Anda di halaman 1dari 25

CAKRAWALA AKTUALISASI KEPEMIMPINAN CERDAS

(SMART LEADERSHIP) DALAM MENCIPTAKAN


SUMBER DAYA MANUSIA UNGGUL

I. PENGANTAR
Keberadaan dunia saat ini penuh dengan keterbukaan, dunia seolah menyatu
atau dikenal dengan sebutan globalisasi. Globalisasi dimaknai oleh sebagian
besar orang seolah-olah tidak ada lagi batas-batas tembok pemisah antara satu
negara dengan negara lainnya, baik dalam bidang ekonomi, poltik, sosial
maupun budaya. Walaupun masing-masing bangsa memiliki karakter-karakter
bangsanya, namun dengan keterbukaan yang ada semuanya menjadi saling
membaur.

Sebagai konsekuensi dari era globalisasi, adalah tingginya tingkat persaingan


dan tantangan yang ditimbulkannya. Suka atau tidak suka, ini merupakan suatu
realitas yang harus dihadapi setiap warga bangsa. Pertanyaan mendasar dari
realitas ini adalah sanggupkah dan siapkah manusia dikondisikan sebagai
sumber daya transformasi sosial atau sumber daya yang diantisipasi sebagai
pelaku pembangunan? Salah satu upaya mengantisipasinya adalah dengan
menciptakan berbagai sumber daya manusia unggul yang memiliki kemampuan
berbuat sesuatu bagi bangsanya.

Peningkatan kapasitas dan kualitas suatu bangsa melalui pembangunan SDM


yang unggul merupakan tugas bersama dalam menciptakan bangsa yang kuat
dan Negara yang makmur. Melalui SDM yang unggul, tangguh dan berkualitas

1
baik secara fisik dan mental akan berdampak positif tidak hanya terhadap
peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa, namun juga dalam mendukung
pembangunan nasional.

Di sisi lain, kekuatan kepemimpinan menghasilkan berbagai kebijakan dan


operasionalisasi kerja yang dibimbing oleh visi yang akan dijadikan dasar
pencapaian tujuan. Visi yang dijalankan secara konsisten harus menuntut
perubahan budaya yang lebih berorientasi pada mutu baik proses maupun hasil.
Dalam hal ini, Seorang pemimpin harus memiliki keahlian manajerial dan
memahami hal-hal yang sifatnya teknis agar memudahkan ia mengarahkan dan
membina tenaga kependidikan. Ia harus memiliki keterampilan berkomunikasi
dengan orang lain, memiliki kepiawaian berinteraksi, membangun relasi dan
bersosialisasi, sehingga kepemimpinannya berjalan efektif. Dengan demikian hal
penting yang memposisikan diri sebagai komponen yang memberikan pengaruh
yang kuat pada efektifitas pencapaian SDM Unggul adalah Kepemimpinan
Cerdas (Smart Leadership).

Selayang pandang, materi ini berisi deskripsi mengenai konsep kepemimpinan


cerdas, konsep SDM unggul, dan implementasi kepemimpinan cerdas dalam
rangka menwujudkan terciptanya SDM Unggul.

Melalui pemahaman konsep tersebut, peserta diharapkan akan memiliki


kemauan dan kemampuan untuk mengaplikasikan gaya kepemimpinan cerdas
dalam rangka meningkatkan kompetensi, baik dalam lingkup personal maupun
institusional secara berkelanjutan.

II. KONSEP KEPEMIMPINAN CERDAS


Menjadi bos atau pemimpin sebuah perusahaan (entah itu masih berupa startup
atau perusahaan besar), tanggung jawab yang melekat tentu sangat berat.Tak
selamanya tugas yang dikerjakan oleh seorang pemimpin atau bos begitu
mudah. Begitu banyak keputusan yang harus diambil setiap hari, setiap waktu,
apalagi jika kita memiliki tim yang harus kita arahkan sesuai dengan tujuan dan
target yang dituju oleh perusahaan.

Kepemimpinan menuntut waktu dan tenaga yang penuh namun bukan berarti
harus selalu menetap di kantor untuk mengawasi setiap jalannya alur pekerjaan
rutin di kantor. Sebagai pemimpin yang baik, tentu kita harus membimbing
anggota tim atau karyawan kita dalam melakukan tugas mereka sesuai dengan
tanggung jawab mereka masing-masing.
Bagaimanakah cara agar dapat melakukan kepemimpinan yang cerdas sehingga
perusahaan tetap dapat berjalan dengan baik tanpa kita harus selalu ada di
kantor.

Pemimpin yang cerdas adalah mereka yang dapat memaksimalkan jam kerja
dengan belajar untuk mendelegasikan, memprioritaskan dan juga berusaha
untuk menyederhanakan sebuah tugas

Orang-orang yang duduk di posisi kepemimpinan cenderung menganggap


keberhasilan dan nilai di tempat kerjanya diukur dari seberapa lama mereka bisa
tetap ada di kantor (bahkan menambah jam lembur), atau berapa banyak waktu
yang mereka habiskan di luar pekerjaan untuk menjawab email dan meninjau
laporan. Akibatnya, para pemimpin sering merasa stres dan “burn out” bahkan
dari tugas yang kecil sekali pun.

Ada banyak alasan bahwa ketidakseimbangan kehidupan kerja ini tetap menjadi
standar yang diterima bagi para pemimpin selama bertahun-tahun.

Budaya klasik di tempat kerja selalu mengatakan bahwa karyawan akan selalu
berusaha untuk dianggap sebagai pekerja yang “gila” dalam mengesankan para
atasannya.

Menurut Roxana Hewerton, pendiri Forum Business Advice AskRoxi.com bahwa


Pemimpin yang efektif tahu bagaimana menyelesaikan pekerjaan dengan jumlah
waktu yang wajar dan menjaga kehidupan pribadi serta kesehatan mereka
secara keseluruhan yang terintegrasi dengan baik dengan kehidupan kerja
mereka.”

Demikian pula, Leigh Plunkett Tost, seorang profesor bisnis Universitas


Michigan, dimana ia mencatat bahwa beberapa orang bekerja lebih lama alias
kerja lembur untuk menunjukkan dedikasi dan komitmen yang nyata terhadap
organisasinya.

Praktik ini dapat dengan cepat berubah menjadi kompetisi jika lingkungan kerja
kita menggunakan jam kantor sebagai barometer produktivitas. Para pemimpin
yang terlihat seperti “gila kerja” tampaknya tidak mengenali perbedaan antara
kepemimpinan dan manajemen.

Dr. John Alizor, penulis buku “Leadership: Understanding Theory, Style and
Practice” (WestBow Press, 2013), telah menemukan bahwa hal ini adalah
kesalahpahaman umum diantara para pemimpin.Menurutnya, manajer berperan
dalam mengendalikan aktivitas bisnis dan bekerja keras untuk terlibat dalam
segala hal yang mereka bisa. Sedangkan tanggung jawab seorang pemimpin
adalah memimpin. Sebagai pemimpin, tanggung jawab utama kita adalah
membimbing dan mengawasi anggota atau karyawan Anda saat mereka
menyelesaikan pekerjaan mereka, bukan untuk melakukan semuanya sendiri.

Dalam Hal ini, Dr. Tasha Eurich, penulis ‘Bankable Leadership‘ (Greenleaf Book
Group Press, 2013) menyarankan bahwa dengan setiap tugas yang ada,
tanyakan pada diri Anda apakah tugas itu benar-benar sesuatu yang hanya
bisa Anda lakukan.”

Sadarilah bahwa tidak selamanya kita menjadi orang terbaik yang dapat
melakukan setiap tugas yang ada di kantor.Ketika pemimpin bertindak seperti
manajer, mereka sebetulnya sedang menumpuk pekerjaan yang tidak perlu ke
atas meja mereka yang sebetulnya sudah penuh.Selain itu, jika kita bertindak
demikian, malah akan membuat diri kita menjadi seorang micromanajer yang
sombong karena berusaha melibatkan diri dan berpartisipasi dalam setiap tugas
yang sebetulnya tidak perlu kita lakukan.

Salah satu cara terbaik untuk melatih kepemimpinan cerdas adalah


mendelegasikan tugas kepada setiap anggota tim kita sehingga kita dapat
memfokuskan energi pada tanggung jawab yang secara khusus kita miliki.Pada
saat yang sama, penting untuk merencanakan dan memprioritaskan pekerjaan
sehingga tim kita dapat beroperasi semulus dan seefisien mungkin. Di samping
delegasi pasti bisa membuat kita dan organisasi jauh lebih produktif, para
pemimpin harus belajar untuk berhati-hati dalam prosesnya.

Selain memastikan bahwa kita memiliki orang-orang yang kompeten di tim kita,
penting juga untuk mengalokasikan pekerjaan dengan cara yang
memberdayakan orang lain untuk melakukan yang terbaik dan memainkan peran
mereka sebagai pemimpin.Memiliki kekuatan untuk mendelegasikan dapat
membuat pola pikir yang dominan dalam pemimpin, yang dapat menyebabkan
mereka melupakan bahwa peran kepemimpinan yang paling penting adalah
memfasilitasi kinerja tim secara keseluruhan.Sebelum kita mulai
mendelegasikan dan menyelesaikan tugas, luangkan waktu untuk membangun
kekuatan dan semangat tim.

Bawahan (anggota tim) harus merasa aman untuk berkontribusi dalam


perusahaan. Kita harus mengetahui peran dan harapan mereka, saling percaya
untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik dan memanfaatkan kekuatan
sinergi kelompok untuk membuat mereka merasa lebih mampu dalam melakukan
pekerjaan tim mereka.
Berdasarkan kompilasi dari berbagai sumber, kepemimpinan yang cerdas
ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Disiplin
2. Mengutamakan skala prioritas
3. Percaya diri
4. Berinovasi pada penciptaan hal baru dengan efektif
5. Berpengaruh

III. URGENSI KEPEMIMPINAN CERDAS

Dunia saat ini ditandai dengan meningkatnya variasi, saling ketergantungan dan
konektivitas; kompleksitas, perubahan, ambiguitas, kelancaran dan
keberlanjutan. Tidak ada keraguan bahwa pemimpin yang lebih cerdas
dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dan tuntutan yang muncul ini. Namun,
dunia ini tanpa henti cepat dan dinamis. Ini berarti bahwa para pemimpin
menghadapi risiko nyata untuk menjadi sekadar jumlah total pengalaman,
informasi dan informasi yang belum teruji, tidak tercerna, terus-menerus dan
cepat. Terlalu sedikit waktu untuk hidup reflektif - jenis yang menyediakan 'waktu
tenang' yang cukup sehingga pemimpin cerdas dapat terus mengubah
pengalaman menjadi informasi, informasi menjadi pengetahuan, dan
pengetahuan menjadi kebijaksanaan.

Intelijen (dari bahasa Latin 'to understand') mengacu pada pemimpin yang dapat
mengamati, berpikir, menilai, bertindak, belajar dan bercermin dengan
pemahaman yang berkembang saat mereka terlibat - secara konseptual dan
praktis - dengan dunia. Larry Page, yang membawa web ke dunia melalui
Google, adalah sebuah contoh konkret.

Pembicaraan mengenai kecerdasan pemimpin, maka terdapat total 'kecerdasan'


(atau meta-intelijen) pemimpin yang hebat terdiri dari lima mode kecerdasan
interdependen, yaitu:

1. Kecerdasan intra personal dan interpersonal

Kecerdasan intra dan interpersonal memiliki makna bahwa pemimpin


tentunya memiliki keaslian jati diri Wawasan diri adalah inti di sini.
Kecerdasan intra dan interpersonal - termasuk kecerdasan emosional -
berpusat pada tingkat di mana identitas saya sebagai pemimpin telah terukur
dan saya telah menjadi pribadi yang saya miliki. Saya tahu siapa dan apa
saya sebagai seorang pemimpin; apa kekuatan dan kelemahan saya Saya
tahu apa yang saya perjuangkan. Saya tahu dampak saya pada orang lain
dan dampaknya terhadap saya. Kecerdasan ini adalah jangkar dan titik tolak
untuk masing-masing yang lain.

Memiliki identitas asli adalah bentuk tertinggi kecerdasan ini. Hal ini berkaitan
dengan memiliki rasa jujur kepada diri saya sebagai seorang pemimpin. Itu
berarti bersikap tulus dalam pengertian dan penerimaan saya terhadap siapa
diri saya dan ingin menjadi pribadi, 'nyata' saya. Ini memberi hidup saya
sebagai pemimpin yang berarti dan membuatnya bermakna.

Keaslian sejati menanamkan identitas saya yang mengkristal dengan percaya


diri, kerendahan hati, integritas dan empati. Ini menjadi dasar menjadi
pemimpin sejati orang-sentris.

Salah satu contoh utama seorang pemimpin yang mencirikan kecerdasan


interpersonal ini adalah Afrika Selatan Nelson Mandela, yang membongkar
warisan apartheid negara tersebut dan mendorong rekonsiliasi rasial. Lainnya
Anne Frank, seorang penulis diarist dan penulis kelahiran Jerman yang
bersembunyi dari Nazi selama Perang Dunia 2. Dia menulis yang terkenal
Buku harian Anne menarik bagi kemanusiaan bersama kita.

2. Kecerdasan sistemik

Kecerdasan sistemik memiliki makna bahwa pemimpin memiliki gambaran


besar tentang bagaimana dunia bekerja dalam hal real time, pola dinamis;
Kecerdasan sistemik (termasuk kognitif) memerlukan penguasaan
kepemimpinan pada pembuatan real time, pemahaman terpadu dan dinamis
tentang bagaimana dunia yang sedang berkembang bekerja di dalam arena
operasi pemimpin. Dengan kata lain, ini adalah 'teori kerja' dari arena operasi
pemimpin dengan latar belakang tatanan dunia yang muncul seperti yang
digambarkan dalam pendahuluan.

Teori ini digunakan oleh pemimpin sebagai 'peta Google' untuk membuat
grafik dan melakukan perjalanan di arena operasi mereka. Pemahaman ini
dinyatakan sebagai pola dinamis yang dibangun tentang bagaimana dunia
berfungsi, entah sebagai lingkaran setan atau kebajikan. Pola yang berlaku
diberitahukan oleh seperangkat aturan tata kelola yang mendasar yang telah
ditemukan.
Kecerdasan sistemik yang tinggi menyiratkan bahwa pemimpin mampu
menghasilkan wawasan baru yang memungkinkan mereka mengubah pola
yang ada atau membawa pola baru menjadi ada. Contoh yang bagus adalah
Jan Smuts yang memainkan peran penting dalam mewujudkan Liga Bangsa-
Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia 1 dan
Perang Dunia 2 masing-masing.

3. Kecerdasan ideasi

Kecerdasan ideasi memiliki makna pemimpin yang dapat memvisualisasikan


inspirasi mimpi, masa depan yang baru dan penghayatan sebagai sarana
untuk mewujudkan masa depan yang diinginkan. Inti dari kecerdasan ini
adalah imajinasi. Kecerdasan ideasi (termasuk spiritual) mencakup
penguasaan kepemimpinan karena memiliki mimpi tanpa batas tentang apa
yang dunia bisa, boleh dan seharusnya. Ini tentang idealisasi masa depan
yang lebih baik dan diperkaya cita rasa untuk semua orang.

Kecerdasan ini membawa seorang pemimpin menjadi ahli dalam bermimpi


dalam pencarian mereka untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih
baik bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Ini bisa berkisar dari
bagaimana membuat yang ada lebih baik, bagaimana menambahkan sesuatu
yang baru, sampai bagaimana mengubah apa yang ada menjadi sesuatu
yang berbeda dan lebih baik. Akhirnya, ini tentang bagaimana mewujudkan
makhluk yang sama sekali baru.

4. Aksi intelijen

Aksi intelijen memiliki makna pemimpin yang bisa membawa perubahan abadi
dan bermakna dalam skala besar. Inti dari kecerdasan ini adalah navigasi ke
masa depan untuk mewujudkan impian yang diinginkan. Kecerdasan aksi
mencakup penguasaan kepemimpinan untuk mewujudkan perubahan yang
abadi dan berarti dalam skala besar. Masa depan yang diinginkan akibat
mimpi pencitraan harus diubah menjadi tindakan karena mempengaruhi
perubahan nyata dan asli.

Manajemen perubahan tradisional didasarkan pada linearitas dan


prediktabilitas. Hal ini tidak lagi cukup baik dalam tatanan dunia yang sedang
berkembang. Dalam perubahan tatanan dunia yang sedang berkembang,
dibutuhkan fitur yang meluas, radikal, fundamental dan kacau. Ini bersifat non
linier. Ini sangat tidak dapat diprediksi dalam hasilnya.
Dengan kondisi ini, tindakan pemimpin cerdas perlu menerapkan proses
pembelajaran tindakan nyata yang reflektif dan nyata untuk menciptakan
perubahan yang langgeng dan berarti. Proses ini terdiri dari siklus eksplorasi,
penemuan, aplikasi, dan belajar/refleksi

Mahatma Ghandi yang mengejar kemerdekaan India; Malala Yousafzai yang


menentang Taliban untuk hak-hak perempuan; dan Ché Guevara Sebagai
penghasut revolusi Amerika Selatan dan Kuba, adalah contoh pemimpin yang
mencirikan jenis kecerdasan ini.

5. Kecerdasan kontekstual

Kecerdasan kontekstual memiliki makna para pemimpin selalu dapat


disesuaikan secara optimal dengan konteks mereka, dengan menggunakan
kerangka interpretasi yang tepat untuk terlibat dengannya.

Inti kecerdasan ini pas. Kecerdasan kontekstual (termasuk budaya) berkaitan


dengan memastikan secara terus-menerus hubungan dinamis dan optimal
antara pemimpin dan konteksnya sebagaimana digambarkan oleh arena
operasi organisasi mereka. Hal ini membutuhkan di satu sisi wawasan
mendalam tentang tantangan dan tuntutan kepemimpinan dari arena operasi
mereka, saat ini dan memasuki masa depan. Di sisi lain, hal itu membutuhkan
pencocokan persyaratan dan profil pemimpin.

Kritis terhadap kecocokan ini adalah adopsi kerangka interpretif yang tepat.
Ini memerlukan cara tertentu untuk melihat dan berurusan dengan dunia
untuk memiliki keterlibatan kontekstual yang konstruktif dengan dunia yang
sedang berkembang. Seorang pemimpin dengan kecerdasan kontekstual
tinggi memahami bahwa mereka memerlukan 'kacamata yang tepat' untuk
melihat konteks yang terdiri dari:

a. pandangan dunia yang diadopsi secara eksplisit: pemahaman yang benar


tentang sifat dan dinamika dunia yang mereka hadapi;

b. Kerangka pengambilan keputusan yang mereka gunakan: bagaimana


mengenali situasi untuk apa adanya, dan kemudian membuat keputusan
yang tepat; dan

c. orientasi nilai yang telah mereka adopsi: apa yang penting, benar dan yang
diinginkan.
Dari kelima kecerdasan tersebut, pertanyaan mendasar dalam kepemimpinan
cerdas adalah, bagaimana kita menuju ke sana. Bagi pemimpin yang
mengharapkan agar dirinya dapoat eksis dalam situasi yang sedang
berkembnang, maka dirinya dihadapkan pada dua persoalan mendasar, apakah
masing-masing pemimpin mengetahui tingkat kecerdasan meta tingkatnya dan
apakah setiap pemimpin memiliki rencana tindakan bagaimana memelihara dan
mengembangkan kecerdasan mereka?

Berdasarkan dekskripsi di atas, kepemimpinan cerdas yang ditandai dengan


kecerdasar paripurna, pada dasarnya sangat dibutuhkan seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin dinamis dan kmpleks.

IV. KONSEP SUMBER DAYA MANUSIA UNGGUL


Pembahsan mengenai sumber daya manusia unggul dirasakan semakin intens,
seiring dengan laju perkembangan zaman yang semakin kompleks dan dinamis
di abad 21. Berkenaan dengan hal tersebut perlu dipahamai mengenai apa yang
disebut manusia unggul.

Di dalam falsafah, kita mengenal suatu konsep manusia unggul dari Nietzche
yaitu Ubermensch. Ubermensch menurut Nietzche merupakan seorang
superman, yang mempunyai kemampuan diatas manusia biasa. Konsep
Ubermensch ini yang sangat menonjolkan “passion” yang meledak-ledak dan
cenderung kearah individualisme, bukanlah merupakan tipe manusia abad 21
yang menuntut kerjasama dan keadaan terhadap sesama manusia.
Keunggulan tersebut dibedakan atas :

1. Keunggulan individualistik,
Keunggulan individualistik adalah manusia yang unggul tapi keunggulan
tersebut hanya untuk kepentingan diri sendiri. Keunggulan yang diperolehnya
diabdikan untuk mengumpulkan harta benda untuk kepuasan sendiri
(Hedonisme) ataupun memupuk kekusaan. Manusia-manusia yang unggul
secara individuallistik adalah manusia rakus, yang saling mematikan satu
dengan yang lain. Inilah type manusia homo homini lupus. Jelas bahwa
konsep manusia unggul individualistik ini tidak sejalan dengan citra manusia
abad 21. yang diarahkan kepada terciptanya suatu masyarakat madani (Civil
Society) yaitu suatu masyarakat yang mengenal akan hak dan kewajiban
masing-masing anggota dan secara bersama-sama bertanggung jawab
terhadap umat manusia, seluruh umat manusia membangun suatu
masyarakat madani dimana perdamaian dan keadilan menjadi nilai-nilai
tertinggi

2. Keunggulan partisipatoris.
Keunggulan partisipartioris adalah manusia yang ikut serta secara aktif di
dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan
partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan
mengembangkan seluruh potensi individual yang akan digunakan didalam
kehidupan yang penuh persaingan yang semakin lama semakin tajam.
Persaingan sehat tersebut bukan berarti mematikan sesama manusia, tetapi
keunggulan yang dimiliki dan dikembangkan oleh seseorang ditujukan untuk
mencapai bukan hanya keuntungan pribadi tetapi keuntungan yang lebih
besar karena merupakan pengikut sertaannya didalam suatu masyarakat
yang semakin lama semakin berkualitas. Inklusif didalam pengembangan
manusia unggul partisipatoris ini ialah pemupukan kerja sama dalam arti yang
lebih maju membantu yang lemah demikian seterusnya sehingga yang
memang berbakat akan berkembang dengan lebih tinggi sedangkan yang
lemah akan semakin lama semakin dapat diberdayakan agar dapat
berpatisipasi didalam kehidupan yang penuh persaingan.
Didalam pengembangan “manusia-unggul-partisipatoris” diperlukan
pengembangan sifat-sifat sebagai berikut:
a. Kemampuan untuk mengembangkan jaringan-jaringan kerja sama (net
Work). Net working ini semakin diperlukan oleh karena manusia tidak lagi
hidup terpisah-pisah tetapi berhubungan satu dengan yang lain. Bukankah
manusia abad 21 hidup didalam dunia tanpa sekat ? Oleh sebab itu
manusia abad 21 adalah manusia yang ahli didalam net working. Dunia
perdagangan bebas akan semakin lancar apabila ada net working. Tanpa
net working maka perluasan pasar akan menjadi sulit.
b. Kerjasama (team work). Setiap orang didalam masyarakat abad 21
mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keunggulan spesifiknya
secara keseluruhan SDM yang telah dikembangkan kemampuan-
kemampuan spesifiknya membangun suatu team work yang pada
gilirannya dapat menghasilkan produk-produk yang lebih unggul.
Industri-industri maju telah melaksanakan konsep team work tersebut sehingga
bukan hanya dapat menghasilkan produk-produk yang tinggi mutunya tetapi juga
produk-produk tersebut semakin lama semakin disempurnakan, ini disebabkan
karena anggota-anggota yang terus meningkatkan keunggulannya.
Berkaitan erat dengan prinsip kerjasama tersebut di atas ialah cinta kepada kualitas
yang tinggi. Manusia unggul adalah manusia yang terus-menerus meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya dalam melaksanakan sesuatu sehingga kualitas
yang dicapai hari ini akan ditingkatkan pada esok harinya dan seterusnya. Dengan
demikian hasil karya atau produk akan terus-menerus meningkatkan dan dengan
demikian dapat bersaing dengan produk-produk yang lain ataupun produk-produk
dari bangsa lain.

Bagaimanakah “manusia-unggul-partisipatoris” diwujudkan dalam kehidupan kita


sehari-hari ? Di dalam hal ini penulis ingin meminjam konsep hasil pengalaman
Dr.Martha Tilaar di dalam mengembangkan sikap kewirausahaannya. Kiat-kiat
pengembangan keunggulan partisipatoris tersebut ialah sebagai berikut :

a. . Dedikasi dan disiplin.


Seseorang manusia unggul haruslah mempunyai rasa mengabdi terhadap tugas
dan pekerjaannya. Dia harus di dalam kaitan ini sadar arah. Dengan kata lain dia
harus mempunyai visi jauh ke depan. Visi yang dipunyainya bukan sekedar visi
yang normatif atau idealis. Memang visi yang normatif atau idealis perlu sebagai
prinsip-prinsip pengara (guiding principles). Namun demikian visi normatif belum
cukup sebab yang kongkrit sehingga harus dijabarkan di dalam visi strategik
yaitu visi yang konkrit sehingga harus dijabarkan dijabarkan di dalam target-
target dan terikat di dalam suatu kurun waktu tertentu yang perlu diwujudkan .
Selanjutnya, seorang yang berdedikasi adalah seorang yang berdisiplin karena ia
terfokus kepada apa yang ingin ia wujudkan.

b. Jujur.
Kejujuran adalah sangat penting bukan hanya jujur terhadap orang lain tetapi
juga terhadap diri sendiri. Terhadap orang lain seseorang manusia unggul
haruslah dapat bekerjasama, karena pasa akhirnya kerjasama berdasarkan
kepada salinng percaya atau trust seprti yang diungkapkan oleh Francis
Fukuyama. Tanpa kejujuran tidak mungkin seorang manusia unggul akan dapat
survie. Bukankah manusia abad Pengembangan SDM Indonesia Unggul
Menghadapi Masyarakat Kompetitif Era Globalisasi (Muhammad Satar) 435

21 memerlukan suatu networking dan networking itu hanya mungkin terlaksana


karena adanya kejujuran.
Kejujuran juga berhubungan dengan jujur terhadap kemampuan diri sendiri. Kita
harus jujur terhadap apa yang kita perbuat dan apa yang tidak dapat kita perbuat.
Inilah sikap profesionalisme masyarakat abad 21 adalah akan bidangnya.
Kelompok kerja manusia dan masyarakat abad 21 adalah kelompok kerja dari
suatu masyarakat profesional (professional community). Kejujuran profesional
akan menghasilkan produk yang unggul dan seorang manusia unggul yang
mengetahui kapan dia berdiri sendiri dan kapan dia harus bekerjasama. Ini
merupakan inti dari suatu sistem yang perlu kita kembangkan terus-menerus
agar mampu bersaing dengan bangsa lain.

c. Inovatif.
Seorang manusia unggul bukanlah seorang manusia rutin yang puas dengan
hasil yang telah dicapai dan telah puas dengan status quo. Seorang manusia
unggul adalah yang selalu gelisah dan mencari yang baru. Mencari yang baru
tidak perlu menciptakan sesuatu yang baru dari suatu penemuan. Sebagai
contoh misalnya bagaimana penemuan mesin faksimili di Amerika Serikat yang
kemudian dikembangkan secara komersial di Jepang. Kemampuan tersebut juga
merupakan kemampuan dari manusia unggul yang dihasilkan oleh kemampuan
berfikir kreatif. Tidak mengherankan apabila sejak tahun ini sistem pendidikan
Singapura yang dimulai pada tingkat sekolah menengah melancarkan program
creative thinking. Hanya dengan creative thinking kita dapat terlepas dari
cengkraman birokrasi yang kaku yang hanya bergerak apabila ada “petunjuk dari
atas” Budaya mohon petunjuk bertentangan dengan budaya manusia unggul.

d. Tekun.
Seorang manusia unggul adalah seorang yang dapat memfokuskan perhatian
pada tugas dan pekerjaan yang telah diserahkan Kepadanya atau suatu usaha
yang sedang dikerjakannya. Ketekunan, akan menghasilkan sesuatu karena
manusia unggul tidak akan berhenti sebelum dia membuahkan sesuatu.
Berkaitan dengan ketekunan tersebut adalah juga pemanfaatan sumber-sumber
secara efisien. Seorang manusia unggul yang tidak menghargai nilai-nilai sumber
yang ada akan menyebabkan pemborosan. Pemborosan bukanlah suatu yang
sesuai dengan kehidupan yang mementingkan mutu.
e. . Ulet.

Manusia unggul adalah manusia yang tidak mudah putus asa. Dia akan terus
menerus mencari dan mencari. Dibantu dengan sikapnya yang tekun, maka
keuletan akan membawa dia kepada suatu dedikasi terhadap pekerjaannya
mencari yang lebih baik dan bermutu.
Berkaitan dengan sikap tekun dan ulet, manusia unggul hidup dengan berdisiplin.
Tidak mungkin seseorang yang ulet dan tekun menggunakan jalan pintas
didalam tugas dan pekerjaannya. Seorang yang tekun dan ulet akan terus
menerus melaksanakan tugasnya secara terfokus sesuai dengan jadwal tanpa
mencari jalan pintas dan merusak disiplin. Hanya seorang yang berdisiplin tinggi
akan memupuk sikap ulet dan tekun. Seorang yang mudah putus asa, yang mau
gampangnya saja adalah manusia-manusia yang tidak disiplin.
Demikianlah sifat-sifat dari manusia unggul atau yang dapat kita katakan
mempunyai jiwa wirausaha, seorang enterpreneur, yang menyandang dan
mengembangkan nilai-nilai “djitu” ( dedikasi, jujur, inovatif, tekun dan ulet).

Ada perbedaan antar bussinesman dan enterpreneur menurut Prof. Quintin


G.Tan. Sifat-sifat seorang enterpreneur antara lain ialah berorientasi kepada
servis, interdependen, fokus kepada pelanggan, kolaboratif dan koordinatif.
Seorang bussinesman cenderung kepada orientasi profit, indenpenden, orientasi
pasar, kompetitif dan orientasi kontrol. Kedua jenis “makhluk” ini mempunyai
sifat-sifat plus dan negatif sehingga perlu dikombinasikan misalnya sifat-sifat
positif seorang Businessmen yang cenderung sangat efisien, mengetahui
mekanisme pasar dan kompetitif. Seorang enterpreneur cenderung kepada
kerjasama dan koordinatif sehingga sangat mementingkan teamwork.
Dari manakah pengembangan nilai-nilai atau sikap enterpreneur itu dimulai?
Sebagaimana pembentukan setiap bentuk sikap dan tingkah laku, nilai-nilai
tersebut haruslah diterapkan dalam setiap situasi kehidupan terutama dalam
keluarga, pendidikan sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dalam
lingkungan perusahaan, lingkungan kerja sehingga nilai-nilai tersebut
membudaya. Budaya sekolah yang kreatif – inovatif dapat diciptakan melalui
proses belajar – mengajar yang mendorong kreativitas sehingga tercipta suatu
“learning organization” dengan “ proses belajar ying-yang yang menggelinding
seperti bola salju sehingga melahirkan kondisi “win-win” untuk semua pihak.
V. URGENSI SUMBER DAYA MANUSIA UNGGUL

Dunia yang makin terbuka dibantu dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat, akan membawa manusia itu kepada suatu dilema akan keterbatasan
kemampuan otaknya. Namun demikian kemajuan teknologi telah dan akan
membawa kemampuan otak manusia yang terbatas itu dengan menguasai teknologi
komunikasi dan informasi sehingga manusia yang serba terbatas itu dapat hidup di
dalam abad informasi dengan information superhighway-nya. Seperti kita ketahui
perkembangan ilmu pengetahuan begitu cepat sehingga apa yang telah dicapai oleh
umat manusia selama beberapa abad, telah jauh dilampaui oleh perkembangan ilmu
pengetahuan pada lima puluh tahun terakhir ini. Perkembangan secara eksponensial
ilmu pengetahuan telah mengubah prinsip-prinsip belajar manusia yang harus
dilaksanakannya seumur hidup. Apabila tidak demikian maka manusia itu akan jauh
tertinggal dari arus ilmu pengetahuan dan informasi yang semakin lama semakin
besar sehingga pada suatu ketika manusia akan tertimbun olehnya, pemahaman
bahwa belajar tidak hanya diangku kuliah tetapi pengembangan IQ harus senantiasa
terasah melalui pembelajaran diluar kampus, selian pengembangan IQ, yang tidak
kalah pentingnya adalah pembelajaran tentang EQ dan SQ yang berdasarkan
banyak penelitian bahwa pembelajaran pola ini menghasilkan seseorang yang
mampu berkarya secara optimal. Adalah sangat menarik perhatian apa yang telah
ditelorkan oleh suatu komisi UNESCO dalam mempersiapkan pendidikan manusia
abad-21. Menurut UNESCO belajar pada abad-21 haruslah didasarkan kepada
empat pilar yaitu :
1) learning to think
2) learning to do
3) learning to be
4) learning to live together.

Keempat pembelajaran tersebut oleh UNESCO disebut sebagai empat soko guru
dari manusia abad-21 menghadapi arus informasi dan kehidupan yang terus-
menerus berubah. Di dalam belajar berpikir ditunjukkan bahwa arus informasi yang
begitu cepat berubah dan dan semakin lama semakin banyak tidak mungkin lagi
dikuasai oleh manusia karena kemampuan otaknya yang terbatas. Oleh sebab itu
proses belajar yang terus menerus terjadi seumur hidup ialah belajar bagaimana
berfikir. Dengan sendirinya belajar yang hanya “membeo” tidak mempunyai tempat
lagi di dalam era globalisasi. Sehubungan dengan itu pula maka penguasaan
bahasa digital telah harus dikuasai oleh anak-anak kita karena hanya dengan
demikian dia dapat memasuki dunia tanpa batas. Dengan demikian konsep belajar
dan pembelajaran harus diubah dan membuka pintu pada teknologi pembelajaran
modern sungguhpun tetap dibutuhkan pendidikan tatap muka oleh orang tua, guru,
dan lembaga-lembaga kemasyarakat lainnya dalam rangka pembentukan ahlak
manusia abad 21. selanjutnya dunia abad 21 menuntut manusia-manusia yang
bukan hanya dapat sekedar berfikir tetapi manusia yang berbuat. Manusia yang
berbuat adalah manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya. Dengan
berbuat dia dapat menciptakan produk-produk baru dan meningkatkan mutu produk-
produk tersebut. Tanpa berbuat sesuatu pemikiran atau konsep tidak mempunyai
arti. Kehidupan masyarakat abad 21 adalah kehidupan yang meningkatkan mutu,
dan mutu tersebut apakah bentuknya suatu produk atau suatu servis adalah hasil
karya atau hasil kerja seseorang. Dalam masyarakat abad 21 tidak ada tempat bagi
manusia-manusia yang tidak dapat berkarya.
Planet dunia kita ini adalah suatu planet yang terbatas kemampuannya. Jumlah
penduduk dunia yang kini telah melebihi 6 milyar manusia akan semakin lama
semakin banyak yang berarti pula semakin berbahaya bagi kelangsungan hidup
manusia. Konperensi dunia mengenai lingkungan hidup sejak di Rio De Jeneiro
tahun 1992 dengan agenda 21 dan yang baru diadakan di New York pada tahun
1997 kembali mengingatkan umat manusia terhadap manusia yang mengancam
planet dunia kita ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan sebelum ditemukannya
kemungkinan hidup di planet-planet lainnya. Hal ini berarti bahwa setiap manusia
dimuka bumi secara sadar belajar bagaimana untuk tetap hidup (to be).
Kelangsungan hidup manusia di bumi ini bukan hanya tanggung jawab masing-
masing pemerintah atau oleh lembaga-lembaga PBB, tetapi merupakan keprihatinan
setiap mahluk yang mau hidup di bumi ini.
Bumi yang semakin mengecil dan semakin bersatu akan mendekatkan kelompok –
kelompok masyarakat, kelompok-kelompok suku, kelompok-kelompok bangsa
semakin dekat satu dengan yang lain. Oleh sebab itu mereka harus belajar untuk
hidup bersama. Hidup bersama artinya mengetahui dan menghargai adanya
perbedaan-perbedaan serta saling menghargainya sebagai milik seluruh umat
manusia dan bukan sebagai dasar untuk memecah belah kehidupan manusia. Apa
yang dikhawatirkan oleh Huntington bahwa umat manusia akan menghadapi
pertentangan budaya hanya dapat dicegah apabila umat manusia menyadari akan
kebhinekaannya yang pada akhirnya sebenarnya merupakan kekayaan dari
kehidupan manusia itu sendiri. Pendapat Samuel B. Huntington, terlepas dari kita
setuju atau tidak setuju asumsinya, merupakan suatu warning (peringatan) kepada
manusia bahwa apabila kita tidak berhati-hati menangani kenyataan ini maka akan
terjadi benturan kebudayaan. Hal ini sudah dapat dirasakan kemajuan yang pesat
didalam dunia bisnis, juga dalam dunia pariwisata, ternyata meminta warga
masyarakat untuk mengerti budaya bangsa-bangsa lain. Di dalam kaitan ini ada
suatu hal yang perlu mendapat perhatian masyarakat Indonesia bahwa dewasa ini
umumnya lebih mengenal budaya barat dari pengenalan terhadap budaya asia
bukanlah merupakan suatu curtular jingoisme tetapi dapat memberikan sumbangan
bagi pengertian sesama umat manusia. Pengalaman atas budaya-budaya yang lain
seperti bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, merupakan keperluan mutlak dalam
kehidupan abad 21. menurut pendapat para ahli bangsa-bangsa timur kurang
mengenal budaya tetangganya dan lebih mengenal budaya barat. Hal ini tentunya
sangat merugikan bangsa asia sendiri oleh karena kerjasama regional seperti
ASEAN dan kemudian APEC, akan menghubungkan sebagian besar budaya-
budaya tua di asia. Sudah pula waktunya apabila budaya lokal dikembangkan yang
pada gilirannya disumbangkan bagi kebudayaan global dalam rangka untuk lebih
mempererat hidup bersama antar bangsa (learning to live together).
Sehubungan dengan mulai maraknya diskusi tentang budaya global yang tidak
seluruhnya berdampak positif, telah muncul pemikiran-pemikiran mengenai nilai-nilai
“indigenous” bagi pengembangan SDM Abad 21.
Mengapa nilai-nailai indigineous perlu kita gali dan kembangkan? Pernyataan ini
sebenarnya telah dikemukakan oleh Naisbitt. Ia mengatakan bahwa era globalisasi
akan menimbulkan berbagai paradoks. Salah satu paradoks yang muncul ialah
budaya lokal versus budaya global. Munculnya budaya global berarti merupakan
tantangan kepada budaya lokal. Tantangan tersebut memberikan suatu implikasi
yang cukup serius oleh sebab masyarakat Indonesia berada di dalam suatu masa
transformasi sosial dan transformasi struktural. Transformasi struktural ekonomi
Indonesia dari perekonomian yang bertumpu pada pertanian berubah kepada
perekonomian yang bertumpu kepada industri. Perubahan struktural tersebut akan
mengubah pula nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Apabila nilai-
nilai tersebut berubah secara cepat maka bukan tidak mungkin terjadi suatu
goncangan budaya (Cultural Shock) yang telah dirancangkan oleh Alvin Toffler.
Struktural Shock dapat menghambat pembangunan, karena dapat menjauhkan
anggota masyarakat dari kehidupannya selama ini. Nilai-nilai modern, nilai-nilai
dunia industri akan berbeda dengan niali-nilai di dalam kehidupan agraris. Apabila
perubahan tersebut terjadi tanpa memperhitungkan perubahan tingkah laku rakyat
biasa, maka bukan tidak mungkin hilangnya partisipasi rakyat terhadap proses
pembangunan. Yang ada ialah munculnya perlawanan baik secara terang-terangan
maupun secara tersembunyi yang semuanya berakibat tehambatnya proses
pembangunan itu sediri. Sifat-sifat masyarakat industri ditandai dengan “sambil
berkeroncong padi tumbuh”. Kerja keras, etos kerja yang tinggi, cinta kepada
kualitas masih jauh dari nilai-nilai dalam dunia agraris. Namun apabila nilai-nilai
tersebut langsung dibuang dan diganti dengan niali-nilai yang masih asli bagi
masyarakat maka mereka itu akan tercabut dari akar-akar budayanya. Masalahnya
sekarang ialah bagaimana memodifikasi nilai-nilai teradisional atau nilai-nilai
indigenus tersebut sesuai dengan nilai-nilai moderen sehingga ketercabutan dari
akar-akar budaya dapat dihindarkan. Hal ini tentunya dapat saja diusahakan dan
sudah dapat dibuktikan misalnya di dalam bentuk-bentuk kepemimpinan dan
manajemen yang telah kita kembangkan selama ini. Dengan menghilangkan aspek-
aspek negatif dari nilai-nilai tradisional tersebut misalnya nilai feodalisme yang jelas
merugikan tetapi apabila hubungan antara kawula gusti dimasukkan nilai-nilai yang
abjektif, maka kepemimpinan tersebut akan terhindar dari/oleh nilai-nilai otoriter
yang hanya menguntungkan sang pemimpin.
Mempertahankan nilai-nilai indigenous yang mempunyai nilai-nilai yang positif akan
sangat membantu di dalam mengemukakan dan memperkuat identitas suatu
masyarakat atau suatu bangsa. Masalah identitas suatu bangsa menjadi suatu
bangsa menjadi sangat penting di dalam era globalisasi. Seperti pegamatan Naisbitt
era globalisasi memunculkan citra global dengan budaya global yang langsung
menentang budaya lokal. Dengan kata lain era globalisasi dapat menantang
identitas individu, masyarakat dan bangsa. Suatu bangsa dan individu yang
kehilangan identitas akan kehilangan keberadaan. Oleh sebab itu di dalam era
globalisasi manusia unggul harus memiliki kesadaran dan apresiasi terhadap
budaya nasional, termasuk cinta terhadap produk nasional. Bangsa yang tidak
menghargai karya bangsanya sendiri akan semakin lama semakin tenggelam di
dalam budaya global. Apabila masyarakat Indonesia ingin mempertahankan doktrin
Wawasan Nusantara yang berintikan kesadaran sebagai suatu bangsa, maka
identitas nasional perlu dipertahankan. Selanjutnya identitas nasional merupakan
batu-bata dasar dari ketahanan nasional dalam menghadapi landasan budaya
global. Apabila masyarakat Indonesia melepaskan identitas sebagai bangsa
Indonesia maka hancurlah ketahanan nasional kita sebagai bangsa dan buyarlah
apa yang diagungkan mengenai Wawasan Nusantara. Manusia Indonesia unggul
abad 21 adalah manusia yang beridentitas Indonesia
VI. IMPLEMENTASI KEPEMIMPINAN CERDAS DALAM MEMBANGUN SUMBER
DAYA MANUSIA UNGGUL DI INDONESIA

Persaingan pasar global tidak saja didominasi kemampuan suatu negara dalam
melakukan ekspansi sumber daya alam dan volume produksi. Namun saat ini
dengan perkembangan era revolusi Industri 4.0 yang begitu cepat, pasar global
membutuhkan SDM berkualitas high-tech berbasis generasi milenial. SDM unggul
saat ini menjadi faktor pengungkit kecepatan berinovasi kekuatan ekonomi makro
suatu negara.

Fenomena di sejumlah negara-negara dikenal Macan Asia percepatan


pembangunan high-tech selalu didukung maksimal dengan jumlah enginerr yang
terus mengalami peningkatan. Pertanyaan adalah mengapa jumlah enginerr di
Indonesia tak turut meningkat, ketika Asia kian gegap gemita dengan percepatan
pembangunan industri high-technya. Dan bagaimana hal itu berkorelasi terhadap
kian turunnya daya saing negeri ini ?.

Sangat menarik untuk digarisbawahi ketika Presiden Jokowi dalam momentum 17


Agustus 2019 menegaskan, kita butuh ilmu pengetahuan dan teknologi yang
membuat kita bisa melompat dan mendahului bangsa lain. Kita butuh terobosan-
terobosan, jalan pintas yang cerdik, yang mudah, yang cepat. Kita butuh SDM-SDM
unggul yang berhati Indonesia, berideologi Pancasila.

Disisi lain, kita juga menghadapi persoalan kompetensi secara makro. Berdasarkan
riset ASO College Group dari Jepang, pada tahun 2015, ketersedian sarjana teknik
di Indonesia sebanyak 37.000 orang per tahun. Padahal, setiap tahun idealnya
dibutuhkan sekitar 57.000 orang.

Sementara itu, pada periode 2015-2020 diperkirakan dibutuhkan rata-rata 90.500


per tahun. Artinya, Indonesia membutuhkan tambahan sumber daya muda untuk
mengejar ketertinggalan itu. Posisi mereka sebagai kunci penggerak utama dunia
industri.

Tanpa kita sadari lompatan sejumlah negara Asia yang semakin cepat telah
menurunkan aktivitas nilai tambah di wahana industri dalam negeri, tenaga ahli dan
tenaga kerja terampil yang berpotensi besar kehilangan kesempatan untuk
mengambil momentum evolusi proses desain, rekayasa dan manufaktur.

Momentum gaung Indonesia membangun SDM berkualitas tentunya bukan tanpa


argumentasi mendasar dari seorangan pemimpin. Louis Allen mengemukan secara
genial, “The great question of out times is how to reconcile and integrate human
effort so people everywhere can work good and not their common disaster. The
answer lagerly upon on the capabilities of leaders in all position in all segments of
society” (1964:1). Bangsa di Asia yang menjadi Macan Asia tidak terlepas dari
energy visoner kepemimpinan pemimpinannya yang menentukan apakah sebuah
bangsa menjadi besar atau kerdil.

Dalam situasi kegiatan industri negara kita lesu, tidak menutup kemungkinan
memunculkan gelombang migrasi tenaga ahli dan talenta kita apalagi genarasi
milenial untuk memilih berkiprah ke luar negeri karena pangsa pasar global
membuka akses luas kebutuhan sumber daya high-tech.

Untuk menjawab persoalan ini perlu dibuatkan visi jangka pendek dan menengah
berorentasi kuat mementingkan investasi infrastruktur Iptek yang terkoneksi dari
jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi yang saling terkait dengan semua
lembaga memproduk barang dan jasa yang memiliki nilai inovasi.

Sudah saatnya negara meninggalkan orientasi narasi keungulan sumber daya alam
yang selalu muncul mewarnai buku pelajaran dan pola ajar di sekolah.
Penyederhaan narasi ini sangat perlu dilakukan agar kita tidak larut dalam kesulitan
permanen untuk memperbaiki posisi daya saing bangsa.

Sudah saatnya Indonesia maju dalam mengembangkan pabrik cerdas melalui brain
gain policy satu kesatuan SDM Unggul agar dapat menghimpun potensi anak
bangsa dalam hal sains, teknologi dan inovasi di era revolusi industri 4.0.
Pembangunan SDM Unggul tak terlepas dari implementasi kepemimpinan secara
cerdas. Kepemimpinan cerdas saat ini sangat diperlukan bagi semua kalangan.
Pemimpin tidak hanya bisa mempengaruhi bawahannya sendiri namun juga dapat
memberi motivasi untuk bawahannya bekerja dengan seluruh kemampuan dan
potensi yang mereka punya untuk mencapai tujuan suatu organisasi/kelompok,
sehingga tercipta suasana dan budaya kerja yang positif. Rahasia dalam
kepemimpinan efektif adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari
kekuasaanya saja, bukan juga dari kecerdasannya, namun dari kekuatan dalam
dirinya/personality.
Kecerdasanan seorang pemimpin salah satunya dapat dilihat dari cara mengelola
SDM. Pengelolaan SDM dapat dilakukan dengan cara memberdayakan SDM itu
sendiri. Pemimpin harus mampu mengelola SDM dengan efektif..
Fenomena yang banyak terjadi yaitu adanya sebagian besar SDM yang sistem
bekerjanya masih menunggu perintah dari pimpinan dan memiliki inisiatif bekerja
yang rendah. Hanya sebagian kecil SDM yang mau melakukan kegiatan
pekerjaannya karena inisiatifnya sendiri. Dampak dari kurangnya inisitif SDM adalah
rendahnya motivasi untuk berkembang atau dikembangkan. Banyak didapatkan
bahwa SDM dalam suatu institusi belum mampu untuk diajak berkembang dalam
mencapai visi, misi maupun tujuan institusi. Para SDM tersebut memberikan alasan
sudah nyaman dengan cara mereka bekerja sekarang dan malas jika harus
mengubahnya. Hal ini memberikan dampak negatif pada kualitas output..

Solusi dari permasalahan diatas yaitu kepemimpinan cerdas. Kepemimpinan yang


yang mampu mengambil keputusan yang tepat dimana effective leader menciptakan
visi masa depan, memperjelas reward atas kontribusi terhadap masa depan, model
perilaku yang tepat dan memberi inspirasi tenaga kerja melalui keterampilan
komunikasi. Dalam kepemimpinan cerdas, manajer terampil menciptakan win-
winsituation untuk individu dan organisasi. Pemimpin yang cerdas melihat
pandangan orang lain dan mampu memberdayakan SDMnya.

Sosok pemimpin yang dapat mengempowerment SDM adalah pemimpin cerdas


yang mampu berkomunikasi dengan bawahan, mampu melibatkan bawahan dalam
pengambilan keputusan dan mampu memberdayakan bawahan sesuai dengan
kemampuan dan bidangnya.

Peran kepemimpinan cerdas dalam memberdayakan SDM adalah:

1. Karismatik.

Pemimpin yang kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan model panutan
oleh bawahannya. Oleh sebab itu, pemimpin yang mempunyai karisma lebih
besar dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar
bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin.

2. Role Model

Pengaruh idealis dimana pemimpin berfungsi sebagai role model bagi pengikut.
Mereka percaya pada filosofi bahwa seorang pemimpin dapat mempengaruhi
pengikutnya hanya ketika pemimpin mempraktekan apa yang dia katakan. Hal ini
disebabkan perilaku yang mengutamakan kebutuhan bawahan, membagi resiko
dengan bawahan secara konsisten, dan menghindari penggunaan kekuasaan
untuk kepentingan pribadi.

3. Inspiratis

Motivasi inspirasi dimana perilaku pemimpin yang inspirational dapat


merangsang antusiasme bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat
mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap
kemampuannya untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok
Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok, antusiasisme
dan optimisme dikorbankan sehingga harapan-harapan itu menjadi penting dan
bernilai bagi mereka dan perlu di realisasikan melalui komitmen yang tinggi.

4. Stimulatif

Stimulasi intelektual dimana pemimpin mendorong pengikutnya untuk


mengeksplorasi cara-cara baru melakukan sesuatu dan kesempatan baru untuk
belajar Pemimpin seperti mendorong pengikut mereka untuk menjadi inovatif dan
kreatif. Mereka mendorong ide-ide baru dari para pengikut mereka dan tidak
pernah mengkritik mereka secara terbuka untuk kesalahan yang dilakukan oleh
mereka.

5. Konsideratif

Konsiderasi individu, perhatian secara individual tersebut dapat sebagai


identifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai
potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Pemimpin bertindak sebagai mentor
bagi pengikut mereka dan menghargai pengikutnya atas kreativitas dan
inovasinya. Para pengikut diperlakukan berbeda sesuai dengan bakat dan
pengetahuan mereka. Mereka diberdayakan untuk membuat keputusan dan
selalu memberikan dukungan yang diperlukan untuk melaksanakan keputusan
tersebut
Dalam praktiknya, implementasi kepemimpinan cerdas yang bermuara pada
pembentukan SDM Unggul senantiasa akan mengarah pada prinsip pembelajaran
berkelanjuta. Selain itu, melalui implementasi kepemimpinan cerdas, pembentukan
SDM Unggul tidak akan berhenti pada satu titik, melainkan akan terus mengalami
perbaikan (continuous improvement). Pada prinsipnya, implementasi kepemimpinan
cerdas dalam rangka pembangunan SDM Unggul akan menjadikan pembelajaran
sebagai gaya hidup (life style).
VII. KESIMPULAN

Paradigma tentang kepemimpinan terus mengalami pergeseran seiring dengan laju


dinamika perkembangan zaman. Berbagai pandangan tentang kepemimpinan
bermunculan dari kalangan teoretisi maupun praktisi. Kekinian muncul pandangan
tentang kepemimpinan cerdas (smart leadership). Banyak pandangan yang
mengupas tentang hal itu. Setidaknya, pemaknaan dari kemeimpinan cerdas
tentunya tak terlepas dari implementasi kepemimpinan yang dapat mengambil
hikmah dari pengalaman di masa lalu, tidak gagap dengan perkembangan kondisi
kekinian, dan selalu mampu mengantisipasi oerubahan di masa yang akan datang,
Kesemuanya itu, dikemas dengan kecerdasan secara paripurna.
Dalam tataran teoretis maupun praktis, kepemimpinan tentunya tidak terlepas dari
dimensi manusia. Hal ini berpijak pada realita bahwa manusia sesungguhnya adalah
actor utama dalam segala aktivitas (the man behind the gun). Oleh karena itu,
penataan SDM juga terus mengalami perbaikan secara berkelanjutan. Dalam
konteks kekinian, muncullah paradigm SDM Unggul. Urgensi dari SDM Unggul
sudah menjadi keniscayaan. SDM Unggul sesungguhnya merupakan SDM
paripurna, yaitu SDM yang memiliki kompetensi sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapinya.
Pembentukan SDM Unggul sudah menjadi kebutuhan yang tak mungkin tertunda.
Berbagai langkah kebijakan diterapkan untuk mewujudkannya. Kepemimpinan
cerdas merupakan salah satu upaya membentuk SDM Unggul. Implementasi
kepemimpinan cerdas tentunya akan melahirkan SDM Unggul yang diharapkan.
Kepemimpinan cerdas dan SDM Unggul dapat diibaratkan sebuah koin yang
memiliki dua sisi, dapat dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan. SDM Unggul dapat
terbentuk melalui implementasi kepemimpinan cerdas. Begitu pula sebaliknya. Hal
ini tentunya tidak perlu dipermasalahkan berkepanjangan karena yang lebih utama
adalah bagaimana mengimplementasikannya dengan penuh keseriusan secara
berkelanjutan.

REFERENSI
Pengembangan SDM Indonesia Unggul Menghadapi Masyarakat Kompetitif Era
Globalisasi (Muhammad Satar) 439

Kompilasi berbagai sumber tentang SMART Leadership


SIMULASI

1. Peserta dibagi ke dalam kelompok


2. Masing-masing kelompok diberikan study kasus dan berdskusi dengan model
leaderless discussion
3. Hasil diskusi dipresentasikan dan masing-masing kelompok saling memberikan
tanggapan

Anda mungkin juga menyukai