Anda di halaman 1dari 13

0

Di Cimetière de Montparnasse, adalah pemakaman. dan yang paling ramai dikunjungi


adalah makam salah satu pasangan kekasih paling dikenang sepanjang masa. Mereka
adalah Jean Paul Sartre dan Simone di Beauvoir, sepasang filsuf yang dikuburkan di
bawah nisan yang sama. Jika kita berkunjung ke Cimetière de Montparnasse, kita bisa
melihat besarnya rasa kagum itu di atas nisan mereka, di mana ratusan bekas kecup
bibir tersemat dengan berbagai warna dan warni. Sartre dan Beauvoir adalah cerita
cinta ganjil yang tak ada habisnya. Namun, terlepas dari sudut pandang benar-salah
atau indah-buruk hubungan mereka, yang jelas mereka telah membuktikan tiga hal.
Pertama, mereka bisa memegang janji yang sejak awal telah disepakati. Kedua, mereka
telah menjadi pasangan intelektual yang banyak mengubah dunia. Ketiga, hingga detik
ini mereka masih bersama dan tak bakal lagi ada orang ketiga di liang lahat mereka.

Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Simone de Beauvoir (1908-1986) adalah filsuf maha
kondang pada pertengahan abad 20. Sartre dikenal sebagai
seorang penggagas gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Ia juga termasuk
golongan intelektual kiri yang paling dihormati di zamannya. Sepanjang hidupnya, ia tak
segan mengambil sikap atas berbagai peristiwa politik. Mulai dari menentang
kolonialisme Prancis di Aljazair, menuntut penyelidikan kejahatan perang di Vietnam,
bahkan turut serta dalam demonstrasi Revolusi Mahasiswa 1968 di Paris. Sementara
itu, Simone de Beauvoir dikenal sebagai salah satu tokoh gerakan feminisme paling
penting di dunia. Terutama setelah ia menerbitkan buku Le Deuxième Sexe (The Second
Sex), sebuah studi besar tentang gender yang telah menginspirasi berbagai gerakan
pembebasan perempuan.

Dua sejoli ini bertemu tahun 1929 saat keduanya masih menjadi mahasiswa filsafat di
Universitas Sorbonne. Saat itu, Sartre adalah mahasiswa peringkat satu
dalam Agrégation de Philosophie, ujian tesis filsafat di Sorbonne. Sementara Beauvoir
meraih peringkat dua. Pertemuan mereka di kampus inilah yang nantinya
akan membawa mereka pada sebuah hubungan cinta yang menjadi cerita besar: Sartre
dan Beauvoir saling mencintai, memutuskan hidup bersama, berjanji tak pernah saling
bohong, namun sama sekali tak pernah menikah. Sebab, mereka percaya bahwa cinta
tak butuh lembaga pernikahan yang sebenarnya hanya tradisi kaum borjuis.

1
Kebanyakan dari kita mungkin tidak tahu bahwa Simone de Beauvoir pernah
menjalin hubungan asmara dengan Nelson Algren, sastrawan Amerika yang sangat
masyhur pada periode 1950-an. Karya-karyanya banyak membahas tentang keadaan
orang-orang marjinal di Chicago, dengan nuansa cerita yang kerapkali muram. Beauvoir
dan Algren bertemu di Leetle Café, Chicago, pada suatu malam di tahun 1947. Saat itu
Beauvoir tengah mendapat undangan dari pemerintah Amerika untuk
memberi serangkaian kuliah umum. Di antara jeda mengajar itulah Beauvoir menelfon
Algren dan mengajaknya bertemu.

Pertemuan pertama mereka dimulai dengan kecanggungan. Sebab, keduanya


mengalami kendala komunikasi. Algren hanya sedikit paham Bahasa Prancis, sementara
Beauvoir juga tak pandai berbahasa Inggris. Mereka bercakap dengan bahasa campur-
campur, di sebuah lounge yang sepi, di mana keduanya hanya memahami setengah dari
apa yang dikatakan lawan bicaranya. Namun pesona Algren yang penuh kejutan lah yang
membuat Beauvoir kemudian jatuh hati. Bermula dari percakapan yang kaku,
Algren lalu mengajak Beauvoir ke luar kafe, berjalan kaki menyusuri tepian Sungai
Chicago, lalu memasuki gang-gang sempit nan kotor. Di sana, mereka melihat pengemis-
pengemis yang mendengkur di tepi jalan, juga para gelandangan yang menjual apapun
demi sekeping uang. Termasuk salah seorang yang menawarkan sebatang pensil pada
Algren.

Bagi Beauvoir yang terlahir di lingkungan borjuis dan senantiasa hidup serba
kecukupan—termasuk saat menjadi mahasiswi Sorbonne—, pengalaman menyusuri sela-
sela gedung Chicago ini tentu menjadi momentum tak terlupakan. Barangkali
petualangan macam inilah yang tak ia temukan pada sosok Sartre. Algren dan
Beauvoir lalu masuk ke sebuah bar kecil, menenggak bir, mendengarkan jazz yang
dimainkan musisi-musisi kulit hitam, lalu bertukar cerita dengan lebih lepas. Saat itu,
Algren mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya penulis Amerika yang serius
setelah mangkatnya Richard Wright. Ia juga bercerita bahwa semua orang yang ada di
bar itu kejam dan hobi kisruh. Tapi segera Beauvoir menggoda Algren dengan
mengatakan bahwa Algren adalah satu-satunya orang yang berbahaya baginya.

2
Malam itu, mereka pulang dalam keadaan setengah mabuk. Saat waktu
menunjuk pukul dua dan udara Chicago semakin dingin, Algren dan Beauvoir
memilih menghabiskan sisa pagi untuk bercinta di atas ranjang reot di
dalam apartemen Algren.

Kisah cinta Beauvoir dan Algren sebenarnya tak kalah menarik dibanding Beauvoir dan
Sartre. Kalau Sartre adalah kekasih intelektual, Algren adalah kekasih bucin-nya
Beauvoir. Ini bisa terbukti jika kita membaca surat tertanggal 19 Juli 1948 di mana
Beauvoir menulis untuk Algren:

Kau harus tahu, Nelson, aku yakin kau benar-benar paham kenyataan ini: bahwa aku
akan sangat bahagia menghabiskan siang dan malam bersamamu sampai mati. Di
Chicago, Paris, atau Chichicastenango. Tak mungkin aku bisa merasakan lagi cinta yang
sama seperti cinta yang kurasakan padamu, kekasih tubuh, jiwa, dan ragaku. Tapi, aku
lebih baik mati daripada melukai dan menimbulkan sakit tak terobati untuk seorang
yang mau melakukan apapun demi kebahagiaanku.

Hubungan Beauvoir, Sartre, dan Algren adalah hubungan yang rumit. Di satu sisi,
Beauvoir begitu mencintai Algren dan bahkan kerap bercerita padanya tentang sisi buruk
Sartre. Termasuk perihal buruknya Sartre di atas ranjang—hal yang juga diakui Sartre
dengan ungkapan «je faisais l‟amour souvent, mais sans un très grand
plaisir» dan « J‟étais plutôt un masturbateur de femmes qu‟un coïteur. ». “Aku sering
sekali bercinta, tapi tanpa gairah yang besar-besar amat. Dan aku lebih sering
memasturbasi perempuan daripada mempenetrasinya”.

Namun di sisi lain, Beauvoir tetap menolak pinangan Algren untuk menjalani hubungan
tradisional—menikah dan berkomitmen pada satu pasangan. Pada akhirnya,
Beauvoir lebih memilih Sartre dan enggan berkhianat meskipun dalam surat yang
sama, Beauvoir juga menulis “je ne l‟aimais plus d‟amour”. “Cintaku pada Sartre sudah
tak ada lagi”. Poin terpenting dari hubungan mereka
adalah akar dari segala hubungan yang rumit ini adalah „aturan main‟ yang ditawarkan
Sartre kepada Beauvoir. Lebih jauh lagi, mereka boleh punya selingkuhan, tetapi harus
berterus terang dan menceritakan dengan detil setiap tindak dalam hubungannya.

3
Perjanjian inilah yang di kemudian hari menyeret banyak sekali nama yang
terlibat dalam hubungan Sartre dan Beauvoir.

Tak cuma Nelson Algren, Beauvoir juga pernah menjalin hubungan dengan Claude
Lanzmann, Fernando Gerassi, Arthur Koestler, René Maheu, dan Olga Kosakiewicz.
Sementara Sartre justru lebih banyak lagi. Ia pernah berselingkuh dengan Wanda
Kosakiewicz, Martine Bourdin, Dolorès Vanetti, Arlette Elkaïm, Michelle Vian, Évelyne
Rey, Liliane Siegel, hingga Lena Zonina.

Selain nama-nama di atas, tercatat pula nama Bianca Lamblin yang saya kira
merupakan orang ketiga paling kontroversial dalam hubungan mereka. Sebab, Lamblin
adalah pasangan lesbian Beauvoir—ya, Beauvoir adalah seorang biseksual—sekaligus
kekasih Sartre. Kisah mereka diceritakan dalam catatan yang ditulis Lamblin
berjudul Mémoires d‟une jeune fille dérangée (The Disgraceful Affair).

Dalam catatan tersebut, gadis keturunan Yahudi ini menceritakan relasi asmaranya
dengan Sartre dan Beauvoir sejak ia masih berumur 16 dan menjadi siswi di Lycée
Molière, Paris. Kala itu, Lamblin adalah murid Beauvoir di kelas filsafat. Ia begitu
mengagumi Beauvoir sebagai perempuan yang brilian. Ia terutama terpesona pada cara
Beauvoir mengubah sudut pandangnya tentang perempuan sebagai manusia yang juga
bisa mandiri, cerdas, dan berani melawan. Lamblin bahkan mendeskripsikan Beauvoir
dengan penuh kekaguman. «L‟intelligence de son regard d‟un bleu lumineux nous frappa
dès le début », “Kecerdasan yang memancar dari mata birunya seperti menghujam sejak
awal bertemu”.

Rasa kagum itu kemudian ia layangkan melalui sepucuk surat yang tanpa sangka
mendapat balas. Sejak itu, mereka sering bertemu entah di kafe, taman, kantor, atau
hotel, hingga akhirnya menjalin hubungan asmara. Hubungan ini terus berlanjut hingga
Lamblin menjadi mahasiswi filsafat di Sorbonne di mana Beauvoir memperkenalkan
Lamblin pada Sartre dan menyarankan Lamblin melakukan bimbingan dengannya.

Kesempatan inilah yang digunakan Sartre untuk merayu Lamblin dengan rentetan surat
cinta yang akhirnya membuat Lamblin luluh. Sartre, Beauvoir, dan Lamblin menjalin
cinta segitiga dengan saling terbuka sampai tahun 1940. Hubungan ini berakhir saat
Beauvoir mulai merasa cemburu dan membuat kedua filsuf ini memutuskan Lamblin
lewat sepucuk surat. Sepucuk surat tersebut tak hanya membuat Lamblin hancur. Ia
juga mengalami depresi berat. Ia merasakan betul apa yang disebut habis manis sepah

4
dibuang. Terlebih satu tahun sesudahnya, Lamblin dan keluarganya menjadi incaran
Gestapo. Saat Lamblin meminta pertolongan pada Beauvoir dan Sartre untuk
melindunginya, Lamblin bahkan tak mendapat jawaban apapun selain perasaan
terhinakan. Di kemudian hari, perlakuan Sartre dan Beauvoir kepada Lamblin membuat
banyak orang berpikir bahwa kedua filsuf ini cukup durjana dan mengerikan.

Bagi Seorang Sartre cinta itu adalah konflik, dan karakter dasar cinta adalah Pertikaian.
Ketika kamu mencintai seseorang, maka kamu berhadapan langsung dengan
kemerdekaan orang yang kamu cintai tersebut. Alih-alih Kamu ingin mencintai
seseorang dengan mempertahankan kemerdekaanmu sendiri, tetapi kamu tidak berani
memberikan kemerdekaan yang utuh pada pasanganmu.

Pada dasarnya setiap orang memiliki sifat individualisme. tak perduli latar belakang,
usia, dan pendidikan. Sifat individualitas / menganggap dirimu adalah subjek
(pemegang kendali terhadap diri sendiri) dan melihat orang lain hanya sebagai
objek. Sedangkan di lain sisi kita tidak ingin dijadikan objek bagi orang lain. Begitulah
fitrah manusia, tak kenal apapun jenis kelaminnya selalu pasti sama .

Sehingga cinta itu adalah subjek yang ingin menjadikan yang dicintai sebagai objek,
begitu juga sebaliknya. Semisal, Ketika kita bertemu seseorang dan saling jatuh cinta,
pada dasarnya adalah penjara. Karena kamu berusaha menjadikannya objek bagi dirimu
dengan segala tuntutan dan sebaliknya dia juga berusaha menjadikanmu objek dengan
segala tuntutan sehingga akhirnya kita kehilangan eksistensi kita sebagai manusia.

Orang yang mencintai pada hakekatnya ingin memiliki dunia orang yang dicintai.
Mengobjekan-nya, dan meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara "bulat-bulat".
Kondisi tersebut dapat kita simpulkan sebagai "Terjebak pada dunia orang lain" atau
"Berada bagi orang lain". hal tersebut merupakan sesuatu yang Nausea (Memuakkan!)

Cinta juga sebuah paradoks. alih-alih memberikan kebebasan.. kalimat


"Aku cinta padamu dan cintaku ini bukan belenggu" sebetulnya kalimat itu secara tidak
langsung sudah membelenggu. Manusia lahir dengan segala keinginan
Tidak ada satu manusia pun yang ingin tunduk pada manusia lain.
Fenomena yang disebut cinta tentu bertentangan dengan kodrati tersebut. Bagi Sartre,
hanya ada 2 pilihan dalam mencintai dan dicintai. Pertama, salah satu dari kita harus
rela dijadikan objek bagi pasangan kita seumur hidup. Pilihan ke-2 adalah masing-

5
masing bersikukuh tidak ingin dijadikan objek. Apabila itu terjadi, Tanpa sadar akhirnya
kita hancur, lebur dan keduanya tanpa sadar sudah sama-sama menjadi objek.

Sudahlah, rumus-rumus cinta yang mainstream yang selama ini kita dengar bahwa cinta
itu agung, suci, tanpa pamrih, tanpa suatu apa, tidak lain itu hanyalah ilusi semata.
Rasa ketertarikan hanya sebuah tabir bagi hawa nafsu, selimut bagi hasrat seksual.
Begitu kamu bertemu 2 individu atau 2 subjek, yang terjadi adalah kamu akan saling
mengobjek-an satu sama lain. Disitu manusia akan kehilangan subjektifitas dirinya.
"Khazanah percintaan seperti naksir, kasih, pacaran, perkawinan adalah sebuah
kegagalan manusia dalam mempertahankan subjektifitas/kuasa terhadap diri
sendiri" Cinta tanpa mendominasi atau menuntut tidaklah mungkin ada, tidak mungkin
di sebut cinta.

Dua orang manusia hanya bisa saling mendukung dan "mencintai" tanpa mendominasi
HANYA APABILA MEREKA MEMILIKI MUSUH YANG SAMA. namun apabila 2 manusia tidak
memiliki musuh bersama, maka mereka akan memakan satu sama lain guna
mempertahankan subjektifitas dirinya, seperti Romeo dan Juliet terlihat kompak karena
mereka memiliki musuh bersama yaitu keluarga yang tidak merestui hubungan mereka.
Dan kita iri melihat kekompakan mereka.
Bukankah rasa iri tersebut membutakan mata kita?. seolah cinta itu suci, agung, dan
hebat. Tidak! Cinta hanyalah ilusi dari kisah perlawanan dua melawan banyak

Tetapi coba kalau kita bayangkan bagaimana bila tidak ada musuh bersama dalam
hubungan Romeo dan Juliet.Dalam artian keluarga mereka saling merestui. Tentu
mereka tidak akan sekompak itu dalam menenggak racun dan mati bersama, mereka
akan sengsara satu sama lain, rumah tangga mereka akan dipenuhi karakter dasar cinta
yang yaitu "Konflik" Jadi sebenarnya jalan menuju kebahagiaan bukan melalui
percintaan / pernikahan semata.

Kalau tujuan pernikahan hanya sebatas hidup bahagia, pikirkan seribu kali. Kalau kamu
mencari kebahagiaan, jelas ia tidak ada disana. Pernikahan hanyalah seni mengelola
konflik antara dua makhluk individualis yang disebut manusia.

6
Gadis kecilku yang manis, malam ini aku mencintaimu dengan cara yang belum pernah
engkau temui sebelumnya:
Aku tak perlu letih menempuh jarak dan tak perlu tenggelam dalam mengharapkan
hadirmu
Telah kukalahkan rasa cintaku kepadamu kemarin
dan mengubah cintaku padamu sebagai unsur pembentuk diri.
Kumohon, pahamilah carakku.
Aku mencintaimu pada saat perhatianku kuberikan kepada yang lain.
di toulouse aku mencintaimu
di malam musim gugur Aku mencintaimu dengan "Jendela terbuka"

Engkau milikku,
Segala sesuatu milikku.
Dan cintaku mengubah segala sesuatu di sekitarku
Begitu pun segala sesuatu di sekitarku mengubah cintaku.

Sartre benar-benar tak memedulikan tubuhnya. Namun, di balik ketakacuhan akan


penampilan fisiknya, Sartre adalah laki-laki yang pintar, murah hati, bergairah, ambisius,
dan sangat lucu. Ia gemar minum-minum dan berbicara hingga larut, sama seperti
Beauvoir.

Sartre dan Beauvoir percaya jika cinta mereka tak membutuhkan perwujudan lembaga
pernikahan. Sartre pun membuat “perjanjian”: mereka boleh memiliki kekasih lain,
tetapi mereka harus saling menceritakan segalanya secara jujur.

Beauvoir sendiri pernah mengatakan jika sebanyak apapun buku yang ditulisnya,
penghargaan yang diterimanya, atau sebesar apapun pengaruhnya dalam gerakan
perempuan, pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah menjalin hubungan dengan
Sartre.

7
Menjalani open relationship seperti Sartre dan Beauvoir bukannya berjalan tanpa
masalah. Hazel Rowley, penulis buku "Tête-à-tête" yang mengisahkan perjalanan Sartre
dan Beauvoir mengatakan, Beauvoir pernah menangis di café karena Sartre.

Apa yang dilakukan oleh Beauvoir dan Sartre memang monumental. Ada norma sosial
yang dilabrak kedua orang tersebut. Memilih untuk menjalani open relationship di
masyarakat yang menghargai lembaga pernikahan dan monogami, tentu merupakan
sebuah bentuk perlawanan dari stigma dan norma sosial yang ada.

Pilihan untuk menjalani open relationship bisa menjadi jawaban untuk pasangan yang
melihat tiada lagi kemungkinan untuk menjalani hubungan monogami.

Selain Beauvoir dan Sartre, filsuf asal Jerman Friedrich Engels juga memutuskan untuk
hidup tanpa menikah. Walaupun pada akhirnya ia menikahi Lizzy Burns beberapa jam
sebelum Lizzy meninggal, Engels bukanlah seseorang yang percaya akan lembaga
pernikahan.

Engels pada mulanya menjalin hubungan dengan Mary Burns, saudara Lizzy Burns, yang
merupakan wanita kelas pekerja yang radikal. Mereka berdua tidak pernah menikah dan
disatukan dengan ketidakpercayaan akan lembaga pernikahan. Engels melihat lembaga
pernikahan hanya bentuk penindasan kelas yang dilakukan oleh gereja dan negara.

Dalam tulisannya, Engels bahkan mengandaikan keluarga modern tak ubahnya seperti
laku perbudakan, dengan istri diandaikannya sebagai kaum proletar dan suami sebagai
kaum borjuis.

Dari orang-orang yang masih hidup, ada nama Margaret Atwood dan Graeme Gibson.
Keduanya adalah novelis asal Kanada yang memilih untuk tidak menikah. Sebelum
bertemu dengan Gibson, Atwood pernah menikah dengan Jim Polk. Pernikahannya
dengan Jim Polk tidak bertahan lama.

Medio 1970-an, Atwood bertemu dengan Gibson yang juga seorang novelis dan pernah
menikah. Mereka berdua menjalin hubungan dan memilih untuk tidak menikah. Sikap
Atwood pada lembaga pernikahan sendiri dituangkan dengan jelas dalam puisinya,
"Habitation".

8
Dalam puisinya itu Atwood menyebut, "Pernikahan bukanlah sebuah rumah, atau
bahkan sebuah tenda." Pernikahan, menurut Atwood dalam puisinya, membutuhkan
banyak usaha untuk mempertahankannya. Pernikahan menuntun manusia berjalan ke
tiga tepian: tepi hutan, tepi gurun, dan tepi sungai es.

Hidup melajang ternyata tak berakibat buruk-buruk amat. Banyak pemikir dan ilmuwan
besar yang memilih melajang seumur hidupnya untuk mengabdi pada pengetahuan.
Terdapat nama-nama seperti Isaac Newton, Søren Kierkegaard, Immanuel Kant, Henry
David Thoreau, dan masih banyak lagi.

Søren Kierkegaard pada 1840 melamar kekasihnya Regine Olsen, tetapi, setahun
setelahnya ia membatalkan lamaran tersebut. Alasannya, ia khawatir akan sifat
melankolis yang akan menuntunnya menjadi suami yang tidak baik.

Sementara itu, Henry David Thoreau, seorang penulis kebangsaan Amerika juga tak
pernah menikah dalam hidupnya. Thoreau yang tenar karena bukunya, Walden, dikenal
sebagai seseorang yang gemar menyendiri.

Thoreau membangun sebuah kabin di tepi danau Walden pada 1845 di tanah milik
sahabat akrabnya, Ralph Waldo Emerson. Di kabin tersebut ia tinggal selama dua tahun,
dua bulan, dan dua hari. Pengalamannya menyendiri di kabin tersebut melahirkan
mahakaryanya, "Walden".

Thoreau sendiri tak pernah menikah. Ada yang berpendapat jika Thoreau adalah seorang
heteroseksual, aseksual, atau homoseksual. Orientasi seksualnya memang tidak pernah
diketahui secara jelas.

Namun, yang pasti selama ia menyendiri, ia tak pernah menderita karena kesepian. Dari
tahun-tahun penuh kesendirian itu ia menemukan inspirasi tiada batas, mulai dari soal
masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Tulisan-tulisannya telah menginspirasi
sejumlah tokoh seperti penulis besar Rusia Leo Tolstoy, aktivis Martin Luther King,
penulis Ernest Hemingway, dan masih banyak lagi.

Selain Kierkegaard, Thoreau, dan pemikir-pemikir barat, banyak juga ulama-ulama, para
sufi, dan pemikir Islam yang memilih melajang seumur hidupnya. Alasannya bermacam-

9
macam, mulai dari disibukkan karena menimba ilmu, menyebarkan ajarannya, hingga
karena kecintaan mereka pada sang pencipta.

Barangkali, nama Rabiatul Adawiyah adalah nama yang paling populer untuk
memberikan contoh bagaimana seorang sufi wanita memutuskan untuk tidak menikah.
Banyak laki-laki yang hendak meminang perawan suci dari Basra tersebut. Namun, ia
lebih memilih menyendiri agar tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi dirinya
beribadah kepada Tuhan.

Rabiah berpikir, ketika ia menerima lamaran dari pria untuk menikah, ia takut tidak akan
bersikap adil kepada suami dan anak-anaknya kelak. Ia takut tak akan mampu membagi
perhatiannya pada sang pencipta dan suami serta anak-anaknya.

Bagi Rabiah, akad nikah merupakan hak pemilik alam semesta, karena itu haruslah
dimintakan dari Tuhan, bukan kepada dirinya

Hidup melajang ternyata tak berakibat buruk-buruk amat. Banyak pemikir dan ilmuwan
besar yang memilih melajang seumur hidupnya untuk mengabdi pada pengetahuan.
Terdapat nama-nama seperti Isaac Newton, Søren Kierkegaard, Immanuel Kant, Henry
David Thoreau, dan masih banyak lagi.

Søren Kierkegaard pada 1840 melamar kekasihnya Regine Olsen, tetapi, setahun
setelahnya ia membatalkan lamaran tersebut. Alasannya, ia khawatir akan sifat
melankolis yang akan menuntunnya menjadi suami yang tidak baik.

Sementara itu, Henry David Thoreau, seorang penulis kebangsaan Amerika juga tak
pernah menikah dalam hidupnya. Thoreau yang tenar karena bukunya, Walden, dikenal
sebagai seseorang yang gemar menyendiri.

Thoreau membangun sebuah kabin di tepi danau Walden pada 1845 di tanah milik
sahabat akrabnya, Ralph Waldo Emerson. Di kabin tersebut ia tinggal selama dua tahun,
dua bulan, dan dua hari. Pengalamannya menyendiri di kabin tersebut melahirkan
mahakaryanya, "Walden".

Thoreau sendiri tak pernah menikah. Ada yang berpendapat jika Thoreau adalah seorang
heteroseksual, aseksual, atau homoseksual. Orientasi seksualnya memang tidak pernah
diketahui secara jelas.

10
Namun, yang pasti selama ia menyendiri, ia tak pernah menderita karena kesepian. Dari
tahun-tahun penuh kesendirian itu ia menemukan inspirasi tiada batas, mulai dari soal
masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Tulisan-tulisannya telah menginspirasi
sejumlah tokoh seperti penulis besar Rusia Leo Tolstoy, aktivis Martin Luther King,
penulis Ernest Hemingway, dan masih banyak lagi.

Selain Kierkegaard, Thoreau, dan pemikir-pemikir barat, banyak juga ulama-ulama, para
sufi, dan pemikir Islam yang memilih melajang seumur hidupnya. Alasannya bermacam-
macam, mulai dari disibukkan karena menimba ilmu, menyebarkan ajarannya, hingga
karena kecintaan mereka pada sang pencipta.

Barangkali, nama Rabiatul Adawiyah adalah nama yang paling populer untuk
memberikan contoh bagaimana seorang sufi wanita memutuskan untuk tidak menikah.
Banyak laki-laki yang hendak meminang perawan suci dari Basra tersebut. Namun, ia
lebih memilih menyendiri agar tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi dirinya
beribadah kepada Tuhan.

Rabiah berpikir, ketika ia menerima lamaran dari pria untuk menikah, ia takut tidak akan
bersikap adil kepada suami dan anak-anaknya kelak. Ia takut tak akan mampu membagi
perhatiannya pada sang pencipta dan suami serta anak-anaknya.

Bagi Rabiah, akad nikah merupakan hak pemilik alam semesta, karena itu haruslah
dimintakan dari Tuhan, bukan kepada dirinya

Coffin menyebut de Beauvoir sebagai sosok yang sangat menghargai pembacanya


dengan menyimpan surat-surat mereka. Coffin menyebut arsip surat itu sebagai "artefak
budaya abad ke-20". “Penulis mendapatkan surat, tetapi mereka tidak selalu
menyimpannya. Ini adalah ilham, betapa dia peduli dengan pembacanya, mengapa dia
menyimpan semua surat ini,” terang Coffin. De Beauvoir adalah intelektual brilian
sekaligus "bibi" yang teramat perhatian. Coffin mengaku terkejut saat mendapati
sepertiga dari surat itu berasal dari pria. Padahal, de Beauvoir adalah tokoh feminis yang
menentang wacana maskulinitas. Coffin seringkali mendapati materi surat yang terlalu
pribadi. Ia ngeri saat mengenali salah satu penulis surat sebagai ayah dari teman
dekatnya. Ayah temannya ternyata menulis 10 halaman surat pada 1964 yang
menceritakan kehidupan pribadinya yang gagal, menyimpan gundik yang usianya jauh

11
lebih muda, dan cemburu ketika selingkuhannya selingkuh. Itulah sebabnya, Coffin
menahan diri untuk tidak mengidentifikasi pengirim surat. De Beauvoir diketahui
menolak ikatan pernikahan, meski ia berhubungan dengan filsuf asal Prancis, Jean-Paul
Sartre, sepanjang kurang lebih enam dekade. Penolakan itulah yang menginspirasi
banyak surat. "Anda adalah model bagi kita semua. Cinta tanpa kepicikan, tanpa
kecemburuan," tulis seorang koresponden dalam suratnya. Penulis surat berasal dari
semua lapisan masyarakat, dari pekerja pabrik hingga dokter. de Beauvoir meninggal
pada 1986, tetapi pembacanya masih menulis surat kepadanya. Surat-surat itu
diletakkan di makam de Beauvoir di Montparnasse Paris.

12

Anda mungkin juga menyukai