Anda di halaman 1dari 7

Tuesdays with Morrie

So many people walk around with a meaningless life. They seem half-asleep, even when
theyre busy doing things they think are important. This is because theyre chasing the wrong
things. The way you get meaning into your life is to devote yourself to loving others, devote
yourself to your community around you, and devote yourself to creating something that gives
you purpose and meaning.
Mitch Albom, Tuesdays With Morrie
Sebuah novel non-fiksi yang sangat recommended. Kisah ini diambil dari pengalaman luar
biasa Mitch Albom, seorang jurnalis serba-bisa alumnus Brandeis University, bersama
sahabatnya, Morrie Schwartz, yang notabene adalah Dosen-nya semasa kuliah.

Alkisah, cerita ini diawali dengan masa-masa kuliah Mitch, di mana dia mulai mengenal
Morrie Schwartz, seorang dosen kharismatik yang mengampunya dalam mata kuliah
Sosiologi. Setiap Selasa, kedua insan yang memiliki beragam kesamaan pandangan ini selalu
menghabiskan sebuah siang untuk membicarakan banyak hal yang mereka ingin bicarakan,
terutama mengenai nilai-nilai kehidupan, sembari menyantap makan siang masing-masing.
Keakraban ini berlanjut hingga Mitch-pun akhirnya wisuda, dan ia berjanji takkan melupakan
Morrie, beserta nilai-nilai yang telah ditularkan oleh sahabatnya tersebut.
Hari demi hari berlalu, tahun pun berganti. Mitch yang telah berpindah tempat tinggal pun
terjebak dalam sibuknya dunia pekerjaan, ia ternyata tak kuasa untuk memenuhi janjinya
kepada Morrie dulu. Surat-surat dari Morrie, yang pada awalnya masih sanggup ia balas,
bertumpuk tak terjamah. Tanpa sanggup melawan, Mitch terjebak dalam hingar-bingar dunia
kapitalis yang sering ia perbincangkan bersama Morrie, di hari Selasa setiap minggunya,
dulu.
Hingga pada akhirnya, setelah sepuluh tahun berlalu, Mitch mendapat kabar menyedihkan
bahwa Morrie, sang Dosen pujaannya, tengah berjuang melawan ALS (Amyotrophic lateral
sclerosis/Lou Gehrigs Disease). Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Tentang bagaimana
pengorbanan Mitch yang rela menempuh perjalanan ratusan kilo dan mengambil cuti dari
pekerjaannya di setiap Selasa, untuk memberikan sebuah Selasa terbaik, seperti yang biasa
mereka nikmati dulu. Tentang indahnya pandangan hidup (yang mayoritas menitikberatkan
pada sisi kemanusiaan) yang Morrie tularkan dan Morrie ajarkan kepada Mitch. Dan tentang
bagaimana Morrie, sebagai seorang sahabat, menerima kembali hadirnya si anak hilang
yang sempat lupa pada keberadaannya dengan tangan terbuka.
Sebuah novel, sebuah kisah persahabatan, dan sebuah pembelajaran kemanusiaan yang
mengagumkan dari Morrie Schwartz dan Mitch Albom.

Tuesdays with Morrie


Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Artikel ini adalah tentang buku itu. Untuk film, lihat hari Selasa dengan Morrie
(film) .
Tuesdays with Morrie

Penulis

Mitch Albom

Negara

AS

Bahasa

Inggris

Aliran

Biografi , novel yang filosofis ,


Memoir

Penerbit

Doubleday

Tanggal
publikasi

1997

Jenis Media

Cetak Hardcover , Paperback

Halaman

192

ISBN

0-385-48451-8

OCLC

36130729

Dewey
Decimal

378.1/2/092 B 21

LC Kelas

LD571.B418 S383 1997

Selasa dengan Morrie adalah memoar [1] oleh Amerika penulis Mitch Albom . [2] Cerita ini
kemudian diciptakan oleh Thomas Rickman menjadi film TV dengan nama yang sama

disutradarai oleh Mick Jackson , yang disiarkan pada tanggal 17 Desember 1999 dan
dibintangi Jack Lemmon dan Hank Azaria . [2]
Buku ini menduduki puncak New York Times Non-Fiksi Terlaris 2000 . Sebuah audiobook
lengkap juga diterbitkan, diriwayatkan oleh Albom sendiri. Lampiran audiobook berisi
beberapa menit dari kutipan dari rekaman audio Albom dibuat dalam percakapan dengan
Morrie Schwartz dalam persiapan untuk menulis pertunjukan.
Pada tahun 2007, peringatan 10 tahun penerbitan buku, edisi baru dengan Penutup oleh Mitch
Albom dirilis.

Isi

1 Sinopsis

2 Tema

3 Lihat juga

4 Referensi

5 Pranala luar

Sinopsis
Olahraga kolumnis Mitch Albom menceritakan waktu yang dihabiskan dengan nya 78 tahun
sosiologi profesor, Morrie Schwartz, di Brandeis University , yang sedang sekarat dari
amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Albom, seorang mantan mahasiswa dari Schwartz, tidak
berhubungan dengan dia sejak duduk di bangku kelas kuliah 16 tahun sebelumnya. Tiga bab
pertama menggabungkan pengenalan ambigu percakapan terakhir antara Albom dan
Schwartz, kilas balik singkat untuk kelulusan Albom, dan penjelasan tentang peristiwa yang
dialami Albom antara lulus dan reuni dengan dosennya. Nama Morrie berasal dari artinya
dalam bahasa Ibrani (mori ), yang berarti "guru saya."
Albom adalah seorang kolumnis olahraga yang sukses untuk Detroit Free Press meskipun
mimpi masa kecilnya menjadi seorang pianis. Setelah melihat Schwartz pada Nightline ,
Albom disebut Schwartz, yang ingat mantan muridnya meskipun selang 16 tahun. Albom
diminta untuk perjalanan dari Michigan ke Massachusetts untuk mengunjungi Schwartz.
Sebuah pemogokan koran membebaskan Albom bolak-balik mingguan, Selasa, untuk
mengunjungi dengan Schwartz. Buku yang dihasilkan didasarkan pada empat belas hari
Selasa mereka bertemu, dilengkapi dengan ceramah Schwartz dan pengalaman hidup dan
diselingi dengan kilas balik dan sindiran terhadap peristiwa kontemporer.

Tema
Schwartz dan percakapan Albom kanvas penerimaan, komunikasi, cinta, nilai-nilai,
keterbukaan, dan kebahagiaan. Albom menekankan pentingnya menempa budaya sendiri
seseorang untuk mengatasi tirani budaya populer, menunjukkan bahwa media disibukkan

dengan kematian, kebencian, kekerasan dan depresi. Keliru mengutip penyair favoritnya, WH
Auden , Schwartz menegaskan kita harus "saling mencintai atau binasa".
Sepanjang teks karakter perubahan Albom sebagai cerita Schwartz menginspirasi dia. Albom
membawa makanan untuk Schwartz pada setiap kunjungan, penegasan hidup dan kesehatan.
Ini adalah satu-satunya hadiah selain perusahaan yang Albom mampu menyediakan ke
Schwartz dalam penderitaannya.

[DORAMA] Densha Otoko (2005)


[MOVIE] The Ramen Girl (2008)

[BOOK] Tuesdays with Morrie (Mitch Albom)


March 28, 2010 by purisuka

Akhir-akhir ini saya lagi hobi baca novel-novelnya Mitch Albom


nih. Novelnya yang pertama saya baca itu adalah The Five People You Meet in Heaven. Lalu
yang kedua adalah For One More Day. Dua buku itu lumayan saya suka dan keduanya samasama memiliki tema yang cukup dalem, yaitu menceritakan tentang makna hidup, kematian,
dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Namun, sedalem-dalemnya dua buku itu, menurut
saya lebih dalem lagi Tuesdays with Morrie, buku Mitch Albom yang ketiga yang saya
baca. Saya sukaaaaa sekali buku ini. Ceritanya deeeeep banget *baca: dalem :p*. Gak heran
kalo di sampul depan novel-novel Mitch Albom lainnya selalu tercantum kalimat dari
pengarang Tuesdays with Morrie. Tampaknya novel ini adalah masterpiece dari pengarang
satu itu.
Tuesdays with Morrie bercerita tentang kisah nyata yang dialami oleh sang pengarang
sendiri, Mitch Albom dengan mantan dosennyanya di universitas, Morrie Schwartz. Sejak
Mitch lulus, guru dan murid ini sudah tidak pernah berhubungan lagi, padahal Mitch sudah
berjanji akan tetap menghubungi Morrie meskipun ia sudah lulus. Dan, setelah tanpa sengaja
melihat sebuah acara televisi di mana Morrie tampil menjadi bintang tamu, Mitch kembali
menghubungi mahagurunya tersebut. Ia akhirnya mengetahui bahwa saat ini Morrie
menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS), sebuah penyakit ganas dan tak kenal ampun
yang menyerang sistem saraf. Penyakit tersebut terus menggerogotinya, dan Morrie sendiri
tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Namun, hal tersebut sama sekali tidak
menurunkan semangat Morrie. Ia sama sekali tidak menyerah. Sebaliknya, ia bermaksud
menjadikan kematian sebagai proyeknya yang penghabisan, pusat perhatiannya selama
hari-hari yang masih tersisa. Karena siapa pun kelak akan mati, upayanya pasti akan

berguna, betul kan? Ia dapat menjadi obyek penelitian itu sendiri. Ia akan menjadi buku
bernama manusia. Belajarlah dari lambat dan perlahannya proses kematianku.
Perhatikan apa pun yang terjadi padaku. Belajarlah bersamaku. (dikutip dari halaman 11)
Akhirnya, tiap minggu-nya, tepatnya setiap hari Selasa, Mitch menemui Morrie, dan kembali
melakukan kuliah bersamanya, yaitu kuliah tentang makna hidup, seperti tentang dunia,
kematian, penyesalan, keluarga, emosi, pernikahan, uang, budaya, dan hal-hal lainnya.
Banyak hal yang didapat Mitch melalui kuliah-kuliahnya tersebut, dan melalui pengalamanpengalaman yang diceritakan oleh Morrie, Mitch mulai bisa memaknai hidupnya yang
awalnya berjalan dengan datar.
Saya suka buku ini. Seperti yang saya bilang di atas, buku ini bener-bener dalem. Bukan
hanya Mitch saja yang bisa belajar dari sosok bijaksana seorang Morrie, tapi juga para
pembaca novel ini. Pesan-pesan yang disampaikan Morrie melalui buku ini bener-bener
kena banget, dalem, dan gak berkesan menggurui. Salah satu kutipan favorit saya dari buku
ini yang diucapkan oleh Morrie, begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, itu
sama dengan belajar tentang bagaimana kita harus hidup.
Buku ini mengajarkan pada kita, bahwa setiap manusia pasti akan mati. Karena itulah, kita
harus menjalani hidup kita dengan sebaik-baiknya. Morrie sendiri sama sekali bukan karakter
yang betul-betul sempurna. Walaupun ia terlihat tenang dan bijaksana dalam menghadapi
penyakit yang menggerogotinya, bukan berarti ia tidak merasa takut sama sekali. Saya suka
sekali dengan konsep Morrie tentang mematikan perasaan. Morrie mengajarkan pada kita
untuk tidak selalu menahan emosi, karena apabila emosi-emosi tersebut ditahan, kita tidak
akan pernah dapat mematikan rasa dan akan selalu sibuk menghadapi rasa takut.
Selain itu saya juga suka dengan bab yang membahas tentang maaf. Di sini Morrie
mengajarkan agar kita memaafkan diri sendiri sebelum memaafkan orang lain. Kita pasti
pernah merasakan berbagai macam penyesalan dalam hidup ini, dan hal itu sering membuat
kita menghukum diri sendiri. Karena itu, maafkanlah dirimu sendiri, berdamailah dengan
dirimu sendiri dan orang lain. Bisa dibilang bab yang ini adalah bab yang paling saya suka
dari buku ini <3
Sekian saja review dari saya. Buku ini sangat recommended. Cocok bagi orang-orang yang
menyukai novel-novel dengan tema seputar makna hidup. Gaya penulisannya pun sederhana
dan sangat enak diikuti (meskipun saya baca terjemahannya). 5 bintang dari saya!

Anda mungkin juga menyukai