dari 8 dioptres. Setelah
menjalani LK berbentuk C tekan, ada hasil tektonik yang baik dan refraksi yang
stabil dengan ketajaman visual yang baik.
Gambar 14. Algoritma penatalaksaan untuk PUK74

Indikasi Bedah dan Prinsip


Indikasi Bedah
1. tektonik/terapi: meningkatkan kedalaman lelehan yang mengarah ke
pembentukan descemetocele atau perforasi yang akan datang
2. tektonik/terapeutik: memajukan perpanjangan meleleh dan/atau secara
terpusat
3. Optik: Setelah proses penyakit aktif telah dirawat - untuk rehabilitasi visual
ectasia dan induksi astigmatisme, dan untuk stabilitas struktural penipisan
residu

Prinsip bedah
1. Kembalikan integritas struktural kornea perifer pada penyakit parah atau
progresif dengan keratoplasti tektonik
2. Mengadopsi pendekatan minimalis - melakukan operasi lamellar anterior bila
memungkinkan, menghindari penggantian kornea pusat yang tidak
terpengaruh, dan meminimalkan kerusakan sel induk limbal
3. Kembalikan dan tekan fungsi visual - untuk mengurangi ectasia, mengatasi
perubahan topografi dan memperbaiki astigmatisme yang tidak teratur
Pertimbangan pasca operasi
Perawatan dan Pertimbangan pasca operasi
1. Lanjutkan pengobatan penyakit yang mendasari
a. terapi anti-mikroba untuk infeksi
b. manajemen bersama dengan dokter internal untuk terapi antiinflamasi atau
imunosupresif sistemik dan topikal untuk kondisi primer
2. Manajemen graft
a. mengurangi peradangan (baik secara sistemik maupun lokal)
• Pencegahan penolakan graft dan kegagalan
o profilaksis antibiotik untuk mencegah infeksi berulang atau
sekunder mengingat terapi imunosupresif dan penggunaan lensa
kontak perban lainnya
o Komplikasi dan pertimbangan okuler terkait
• Terapi steroid kronis-predisposisi terhadap glaukoma dan
pembentukan katarak
• defisiensi sel induk limbal
o berpotensi menyebabkan cacat epitel yang persisten, ulserasi dan
peleburan
3. Manajemen permukaan mata-mempromosikan epitel ulang dari permukaan
cangkok donor perifer dengan penggunaan lensa kontak perban, dan obat-
obatan bebas pengawet
o pengobatan yang sesuai dari kekurangan sel induk limbal lokal
4. Rehabilitasi visual dengan penghapusan jahitan yang sesuai dan tepat waktu,
koreksi astigmatik dan operasi sekunder jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

1. Mannis MJ, Holland EJ. Cornea. Peripheral Corneal Disease. 4th ed. Elsevier
Inc.; 2017. page 634-655.
2. Ekong T. Peripheral Ulcerative Keratitis. Peripheral Corneal Disorders. Surv
Ophthalmology. 2006; Vol 31; page 1-17
3. Cao Y, Zhang W, Wu J, Zhang H, Zhou H. Review Article Peripheral
Ulcerative Keratitis Associated with Autoimmune Disease : Pathogenesis and
Treatment. 2017; page 1-13.
4. Harthan JS, Reeder RE. Peripheral ulcerative keratitis in association with
sarcoidosis. Contact Lens Anterior Eye. 2013; page 313–317.
5. Yagci A. Update on peripheral ulcerative keratitis. Clinical Opthalmology.
Dove Press. 2012; page 747–754.
6. Bakiah S, Ibrahim M. Recurrence of Peripheral Ulcerative Keratitis on the
Corneoscleral Button in a Young Man Treated Successfully With Oral
Corticosteroids. 2008; page 837–839.
7. American Academy of Ophthalmology. Fundamentals and Principle of
Ophthalmology. Section 2. San Fransisco. 2019-2020. p:169-72
8. Blackburn BJ, Jenkins MW, Rollins AM, Dupps WJ. A review of structural
and biomechanical changes in the cornea in aging, disease, and
photochemical Crosslinking. Front Bioeng Biotechnol. 2019;7:p66.
9. Patel S, Tutchenko L. The refractive index of the human cornea: A
review. Cont Lens Anterior Eye. 2019 Oct;42(5):575–80
10. Meek KM, Boote C. The organization of collagen in the corneal stroma.
Exp Eye Res. 2004;78:503–12
11. Sridhar MS. Anatomy of cornea and ocular surface. Indian J
Ophthalmol. 2018 Feb; 66(2):p190–194.
12. S. G. Levy, A. C. E. McCartney & J. Moss The distribution of fibronectin
and P component in Descemet's membrane: an immunoelectron microscopic
study, Current Eye Research.2009. 14:9, 865-870
13. Messmer EM, Foster CS. Vasculitic peripheral ulcerative keratitis. Surv
ophthalmol. 1999;43:379–96.
14. Bron AJ, Tripath R, Tripath B, editors. The cornea. Wolff’s anatomy of the
eye and orbit. London: Chapman and Hall; 1997. p. 247–51.
15. Kervick GN, Pflugfelder SC, Haimovici R, et al. Paracentral rheumatoid
corneal ulceration. Clinical features and cyclosporin therapy. Ophthalmology.
1992;99:80–8.
16. Riley GP, Harral GP, Watson PG, et al. Collagenase (MMP-1) and TIMP-1 in
destructive corneal disease associated with rheumatoid arthritis. Eye.
1995;9:703–18.
17. Gupta Y, Kishore A, Kumari P, Balakrishnan N, Lomi N, Gupta N, Vanathi
M, Tandon R. Peripheral ulcerative keratitis. Surv Ophthalmol. 2021 Nov-
Dec; 66(6):977-998. doi:10.1016/j.survophthal.2021.02.013. Epub 2021 Feb
28. PMID: 33657431.
18. Schermer A, et al. Differentiation related expression of a major 64K corneal
keratin in vivo and in culture suggests limbal location of corneal epithelial
stem cells. Cell Bio. 1986;103:49–62.
19. Minckler: Anatomy in Glaucoma-Related Surgery. In: Waltman SR, Keates
RH, Hoyt CS, Frueh BR, Herschler J, Carroll OM, editors. Surgery of the
EYE, New York, NY: Churchill Livingstone Inc.; 1987. p. 311–22.
20. Morrison JC, Van Buskirk EM. Anterior collateral circulation in the primate
eye. Am Acad Ophthalmol. 1983;90:707–15.
21. Ascher KW. Aqueous veins. Am J Ophthalmol. 1942;25:31–8.
22. Aurell G, Kornerup T. On glandular structures at the corneo-scleral junction
in man and swine: the so-called “Manz glands”. Acta Ophthalmol.
1949;27:19.
23. Goldberg MF, Bron AJ. Limbal palisades of Vogt. Trans Am Soc.
1982;80:155–171.
24. Echevarria TJ, Di Girolamo N. Tissue-regenerating, vision-restoring corneal
epithelial stem cells. Stem Cell Rev. 2011;7:256–268.
25. Kinoshita S, Adachi W, Sotozono C. Characteristics of the human ocular
surface epithelium. Prog Retin Eye Res. 2001;20:639–73.
26. Wolosin JM, Budak MT, Akinci MA. Ocular surface epithelial and stem cell
development. Int J Dev Biol. 2004;48:981–91.
27. Budak MT, Alpdogan OS, Zhou M, Lavker RM, Akinci MA, et al. Ocular
surface epithelia contain ABCG2-dependent side population cells exhibiting
features associated with stem cells. J Cell Sci. 2005;118(pt 8):1715–24.
28. Townsend WM. The limbal palisades of Vogt. Trans Am Ophthalmol Soc.
1991;89(721–56):721–56.
29. Zheng T, Xu J. Age-related changes of human limbus on in vivo confocal
microscopy. Cornea. 2008;27: 782–6.
30. Kira L. Lathrop et al. Optical coherence tomography as a rapid, accurate,
noncontact method of visualizing the palisades of Vogt. Invest Ophthalmol
Vis Sci. 2012;53:1381–1387.
31. Allansmith MR, Mc Clellan BH. Immunoglobulins in human cornea. Am J
Ophthalmol. 1975;80 (1):123–32.
32. Mondino BJ. Inflammatory diseases of the peripheral cornea. Ophthalmology.
1988;95(4):463–72.
33. Shiuey Y, Foster CS. Peripheral ulcerative keratitis in collagen vascular
disease. Int Ophthalmol Clin. 1998;38(1):21–32.
34. Gregory JK, Foster CS. Peripheral ulcerative keratitis in collagen vascular
diseases. Int Ophthalmol Clin. 1996;36:21–30.
35. Dana MR, Qian Y, Hamrah P. Twenty-five year panorama of corneal
immunology. Cornea. 2000; 19:625–43.
36. Philip S. Immune complex-mediated vasculitis, Chapter 21. In: John H,
Kippel J, et al. editors. Primer in rheumatic diseases, Berlin: Springer; 2008.
p. 427–34.
37. Brown S. Mooren’s ulcer: histopathology and proteolytic enzymes of
adjacent conjunctiva. Br J Ophthalmol. 1975;59:670–4.
38. Foster CS, Kenyon K, Greiner G, at al. The immunopathology of Mooren’s
ulcer. Am J Ophthalmol. 1979;88:149–59.
39. Murray P, Rahi A. Pathogenesis of Mooren’s ulcer: some new concepts. Br J
Ophthalmol. 1984;68: 182–6.
40. Eiferman RA, Carothers DJ, Yankeelov JA Jr. Peripheral rheumatoid
ulceration and evidence of conjunctival collagenase production. Am J
Ophthalmol. 1979;87(5):703–9.
41. Garg P, Sangwan VS. Mooren’s ulcer. In: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland
EJ, editors. Cornea: Fundamentals, diagnostic, management. 3rd ed. St Louis,
MO: Elsevier; 2011.
42. Sharma N, Sinha G, Shekhar H, Titiyal JS, Agarwal T, Chawla B, Tandon R,
Vajpayee RB. Demographic profile, clinical features and outcome of
peripheral ulcerative keratitis: A prospective study. Br J Ophthalmol.
2015;99:1503–8.
43. Artifoni M, Rothschild PR, Brézin A, Guillevin L, Puéchal X. Ocular
inflammatory diseases associated with rheumatoid arthritis. Nat Rev
Rheumatol. 2014;10:108–16.
44. Galor A, Thorne JE. Scleritis and peripheral ulcerative keratitis. Rheum Dis
Clin North Am. 2007;33:835–54.
45. Akpek EK, Demetriades AM, Gottsch JD. Peripheral ulcerative keratitis after
clear corneal cataract extraction. J Cataract Refract Surg. 2000;26:1424–7
46. Watson PG. Management of Mooren’s ulceration. Eye (Lond). 1997;11:349–
56.
47. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS, Baltatzis S. Ocular characteristics
and disease associations in scleritis-associated peripheral keratopathy. Arch
Ophthalmol. 2002;120:15–9.
48. Sainz de la Maza M, Molina N, Gonzalez-Gonzalez LA, Doctor PP, Tauber J,
Foster CS. Clinical characteristics of a large cohort of patients with scleritis
and episcleritis. Ophthalmology. 2012;119:43–50.
49. Moreland LW, Curtis JR. Systemic nonarticular manifestations of rheumatoid
arthritis: focus on inflammatory mechanisms. Semin Arthritis Rheum.
2009;39:132–43.
50. Zlatanović G, Veselinović D, Cekić S, Zivković M, Dorđević-Jocić J,
Zlatanović M. Ocular manifestation of rheumatoid arthritis-different forms
and frequency. Bosn J Basic Med Sci. 2010;10:323–7..
51. Tarabishy AB, Schulte M, Papaliodis GN, Hoffman GS. Wegener’s
granulomatosis: clinical manifestations, differential diagnosis, and
management of ocular and systemic disease. Surv Ophthalmol. 2010;55:430–
44.
52. Akova YA, Jabbur NS, Foster CS. Ocular presentation of polyarteritis
nodosa. Clinical course and management with steroid and cytotoxic therapy.
Ophthalmology. 1993;100:1775–81.
53. Foster CS. Ocular manifestations of the potentially lethal rheumatologic and
vasculitic disorders. J Fr Ophtalmol. 2013;36:526–32.
54. Borg EJ, Houtman PM, Kallenberg CG, van Leeuwen MA, van Rÿswÿk MH.
Thrombocytopenia and hemolytic anemia in a patient with mixed connective
tissue disease due to thrombotic thrombocytopenic purpura. J Rheumatol.
1988;15:1174–7.
55. Giannouli S, Voulgarelis M, Ziakas PD, Tzioufas AG. Anaemia in systemic
lupus erythematosus: from pathophysiology to clinical assessment. Ann
Rheum Dis. 2006;65:144–8.
56. Saari KM. Anterior segment fluorescein angiography in inflammatory
diseases of the cornea. Acta Ophthalmol (Copenh). 1979;57(5):781–93.
57. Watson P, Romano A. The impact of new methods of investigation and
treatment on the understanding of the pathology of scleral inflammation. Eye
(Lond). 2014;28(8):915–30.
58. Biswas J, Mittal S, Ganesh SK, Shetty NS, Gopal L. Posterior scleritis:
clinical profile and imaging characteristics. Indian J Ophthalmol. 1998;46(4):
195–202.
59. Bartly J, Mondino BJ. Inflammatory diseases of the peripheral cornea.
Ophthalmology. 1988;95:463–72.
60. Thomas J, Pflugfelder S. Therapy of progressive rheumatoid arthritis-
associated corneal ulceration with infliximab. Cornea. 2005;24:742–4.
61. Hernandez-Illas M, Tozman E, Fulcher S, et al. Recombinant human tumor
necrosis factor receptor Fc fusion protein (Etanercept): experience as a
therapy for sight-threatening scleritis and sterile corneal ulceration. Eye
Contact Lens. 2004;30:2–5.
62. Virasch VV, Brasington RD, Lubniewski AJ. Corneal disease in rheumatoid
arthritis. In: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ, editors. Cornea:
fundamentals, diagnostic, management. 3rd ed. St Louis, MO: Elsevier; 2011.
63. Ladas JG, Mondino BJ. Systemic disorders associated with peripheral corneal
ulceration. Curr Opin Ophthalmol. 2000;11:468–71.
64. Foster CS, Forstot SL, Wilson LA. Mortality rate in rheumatoid arthritis
patients developing necrotizing scleritis or peripheral ulcerative keratitis.
Ophthalmology. 1984;91:1253–63.
65. Akpek EK, Thorne JE, Qazi FA, Do DV, Jabs DA. Evaluation of patients
with scleritis for systemic disease. Ophthalmology. 2004;111:501–6.
66. Messmer E, Foster S. Destructive corneal and scleral disease associated with
rheumatoid arthritis: medical and surgical management. Cornea.
1995;14:408–17.
67. Tarabishy AB, Schulte M, Papaliodis GN, Hoffman GS. Wegener’s
granulomatosis: clinical manifestations, differential diagnosis, and
management of ocular and systemic disease. Surv Ophthalmol. 2010;55:430–
44.
68. Brown SI, Mondino BJ. Therapy of Mooren’s ulcer. Am J Ophthalmol.
1984;98:1–6.
69. McCarthy JM, Dubord PJ, Chalmers A, Kassen BO, Rangno KK.
Cyclosporin A for the treatment of necrotising scleritis and corneal melting in
patients with rheumatoid arthritis. J Rheumatol. 1992;19: 1358–61.
70. Jabs DA, Rosenbaum JT, Foster CS, et al. Guidelines for the use of
immunosuppressive drugs in patients with ocular inflammatory disorders:
recommendations of an expert panel. Am J Ophthalmol. 2000;130:492–513.
71. Galor A, Jabs DA, Leder HA, et al. Comparison of antimetabolite drugs as
corticosteroid sparing therapy for noninfectious ocular inflammation.
Ophthalmology. 2008;115:1826–32.
72. Thorne JE, Jabs DA, Qazi FA, Nguyen QD, Kempen JH, Dunn JP.
Mycophenolate mofetil therapy for inflammatory eye disease.
Ophthalmology. 2005;112: 1472–7.
73. Sobrin L, Christen W, Foster CS. Mycophenolate mofetil after methotrexate
failure or intolerance in the treatment of scleritis and uveitis. Ophthalmology.
2008;115:1416–21.
74. Gupta N, Sachdev R, Tandon R. Sutureless patch graft for sterile corneal
melts. Cornea. 2010;29 (8):921–3.
75. Ngan ND, Chau HT. Amniotic membrane transplantation for Mooren’s ulcer.
Clin Exp Ophthalmol. 2011;39(5):386–92.
76. Jia Y, Gao H, Li S, Shi W. Combined anterior chamber washout, amniotic
membrane transplantation, and topical use of corticosteroids for severe
peripheral ulcerative keratitis. Cornea. 2014;33 (6):559–64.
77. Agrawal V, Kumar A, Sangwan V, Rao GN. Cyanoacrylate adhesive with
conjunctival resection and superficial keratectomy in Mooren’s ulcer. Indian J
Ophthalmol. 1996;44(1):23–7.
78. Cheng CL, Theng JT, Tan DT. Compressive C-shaped lamellar keratoplasty:
a surgical alternative for the management of severe astigmatism from
peripheral corneal degeneration. Ophthalmology. 2005;112(3):425–30.
79. Schanzlin DJ, Sarno EM, Robin JB. Crescentic lamellar keratoplasty for
pellucid marginal degeneration. Am J Ophthalmol. 1983;96(2):253–4.

Anda mungkin juga menyukai