Anda di halaman 1dari 5

“FUTURE PROOF LEADERSHIP”

oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob, Konsultan SDM EXPERD


HU “Kompas” Karier, 15 Agustus 2020

Penyesuaian masa new normal ini memang penuh dengan gejolak.


Selain isu kesehatan yang menuntut individu untuk senantiasa memakai
masker dan menjaga jarak, situasi work from home ini juga sering
memunculkan konflik.

Ada karyawan yang merasa overwhelmed dengan jam kerja yang


sepertinya tidak lagi normal karena pesan-pesan di Whatsapp group masuk
terus-menerus tanpa kenal waktu, sementara banyak atasan yang merasa
karyawan sudah memiliki banyak kenyamanan karena bisa bekerja dari
rumah tanpa pengawasan sehingga merasa berhak untuk tetap
“mengganggu sedikit” pada hari cuti karyawan.

1
Banyak pemilik perusahaan yang “tidak rela” membayar gaji karyawan
yang bekerja dari rumah karena yakin bahwa karyawan pasti “mencuri”
waktu untuk urusan pribadi. Padahal, dalam era Covid ini, selayaknya kita
semua berpikir bahwa bekerja dari rumah akan menjadi gaya kerja baru
pada masa mendatang.

Banyak atasan atau pemimpin yang sukses pada masanya, dengan


model dan situasi kerja masa lalu, masih gamang menyesuaikan
kepemimpinannya pada era sekarang. Disrupsi yang dimulai dengan
perkembangan teknologi yang secepat kilat, ditambah dengan munculnya
virus Covid-19 secara mendadak telah mengubah semua aspek kehidupan
kita. Cara bekerja kita karenanya juga harus dilakukan dengan berbeda.

Stigma lama di mana orang yang bekerja harus diawasi di depan mata,
termotivasi karena kedekatan fisik, sudah harus mulai ditinggalkan. Kita
harus bisa memantau kinerja tim tanpa berada bersama mereka secara fisik.
Kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang tidak takut
menghadapi masa depan yang serba tidak jelas, berubah dengan sangat
cepat dan menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tidak pernah
dihadapi pendahulu-pendahulu kita.

Pemimpin yang tahan banting

Disrupsi yang terjadi saat ini memang menggugah para pemimpin


untuk mengadakan perubahan. Namun, disrupsi yang sekarang terjadi tidak
sekedar menggugah, tetapi juga sudah memaksa setiap orang untuk selalu
waspada. Pemimpin saat ini perlu betul-betul mengamati bagaimana
perubahan itu terjadi. Harapan pelanggan yang berbeda, kompetitor

2
baru yang bermunculan dengan berbagai kreativitasnya, dan bentuk
bisnis pun berubah. Prediksi semakin sulit untuk dilakukan dengan
akselerasi yang semakin lama semakin cepat. Asumsi pribadi dan
pengalaman masa lalu tidak lagi bisa dijadikan acuan.

Volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity (VUCA), sudah


menjadi bahasa sehari-hari. Satu-satunya jalan bagi pemimpin agar tahan
banting adalah dengan menciptakan masa depan itu sendiri. Seorang
pemimpin perlu menjaga kesadaran ini setiap saat. Berubah sudah harus
menjadi kebiasaan, bahkan harus mempercepat iramanya. Pemimpin perlu
melakukan unlearning terhadap praktik-praktik yang ia lakukan. Ia
perlu dengan rendah hati bersedia mempelajari praktik-praktik baru.

Pemimpin yang future proof adalah pemimpin yang berani mengambil


tindakan ketika informasi tidak memadai dan berani menembus
ketidakpastian dengan menerjang maju. Dasar dari keberanian bergerak ini
adalah keyakinan bahwa bila kita tidak mengubah cara kita berbisnis, kita
tidak akan eksis lagi. Inilah yang oleh pakar manajemen yang juga futuris
disebut sebagai AHA: awareness, humility dan action.

Kepemimpinan memang berubah

Perkembangan teknologi dan globalisasi sudah pasti mengubah


keadaan. Namun, kita tetap harus ingat bahwa kepemimpinan adalah
the act of influencing others, getting the job done through others.
Perubahan yang terlihat pada perilaku pelanggan, penjualan produk, dan
angka laba rugi secara kasatmatalah yang sering menarik perhatian kita.

3
Kita sering lupa bahwa aset organisasi terbesar tetap manusia. Dalam
berorganisasi digital dan memimpin organisasi virtual, bukan sekedar kinerja
individual yang harus dipikirkan oleh pemimpin. Engagement karyawan
akan memiliki dampak yang besar sekali terhadap kinerja jangka
panjang dan membawa organisasi kepada inovasi di masa depan.

Selain itu, pemimpin juga perlu menyesuaikan diri dalam memimpin


generasi yang banyak menggunakan pola pikir gaming dalam bekerja.
Segala sesuatu yang tidak challenging dan fun akan dianggap
membosankan dan ditinggalkan. Bagi generasi X apalagi baby boomers,
memindahkan mindset dari linier menjadi pola pikir yang terpolarisasi seperti
sebuah game memang membutuhkan usaha yang tidak sedikit.

Seorang future proof leader juga tidak hanya melakukan aksi


perubahan, tetapi juga perlu menanamkan semangat perubahan ini pada
anak buahnya. Growth mindset harus ada dalam seluruh organisasi dan
tidak boleh ada seorang anak buah pun tertinggal ketika organisasi berubah.
Bahkan, anak buahlah yang harus menginisiasi perubahan. Pemimpin harus
berada di tengah perubahan. Ia perlu waspada bila dalam kurun waktu
tertentu tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam organisasinya.

Kita sudah lama mengenal kegiatan coaching. Banyak orang


menyadari bahwa seorang pemimpin yang baik juga harus berperan sebagai
coach. Tetapi, dalam pola kerja virtual, coaching tidak lagi menjadi
tanggung jawab pemimpin seorang diri. Ia harus disebarkan dalam
organisasi secara ketuk tular. Tidak boleh ada seorang pun dalam tim
yang tidak melakukan coaching atau tindakan-tindakan korektif setiap
saat. Kita bukan lagi menerapkan reward dan punishment semata,

4
tetapi juga harus membudayakan corrective communication dalam
organisasi. Coaching culture merupakan solusi untuk memimpin
organisasi bila mau berprestasi.

Jadi, seorang pemimpin yang future proof haruslah lebih cerdas dalam
berstrategi, memahami marketing, keuangan dan teknologi serta memiliki
sikap yang lebih positif untuk meminimalisir politik kantor, menciptakan
moral yang tinggi, produktif dan menjaga hati karyawannya.

Anda mungkin juga menyukai