Si
NIM : D2401211114 Nama Asisten :
Kelompok : ST07.2 1. Miftahul Khaerah (A34170020)
Hari / Tanggal : Kamis, 11-11-2021 2. Princilya Anggraeni (D14180067)
3. Dea Aryanti Pratami (A24190018)
4. Sofi Mawarni (A34190045)
Latar belakang
Fitoremediasi adalah kombinasi dari dua kata yaitu ‘phyto’ (berarti tumbuhan)
dan ‘remedium’ (berarti meperbaiki atau membuang makhluk jahat). Fitoremediasi
meupakan strategi remediasi yang dikendalikan oleh sinar matahari yang murah,
efesien, dapat diterapkan ‘in-situ’, serta ramah lingkunagn. Konsep fitoremediasi yakni
penggunaan tumbuhan dan asosiasi mikrobia tanah untuk mengurani konsentrasi atau
mengurangi pengaruh racun bahan pencemar dalam lingkunga. Fitoremediasi dapat
digunakan untuk menyngkirkan logam berat, radionuklida, dan pencemar organik
(seperti hidrokarbon aromatik, dan pestisida) (Handayanto et al. 2017). Fitoremediasi
juga didefinisikan sebagai penggunaan tanaman hidup untuk mengembalikan media
yang terontaminsi (udara, tanah, air, permukaan, dan air tanah) ke tingkat aman sesuai
peraturan. Proses fitoremediasi mencangkuo rhizofiltration, phytostabilization,
phytoextraction, phytovolatilization, dan phytotransformation (Agustin 2017).
Phytoextraction adala strategi berlandaskan pada kemampuan mengakumulasi
kontaminan atau pada kemampuan menyerap dan mentranspirasi air dari dalam tanah
(creation of hydraulic barries). Kemampuan akar menyerap kontaminan dari air tanah
disebut dengan rhizofiltration dan kemampuan tumbuhan dalam metabolisme
kontamian di dalam jarigan di sebut phytotransformation. Fitoremediasi juga
berlandaskan pada kemampuan tumbuhan dalam menstiulasi aktivitas biodegradasi oleh
mikrob yang berasosiai dengan akar atau disebut phytostimulation dan imbilisasi
kontaminan di dalam tanah oleh eksudat dari akar atau disebut phytostabilization serta
kemampuan tumbuhan daam menyerap logam dari tanah dalma jumlah besar dan secara
ekonomis digunakan untuk meremediasi tanah yang bermasalah atau disebut
phytomining (Hidayati 2005).
Tujuan
Alat yang digunakan berupa wadah air misal ember atau baskom, bahan yang
digunakan melitupi air bersih, air yang mengandung logam berat, limbah industri, atau
residu pertisida misalnya air sungai. Bahan tanaman berupa eceng gondok (Eichhornia
crassipers)
B. Metode
Disiapkan dua bua wadah air yang berukuran sama, dengan volume 10 liter.
Siapkan 4 tanaman berupa eceng gondok yang dapat berperan sebagai agens
fitromediasi.
Wadah air yang telah disiapkan kemudian diisi dengan air 10 liter. Wadah
pertama diisi dengan air bersih, serta diamati juga tingkat kebersihan/kekeruhan
air yang digunakan. Sedangkan wadah kedua diisi dengan air yang diduga telah
tercemar.
Pada setiap wadah ditempatkan 2 tanaman hidup yang sehat dengan
memerhatikan daun dan perakaran yang digunakan. Kemudian jumlah daun
masing-masing dicatat.
Wadah ditempatkan pada tempat yang terlindungi, dan diusahakan tidak
ditempat yang terbuka agar terhindar dari masuknya air lain contohnya air
hujan, dan agar tidak terpapar sinar matahari secara langsung untuk menghindar
evarpotranspirasi yang berlebihan.
Pengamatan dilakukan selama 2 minggu. Diakhiri dengan dicatatnya jumlah
daun yang ada dan diamati apakah ada kematian atau kerusakan daun. Selain itu
diamati pula kejernihan/kekeruhan air pada wadah tersebut.
Pada awal dan akhir percobaan, dibuat dokumentasi untuk melengkapi laporan
praktikum.
Hasil percobaan
Pembahasan
Perubahan kualitas kimia air yang tercemar setelah dilakukan proses fitoremediasi
adalah konsentrasi-konsentrasi dari parameter yang biasa diamati mengalami penurunan
(Nurkemalasari et al. 2013). Parameter yang biasa digunakan untuk mengukur
perubahan kualitas air yakni BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical
oxygen demand), TSS (total suspended soid), pH, kekeruhan serta kandungan nitrogen
pada air yang tercemar (novita et al. 2019. Parameter juga memperhatikan kandungan
dalam akar, batang, daun, dan pertumbuhan eceng gondok (Zumani et al. 2015).
Ya, ada pada wadah yang berisi air jernih, daun eceng gondok semula berjumlah
15, namun selama pengamatan daun juga mengalami pengurangan pada akhirnya daun
berjumlah 9 daun diantaranya 2 daun mati, 2 daun menguning dan 5 daun hijau. Pada
air selokan juga daun mengalami pengurangan yang mulanya 15, namun selama
pengamatan daun juga mengalami pengurangan hingga pada akhir pengamatan daun
berjumlah 1 dikarenakan daun dan batang yang lainnya membusuk atau mati.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erawati dan Saputra (2017), semakin tinggi
konsentrasi polutan pada suatu air maka akan berdampak pada penurunan berat massa,
panjang akar, dan panjang daun terhadap tanaman tersebut. Pada eceng gondok yang
terkontaminasi polutan, daun yang dimilikinya akan layu dan perlahan-lahan
membusuk. Sehingga dapat disimpulkan penambahan jumlah daun tidak mungkin
terjadi, namun akan mengalami pengurangan jumlah daun. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah daun pada air selokan yang mengalami kematian lebih banyak daripada daun
yang berada pada air bersih, karena diasumsikan bahwa air selokan memiliki
konsentrasi polutan yang lebih tinggi daripada air bersih. Penyebab menguningnya daun
diduga karena kurangnya cahaya sinar matahi yang diterima oleh eceng gondok.
Kayu apu mempunyai manfaat untuk mengurangi konsentrasi limbah cair dengan
cara fitromediasi (Raissa dan Tangahu 2017). Kayu api juga merupakan tanaman
hiperkumulator yang dapat tumbuh dengan kadar nutrisi yang rendah. Kayu apu juga
mampu meneyrap kontamnan zat pencemar yang ada dalam air (Maryana 2020).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurfitri dan Salami (2010)
dlam menurunkan konsentrasi tembaga (Cu) pada limbah cair, tanaman ini mampu
menurunkan konsentrasi Cu sebesar 620,488 mg/kg dalam waktu 10 hari. Kayu apu
juga mampu mengakumulasi (Fe) sebesar 1701,12. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yunus dan Prihatini (2018) tanaman kayu apu sebagai tanaman air
memiliki potensi dalam menurunkan kontaminan pada air limbah yang memiliki kadar
organik tinggi. Dari sekian banyaknya kelebihan yang dimiliki masing-masing tanaman,
terdapat kekurangan juga yaitu sama-sama dimiliki akan mati jika terlalu banyak
menyerap polutan pada air.
Pengayaan
Simpulan
Agustin HY.017. pengembangan buku ajar fitoremediasi untuk mata kuliah pencemaran
lingkungan. Jurnal Pendidikan, Pembelajaran, dan Teknologi. 3(1): 1-11.
Khasanah M, Moelyaningrum AD, Pujiati RS. 2018. Analisis perbedaan tanaman kayu
apu (Pistia stratiotes) sebagai fitoremediasi merkuri (Hg) pada air. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. 9(3):105-110.
Nurfitri A, Salami IRS. 2010. Pengaruh kerapatan tanaman kiapu (Pistia stratiotes L)
terhadap serapan logam Cu pada air. Jurnal Teknik Lingkungan. 16(1): 42-51.
Nurkemalasari R, Sutisna M, Wardhani E. 2013. Fitoremediasi limbah cair tapioka
dengan menggunakan tumbuhan kangkung (Ipomoea aquatica). Jurnal Reka
Lingkungan. 1(2):81-92.
Pribadi RN, Zaman B, Purwono. 2016. Pengaruh luas penutupan kiambang (Salvinia
molesta) terhadap penurunan COD, amonia, nitrit, dan nitrat pada limbah cair
domestik (grey water) dengan sistem kontinyu. Jurnal Teknik Lingkungan. 5(4):1-
10.
Raissa DG, Tangahu BV. 2017. Fitoremediasi air yang tercemar limbah laundry dengan
menggunakan kayu apu (Pistia stratiotes). Jurnal Teknik ITS. 6(2):F232-F236.
Yunus R, Prihatini NS. 2018. Fitoremediasi Fe dan Mn air asam tambang batubara
dengan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan puurn tikus (Eleocharis dulcis)
pada sistem LBB di PT. JBG Kalimantan Selatan. Jurnal Sainsmat. 7(1):73-85.
Zumani D, Suryaman M, Dewi SM. 2015. Pemanfaatan eceng gondok (Eichhornia
crassipes (Mart.) Solms) untuk fitoremediasi kadmium (Cd) pada air tercemar.
Jurnal Siliwangi. 1(1):22-31.