Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“OPTIK”
Untuk Memenuhi Tugas Ulangan Akhir Semester
Pada Mata Kuliah
Fisika Dasar

Disusun Oleh :
THOIBAH BR. SINAGA
NIM: 0704163059

Dosen Pengampu :
NAZARUDDIN NASUTION, M.Pd

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2016
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Swt., karena berkat rahmat dan
karunianya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya,. Shalawat dan salam
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa kita dari alam kegelapan
ke alam yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Makalah ini berjudul “ OPTIK“ , tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada seluruh
yang membantu menyelesaikan makalah ini terkhusus untuk bapak Nazaruddin Nasution,
M.Pd yang telah memberi saran demi kesempurnaan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan oleh karena
itu kami masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat memberikan ilmu pengetahuan bagi para pembaca,

Medan , 31 Desember 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................................................1

C. Tujuan..................................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Optika................................................................................................................2

B. Optika Geometris.................................................................................................................2

C. Optika Fisis........................................................................................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................................18

B. Saran..................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita ketahui bahwa optika sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
dunia kesehatan (ilmu biologi) maupun dalam ilmu fisika. Optika yang merupakan ilmu yang
mempelajari tentang cahaya terdapat dua golongan, yaitu optika geometris dan optika fisis.
Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang dapat merambat dalam ruang hampa. Dalam
berbagai hal cahaya lebih mudah ditinjau berdasarkan garis perambatannya, yaitu garis yang
tegak lurus muka gelombang. Garis rambatan gelombang cahaya disebut sinar cahaya atau
secara singkat disebut sinar. Setiap hari kita tak lepas dari cahaya. Oleh karena itu, dalam
pembahasan ini menjelaskan tentang cahaya terutama sifat-sifat cahaya, hakikat, dan
pemanfaatannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian optika?
2. Apa yang dimaksud dengan optika geometris?
3. Apa yang dimaksud dengan optika fisis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian optika
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan optika geometris
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan optika fisis
BAB II
ISI

A. Pengertian Optika
Optika merupakan cabang ilmu fisika yang mempelajari tentang konsep cahaya,
terutama mengkaji sifat-sifat cahaya, hakikat, dan pemanfaatannya. Optika terbagi ke dalam
dua bagian yaitu optika geometris dan optika fisis. Optika geometris merupakan optika yang
membahas tentang pemantulan dan pembiasan cahaya, dan optika fisis merupakan cabang
studi cahaya yang membahas tentang sifat-sifat cahaya, interferensi cahaya, hakikat cahaya
dan pemanfaatan sifat-sifat cahaya.

B. Optika Geometris
Optika Geometris merupakan optika yang membahas tentang pemantulan dan
pembiasan cahaya.
Sifat cahaya sama dengan sifat gelombang elektromagnetik. Cahaya dan gelombang
elektromagnetik dapat merambat dalam ruang vakum (ruang hampa).

1. Pemantulan Cahaya
a. Jenis-jenis pemantulan cahaya
Ada dua jenis pemantulan cahaya, yaitu pemantulan teratur dan pemantulan baur. 

                       Gambar 2.1 Pemantulan teratur           Gambar 2.2 Pemantulan baur

Pemantulan teratur terjadi ketika suatu berkas cahaya sejajar datang pada permukaan
yang halus atau rata seperti permukaan cermin datar atau permukaan air yang tenang.
Sedangkan pemantulan  baur  terjadi  ketika  suatu  berkas  cahaya sejajar datang pada
permukaan yang kasar atau tidak rata sehingga dipantulkan keberbagai arah yang tidak
tertentu.
b. Hukum pemantulan

                                        Gambar 2.3 Hukum pemantulan

Dari hasil percobaan sesuai gambar 2.3, diperoleh hukum pemantulan sebagai berikut:
1)  Sinar datang, sinar pantul, dang garis normal berpotongan pada satu titik dan terletak pada
satu bidang datar.
2)   Sudur datang (i) sama dengan sudut pantul (r)
Sehingga hukum pemantulan dapat dinyatakan secara matematis sebagai berikut:

i=r

c. Pemantulan Pada Cermin Datar


Cermin datar adalah cermin yang mempunyai permukaan pantul berbentuk bidang
datar. Bayangan yang dibentuk oleh cermin datar sama persis dengan ukuran bendanya.

                               Gambar 2.4 Pemantulan pada cermin datar


            a) Sifat-sifat bayangan pada cermin datar
Lima sifat penting banyangan pada cermin datar yaitu:
1.    Bayangan sama besar dengan bendanya
2.    Bayangan tegak
3.    Jarak bayangan ke cermin sama dengan jarak benda ke cermin
4.    Bayangan bertukar sisinya
5.    Bayangan bersifat maya atau semu
b) Jumlah banyangan yang dibentuk oleh dua buah cermin datar
Apabila sudut apit dua buah cermin datar α besarnya diubah-ubah, maka secara
empiris jumlah bayangan yang dihasilkan memenuhi hubungan

n =  – 1
Keterangan:
n = jumlah bayangan
α = sudut apit kedua cermin datar
d. Pemantulan Pada Cermin Lekung
Cermin lekung adalah cermin yang mempunyai permukaan pantul berbentuk
lengkung. Cermin lengkung dibedakan menjadi dua, yaitu cermin cekung dan cermin
cembung.

Cermin Cekung
Cermign cekung bersifat mengumpulkan sinar. Berkas sinar yang datang sejajar
sumbu utama akan akan dipantulkan mengumpul pada suatu titik yang disebut titik fokus (F).
Secara geometris dapat dibuktikan bahwa panjang fokus (f), yaitu jarak cermin ke titik fokus
besarnya sama dengan setengah panjang jari-jari kelengkungan cermin.
f  = r/2

                                   Gambar 2.5 Cermin cekung

Untuk melukis sinar yang berasal dari sebuah benda yang menuju sebuah cermin,
terdapat tiga sinar utama yang berguna untuk menentukan lokasi bayangan dan sering disebut
sinar-sinar istimewa, yaitu:
1)   Sinar datang yang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan melalui titik fokus.
2)   Sinar datang yang melalui titik fokus dipantulkan sejajar dengan sumbu utama.
3)   Sinar datang yang melalui titik pusat kelengkungan cermin (C) dipantulkan melalui titik
itu juga.
                                       Gambar 2.6 Sinar-sinar istimewa
  
Rumus umum cermin cekung
Perhatikan Gambar 2.6 untuk menurunkan persamaan matematis yang menggambar lokasi
sebuah bayangan.

             Gambar 2.7 Prinsip kesebangunan geometri untuk menurunkan rumus umum


cermin
Gambar 2.7 (a) menunjukkan suatu sinar dari puncak benda yang akan dipantulkan
melalui puncak bayangan dengan sudut datang yang sama dengan sudut pantul. Oleh karena
itu, kita dapat melihat dua buah segitiga yang sama sebangun, sehingga berlaku:

Gambar 2.7 (b) menunjukkan suatu sinar dari benda melalui titik fokos (F) yang
dipantulkan sejajar dengan sumbu utama melalui bayangan. Oleh karena itu, kita dapat
melihat dua buah segitiga yang sama sebangun, sehingga berlaku:
Keterangan:
f = jarak fokus cermin
so = jarak benda ke cermin
si  = jarak bayangan ke cermin
ho = tinggi benda
hi = tinggi bayangan
Dari persamaan di atas berlaku untuk cermin cekung maupun cermin cembung,
namun harus memperhatikan perjanjian tanda berikut:
so bertanda + jika benda terletak di depan cermin (benda nyata)
so bertanda -  jika benda terletak di belakang cermin (benda maya)
si  bertanda + jika bayangan terletak di depan cermin (banyangan nyata)
si  bertanda - jika benda terletak di belakang cermin (banyangan maya)
f   bertanda + untuk cermin cekung
f   bertanda - untuk cermin cekung
Bayangan yang dibentuk cermin dapat lebih besar atau lebih kecil dari ukuran
bendanya. Untuk menyatakan perpandingan ukuran bayangan terhadap bendanya digunakan
konsep pembesar. Pada pembahasan ini akan dibahas perbesaran linear. Perbesaran linear
didefinisikan sebagai perbandingan antara tinggi bayangan (jarak bayangan) dengan tinggi
benda (jarak benda). Secara matematis dituliskan:         

Cermin Cembung
Cermin cembung bersifat menyebarkan sinar. Berkas sinar sejajar sumbu utama
dipantulkan menyebar seolah-olah berasal dari titik fokus (F). Seperti pada cermincekung,
panjang fokus (f) sama dengan setengah jari-jari kelengkungan cermin.
Sinar-sinar istimewa pada cermin cembung
1)   Sinar datang yang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan seolah-olah berasal dari titik
fokus.
2)   Sinar datang yang menuju titik fokus dipantulkan sejajar dengan sumbu utama.
3)   Sinar datang yang menuju pusat kelengkungan dipantulkan melalui lintasan yang sama.
       Gambar 2.8 Sinar-sinar istimewa pada cermin cembung
Rumus umum cermin cembung
Rumus-rumus yang berlaku pada cermin cekung serta perjanjian tandanya berlaku juga untuk
cermin cembung sehingga dapat dituliskan ulang sebagai berikut:

2. Pembiasan Cahaya
Pembiasan adalah pembelokan cahaya sehubungan dengan perubahan kecepatan rambat
dari suatu medium ke medium lain.
a. Hukum Pembiasan
Ada beberapa pengertian yang perlu dipahami sebelum membahas tentang hukum
pembiasan, yaitu:
a.    Sinar datang adalah sinar yang datang pada bidang batas dua medium.
b.    Sinar bias adalah sinar yang dibiaskan oleh bidang batas dua medium.
c.   Garis normal adalah garis yang tegak lurus pada bidang batas dua medum.
d.  Sudut datang (i) adalah sudut antara sinar datang dengan garis normal.
e.    Sudut bias (r) adalah sudut antara sinar bias dengan garis normal.
f.     Indeks bias mutlak suatu medium (n) didefinisikan sebagai perbandingan cepat rambat
cahaya di ruang hampa (c) terhadap cepat rambat cahaya di medium tersebut (v). Secara
matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Karena kecepatan cahaya di dalam suatu medium selalu lebih kecil daripada di ruang hampa
maka indeks bias mutlak suatu medium selalu lebih besar dari 1 (n  > 1).
Indeks bias relatif suatu medium nr didefinisikan sebagai pepandingan indeks bias mutlak
medium tersebut terhadap indeks bias mutlak medium lain, secara matematis dapat
dirumuskan sebagai berikut.

Keterangan:
n12 = indeks bias relatif medium 1 terhadap 2
n1  = indeks bias mutlak medium 1
n2  = indeks bias mutlak medium 2
v1  = laju cahaya dalam medium 1
v2  = laju cahaya dalam medium 2
Karena indeks bias relatif adalah perbandingan indeks bias antara dua medium, maka indeks
bias relatif ini bisa bernilai lebih besar atau lebih dari satu.

Gambar 2.9 Hukum pembiasan

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Willebrord Snellius (1591 – 1626),
seperti pada gambar 2. Diproleh hukum pembiasan atau hukum Snellius sebagai berikut:
1)   Sinar datang, sinar bias, dan garis normal berpotongan pada suatu titik dan terletak pada
satu bidang datar.
2)   Sinar datang dari medium yang kurang rapat ke medium yang lebih rapat dibiaskan
mendekati garis normal.
3)   Sinar datang dari medium yang lebih rapat ke medium yang kurang rapat dibiaskan
menjauhi garis normal.
4)   Sinar datang secara tegak lurus terhadap bidang batas dua medium tidak dibiaskan,
melainkan diteruskan.
Hukum pembias tersebut dapat dinyatakan secara matematis sebagai berikut.
n1 sin i = n2 sin r
Keterangan:
n1   = indeks bias mutlak medium 1
n2  = indeks bias mutlak medium 2
i    = sudut datang
r    = sudut bias

b. Pembiasan pada Kaca Plan-paralel

                       Gambar 2.10 Pembiasan pada kaca plan-paralel

Untuk kaca plan-paralel dengan ketebalan d maka sinar akan mengalami pergeseran
sebesar t yang dapat diturunkan sebagai berikut:
Perhatikan segitiga OBC:
sin  sudut COB =

 t   = OB sin sudut COB


 t   = OB sin (i – r)
Perhatikan segitiga OAB:

cos r = OA/OB = d/OB


dengan menggabungkan kedua persamaan di atas, diperoleh

dimana r dapat dihitung dari hukum Snellius (n1 sin i =n2 sin r).

d. Pembiasan Cahaya pada Bidang Lengkung


Hukum pembiasan Snellius dapat juga diterapkan pada bidang lengkung terutama
untuk sinar-sinar paraksial. Gambar 2.9 memperlihatkan suatu batas permukaan lengkungan
yangg mempunyai jari-jari kelengkungan R dan pusatnya adalah titik C. Cahaya datang dari
benda di titik O, mengenai bidang batas dengan sudut datang i dan dibiaskan dengan sudut
bias r ke titik I memenuhi hukum Snellius.
n1 sin i = n2 sin r

Gambar 2.11 Pembiasan cahaya pada bidang lengkung


Untuk sinar-sinar paraksial kita dapat menggunakan pendekatan sin θ = θ sehingga diperoleh
n1i = n2r
Bedasarkan sifat geometri dapat ditunjukkan bahwa
i = α + β       dan       β = γ + r
Apabila ketiga persamaan terakhir kita gabungkan dengan mengeliminasi i dan r akan
diperoleh
n1α + n2γ = (n2 – n1)β
Jika so adalah jarak benda O ke titik verteks V dan s1 adalah jarak bayangan I ke titik verteks
V, maka kita dapat menghitung besar sudut α, β dan γ dalam satuan radial sebagai panjang
busur AV dibagi jari-jari yang terkait
α =AV/so  ,               β =AV/R  ,              γ =AV/si
Dengan memasukkan sudut α, β dan γ ke dalam persamaan terakhir dengan menghilangkan
panjang busur AV akan diperoleh:

Perhatikan aturan penggunaan persamaan di atas :


R bertanda + jika permukaan cembung
R bertanda - jika permukaan cekung
so bertanda + jika benda nyata (di depan permukaan lengkung)
si bertanda + jika bayangan nyata (di belakang permukaan lengkung)
si bertanda - jika bayangan maya (di depan permukaan lengkung)

C. Optika Fisis
Optika fisis merupakan cabang studi cahaya yang membahas tentang sifat-sifat
cahaya, interferensi cahaya, hakikat cahaya dan pemanfaatan sifat-sifat cahaya.

1. Warna Cahaya
Cahaya terdiri dari bermacam-macam warna, hal ini dapat dibuktikan dengan piringan
Newton (Newton’s Disc) yang terdiri dari 7 macam warna yaitu : merah, jingga, kuning,
hijau, biru, nila dan ungu. (cara menghafal : MEJIKUHIBINIU) yang diputar dengan cepat
akan tampak berwarna putih.
Dapat disimpulkan bahwa:
1.    Ketujuh komponen warna disebut sebagai spektrum warna dari sinar putih.
2.    Sinar-sinar yang dapat diuraikan atas beberapa komponen warna seperti sinar putih
disebut sinar polikromatik.
3.    Sinar-sinar yang tidak dapat diuraikan lagi atas beberapa komponen, disebut sinar
monokromatik.
4.    Dalam ruang hampa, cahaya mempunyai :
 Kecepatan perambatan sama (c)
 Frekuensi masing-masing warna berbeda (f)
 Panjang gelombang masing-masing warna berbeda (λ)
5.    Rumus kecepatan perambatan cahaya (c)
C=f
Keterangan:
c  = kecepatan perambatan cahaya
f  = frekuensi
λ  = panjang gelombang
Karena harga c tetap, bila frekuensi kecil maka panjang gelombang besar atau
sebaliknya.
6.    Cahaya warna merah mempunyai f  kecil maka besar.

2. Dispersi Cahaya
Dispersi adalah peristiwa penguraian cahaya polikromarik (putih) menjadi cahaya-
cahaya monokromatik (merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu). Dispersi cahaya terjadi
jika seberkas cahaya polikromatik (cahaya putih) jatuh pada sisi prisma. Cahaya putih
tersebut itu akan diuraikan menjadi warna-warna pembentuknya yang disebut spektrum
cahaya.

3. Sudut Deviasi
Sudut deviasi adalah sudut yang dibentuk oleh perpanjangan sinar datang dan sinar
keluar pada prisma. Pada segi empat PSQT berlaku hubungan: β + sudut PSQI = 180o.
Sedangkan pada segitiga PSQ berlaku hubungan: r1 + i2 + sudut PSQ = 180o. Dengan
demikian, diperoleh hubungan baru:
β + sudut PSQ = r1 + i2 + sudut PSQ
                 β = r1 + i2
Dengan β = sudut puncak atau sudut pembias prisma
 r1 = sudut bias pada permukaan pertama
 i2 = sudut datang pada permukaan kedua
pada segitiga PQR berlaku hubungan: sudut PRQ + sudut QPR + sudut PQR = 180o, dimana
sudut QPR = i1 – r1 dan sudut PQR = r2 – i2 sehingga diperloleh:
sudut PRQ + (i1 – r1) + (r2 – i2) = 180o
sudut PRQ = 180o + (r1 + i2) – (i1 + r2)
Dengan demikian, sudut deviasi D adalah
D = 180o – sudut PRQ
    = 180o – [180o + (r1 + i2) - (i1 + r2)]
= (i1 + r2) – (r1 + i2)
Karena β = r1 + i2, maka diperoleh:
D = i1 + r2 – β

4. Sudut Dispersi
Pada gambar tampak bahwa cahaya putih yang melalui prisma diuraikan menjadi
spektrum warna, yaitu warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Hal ini
menunjukan bahwa sesungguhnya cahaya putih merupakan gabungan dari ketujuh warna di
atas. Cahaya yang merupakan gabungan dari beberapa jenis warna disebut polikromatis,
sedangkan cahaya yang terdiri dari satu warna disebut monokromatis.
Apabila spektrum warna hasil dispersi diurutkan dari warna merah hingga ungu, maka
diperoleh beberapa sifat: sudut deviasi semakin besar, indeks bias semakin besar, frekuensi
semakin besar, dan panjang gelomnang semakin kecil.
Jika ditinjau dari susunan spektrumnya, maka :
1.  Indeks bias (n) : Ungu terbesar sedang merah terkecil.
2.    Deviasi (D) : Ungu terbesar sedang merah terkecil.
3.    Frekuensi (f) : Ungu terbesar sedang merah terkecil.
4.    Energi photon (Eph) : Ungu terbesar sedang merah terkecil.
5.    Panjang gelombang ( ) : Ungu terkecil sedang merah terbesar.
6.    Kecepatan (v) : Ungu terkecil sedang merah terbesar.
Deviasi sinar merah:
Dm = (nm – 1)β
Deviasi sinar ungu:
Du = (nu – 1)β
Sudut dispersi φ menyatakan lebar spektrum yang ditimbulkan oleh prima yang
besarnya bergantung pada selisih antara sudut deviasi warna ungu dan marna merah.
φ  = Du – Dm
     = (nu – 1)β – (nm – 1)β
φ = (nu – nm)β
Keterangan:
φ  = sudut dispersi
nu = indeks bias warna ungu
nm = indeks bias warna merah
β   = sudut puncak atau sudut pembias prima

5. Interferensi Cahaya
Interferensi Cahaya adalah perpaduan dua atau lebih sumber cahaya sehingga
menghasilkan keadaan yang lebih terang (interferensi maksimum) dan keadaan yang gelap
(interferensi minimum). Interferensi maksimum : pada layar didapatkan garis terang apabila
beda jalan cahaya antara celah merupakan bilangan genap dari setengah panjang gelombang.
Sedangkan interferensi minimum  : Pada layar didapatkan garis gelap apabila beda jalan
antara kedua berkas cahaya merupakan bilangan ganjil dari setengah panjang gelombang.
Syarat interfesi cahaya adalah cahaya tersebut harus koheren. Koheren adalah dua sumber
cahaya atau lebih yang mempunyai frekwensi dan amplitudo sama (hampir sama) serta beda
fase yang tetap.

6. Percobaan Young
Sumber cahaya yang monokromatik dilewatkan suatu celah yang sempit S kemudian
diteruskan melalui celah S1 dan S2. S1 dan S2 berlaku sebagai dua buah sumber cahaya garis
yang sejajar dan koheren yang baru.
d sina = (2k-1) l
Keterangan :
S   = Sumber utama yang koheren
S1 = Sumber koheren 1
S2 = Sumber koheren 2
d  = Jarak antara sumber S1 dan S2
p  = Jarak interferensi
l   = Jarak antara sumber dan layar

7. Cincin Newton
Cincin Newton merupakan pola interferensi berupa lingkungan-lingkungan gelap dan
terang secara beraturan. Pola interaferensi cincin Newton ini terjadi jika cahaya yang panjang
gelombanngnya λ datang dalam arah tegak lurus pada sistem optik dari sebuah lensa cekung-
datar dengan jari-jari R yang diletakkan diatass kaca plan-paralel.
Apabila r adalah jari-jari lingkaran gelap dan terang hasil interferensi, maka syarat
terjadinya interfensi adalah sebagai berikut:
1)        Syarat terjadinya interferensi maksimum (lingkaran terang)
rt2 =(n –  ) λR           n = 1, 2, 3, . . . .
2)        Syarat terjadinya interferensi minimum (lingkaran gelap)
rg2 = n λR                  n = 0, 1, 2, . . . .

8. Interferensi Pada Lapisan Tipis


Pola interferensi pada lapisan tipis dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu perbedaan
panjang lintasan optik dan perubahan fasse sinar pantul. Dengan dua fakto itu, maka syarat-
syarat interferensi sebagai berikut:
1)      Syarat terjadinya interferensi maksimum (terangg)
2nd cos r = (m – )λ                m = 1, 2, 3, . . . .
2)      Syarat terjadinya interferensi minimum (gelap)
2nd cos r = m λ                       m = 0, 1, 2, . . . .

9. Difraksi Cahaya (Lenturan Cahaya)


Difraksi Cahaya adalah peristiwa pembelokan arah sinar jika sinar tersebut mendapat
halangan. Penghalang yang dipergunakan biasanya berupa kisi, yaitu celah sempit.
a) Difraksi Pada Celah Tunggal
Seberkas cahaya dilewatkan pada celah sempit, cahaya yang keluar di belakang celah
akan menjalar dengan arah seperti pada gambar. Disini terlihat bahwa cahaya selain
diteruskan juga dibelokkan. Difraksi Juga Akan Menimbulkan Interferensi.
Hal ini dapat kita kembali pada percobaan Young. Selisih beda lintasan sinar SA dan SB
dapat ditulis SA – SB = d sin u. Oleh karena itu, interferensi maksimum (garis terang) terjadi:
SA – SB = (2k + 1) l
atau
d sin u = (2k + 1) l
SA – SB = (2k) l
atau
d sin u = (2k) l

Keterangan:
d = Lebar celah
u = Sudut deviasi (difraksi)
k = Orde difraksi (0,1,2,3,….n)
l = Panjang gelombang cahaya yang dipakai

b) Difraksi Pada Kisi


Kisi adalah peralatan yang memiliki celah yang sangat banyak dengan lebar celah dan
jarak antar celah yang sama. Pola difraksi yang dihasilkan oleh kisi jauh lebih tajam bila
dibandingkan dengan pola interferensi celah ganda maupun celah tunggal.
Jika N menyatakan banyak garis per satuan panjang (misal cm) maka tetapan kisi
adalah kebalikan dari N. Cahaya yang lewat pada kisi dilewatkan lagi pada lensa positif,
kemudian baru mengenai layar.
Syarat terjadinya pola difraksi kisi sebagai berikut:
1)      Pola difraksi maksimum
d sin θ = nλ                       n = 0, 1, 2, . . . .
2)      Pola difraksi minimum
d sin θ = (n – )λ                       n = 1, 2, 3, . . . .

10. Polarisasi Cahaya (Pengkutuban)


Kita ketahui bahwa cahaya merambat sebagai gelombang, namun cahaya termasuk
dalam gelombang transversal atau longitudinal belum diketahui. Namun dengan peristiwa
adanya polarisasi, maka dapat dipastikan bahwa cahaya termasuk dalam gelombang
transversal, karena gelombang longitudinal tidak pernah mengalami polarisasi.
Polarisasi cahaya adalah pengkutuban dari pada arah getar dari gelombang
transversal. (Dengan demikian tidak terjadi polarisasi pada gelombang longitudinal).
Berkas cahaya yang berasal dari sebuah sumber cahaya, mempunyai arah getar
bermacam-macam, sinar semacam ini disebut sinar wajar. Bila sinar wajar ini dikenakan pada
permukaan pemantulan, permukaan pemantulan mempunyai kecenderungan untuk
memantulkan sinar-sinar yang arah getarnya sejajar dengan cermin. Sampai pada suatu sudut
datang tertentu, hanya satu arah getar saja yang dipantulkan, yaitu arah getar yang sejajar
bidang cermin. Sudut ini disebut sudut polarisasi dan sinar yang mempunyai satu arah getar
saja disebut : sinar polarisasi atau cahaya terpolarisasi linier.
Cahaya terpolarisasi dapat terjadi karena :
a.    Peristiwa pemantulan
b.    Peristiwa pembiasan
c.    Peristiwa pembiasan ganda
d.   Peristiwa absorbsi selektif

a) Polarisasi Cahaya Karena Pemantulan


Polarisasi linier terjadi bila cahaya yang datang pada cermin dengan sudut 570.
b) Polarisasi Cahaya Karena Pemantulan dan Pembiasan
Polarisasi linier terjadi bila sinar pantul oleh benda bening dengan sinar bias
membentuk sudut 900.
c) Polarisasi Cahaya Karena Pembiasan Ganda
Sinar (1) = Sinar istimewa, Karena tidak mengikuti hukum snellius (hukum
pembiasan)
Sinar (2) = Sinar biasa, Karena mengikuti hukum Snellius.
Pembiasan berganda ini terjadi pada kristal :
-       Calcite
-       Kwarsa
-       Mika
-       Kristal gula
-       Kristal es
d) Polarisasi Cahaya Karena Absorbsi Selektif
I = I0 cos2 q
Suatu cahaya tak terpolarisasi datang pada lembar polaroid pertama disebut
polarisator, dengan sumbu polarisasi ditunjukkan oleh garis-garis pada polarisator. Kemudian
dilewatkan pada polaroid kedua yang disebut analisator. Dengan I 0 adalah intensitas
gelombang dari polarisator yang datang pada analisator. Sudut q adalah sudut antara arah
sumbu polarisasi dan polarisator dan analisator. Persamaan di atas dikenal dengan Hukum
Malus, diketemukan oleh Etienne Louis Malus pada tahun 1809.
Dari persamaan hukum Malus ini dapat disimpulkan :
1.    Intensitas cahaya yang diteruskan maksimum jika kedua sumbu polarisasi sejajar (q = 00
atau q = 1800).
2.    Intensitas cahaya yang diteruskan = 0 (nol) (diserap seluruhnya oleh analisator) jika kedua
sumbu polarisasi tegak lurus satu sama lain.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Optika merupakan cabang ilmu fisika yang mempelajari tentang konsep cahaya,
terutama mengkaji sifat-sifat cahaya, hakikat, dan pemanfaatannya. Optika terbagi atas dua
bagian yaitu optika geometris merupakan optika yang membahas tentang pemantulan dan
pembiasan cahaya, dan optika fisis merupakan cabang studi cahaya yang membahas tentang
sifat-sifat cahaya, interferensi cahaya, hakikat cahaya dan pemanfaatan sifat-sifat cahaya.
Optika geometris meliputi pemantulan cahaya (pementulan pada cermin datar,
pemantulan pada cermin cekung dan pemantulan pada cermin cembung), dan pembiasan.
Sedangkan optika fisis meliputi warna cahaya, dispirasi cahaya,interferensi cahaya, difraksi
cahaya, polaritas cahaya, dan pengukuran cahaya.

B. Saran
Dalam kehidupan sehari-hari kita tak lepas dari cahaya, baik cahaya matahari, cahaya
bulan, cahaya lampu, maupun cahaya api. Oleh karena itu, mari kita mempelajari sifat-sifat
cahaya, hakikat cahaya dan pemanfaatannya, karena cahaya sangatah penting bagi makhluk
hidup.
DAFTAR PUSTAKA

www.google.com
http://adiwarsito.files.wordpress.com/2009/10/optika-fisis.doc
Supiyanto. 2006. Fisika Jilid 3 untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Phibeta.

Anda mungkin juga menyukai