Anda di halaman 1dari 14

Nama : Evi Alviyani

NIM : F1C019018

Mata Kuliah : Filmologi

Analisa Film Little Woman : Feminisme dan Patriarki Pada Tahun 80-an

Pembukaan

Jo March, Amy March, Meg March dan Beth March adalah empat perempuan
bersaudara yang tinggal di kediaman sederhana mereka di Concord, Massachusetts,
Amerika Serikat. Berlatar belakang pada tahun 1980-an, film Little Woman
menceritakan tentang empat bersaudara March yang tumbuh bersama dan
mengahadapi proses kedewasaan mereka. Film ini memiliki alur maju mundur, dan
sepanjang film sulit untuk mengikuti alurnya apabila tidak fokus. Salah satu dialog yang
terkenal dalam film ini diucapkan oleh karakter Jo March yaitu, “Aku hanya merasa,
wanita memiliki pikiran, jiwa, seperti juga hati. Mereka juga memiliki ambisi, bakat,
seperti juga kecantikan. Aku muak mendengar orang mengatakan bahwa cinta adalah
segalanya yang wanita butuhkan. Aku muak!” kalimat ini merupakan ungkapan frustasi
Jo March atas budaya dan pandangan masyarakat terhadap perempuan di masa itu.
Selain Jo, cerita mengenai ketiga saudara March dan bagaimana mereka tumbuh dan
menjadi wanita akan coba diulas lebih lanjut di bawah ini.

Jo March berada di New York dan bekerja sebagai penulis lepas yang
menghasilkan uang dari menjual ceritanya ke surat kabar. Disisi lain, adik Jo, Amy
March berada di Paris bersama bibinya, Aunt March dan belajar menjadi pelukis. Di
Perancis Amy bertemu dengan Theodore Laurance atau biasa dipanggil Laurie, teman
masa kecil March bersaudara yang tinggal bersebarangan dengan mereka di
Massachusetts. Sementara itu di Massachusetts, Meg March kakak pertama dari March
bersaudara sudah menikah dan memiliki 2 anak. Beth March merupakan satu-satunya
dari mereka yang masih tinggal di rumah bersama orang tuanya. Di New York, Jo
merasa tersinggung ketika professor yang satu kos dengannya, Friedrich Bhaer,
mengkritik karyanya. Tak lama, Jo mendapat surat yang mengabarkan Beth sakit keras,
dia kemudian kembali ke rumahnya di Concord, Massachusetts.

Kita kemudian dibawa flashback ke masa 7 tahun lalu saat Meg dan Jo mengikuti
pesta, di pesta itu mereka kemudian berteman dengan Theodore Laurence atau Laurie.
Pada pagi hari natal, ibu March, Marmee, mengajak mereka untuk menyedekahkan
sarapan mereka ke keluarga Mrs.Hummel yang kelaparan. Sekembalinya mereka,
mereka menemukan meja makan mereka penuh dengan makanan pemberian tetangga
mereka Mr.Laurence. Marmee tak lama kemudian membacakan surat dari ayah mereka
yang menjadi relawan pada Perang Saudara di Amerika. Amy bersekolah di sekolah
wanita dan Jo kerap mendatangi Bibi March yang kaya raya untuk membacakan buku,
dengan harapan ia akan diajak berlibur ke Eropa. Masih di masa lalu, suatu waktu Meg,
Jo, Laurie dan John-guru privat Laurie dan suami Meg di masa depan- pergi ke teater
bersama, Amy yang merasa iri karena tak diajak kemudian membakar tulisan Jo dan
membuat mereka bertengkar hebat. Keesokan harinya Amy yang ingin berbaikan
dengan Jo, mengejarnya dan Laurie yang sedang ice skating di danau. Amy tenggelam di
danau dan Jo dan Laurie menyelamatkannya. Di lain waktu, Meg pergi ke suatu pesta
dengan dipinjami kereta oleh Mr.Laurence dan menikmati pesta berkelas itu. sementara
itu, Beth diundang Mr.Laurence untuk memainkan piano milik anaknya yang sudah
meninggal.

Kembali ke masa depan, Meg sedang duduk bersama suaminya, John dan
membicarakan mengenai pengeluaran mereka yang besar untuk membeli kain. Meg
kemudian mengungkapkan kemuakannya menjadi miskin dan melukai perasaan John.
Sementara itu di Perancis, Laurie mendatangi Amy untuk meminta maaf atas
kelakuannya yang tak pantas di sebuah pesta. Mereka kemudian berdebat mengenai
Amy yang ingin menikahi Fredd Vaughn yang kaya raya, hingga Amy berargumen
seperti ini “Aku hanya seorang wanita. Dan sebagai wanita, aku tak bisa menghasilkan
uang. Tak cukup untuk menafkahi atau menyokong keluargaku. Andai aku punya uang
sendiri, dimana aku tak punya, uang itu akan menjadi milik suamiku begitu kami
menikah. Andai kami punya anak, mereka akan jadi miliknya, bukan milikku. Jadi jangan
bilang pernikahan bukan strategi ekonomi, karena memang begitu. Mungkin tidak
untukmu, tapi yang jelas untukku.” Laurie kemudian meminta Amy untuk menolak
lamaran Fred. Amy yang meskipun mencintai Laurie menolak permintaan itu karena dia
benci selalu menjadi yang kedua setelah Jo.

Di masa lalu, Beth pernah jatuh sakit karena tertular penyakit keluarga
Mrs.Hummel. untuk menghindari penularan, Amy kemudian dikirim ke rumah Bibi
March yang kemudian memberikan nasihat supaya dia menikah dengan orang kaya
untuk mengangkat derajat keluarga. Sementara itu, John meminta Meg untuk
menjahitkan kain yang dibelinya supaya dia bahagia, namun ternyata Meg sudah
menjual kain itu dan bilang bahwa menjadi istri John cukup membuatnya bahagia. Beth
yang sakit kemudian sembuh dan ayah mereka yang juga sakit turut sembuh dan pulang
ke rumah mereka saat natal. Sementara di masa kini, setelah menghadapi masa kritis,
Beth tak dapat bertahan dan kemudian meninggal. Kembali flashback ke masa lalu, saat
hari pernikahan Meg dengan John, Jo membujuk Meg untuk kabur, namun Meg bilang
bahwa dia ingin menikahi John, dan bahwa walaupun mimpinya berbeda dengan Jo,
bukan berarti mimpinya tak berharga. Di pernikahan Meg, Bibi March mengumumkan
kepergiannya ke Eropa dan mengajak Amy alih-alih Jo. Setelah pesta pernikahan, Laurie
menyatakan cinta kepada Jo, namun ditolak. Jo bilang dia tak bisa membayangkan
dirinya menikah karena dia terlalu mencintai kebebasannya.

Sementara di masa depan, setelah kematian Beth, Marmee memberitahu bahwa


Amy akan pulang bersama Bibi March yang sedang sakit dengan ditemani oleh Laurie.
Jo mengira apakah dia terlalu cepat menolak Laurie di masa lalu, dia kemudian menulis
surat kepada Laurie. Amy yang sedang bersiap pulang dari Perancis mengabarkan pada
Laurie bahwa dia telah menolak lamaran Fred Vaughn. Laurie dan Amy kemudian
memutuskan menikah di perjalanan pulang mereka ke Amerika. Berita itu sampai ke
telinga Jo dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi teman, tentunya
setelah dia menyobek surat yang niatnya ingin diberikan ke Laurie. Jo yang merasa
kehilangan mulai menulis novel yang menceritakan kehidupannya dan ketiga
saudaranya. Dia mengirimkan chapter pertama novelnya kepada kenalannya,
Mr.Dashwood, editor surat kabar di New York. Jo kemudian dikejutkan dengan
kedatangan Friedrich Bhaer di rumahnya, yang sejenak mampir saat perjalannya
menuju California.
Di New York, Mr. Dashwood setuju untuk menerbitkan novel Jo setelah
mengetahui ketertarikan anak-anaknya terhadap novel karya Jo ini. Namun, ia ingin
mengubah ending novel Jo yang semula adalah membiarkan tokoh utama tidak menikah
hingga akhir. Jo akhirnya menerima itu dan membuat si tokoh utama novelnya, yaitu
dirinya sendiri, untuk mengejar Bhaer yang akan pergi ke California. Jo berhasil
menegosiasi hak cipta dan bayarannya dengan Mr.Dashwood. Setelah meninggalnya
Bibi March, Jo yang diwarisi rumah Bibi March kemudian membuka sekolah untuk laki-
laki dan perempuan dimana Meg, Amy, dan Bhaer mengajar. Jo juga berhasil mencetak
novelnya yang berjudul Little Woman.

Argumen

Kajian film merupakan sebuah kajian yang mencoba mengupas realitas,


representasi dan ideologi yang ada dalam sebuah film. Karena kita tahu, film merupakan
salah satu alat yang dapat digunakan untuk menyebarkan wacana, ideologi dan
kepentingan, seperti yang dijelaskan dalam teori ISAs. Untuk menangkap tanda-tanda,
representasi, realitas dan ideologi dalam film ini, saya menggunakan pendekatan
semiotika John Fiske. Dalam pendekatannya, John Fiske menyempurnakan model
analisis yg ditemukan oleh kedua ahli semiotika sebelumnya yaitu Pierce (cara berpikir)
dan Saussure (cara memahami linguistik). Fiske menambahkan aspek budaya dalam
analisis semiotikanya. Fiske memiliki realitas, representasi dan ideologi. Menurut Fiske
memahami suatu tanda tidak lepas dari unsur budaya. Dalam mengkaji dan
menganalisis suatu film dengan pendekatan semiotik Fiske ini mencakup tiga hal yaitu:
1) Level Realitas (reality), kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah appeareance
(penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behavior
(kelakuan), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi). 2) Level
Representasi (representation), kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah kode
teknis yang mencakupi camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian),
music (musik) dan sound (suara). Serta kode representasi konvensional yang terdiri dari
narrative (naratif), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue
(percakapan), setting (layar), dan casting (pemilihan pemain). 3) Level Ideologi
(ideology), Kode sosial yg termasuk didalamnya individualism (individualism), feminism
(feminism), race (ras), class (kelas), materialsm (materialism), capitalis (kapitalisme),
dll.

Alasan saya memilih pendekatan semiotika John Fiske adalah karena pendekatan
ini memiliki aspek yang lengkap dari mulai level realitas, representasi hingga ideologi.
Elemen-elemen penting dalam film juga dapat ditangkap melalui pendekatan semiotika
ini, dimana hal itu akan sangat membantu untuk menganalisis film Little Woman ini dan
diharapkan mendapatkan pesan-pesan dan segala aspek yang coba disampaikan oleh
film ini melalui elemen-elemen tersebut. Seperti yang telah disebutkan di awal, film ini
memakai alur maju dan mundur, dan dibutuhkan fokus yang tinggi selama menonton
film. Hal ini dikarenakan selama durasi dua jam film ini, scene akan berulangkali
berbolak-balik antara masa kini dan masa lalu, keterangan berupa tulisan yang
mengatakan flashback hanya muncul sekali dalam 12 menit pertama film ini,
selanjutnya tidak ada keterangan yang menjelaskan flashback dalam film ini. Oleh
karena itu, kajian semiotika dibutuhkan untuk menganalisa elemen ini. Selain itu,
semiotika juga akan sangat membantu dalam membedah karakter dan menganalisa
perwatakan yang ditampilkan beserta pesan apa yang ingin coba disampaikan oleh
karakter tertentu. Seperti misalnya, karakter Jo March yang digambarkan sebagai
wanita yang penuh semangat berkobar dan menentang ide tentang wanita lemah
melalui pemikirannya dan tindakan-tindakannya, pun juga dalam tingkah lakunya, cara
makan dan cara berjalannya dapat menggambarkan karakternya. Kemudian,
berlawanan dengan Jo, Meg March digambarkan sebagai kakak pertama yang anggun,
dan feminim. Meg merupakan wanita yang memiliki pandangan berbeda dengan Jo, dia
menentang ide bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang akan mengekang
kebebasan seorang wanita. Meg juga digambarkan sebagai wanita yang selalu
memimpikan kehidupan elit yang penuh serenade. Hal lain yang tak dapat dipisahkan
dari film ini tentunya adalah bahwa film ini mengambil latarbelakang tahun 80-an.
Pendekatan semiotika akan sangat membantu dalam menganalisa kode-kode budaya
yang ada dalam pakaian, cara hidup dan pemikiran orang pada masa itu, serta
menemukan relevansinya dengan kondisi dewasa ini.

Isi Kajian
1. Level Realitas, keadaan atau realitas dalam film disuguhkan melalui;
a. Appearance (penampilan)
Realita yang dapat ditangkap dari penampilan dalam film ini adalah adanya
perbedaan kelas. Karakter March bersaudara yang berasal dari keluarga
menengah kebawah berpakaian biasa, tak terlalu mewah namun juga tidak lusuh,
serta rumah mereka yang sederhana namun penuh kehangatan. Kelas sosial
tinggi diwakili dari penampilan keluarga Mr.Laurance yang selalu berpenampilan
anggun dan bergaya dan rumah mereka yang bak istana. Kelas rendah dapat
dilihat dari penampilan keluarga Mrs.Hummel yang lusuh dan rumah sepetak
mereka.
b. Dress (kostum)
Kode pakaian dalam film ini juga dapat mengindikasikan kelas sosial. March
bersaudara berpakaian dari bahan kain biasa dan hanya memiliki satu pakaian
bagus untuk pesta, sementara keluarga Mr.Laurance dapat memakai pakaian dari
sutra untuk segala acara. Kode pakaian juga digunakan untuk perwatakan seperti
Jo March yang memakai pakaian berwarna netral dan monoton sesuai watak
acuhnya, sementara Meg dan Amy March memakai pakaian yang berwarna cerah
sesuai watak feminimnya. Kode pakaian juga dapat mewakili budaya pada masa
itu yang mengharuskan wanita tampil sempurna. Contohnya saat Jo memakai
gaun satu-satunya miliknya yang terbakar di bagian bawahnya, dia tidak
diperkenankan berdansa di pesta oleh kakaknya karena memalukan.
c. Make-up (riasan)
Riasan dalam film ini dimanfaatkan untuk membedakan karakter saat dewasa
dan saat masih remaja. Saat flashback ke masa remaja, riasan dari para karakter
March bersaudara dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan keceriaan anak
remaja. Menggunakan perona tale orange pada tulang pipi dan bawah mata, serta
freckles buatan di bagian tulang hidung hingga pipi untuk menciptakan image
muda. Sementara untuk menunjukkan kedewasaan, karakter March bersaudara
diberi riasan warna dingin (cool tone) dan menegaskan garis wajah untuk
menggambarkan kedewasaan.
d. Environment (lingkungan)
Lingkungan dapat mencakup latar tempat, dimana pada tahun 80-an, penduduk
belum sepadat sekarang. Di Concord, Massachusetts yang merupakan latar
tempat film ini, jarak antar rumah cukup besar dan masing-masing rumah
hampir selalu memiliki pelataran rumah yang luas. Sementara di New York,
tempat tinggal Jo March berada di loteng sebuah share house, lingkungan New
York yang merupakan kota besar jauh lebih padat dan mahal dibanding di
Massachusetts.
e. Behavior (perilaku)
Kode perilaku dapat dalam film ini dapat mengindikasikan karakteristik tokoh. Jo
March digambarkan berperilaku boyish dan kasar, tak acuh pada penampilan,
tak suka dengan ‘kode etik perilaku’ bagi wanita pada masa itu yang harus
anggun dan feminim. Seperti pada suatu scene dimana Jo memangkas dan
menjual rambutnya untuk mendapatkan uang tambahan bagi ibunya yang akan
pergi menemui ayahnya yang sakit, dimana itu tindakan yang sangat berani
karena rambut dianggap hal yang sangat penting bagi wanita pada masa itu.
Sementara Meg dan Amy March berperilaku anggun, suka memakai sepatu dan
baju bagus, suka berperilaku dan diperlakukan bagai putri, dilayani dan tak perlu
bekerja keras. Hal ini dapat dilihat dari dialog, tindakan dan pemikiran tokoh
sepanjang film. Contohnya saat Amy bilang “Aku tak suka gadis yang kasar,”
kepada Jo, yang kemudian dibalas “Aku juga benci gadis yang anggun”.
f. Speech (cara berbicara)
Budaya pada masa 80-an dalam film ini dapat ditangkap dari cara berbicara Jo
March yang terkesan kasar dan dinilai tidak pantas untuk dikatakan oleh seorang
perempuan pada masa itu. Contohnya saat Jo bilang “Aku sangat lapar, aku bisa
makan seperti kuda” di meja makan yang kemudian ditegur oleh ibunya.
Sementara cara berbicara Meg yang lemah lembut dan sangat memperhatikan
etika dinilai sebagai standar yang baik bagi wanita pada masa itu.
g. Gesture (gerakan)
Kode gerakan dalam film juga dapat mengindikasikan bagaimana etika dijunjung
tinggi pada masa itu. Contohnya saat Laurie tidak memerhatikan Kakeknya yang
sedang berbicara di meja makan dan kemudian ditegur. Jo yang selalu tergesa
dan enerjik dalam setiap gerakannya memperlihatkan semangatnya yang tak
terbendung, bahkan saat makan Jo tak bisa makan dengan tenang dan anggun.
h. Expression (ekspresi)
Jo March dan Amy March digambarkan sebagai tokoh yang ekspresif dalam film
ini. Jo yang selalu memperlihatkan ekspresi perasaannya apa adanya dan
dimanapun dia berada. Dan Amy yang semangatnya terkadang meledak-meledak
dan sangat ekspresif sesuai karakternya sebagai anak bungsu yang ekspresif.
Sementara Beth March sebagai anak yang pendiam jarang memperlihatkan
ekspresinya kecuali saat dirina berada disekitar keempat saudaranya.
2. Level Representasi
a. Casting (pemilihan pemain)
Saoirse Ronan dipilih untuk memerankan karakter Jo March yang enerjik dan
feminis sejati. Greta Gerwig mempertimbangkan pemilihan ini karena Ronan
sebelumnya pernah bermain dalam film garapannya yang bertema feminisme
pula, Lady Bird. Selain Ronan, Emma Watson juga dipilih untuk memerankan Meg
March, menurut saya hal ini karena Emma dikenal sebagai aktris sekaligus pegiat
feminisme yang aktif. Pemilihan karakter yang kuat ditujukan untuk semakin
menegaskan semangat feminisme dalam film ini.
b. Sound (suara)
Tak ada yang rumit dari efek suara dalam film ini, backsound musik yang banyak
digunakan adalah intrumen musik klasik yang sesuai dengan masa itu, demi
membangun nuansa klasik ala 80-an. Background noise seperti orang-orang yang
sedang berbicara dalam keramaian terkadang dimasukkan untuk membangun
suasana pada beberapa scene tertentu.
c. Dialogue (percakapan)
Salah satu kutipan dialog yang menarik diucapkan oleh Jo March saat dia merasa
putus asa setelah kematian adiknya, yaitu dialog berikut; “Aku hanya merasa,
wanita memiliki pikiran, jiwa seperti juga hati. Mereka juga memiliki ambisi,
bakat, seperti juga kecantikan. Aku muak mendengar orang mengatakan bahwa
cinta adalah segalanya yang wanita butuhkan. Aku muak! Tetapi aku sangat
kesepian.” Dialog ini menggambarkan kefrustasian Jo yang mimpinya menjadi
penulis tak dapat ia raih karena kondisi keluarga, serta rasa kehilangannya
setelah Beth meninggal. Jo sebagai seorang feminis, pemikirannya sangat
tergambar dalam dialog-dialognya, seperti contoh lainnya saat Jo menolak
pengakuan cinta Laurie dan bilang “Aku benci kaum elegan, kau benci tulisanku,
dan kita takkan bahagia. Teddy, aku tak percaya aku akan menikah. Aku bahagia
apa adanya, aku terlalu cinta kebebasanku untuk melepaskannya.” Dialog ini
sangat mewakili bagaimana Jo memandang pernikahan yang pada masa itu
menurut penilaian Jo adalah sebuah bentuk pengekangan terhadap perempuan.
Karakter Amy juga memiliki pandangan yang mirip, dia bilang pernikahan adalah
strategi ekonomi yang tak memungkinkan wanita memiliki uangnya sendiri.
“Aku hanya seorang wanita. Dan sebagai wanita, aku tak bisa menghasilkan uang.
Tak cukup untuk menafkahi atau menyokong keluargaku. Andai aku punya uang
sendiri, dimana aku tak punya, uang itu akan menjadi milik suamiku begitu kami
menikah. Andai kami punya anak, mereka akan jadi miliknya, bukan milikku. Jadi
jangan bilang pernikahan bukan strategi ekonomi, karena memang begitu.
Mungkin tidak untukmu, tapi yang jelas untukku.” Sementara dialog lain
yang khas diucapkan oleh Meg pada hari pernikahannya saat Jo bilang akan
membawa kabur dirinya dan bilang Meg harusnya jadi seorang aktris. Meg
menolak Jo dan bilang, “Aku mau menikahinya Jo, karena aku mencintainya.
Hanya karena mimpiku berbeda denganmu, bukan berarti itu tidak penting. Aku
ingin punya rumah dan keluarga. Aku bersedia untuk bekerja dan berjuang.”
d. Setting (layar)
Setting tempat pada film ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian besar yaitu di
New York tempat Jo mengejar mimpi penulisnya dengan lingkungan perkotaan
yang padat. Concord, Massachusetts sebagai lingkungan pinggir sungai Missisipi
digambarkan sebagai lingkungan pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Perancis sebagai tempat Amy belajar seni digambarkan dengan banyak kegiatan
seni yang dilakukan di taman, dan orang-orangnya yang fashionnya terlihat lebih
berkelas.
e. Camera
Pergerakan kamera yang dinamis dapat dilihat dalam beberapa scene yang
menurut tangkapan saya bertujuan untuk memperlihatkan ekspresi dan
perasaan tokoh dengan lebih kuat. Seperti pada adegan saat Jo March menolak
pernyataan cinta Laurie di sebuah bukit kecil, pergerakan kamera mengikuti
pergerakan Jo March dan Laurie yang seakan bergerak gelisah berputar-putar di
bukit itu dan saling mengejar satu sama lain. Pergerakan mengikuti tokoh ini
bertujuan agar penonton dapat lebih menangkap rasa frustasi kedua tokoh.
f. Lighting
Pencahayaan dalam film ini adalah menggunakan pencahayaan yang natural
pada siang hari dan untuk pencahayaan pada malam hari terutama di rumah
sederhana keluarga March adalah menggunakan lilin dan penerangan
tradisional, jadi untuk membuat nuansa 80-an, pada malam hari tidak diberikan
pencahayaan artificial yang berlebihan. Sementara pencahayaan di pesta,
maupun di rumah keluarga Mr.Lawrence sudah menggunakan lampu yang
mewah dengan nuansa warna warm white. Selain untuk menangkap nuansa 80-
an, pencahayaan juga menjadi indikasi kelas sosial dimana orang yang tak berada
tidak memiliki akses ke listrik.
g. Editing

Editing yang menarik pada film ini adalah dengan memanfaatkan filter untuk
membedakan antara scene pada masa kini dengan scene yang menunjukkan
masa lalu. Seperti sudah dijelaskan, tidak ada keterangan teks yang muncul
maupun transisi tertentu untuk menunjukkan pergantian masa ini, tetapi kita
bisa melihat perbedaan itu melalui filter yang dipakai. Pada masa flashback,
digunakan filter dengan dominasi warna orange untuk nuansa warm tone yang
menggambarkan kehangatan pada masa remaja. Sementara filter warna cool
tone digunakan untuk scene masa dewasa/masa kini untuk memberikan nuansa
sorrowfull dan kehilangan yang mereka rasakan saat beranajak dewasa.
h. Musik
Yang dapat saya tangkap dari film ini, backsound suara pada saat flashback ke
masa muda March bersaudara cenderung lebih upbeat dan semangat, serta
menggambarkan suasana kehangatan. Sementara musik yang lebih tenang, dan
bernuansa dingin dipakai untuk membangun suasan kesedihan, kehilangan dan
sorrowfull pada masa kedewasaan mereka.
i. Naratif
Secara keseluruhan, narasi film ini mencoba memperlihatkan dilema perempuan
pada masa 80-an dan bagaimana perjuangan mereka untuk meraih mimpi
mereka melalui karakter March bersaudara. Standar perempuan yang sempurna
pada masa itu diungkapkan melalui tokoh Bibi March yang kolot dan selalu
bilang bahwa perempuan harus menikah dengan orang kaya untuk menaikkan
derajat keluarga. Mr.Dashwood sebagai editor surat kabar juga menuntut sebuah
cerita dengan tokoh utama perempuan harus diakhiri dengan wanita itu menikah
atau mati.
j. Konflik
Konflik dalam film menonjolkan bagaimana perbedaan konflik-konflik anatara
remaja dengan ego tinggi, rasa iri dengan saudara dan konflik kecil lainnya,
sementara konflik pada masa dewasa berkisah pada uang dan karir.
k. Karakter
Penggambaran karakter digunakan untuk membedakan bagaiamana para
perempuan merespon terhadap isu perempuan dan budaya patriarkinya. Seperti
Jo March yang benci kaum elegan dan etika perempuan yang mengekang
kebebasan, sedang karakter Meg menggambarkan kaum kelas menengah yang
selalu mencoba masuk dan memantaskan diri dengan kaum elit. Karakter Bibi
March digambarkan sebagai kaum generasi terdahulu yang turut menjunjung
adanya etika untuk perempuan dan kaum elit.
l. Aksi
Aksi yang menonjol dari film ini adalah pada saat Jo March akhirnya
menyelesaikan sebuah novel yang berkisah tentang empat bersaudara March,
kemudian mengirimkanna ke Mr.Dashwood. Jo March juga berhasil
memenangkan hak cipta dan pembayaran sesuai keinginnannya. Selain itu, Jo
dan March bersaudara juga membangun sebuah sekolah untuk laki-laki dan
perempuan dari rumah warisan Bibi March. Aksi ini sebagi simbol bagaimana Jo
akhirnya memenangkan egonya dan mulai mengikis budaya patriarki dengan
tidak menikah hingga akhir hidupnya, sekaligus mewujudkan mimpinya.
3. Level Ideologi
Ideologi yang menonjol dalam film ini adalah feminisme. Sepanjang film,
pesan yang ingin disampaikan adalah bagaimana karakter Jo March berusaha
memperjuangkan mimpinya dan melawan budaya patriarki yang mengekang
perempuan pada masa itu. Jo march yang digambarkan sebagai wanita yang
tangguh, berani dan tidak peduli dengan sifat anggun yang digadang harus dimiliki
oleh wanita pada saat itu. Semangat feminisme Jo dapat dilihat dari dialog, cara
pikir, tingkah lakuna, tindakan-tindakannya, hingga cara berbicara dan berjalannya
seperti yang telah dijelaskan pada level realitas dan representasi di atas. Sementara
pemikiran patriarki dan tradisi kolot pada masa itu ditampilkan melalui karakter
Bibi March dan Mr. Dashwood. Pada bebrapa scene, Bibi March berbicara bahwa
wanita harus menikahi lelaki kaya untuk mensupport keluarganya, menikah karena
cinta tak akan membawa kebahagiaan. Dan apabila seorang wanita tak ingin
menikah, dia harus luar biasa kaya agar tak sengasara. Juga taka ada cara seorang
wanita bisa menghasilkan uang sendiri tanpa bantuan ataupun privilege.
Mr.Dashwood sebagai seorang editor juga tak suka pada ide novel Jo yang bercerita
tentang seorang wanta yang melajang sepanjang hidupnya, dia memaksa untuk
mengubah endingnya dan membuat wanita itu menikah. Dalam keadaan negara
yang sedang berperang, wanita dianggap hanya dua pilihan yaitu untuk menikah di
akhir atau meninggal, tak ada jalan baginya untuk bercita-cita.
Selain feminisme dan patriarki, kita juga dapat menangkap adanya kelas
sosial yang berbeda dalam film ini. Kelas sosial tinggi diwakili oleh Mr.Lawrence
dan kaum elit yang identik dengan gaun mewah, rumah mewah dan pesta-pesta.
Kelas menengah kebawah diwakili oleh Keluarga March yang sederhana, yang
begitu tergantung pada uang dalam hidupnya dan harus berusaha keras untuk
mimpinya dan untuk kehidupan yang layak. Kelas bawah diwakili oleh keluarga
Mrs.Hummel, seorang janda dengan banyak anak yang rumahnya hanya berbentuk
sebuah petak dan mereka berbagi satu ranjang untuk tidur.

Ringkasan
Dari analisis di atas, kita dapat menangkap bagaimana elemen-elemen dalam
film ini masing-masing saling bersinergi dan membangun pesan semangat feminisme
dari tokoh dan bagaimana perjuangkan mereka melangkahi tembok budaya dan
berbagai batasan yang mengekang wanita. Dalam waktu bersamaan, kita juga dapat
menangkap bagaimana kelas sosial juga menjadi aspek yang turut menjadi tembok
halangan bagi wanita untuk bebas berkarya dan diakui eksistensinya dalam
masyarakat, tak hanya sebagai wanita yang lemah, yang hanya diperuntukkan untuk
hal-hal indah dan keanggunan, namun wanita juga mampu berjuang untuk dirinya
sendiri, menjadi kuat dan berkarya dalam masyarakat. Walaupun film ini berlatar
belakang tahun 80-an dan ada banyak perbedaan environment dengan masa kini, kita
tetap bisa melihat relevansinya dengan dunia modern saat ini, dimana wanita masih
terus memperjuangkan hak-haknya dalam masyarakat. Film ini dapat membuat
semangat feminisme dalam diri seseorang turut terpancing dan memotivasi dengan
cara yang apik dan rapi dengan memperlihatkan bagaimana tokoh Jo March dan
perjuangan mimpinya, serta cerita-cerita masa kecil yang relateable bahkan di masa
kini.
Daftar Pustaka
IMDb, (2019). Little Woman. Diakses pada 3 November 2020 melalui
https://m.imdb.com/video/vi2655304729?playlistld=tt3281548&ref_=m_tt_ov_vi

Siroy, K. (2019). Sistem Pertandaan Semiotik Pada Iklan Layanan Masyarakat “Stop
Hoax” Dalam Media Televisi Indosiar (Anlisis Semiotik John Fiske). Jurnal Dakwah
dan Komunikasi. Vol 4 (2).

Anda mungkin juga menyukai