Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH EKONOMI ISLAM KEBIJAKAN

FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM Disusun untuk


memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Islam Dosen
Pengampu: Zainal Arifin, SE.,ME

Kelompok 5:
Aditama Agustian (101211010115)
Aldy Wiranata (101211010125)
Boni Kristopen (101211010113)
Helmi Susanto (101211010097)
Mardiah (101211010127)
Rosidah (101211010139)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSTAS ISLAM INDRAGIRI

TA.2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga
dapat menyelesaikan makalh ini. Adapun yang menjadi judul makalah ini adalah
“Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam”. Tujuan utama penulis menulis makalah ini
yang utama untuk memenuhi tugas dari dosen pembimbing Bapak Zainal Arifin,
SE.,ME dalam matakuliah Ekonomi Islam.

Jika dalam penulisan makalah terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan,


maka kepada para pembaca, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas
koreksi Yang telah dilakukan. Hal tersebut semata-mata agar menjadi suatu evaluasi
dalam pembuatan makalah ini. Mudah-mudahan dengan adanya pembuatan makalah
ini dapat memberikan manfaat berupa ilmu pengetahuan yang baik bagi penulis
maupun bagi para pembaca

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................3

2.1 Pengertian Kebijakan Fiskal..............................................................3


2.2 Konsep Kebijakan Fiskal Dalam Islam.............................................4
2.3 Sejarah Kebijakan Islam...................................................................15
2.4 Ziswaf Sebagai Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam.................20
2.5 Utang Dan Pengeluaran Pemerintah.................................................25
BAB III PENUTUP.................................................................................................................37
3.1 Kesimpulan........................................................................................37
3.2 Saran..................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................39-40

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum, kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian dibidang


penerimaan dan pengeluaran pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi.
Atau dapat juga dikatakan kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam
rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan
jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Adapun pemahaman
lain dari kebijakan fiskal atau yang sering disebut sebagai “politik fiskal” bisa
diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran
belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian.

Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah


uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan
pendapatan dan belanja negara. Kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam
lebih memegang peranan penting bila dibandingkan kebijakan moneter. Hal ini
dapat dilihat dari adanya kewajiban mengeluarkan zakat dan larangan riba, yang
menyiratkan bahwa kedudukan kebijakan fiskal lebih penting dibandingkan
dengan kebijakan moneter.

Meskipun demikian, kebijakan fiskal merupakan salah satu dari piranti


kebijakan ekonomi makro. Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal
dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh penerimaan dan
pengeluaran pemerintah sehingga menimbulkan gagasan untuk dengan sengaja
mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah guna memperbaiki
kestabilan ekonomi. Teknik mengubah penerimaan dan pengeluaran inilah yang
dikenal dengan kebijakan fiskal.

1
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa definisi dan konsep kebijakan fiskal?
3. Bagaimana sejarah kebijakan fiskal pada masa Nabi Muhammad SAW
dan Khalafour Rasyidin?
4. Apa saja komponen kebijakan fiskal?
5. Bagaimana utang dan pengeluaran pemerintah dalam ekonomi Islam?

1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui definisi dan konsep kebijakan fiskal.
3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah kebijakan fiskal pada masa Nabi
Muhammad SAW dan Khalafour Rasyidin,
4. Untuk mengetahui apa saja komponen kebijakan fisikal
5. Untuk mengetahui bagaimana utang dan pengeluaran pemerintah dalam
ekonomi Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebijakan Fiskal

Ditinjau secara etimologi, kebijakan fiskal berasal dari dua kata, yaitu
kebijakan dan fiskal. Kebijakan (policy) memiliki arti yang bermacammacam,
Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu
1
program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah. Seorang
ahli, James E. Anderson merumuskan kebijakan adalah sebagai perilaku dari
sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor
2
dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Kebijakan fiskal atau yang disebut juga dengan kebijakan anggaran adalah
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui instrumen kebijakan fiskal
seperti pengaturan pengeluaran negara maupun pendapatan negara yang ditujukan
untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat di dalam perekonomian.
Kebijakan fiskal dibedakan menjadi dua yakni kebijakan fiskal aktif dan
kebijakan fiskal pasif.

Kebijakan fiskal aktif adalah kebijakan pemerintah dimana pemerintah


melakukan perubahan tingkat pajak atau program-program pengeluarannya.
Sementara itu, kebijakan fiskal pasif adalah segala sesuatu yang menurunkan
marginal propensity to spend dari pendapatan nasional, sehingga mengurangi
besarnya pengganda. Dengan kata lain, kebijakan ini adalah segala sesuatu yang

1 M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta:Bumi


Aksara, 2003), hlm. 15-16
2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Reformulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 203

3
cenderung meningkatkan defisit pemerintah (menurunkan surplus pemerintah)
ataupun cenderung meningkatkan surplus pemerintah (menurunkan defisit
3
pemerintah) tanpa harus ada tindakan eksplisit oleh para pembuat kebijakan.

2.2 Konsep Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam

Dalam konsep Islam pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan


kehidupan seluruh warganya di berbagai bidang, terutama bidang ekonomi yang
menjadi tulang punggung kehidupan. Campur tangan negara dalam masalah
ekonomi yang pernah diperdebatkan antara antara kapitalis dan sosialis, dalam
Islam adalah satu bentuk tanggung jawab negara yang sudah semestinya untuk
menjamin kemaslahatan rakyat. Bahkan kini campur tangan negara yang lebih
spesifik bernama kebijakan fiskal tidak bisa dihindarkan oleh negara manapun
termasuk yang menganut sistem kapitalis atau pasar bebas. Keberhasilan
Rasulullah SAW dalam membangun negara yang berpusat di Madinah dari bekal
nol menjadi negara yang memiliki kestabilan ekonomi yang mantap menunjukkan
keberhasilan sistem fiskal yang diterapkan waktu itu. Rasulullah SAW telah dapat
memainkan kebijakan fiskalnya secara tepat dengan mempertimbangkan berbagai
faktor determinan ekonomi waktu itu. Sebagaimana disadari bersama faktor-
faktor determinan ekonomi saat ini telah banyak berbeda dengan yang dihadapi
pada waktu Rasulullah SAW.

Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk


mencapai tujuan syariah yang menurut imam al-Ghazali termasuk peningkatan
kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas,

3 Muana Nanga,Makro Ekonomi, teori, masalah dan kebijakan,(Jakarta : PT


RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 179-180

4
4
kekayaan dan kepemilikan. Pada dasarnya kebijakan fiskal telah lama dikenal
dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin,
dan kemudian dikembangkan oleh para ulama. Ibnu Khaldun (1404) mengajukan
obat untuk resesi berupa mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran
pemerintah, pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal
besarnya pendapatan dan penerimaannya.

Apabila pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar apabila pasar yang


lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat (keseluruhan) yang lebih
besar." Laffer, penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagan, yang menemukan
teori Laffer's Curve, berterus terang bahwa ia mengambil ide Ibnu Khaldun.
Selain itu, Abu Yusuf (798 H) adalah ekonom pertama yang menulis secara
khusus tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnya, alKharaj, yang menjelaskan
tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Abu
Yusuf sangat menentang adanya pajak atas tanah pertanian dan menyarankan
diganti dengan zakat pertanian yang dikaitkan dengan jumlah hasil panennya.
Abu Yusuf membuat rincian bagaimana membiayai pembangunan jembatan, 22
5
bendungan, dan irigasi.

Dalam wacana ekonomi makro, kebijakan fiskal diartikan sebagai


langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem
pajak atau dalam perbelanjaannya yang bertujuan mengatasi masalahmasalah
ekonomi yang dihadapi. Kebijakan fiskal merupakan instrumen manajemen
permintaan (demand management) yang berusaha mempengaruhi tingkat aktivitas
ekonomi melalui pengendalian pajak dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan
fiskal diarahkan untuk mencapai kesejahteraan, yang dalam perekonomian sekuler
didefinisikan sebagai maksimalisasi bagi benefit individu dalam kehidupan.

4 Mustafa Edwin Nasution, Dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,(Jakarta:Kencana,


2007) hlm.203
5 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: GemaInsani, 2001),
hlm.
25

5
Fiskal terutama ditujukan untuk mencapai alokasi sumber daya secara efisien,
stabilisasi ekonomi, pertumbuhan dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.
Langkah-langkah fiskal dipandang efektif untuk mengatasi problematika
6
perekonomian seperti inflasi di samping langkah-langkah moneter.

Perhatian serius terhadap kebijakan fiskal dalam wacana ekonomi


konvensial baru disadari belakangan yakni setelah dekade 1930-an. Sebelumnya
para ahli ekonomi konvensional yang tergolong mazhab klasik (ahli ekonomi
yang hidup antara zaman Adam Smith (1776) dan zaman Keynes (1936) tidak
benyak menganalisis tentang pentingnya kebijakan fiskal dalam mengatasi
masalah ketidakstabilan ekonomi dan pertumpuhan ekonomi. Kurang adanya
perhatian tersebut disebabkan adanya keyakinan mereka bahwa sistem pasar
bebas akan mewujudkan tingkat kegiatan ekonomi yang efisien dalam jangka
panjang. Meskipun ketidakstabilan perekonomian yang menyebabkan
kemunduran ekonomi dan pengangguran dapat berlaku dalam setiap
perekonomian, tetapi menurut mereka masalah-masalah tersebut hanya sementara
karena sistem pasar bebas akan membuat penyesuaian-penyesuaian yang
menyebabkan masalah-masalah tersebut akan lenyap dengan sendirinya dan
pertumbuhan ekonomi yang kuat akan berlangsung kembali. Namun dengan
terjadinya great depression di Amerika Serikat tahun 1929-1932 di mana
seperempat dari tenaga kerja di Amerika Serikat menganggur dan pendapatan
nasionalnya merosot tajam ahli-ahli ekonomi sadar bahwa mekanisme pasar tidak
dapat secara otomatis menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Kondisi ini
mendorong seorang John Maynard Keyness mengemukakan pandangan baru yang
berbeda dengan para ahli ekonomi sebelumnya. Keynes mengkritik keyakinan
ahli-ahli ekonomi klasik bahwa penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan
ekonomi yang kuat selalu dapat dicapai. Keynes berpendapat pengeluaran
agregat, yaitu pembelanjaan masyarakat terhadap barang dan jasa, adalah faktor

6 Hamdan. Ekonomi Islam. Jakarta. Mulia, 2009. h. 89

6
utama yang menentukan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai sesuatu negara.
Menurut Keynes diperlukan kebijakan pemerintah untuk menciptakan kestabilan
dan pertumbuhan ekonomi yang mantap. Salah satu bentuk dari campur tangan
pemerintah yang dapat dilakukan adalah menjalankan kebijakan fiskal.

Kebijakan fiskal terkait dengan kebijakan yang mempengaruhi anggaran


pendapatan dan belanja suatu negara. di samping kebijakan ekonomi lainnya
seperti kebijakan moneter dan perdagangan, kebijakan fiskal diperlukan untuk
mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat jalannya roda perekonomian.
Sistem ekonomi kapitalis/sistem ekonomi pasar sangat tergantung pada
berjalannya mekanisme pasar. Karenanya jika terjadi gangguan-gangguan
terhadap jalannya mekanisme pasar maka diperlukan berbagai macam usaha
untuk mengoreksi jalannya perekonomian agar mekanisme pasar dapat berjalan
7
secara sempurna.

Kebijakan fiskal yang berarti campur tangan pemerintah terhadap


perekonomian diharapkan dapat berpengaruh pada proses penentuan
keseimbangan pendapatan nasional dimana pajak akan mengurangi pengeluaran
agregat melalui pengurangan konsumsi rumah tangga dan pajak juga
memungkinkan pemerintah melakukan perbelanjaan yang berarti perbelanjaan
agregat. Di samping itu campur tangan pemerintah dalam perekonomian akan
menimbulkan tiga jenis aliran pendapatan dan pengeluaran: Pertama, aliran
pendapatan pemerintah dari pembayaran pajak oleh rumah tangga dan
perusahaan. Kedua, aliran pengeluaran pemerintah ke sektor perusahaan yang
merupakan nilai pengeluaran pemerintah atas barangbarang dan jasa-jasa yang
diproduksi perusahaan. Ketiga, aliran pendapatan dari sektor rumah tangga dari
pemerintah. Secara umum, pemungutan pajak akan mengakibatkan konsumsi dan
tabungan rumah tangga berkurang.

7 Ibid. h. 90

7
Pajak merupakan sumber utama perbelanjaan pemerintah. Sebagian dari
pengeluaran pemerintah untuk membiayai administrasi pemerintahan dan
sebagian lainnya untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan, membayar
gaji pegawai-pegawai pemerintah, membiayai sistem pendidikan dan kesehatan
rakyat, membiayai perbelanjaan untuk angkatan bersenjata, dan membiayai
berbagai jenis infrastruktur yang penting artinya dalam pembangunan.
Perbelanjaan-perbelanjaan tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan
mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi negara.

Dalam kajian ekonomi makro, jumlah pengeluaran pemerintah yang akan


dilakukan dalam suatu periode tertentu tergantung kepada banyak faktor. Yang
penting di antaranya adalah jumlah pajak yang akan diterima, tujuan-tujuan
kegiatan ekonomi jangka pendek dan pembangunan ekonomi jangka panjang, dan
pertimbangan politik dan keamanan. Pendapatan nasional tidak memegang
peranan yang penting dalam menentukan perbelanjaan pemerintah. Dalam masa
kemunduran ekonomi, misalnya pendapatan pajak berkurang. Tetapi untuk
mengatasi pengangguran pemerintah perlu lebih banyak menggalakkan program-
program pembangunan, maka pengeluaran pemerintah perlu ditambah.
Sebaliknya, pada waktu inflasi dan tingkat kemakmuran tinggi, pemerintah harus
lebih berhati-hati dalam perbelanjaannya. Harus dijaga agar pengeluaran
8
pemerintah tidak memperburuk keadaan inflasi yang berlaku.

Wewenang kebijakan fiskal (biasanya diemban Departemen Keuangan)


menyangkut berbagai kebijakan perpajakan untuk mengatur permintaan agregat.
Pengeluaran pajak langsung atas individu (pajak pendapatan) dan pajak
perusahaan dapat dapat ditingkatkan atau diturunkan. Misalnya untuk mengatur
inflasi, dengan meningkatkan pajak pendapatan akan mengurangi pendapatan
disposibel masyarakat, demikian juga dengan meningkatkan pajak perusahaan

8 Rusli, Wewenang dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. CV,MULIA, 2009. H. 78

8
akan mengakibatkan perusahaan mempunyai keuntungan yang lebih kecil yang
yang bisa dibagikan dalam bentuk dividen dan reinvestasi. Pengeluaran
masyarakat juga dapat dikurangi dengan meningkatkan pajak tidak langsung
seperti pajak pertambahan nilai secara umum, atau pajak bea cukai atas produk-
produk tertentu semisal bahan bakar dan rokok. Dengan cara menaikkan harga
produk akan berakibat pada suatu penurunan dalam daya beli.

Kebijakan fiskal yang terutama digunakan pemerintah untuk mengatasi


masalah-masalah ekonomi yang sedang dihadapi (kebijakan fiskal
diskresioner/discretionary fiscal policy) mencakup langkah-langkah pemerintah
untuk mengubah pengeluarannya atau pemungutan pajaknya dengan tujuan untuk
mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan
menciptakan suatu tingkat kegiatan ekonomi yang mencapai tingkat konsumsi
tenaga kerja yang tinggi, tidak menghadapi masalah inflasi, dan selalu mengalami
pertumbuhan yang memuaskan. Ada dua macam cara yang digunakan oleh
pemerintah untuk menjalankan kebijakan tersebut yaitu membuat perubahan-
perubahan atas pengeluarannya dan membuat perubahan-perubahan atas pajak
yang dipungutnya. Dalam pelaksanaannya kedua kebijakan fiskal diskresioner ini
dapat digunakan secara tersendiri atau digabungkan. Dengan demikian kebijakan
fiskal diskresioner dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu membuat perubahan
ke atas pengeluaran pemerintah, membuat perubahan ke atas sistem pemungutan
pajak, atau secara serentak membuat perubahan dalam pengeluaran pemerintah
9
dan sistem pemungutan pajak.

Dapat digarisbawahi bahwa kebijakan fiskal secara konvensional


dimaksudkan sebagai alat rekayasa pemerintah dalam perekonomian yang
menganut mekanisme pasar bebas, yang diharapkan dapat mempengaruhi
jalannya aktivitas perkonomian suatu negara. Instrumen kebijakan ini terutama

9 Ibid. H.79

9
pajak akan berdampak pada terciptanya kondisi perekonomian tertentu.
Bagaimana model pertumbuhan ekonomi yang terbentuk sangat bergantung pada
kebijakan pemegang otoritas fiskal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
kesenjangan ekonomi dalam masyarakat ataupun pemerataan pendapatan tidak
lepas dari orientasi perilaku para pemegang otoritas fiskal.

Sistem Fiskal Islam

Dalam perspektif teori ekonomi konvensional, kebijakan fiskal itu dibuat


karena terjadinya kegagalan mekanisme pasar (market failure). Kegagalan
mekanisme pasar yang terus terjadi akan menimbulkan distorsi atau gangguan
dalam hal penawaran dan permintaan yang kemudian dapat mengganggu
keseimbangan dari permintaan agregatif (AS) dan penawaran agregatif (AD) pada
perekonomian tersebut. Melalui kebijakan fiskal, penawaran dan permintaan
agregat dapat dapat dinaikkan atau diturunkan agar kondisi perekonomian tetap
10
stabil.

Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dalam kestabilan ekonomi


yang mantap campur tangan pemerintah secara proporsional dan efektif dalam
bentuk kebijakan fiskal yang tepat sangat diperlukan. Adiwarman A. Karim
menyebutkan beberapa alasan mengapa pemerintah perlu bermain secara
proporsional dalam kegiatan ekonomi antara lain :

1. Masyarakat membutuhkan barang-barang yang tergolong public goods


(barang yang cenderung tidak dapat diproduksi/ditawarkan secara efisien
dalam jumlah sedikit oleh perusahaan swasta sehingga penawarannya
kebanyakan dilakukan oleh pihak pemerintah). Public goods akan lebih efisien
bila diproduksi bukan oleh perusahaan swasta, tetapi oleh pemerintah.

10 Dodi. Sistem Fiskal Islam Indonesia. Jakarta. Insan Pratam, 2007. H. 65

10
2. Dalam masyarakat terdapat beragam jenis manusia dengan tingkat
ketrampilan dan kemampuan ekonomi yang berbeda sehingga secara alamiah
terjadi kesenjangan. Untuk itu diperlukan keadilan distribusi sumber daya agar
kesenjangan ini dapat diperkecil. Pemerintah harus membantu masyarakat
yang kurang beruntung dengan bantuan dari masyarakat yang lebih beruntung.
Bantuan dapat dilakukan melalui pajak, sumbangan, hibah atau lainnya.

3. Adanya pelayanan-pelayanan vital dagi seluruh warga namun


penyelenggaraannya oleh swasta sangat mahal yang tidak terjangkau kalangan
tidak mampu, misalnya layanan pendidikan dan kesehatan. Pemerintah
mendirikan sekolah-sekolah negeri yang murah atau memberi beasiswa bagi
yang kurang mampu dan memberi jaminan kesehatan bagi masyarakat yang
kurang mampu.

Kebijakan fiskal sudah dipraktekkan sejak awal terbentuknya masyarakat


Muslim yakni sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian
dikembangkan oleh para ulama. Ibnu Khaldun (1332-1406 M) misalnya
berpandangan bahwa dalam satu kondisi untuk menyeimbangkan ekonomi
pemerintah perlu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah,
karena pemerintah diilustrasikan oleh Ibn Khaldun sebagai pasar terbesar. Jauh
sebelum Ibn Khaldun, Abu Yusuf (731-798 M), sebagaimana dikutip Adiwarman
A. Karim, telah menulis secara khusus tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnya
al-Kharaj, yang menjelaskan tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk
11
memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Dalam konsep Islam, kebijaksanaan fiskal memiliki arti yang sangat


penting dan merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan Syariah yakni
meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan,
intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan. Kebijakan fiskal lebih memegang

11 Ibid. h, 66

11
peranan penting dalam sistem ekonomi Islam bila dibandingkan kebijakan
moneter. Adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat
menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan
kebijakan moneter. Larangan bunga yang diberlakukan pada tahun Hijriyah
keempat mengindikasikan sistem ekonomi Islam yang dilakukan oleh Nabi
terutama bersandar kepada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu negara Islam
yang dibangun oleh Nabi tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam
12
pendirian suatu negara.

Tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan


kesejahteraan dan kemaslahatan warga memerlukan anggaran yang memadahi. Di
zaman Rasulullah SAW, sumber-sumber penerimaan negara sebagaimana
meliputi:

1. Sumber yang tidak terikat. Pada masa awal Rasulullah SAW hijrah ke
Madinah, sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber
pemasukan dan pengeluaran negara. seluruh tugas negara dilaksanakan secara
gotong royong. Kebutuhan dipenuhi dari berbagai sumber yang tidak
terikat.18 Pada masa Rasulullah tidak ada tentara formal dengan gaji tetap.
Semua Muslim yang mampu boleh menjadi tentara dan berhak mendapat
bagian dari rampasan perang.

2. Ghanimah (harta rampasan perang). Ayat yang mengatur alokasi harta


rampasan perang (Al-Anfal) turun sesudah terjadi perang Badar pada tahun
kedua Hijrah.20 Dalam ayat ini ditentukan tata cara pembagian harta
rampasan perang sebagai berikut: Seperlima untuk Allah dan Rasul-Nya
(seperti untuk negara yang dialokasikan bagi kesejahteraan umum), untuk para
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan para musafir. Seperlima ini

12 ANAM. Teori Makro ekonomi Islam Konsep, Teori, dan Analisis


(Bandung: Alfabeta, 2013. H. 54

12
dikenal dengan istilah khumus. Sedangkan yang empat perlima bagian lainnya
dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam peperangan.

3. Zakat. Pada tahun kedua setelah hijrah sedekah fitrah diwajibkan setiap bulan
Ramadhan. Zakat mal mulai diwajibkan pembayarannya pada tahun
kesembilan hijrah. Dengan adanya perintah wajib wajib ini, mulai ditentukan
para pegawai pengelolanya yang tidak digaji secara rutin tetapi mendapat
bayaran tertentu dari dana zakat. Di awal-awal masa Islam, zakat
dikumpulkan dalam bentuk uang tunai, hasil peternakan dan hasil pertanian.
Nishab zakat untuk dinar dan dirham masing-masing 20 dinar dan 200 dirham,
zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 % dari jumlah nishab. Jika jumlah
pendapatan kurang dari nishab, maka dibebaskan dari zakat. Zakat peternakan
dikenakan secara regresif (regressive rate) di mana makin banyak jumlah
hewan peliharaan, makin kecil ratenya dan pembedaan ukurannya untuk tiap
jenis hewan. Berbeda dengan zakat peternakan, zakat pertanian menggunakan
flat rate yang dibedakan antara jenis pengairannya. Bisa jadi karena hasil
pertanian merupakan barang yang tidak tahan lama sehingga bila hasil
pertaniannya melimpah dikhawatirkan barang tersebut akan menjadi busuk.
Pengeluaran zakat telah diatur dalam Alquran Al-Taubah ayat 60 sehingga
13
tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara.

4. Kharraj. Kharaj atau pajak dipungut dari non-Muslim ketika Khaibar dikuasai
pada tahun ketujuh Hijrah. Penduduk Khaibar menentang dan memerangi
kaum Muslim. Setelah pertempuran selama sebulan, mereka menyerah.
Mereka mengatakan kepada Rasulullah bahwa mereka memiliki pengalaman
khusus dalam bertani dan berkebun kurma dan meminta izin untuk tetap
tinggal di sana. Rasulullah mengabulkan permintaan mereka. Tanahnya
diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk

13 Ibid. h. 55

13
mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa dan bersedia memberikan
sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap,
yaitu setengah dari hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai
kelebihan perkiraan, dua per tiga bagian dibagikan dan mereka bebas
memilih; menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama
juga diterapkan di daerah lain. Dalam perkembangannya, sebagaimana
diungkap Adiwarman Azwar karim, kharaj menjadi semacam pajak tanah
seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dibayarkan oleh seluruh anggota
masyarakat baik orang-orang Muslim maupun orang-orang non Muslim.
Berbeda dengan sistem PBB, kharraj ditentukan berdasarkan tingkat
produktivitas dari tanah bukan berdasarkan zoning. Yang menentukan jumlah
besar pembayaran kharaj adalah pemerintah, dengan mempertimbangkan
karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman, dan jenis irigasi.

5. Jizyah. Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-Muslim


khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, harta atau kekayaan,
peribadatan dan tidak wajib militer. Pada zaman Rasulullah, besarnya jizyah
satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya.
Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan
semua yang menderita penyakit dibebaskan dari jizyah. Pembayaran tidak
harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa.

6. barang atau jasa. Pada saat perekonomian sedang krisis yang menyebabkan
warga negara jatuh miskin, mereka tidak dikenai beban pajak, sebaliknya
mereka akan disantuni negara dengan beaya yang diambil dari orang-orang
yang kaya.

7. Penerimaan lain. Ada yang disebut kafarat yaitu denda misalnya denda yang
dikenakan kepada suami istri yang berhubungan di siang hari pada bulan
puasa. Mereka harus membayar denda dan denda tersebut masuk dalam

14
pendapatan Negara. Contoh lain misalnya adalah orang yang meninggal dan
tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisannya dimasukkan sebagai
pendapatan negar

2.3 Sejarah Kebijakan Fiskal Islam

1. Kebijakan fiskal pada masa Rasulullah SAW

Kebijakan fiskal di masa Rasulullah memegang kekuasaan pemerintahan


14
pertama di kota Madinah. Ketika itu negara tidak mempunyai kekayaan
apapun, karena sumber penerimaan negara hampir tidak ada. Segala kegiatan
dilakukan oeh Rasulullah dalam awal masa pemerintahan dilakukan berdasarkan
keikhlasan sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada. Dengan adanya
perang Badar pada abad ke-2H, negara mulai mempunyai pendapatan. Sumber
penerimaan pada masa Rasulullah digolongkan menjadi tiga golongan besar,
15
yakni dari kaum muslim, dari nonmuslim, dan dari sumber lain.

Dari golongan muslim terdiri atas: zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf, amwal
fadhla, nawaib, dan tentu saja sedekah seperti kurban dan kafarat. Ushr adalah
bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam
setahun dan hanya berlaku barang yang nilainya lebih dari 20 dirham.ushr juga
dipungut terhadap pedagang kafir zimi yang melewati perbatasan, disebabkan
adanya perjanjian damai antara kaum muslimin dengan mereka yang salah satu
poinnya menyebut tentang ushr. Zakat dan ushr merupakan pendapatan yang
paling utama bagi negara pada masa Rasulullah. Kedua jenis pendapatan ini
berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Amwal fadhla adalah
harta benda kaum muslim yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari

14 Mustawa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2007),
226.
15 Ibid.,232.

15
16
barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya . Nawaib adalah
pajak yang jumlanya besar yang dibebankan pada kaum muslim dalam rangka
menutupi pengeluaran negara selama masa darurat.

Dari kaum nonmuslim terdiri atas jizyah, kharaj, dan ushr. Jizyah adalah
pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk
jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadahh, bebas dari nilai-nilai, dan tidak
wajib militer. Kharaj (pajak tanah) adalah kebijakan fiskal yang diwajibkan atas
tanah pertanian di negara-negara Islam yang baru berdiri. Sedangkan dari
sumber-sumber lain misalnya ghanimah, fay, uang tebusan, hadiah dari
pemimpin dan negara lain, pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim.
Ghanimah adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui
pertempuran, sedangkan yang diperoleh tidak dengan pertempuran disebut fay.

Belanja pemerintahan pada masa Rasulullah untuk hal-hal pokok yang


meliputi biaya pertahanan negara, penyaluran zakat, dan ushr untuk mereka yang
berhak menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintahan, pembayaran
utang negara serta bantuan untuk musafir. Sedangkan untuk yang sifatnya
sekunder diperuntukkan bagi bantua orang yang belajar agama di Madinah,
hiburan untuk para delegasi keagamaan dan utusan suku, hadiah untuk
pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan
miskin. Untuk mengelola sumber penerimaannegara dan sumber pengeluaran
negara maka Rasulullah menyerahkannya kepada Baitumal dengan menganut
asas anggaran berimbang (balance budget) artinya semua penerimaan habis
digunakan untuk pengeluaran negara (goverment expenditure). Dasar-dasar
kebijakan fiskal menyangkut penentuan subjek dan objek kewajiban membayar
kharaj, zkat, ushr, jizyah, dan kafarat, termasuk penentuan batas minimal terkena
kewajiban (nisab), umur objek terkena kewajiban (haul), dan tarifnya.

16 M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam Konsep, Teori, dan


Analisis(Bandung: Alfabeta, 2010) hlm.155

16
2. Kebijakan fiskal pada masa Khalafour Rasyidin:

a. Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq (51 SH- 13 H/ 573-634 M)


Setelah wafanya Rasulullah SAW, Abu bakar As-Siddiq terpilih
menjadi khalifah pertama. Beliau merupakan pemimpin agama sekaligus
pemimpin negara kaum muslimin. Dalam pemerintahan Abu Bakar yang
hanya berlangsung 2 tahun berjalan dengan baik dengan berhasil
mengatasi banyaknya orang yang murtad, nabi palsu, dan pembangkang
zakat, maka terjadila perang Riddah. (Perang Melawan Kemurtadan).
17
Dalam menjalankan pemerintahan dan roda ekonomi masyarakat
Madinah Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat.
Abu Bakar juga mengambil langkah-langkah yang strategis dan tegas
untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui
(a‟rabi) yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan
membayar zakat sepeninggal Rasulullah saw. Prinsip yang digunakan Abu
Bakar dalam mendistribusikan harta baitul mal adalah prinsip
kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua
sahabat Rasulullah saw. Langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam
18
menyempurnakan ekonomi Islam:
1) Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat.
2) Pengembangan pembangunan baitulmal dan penanggung jawab
baitulmal (Abu Ubaida)
3) Menerapkan konsep balance budget policy pada baitulmal.
4) Melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang tidak
membayar zakat dan pajak.

17 Mudhiiah, Kharidatul. "Analisis Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


Masa Klasik." IQTISHADIA 8.2 (2016).
18 Mustawa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta:
Kencana, 2007), 233.

17
5) Secara individu Abu bakar adalah seseorang praktisi akad-akad
perdagangan.
b. Khalifah Umar Bin Khatab (40 SH-23 H/ 548-644 M)
Umar bin Khattab merupakan pengganti dari Abu Bakar.
Pemerintahan Umar bin Khattab dikenal dengan pemerintahan yang berish
ditopang dengan karakteristik pribadi yang tegas dan berwibawa sehingga
19
terbentuk kondisi masyarakat yang damai, sejahtera dan makmur .
Adapun kebijakan- kebijakan ekonomi pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab yaitu : Pendirian Lembaga Baitul Mal, Kepemilikan tanah, Ushr
(pajak), Sedekah dari Non- Muslim, Membuat mata uang sendiri,
mengganti dinar yang berasal dari persia yang selama ini di gunakan.
Kontribusi yang diberikan Umar untuk
mengembangkan ekonomi Islam:
1) Reorganisasi baitulmal, dengan mendirikan Diwan Islam yang
pertama yang disebut al-Divan (sebuah kantor yang
ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan
perang dan pensiunan dan tunjangan-tunjangan lain.
2) Pemerintah bertanggung jawab terhadap warga negaranya.
3) Diversifikasiterhadap objek zakat dan tarif.
4) Pengembangan ushr (pajak) pertanian (misalnya pembebanan
sepersepuluh hasil pertanian)
5) Undang-undang perubahan pemilikan tanah (land reform)

c. Khalifah Usman Bin Affan (47 SH- 35 H/ 577-656 M)

Usman bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga yang memimpin


paling lama selama 12 tahun, namun tidak ada perubahan dalam masa
kepemimpinanya. Beliau melanjutkan dan mengambngkan kebijakan

19 Rizal Fahlefi, “KebijakanEkonomi Umar bin Khattab”, JURIS, Vol. 13 ,No. 2, 2014, H.130

18
kebijakan pada masa pemerintahan yang lalu. Khalifah Utsman bin Affan
mengambil suatu langkah kebijakan tidak mengambil upah dari kantornya.
Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius,
20
bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
Adapun kebijakan- kebijakan ekonomi pada masa pemerintahnya
sebagai berikut: Mengembangkan sistem ekonomi yang telah di praktikan
pada masa umar bin kahattab, Membentuk armada laut dan kepolisian di
wilayah Mediterania., Tidak mengambil upah dari kantornya,
Mempertahankan sistem pemeberian bantuan serta memberikan sejumlah
uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Pada awal pemerintahan
Usman mencoba melanjutkan dan mengembangkan kebijaksanaan
21
khalifah Umar. Pada 6 tahun kepemimpinannya hal-hal yang dilakukan:
1) Pembangunan perairan
2) Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan
perdagangan.
3) Pembangunan gedung pengadilan, guna penegakan hukum.
4) Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada
individu dan hasilnya mengalami peningkatan bila
dibandingkan pada masa Umar dari 9 tahun menjadi 50 tahun.
d. Khalifah Ali Bin Abi Talib (23 SH-40 H/ 600-661 M)
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan dan
adiministrasi umum. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal
yang mendiskripsikan tugas kewajiban dan tanggung jawab penguasa
penyusun prioritas dalam melakukan dispensasi terhadap keadilan,
kontrol terhadap pejabat tinggi dan staf, mengurangi pendapatan pegawai
administrasi dan pengadaan bendahara.

20 Mudhiiah, Kharidatul. "ANAlISIS SejArah PemIkIraN ekoNomI ISlAm mASA


klASIk." IQTISHADIA 8.2 (2016).
21 Ibid., 235.

19
Dalam pemerintahannya Ali bin Abi Thalib melakukan gebrakan dan
kebijakan politik seperti penegakan hukum secara masif, memecat
guberur yang melakukan korupsi pada masa Umar bi Affan,mengambil
alih tanah yang sudah negara dari keluarga Umar bin Affan dan
22
memfungsikan kembali Baitul Mal. Di antara kebijakan ekonomi pada
masa pemerintahannya, ia menetapkan pajak terhadap para pemilik hutan
sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, gubernur Kufah,
memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai
bumbu masakan. Ada persamaan kebijakan ekonomi pada masa Ali bin
Abi Thalib dengan khalifah sebelumnya. Pada masa Ali alokasi
pengeluaran kurang lebihmasih tetap sama sebagaimana halnya pada masa
pemerintahan Khalifah Umar.kebijaksanaan yang dilakukan pada masa
khalifah Ali antara lain:
1) Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitulmal
berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk cadangan.
2) Pengeluaran angkatan laut dihilangkan.
3) Adanya kebijakan pengetatan anggaran.

2.4 ZISWAF Sebagai Komponen Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam

1. Zakat
Zakat menurut bahasa berarti kesuburan, kesucian, barakah dan berarti
juga mensucikan. Diberi nama zakat karena dengan harta yang dikeluarkan
diharapkan akan mendatangkan kesuburan baik itu dari segi hartanya maupun
pahalanya. Selain itu zakat juga merupakat penyucian diri dari dosa dan sifat
23
kikir. Secara istilah zakat adalah memberikan harta apabila telah mencapai

22 Junaidin,. "PEMERINTAHAN ALI BIN ABI THALIB DAN PERMULAAN


KONFLIK UMAT ISLAM." FiTUA: Jurnal Studi Islam 1.1 (2020): 33-48.
23 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 24.

20
nishab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) dengan
syarat tertentu. Nishab adalah ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang
24
wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan haul adalah berjalan genap 1 tahun
.Adapun dasar hukum wajib zakat tertera dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah
ayat 43:

Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta


25
orang-orang yang ruku’. Dan surat al-Tawbah ayat 103:

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.
DanAllah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.1426

2. Infaq
Kata infaq menurut bahasa berasal dari kata anfaqa yang berarti
menafkahkan, membelanjakan, memberikan atau mengeluarkan harta.
Menurut istilah fiqh kata infaq mempunyai makna memberikan sebagian harta
yang dimiliki kepada orang yang telah disyariatkan oleh agama untuk
memberinya seperti orang-orang faqir, miskin, anak yatim, kerabat dan lain-

24 Rois Mahfud, Al-Islam, 30.


25 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: Hilal, 2010),8.
26 Ibid., 204.

21
lain. Istilah yang dipakai dalam al-Qur‟an berkenaan dengan infaq meliputi
27
kata: zakat, sadaqah, hadyu, jizyah, hibah dan wakaf.
Jadi semua bentuk perbelanjaan atau pemberian harta kepada hal yang
disyariatkan agama dapat dikatakan infaq, baik itu yang berupa kewajiban
seperti zakat atau yang berupa anjuran sunnah seperti wakaf atau shadaqah.
Adapun dalil al-Qur‟an yang menunjukkan pada anjuran berinfaq salah
satunya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 195:
Artinya: dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
28
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

3. Sedekah

shadaqah merupakan pemberian suatu benda oleh seseorang kepada


orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah Swt. dan
29
tidak mengharapkan suatu imbalan jasa atau penggantian. Atau dapat pula
30
diartikan memberikan sesuatu dengan maksud untuk mendapatkan pahala.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq pada dasarnya setiap kebajikan itu adalah
31
shadaqah. Dilihat dari pengertian tersebut, shadaqah memiliki pengertian

27 Mardani, Fiqih Mu’amalah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 17


28 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, 31.
29 Mardani, Fiqih Mu’amalah, 344.
30 Zuhdi, Studi Islam Jilid 3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 82.
31 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, terj. MahyuddinSyaf (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), 173.

22
luas, menyangkut hal yang bersifat materi atau non materi. Dalam kehidupan
sehari-hari, shadaqah sering disamakan dengan infaq.

Namun mengingat pengertian tadi dapat dibedakan bahwa shadaqah


lebih umum daripada infaq, jika infaq berkaitan dengan materi, sedangkan
shadaqah materi dan non materi. Contoh shadaqah yang berupa materi seperti
memberi uang kepada anak yatim setiap tanggal sepuluh bulan Muharram,
sedangkan yang berupa nonmateri seperti tersenyum kepada orang lain.
Adapun dalil al-Qur‟an yang menunjukkan tentang anjuran shadaqah seperti
yang tercantum dalam surat Yūsuf ayat 88:

Artinya: Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, mereka berkata: "Hai
al Aziz, Kami dan keluarga Kami telah ditimpa kesengsaraan dan Kami
datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah
sukatan untuk Kami, dan bershadaqahlah kepada Kami, Sesungguhnya Allah
32
memberi balasan kepada orang-orang yang bershadaqah".

4. Wakaf

Wakaf adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu waqf yang
berarti menahan, menghentikan atau mengekang. Sedangkan menurut istilah
ialah menghentikan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan

32 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, 247.

23
lama sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan
33
Allah SWT. Wakaf dari pandangan hukum syara‟ berarti “menahan harta
yang mungkin diambil manfaatnya”. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan
pada Allah SWT. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan tidak boleh
dihabiskan, diberikan atau dijual kepada pihak lain. Wakaf juga dapat
diartikan pemberian harta yang bersifat permanen untuk kepentingan sosial
keagamaan seperti orang yang mewakafkan sebidang tanah untuk dibangun
34
masjid atau untuk dijadikan pemakaman umum. Dasar hukum wakaf
terdapat dalam surat Ăli „Imrān ayat 92:

Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.35

Dalam ayat tersebut terdapat perintah menafkahkan harta yang


dicintai, yang dimaksudkan adalah wakaf sebagaimana yang diterangkan oleh
hadis Nabi riwayat Bukhari Muslim bahwa setelah diturunkan ayat ini,
Thalhah salah seorang Sahabat Nabi dari golongan Anshar yang terkaya di
Madinah mewakafkan kebun kurma yang paling disenanginya (Bayruhā‟).
36
Melihat pengertian di atas, menurut penulis perbedaan dari keempat
filantropi Islam tersebut adalah; pertama, shadaqah merupakan istilah yang
paling umum sehingga infaq, wakaf dan zakat dapat dikategorikan sebagai

33 Asymuni A Rahman, Tolchah Mansur, dkk, Ilmu Fiqih 3 (Jakarta: t.p. 1986), 207.
34 Mardani, Fiqih Mu’amalah,17.
35 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, 63
36 Rahman, Mansur dkk, Ilmu Fiqih3, 208.

24
shadaqah; kedua, zakat terikat oleh waktu dan nishab, sedangkan infaq,
shadaqah dan wakaf dapat dilakukan kapan saja; ketiga, zakat diperuntukkan
bagi golongan tertentu.

Sedangkan infaq dan shadaqah diberikan kepada siapa saja; keempat,


zakat merupakan kewajiban, sedangkan wakaf, infaq dan shadaqah sebagai
amalan sunnah yang dianjurkan (jika dikerjakan mendapat pahala, jika tidak
maka tidak mendapat siksa). Sedangkan persamaannya adalah; pertama, sama-
sama sebagai upaya untuk meningkatkan ketaqwaan atau bertujuan untuk
mendapatkan ridha Allah Swt; kedua, sama-sama merupakan ibadah yang
diperintahkan dan mendapatkan pahala dari Allah Swt sebagai balasannya;
dan ketiga, sama-sama memiliki nilai positif baik bagi pelaku ataupun
penerima.

2.5 Hutang dan Pengeluaran Pemerintah dalam Islam

1. Konsep hutang dalam islam

Dalam bahasa Arab, hutang (al-dayn) merupakan sesuatu yang berada


dalam tanggung jawab orang lain. Menurut Hanafiyah, dayn termasuk kepada
al milk. hutang dapat dikategorikan pada al-Mal al-Hukmi yaitu sesuatu yang
dimiliki oleh pemberi hutang, sementara harta itu berada pada orang yang
37
berutang. Sehingga hutang negara adalah milik rakyat dan dipergunakan
untuk keperluan rakyat. Selain itu, hutang secara bahasa hutang juga dapat
bermakna memberikan pinjaman. Al-dayn mensyaratkan jangka waktu
tertentu dalam pengembalian hutang, hal ini yang membedakan qardh yang

37 Malikul Hafiz Alamsyah (dkk), Tinjauan Hutang Negara dalam Perspektif Islam, Journal of Islamic
Economics and Finance Studies Vol. 1 No. 1 (June, 2020), . 62-81

25
tidak mensyaratkan jangka waktu tertentu dalam pengembalian hutangnya,
dayn lebih umum dari qardh.

Di dalam Al-Quran dan hadits, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan


agar saling membantu sesama dalam pinjam meminjam serta mengembalikan
pinjaman tepat pada waktu yang sudah ditentukan, tentunya dengan
mengembalikan pokok yang sudah di pinjam tanpa adanya penambahan yang
di syaratkan (riba). Pelarangan atas riba dalam surat Al-Baqarah ayat 275
memiliki arti bahwa uang yang dipinjamkan harus tanpa adanya harapan akan
pengembalian yang melebihi jumlah pokoknya. Dalam hal ini setiap
peminjam yang menuntut atau menetapkan keuntungan tidaklah bersifat sah.
Dalam pelunasan hutang pun harus memerhatikan waktu jatuh tempo yang
sudah di berikan. Menurut Imam Malik, hal ini seperti halnya ketika
seseorang yang memberikan waktu lebih panjang ketika piutangnya telah
jatuh tempo dan menambahkan jumlah hutang (debt reschedulling) kepada
debitur yang menjadikannya akad ini tergolong dalam riba. Secara terminologi
hutang ialah sejumlah uang yang diberikan/dipinjamkan kepada orang
membutuhkan untuk keperluan kebutuhan dia dengan kesepakatan untuk
mengembalikan uang tersebut kepada peminjam dengan ketentuan dan
kesepakatan tanpa adanya penambahan keuntungan. Adapun hutang piutang
(Al Qardl) adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian
dia akan membayar yang sama.

Konsep hutang sesuai dengan syariat Islam menurut Muhammad


Akram Khan adalah salah satu konsep ekonomi Islam dalam bentuk yang
lebih tepat ialah Al-qardhul Hassan. hutang piutang dalam bentuk ini dengan
dukungan gadai (rahn) dapat digunakan untk keperluan sosial maupun
komersial. Dimana dalam hal ini peminjam mempunyai dua pilihan yaitu,

26
memilih qardhul hassan (menerima pemberi pinjaman) atau penyandang dana
38
(rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah

Dalam pandangan beberapa cendekia Muslim, negara dapat


mengambil pinjaman jika Baitul Maal (pemerintah) tidak memiliki aset yang
cukup untuk membiayai kebutuhan darurat yang jika tidak dipenuhi akan
menyebabkan kerusakan. Ada beberapa pertimbangan bagi pemerintah
sebelum mengambil pinjaman. Pertaman, pemerintah wajib untuk memastikan
bahwa negara memiliki kemampuan untuk melunasi kewajibannya di masa
depan. Kedua, pemerintah untuk menjamin bahwa pinjaman harus bebas dari
bunga (interest). Ketiga, pemerintah memprioritaskan mengambil pinjaman
dari sumber internal daripada sumber eksternal; lebih didahulukan mengambil
39
pinjaman dari lembaga atau negara Islam.

Selain itu, hutang tidak ditujukan untuk kebutuhan yang ditangguhkan


dan tidak mengambil pinjaman yang melebihi kebutuhan. Ketika pemerintah
memiliki kemampuan untuk membayar kembali, penundaan tidak dapat
ditoleransi dan tidak boleh menganggap mengambil pinjaman sebagai
kebiasaan. ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf) merupakan
instrumen pembiayaan Islam yang telah mendukung pembangunan ekonomi
dan sosial komunitas Muslim baik di masa lalu dan di masa sekarang.

2. Pengeluaran Pemerintah dalam Islam

Karakteristik dalam sistem Islam, paling tidak dapat dibagi dua. Yaitu,
karakateristik pengeluaran terikat dan pengeluaran yang tidak terikat.

38 Malikul Hafiz Alamsyah (dkk), Tinjauan Hutang Negara dalam Perspektif Islam, Journal of Islamic
Economics and Finance Studies Vol. 1 No. 1 (June, 2020), . 65-84
39 Muhajirin, Konsep Hutang Negara Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam. 347

27
Pengeluaran yang terikat adalah di mana distribusi pengeluaran dari
penerimaan dialokasikan hanya kepada objek tertentu. Misalnya: zakat,
khumus, dan wakaf. Pada pos zakat, akumulasi dana yang terhimpun tidak
dibenarkan oleh syariat untuk dipergunakan selain kepada delapan golongan
40
mausia yang berhak atas zakat, atau yang dikenal dengan mustahiq.
Sementara, pengeluaran tidak terikat, sesuai kondisi dan kebutuhan an sich.

Pada masa Rasulullah anggaran Baitul Mal jarang mengalami defisit


anggaran, hal ini dikarenakan proporsi pengeluaran anggaran yang mampu
menciptakan keseimbangan dana selalu terjaga. Defisit anggaran negara
pernah terjadi satu kali, yaitu saat hendak terjadi perang hunain. Karena
ketiadaan anggaran, maka Rasulullah melakukan peminjaman kepada para
sahabat. Saat perang telah selesai dan kaum muslimin mendapatkan
ghanimah, maka Rasulullah langsung membayarkan hutang negara kepada
para sahabat tersebut. Oleh karena itu ekonomi Islam diarahkan untuk
41
menghindari defisit anggaran yang berujung pada hutang negara.
Pengeluaran negara pada masa Rasulullah menurut Rahardjo (2001) di
lakukan dengan beberapa cara yang merupakan implementasi kebijakan
Rasulullah diantaranya:

1. Meminta bantuan kaum muslimin sehingga kebutuhan untuk pasukan


gazwa dan saritya kerap terpenuhi
2. Meminjam peralatan dari non muslim dengan jaminan pengembalian
dengan memberi ganti rugi atas barang yang mengalami kerusakan.
Hal ini biasanya merupakan klausul perjanjian damai antara Rasulullah
dengan kaum non muslim.

40 Muh. Fudhail Rahman, SUMBER-SUMBER PENDAPATAN DAN PENGELUARAN NEGARA ISLAM,


Vol. V, No. 2, Juli 2013, hal.249
41 Ibnu Hasan Karbila (dkk), Kebijakan Fiskal pada Masa Rasulullah dan Sekarang, Al-Muqayyad Vol
3 No 2 (2020), hal.159

28
3. Meminjam uang dari orang tertentu dan memberikan kepada orang-
orang yang baru masuk Islam. Kendatipun meminjam hanya dilakukan
sekali oleh Rasulullah dan melunasinya sebelum akhir tahun, hal ini
menunjukkan salah satu cara yang benar untuk menjalankan kebijakan
fiscal.

Menerapkan kebijakan insentif. Kebijakan ini diterapkan untuk


menjaga pengeluaran serta meningkatkan partisipasi kerja dan produksi
masyarakat muslim. Prinsip kebijakan fiskal dan anggaran belanja dalam
Islam bertujuan untuk mengembangkan masyarakat yang didasarkan atas
distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan
spiritual pada tingkatan yang sama dan seimbang. Kebijakan fiskal dianggap
sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang
dipengaruhi melalui insentif yang disediakan dengan meningkatkan

pendapatan pemerintah. 42

Al-Quran telah memberikan batasan-batasan terkait pengeluaran dan


pembelanjaan harta serta distribusi pendapatan agar seimbang. Pengeluaran
yang di maksud dalam Al-Quran adalah berdasarkan keperluan dan bukan
berdasarkan keinginan bahkan hal-hal yang tidak menentu. Islam bukan hana
mencegah tetapi mengutuk hal yang sifatnya boros. Sebagaimana Firman
43
Allah dalam QS. Al-Isra‟ ayat 27:
ْ َ ‫اروفكَ هبِّزل ناَُطيْشالَّ ناَكَو ۖهيطايشالَّ نا‬
‫وخإ اوُواكَ هيَر ِّذبمالْ نَّإ‬ ًُ
َِِ ََِِ َِ َُِ ِ Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.

42 Ibnu Hasan Karbila (dkk), Kebijakan Fiskal pada Masa Rasulullah dan Sekarang, Al-Muqayyad Vol
3 No 2 (2020), hal.159
43 https://news.detik.com/berita/d-5657238/surah-al-isra-ayat-27-siapa-yang-disebut-saudara-
setan-dalam-ayat-ini#:~:text=Artinya%3A%20%22Sesungguhnya%20orang%2Dorang,.%20Al%20Isra%3A
%2027).

29
Berdasarkan konsep dalam ekonomi Islam, pengeluaran didasarkan
atas distribusi kekayaan berimbang dengan menetapkan nilai-nilai material
dan spiritual pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal menurut ekonomi
Islam diharapkan dapat menjadi fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi
pendapatan dan pengeluaran dalam suatu negara. Sistem perpajakan Islam
harus menjamin bahwa beban utama pajak dipikul oleh golongan kaya dan
makmur yang mempunyai kelebihan. Adapun ciri kebijakan fiskal dalam
sistem ekonomi Islam adalah:

1. Pengeluaran negara dilakukan berdasarkan pendapatan, hal inilah yang


menjadikan negara jarang mengalami defisit anggaran

2. Sistem pajak proporsional, pajak dalam ekonomi Islam dibebankan


berdasarkan tingkat produktivitas. Misalnya kharaj, besarnya pajak
didasarkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman

3. Perhitungan zakat berdasarkan hasil keuntungan bukan pada jumlah


barang. Misalnya zakat perdagangan yang dikeluarkan zakatnya
adalah hasil keuntungan, sehingga tidak ada pembebanan terhadap
biaya produksi

3. Anggaran Pendapatan Pemerintah Islam


Sumber-sumber pendapatan negara di zaman Rasulullah Saw. tidak
hanya terbatas pada zakat semata, namun ada beberapa pos lain yang tidak
kalah pentingnya dalam menyokong keuangan negara. Zakat sendiri baru
disyariatkan pada tahun kedelapan Hijriyah. Pertama, zakat. Pada masa awal-
awal Islam, penerimaan pendapatan negara yang bersumber dari zakat berupa
uang tunai, hasil pertanian dan hasil peternakan. Zakat merupakan unsur
penting karena sistemnya penunaiannya yang bersifat wajib (obligatory zakat
system), sedangkan tugas negara adalah sebagai „âmil dalam mekanismenya.
Zakat merupakan kewajiban bagi golongan kaya untuk memberikan

30
perimbangan harta di antara sesama masyarakat. Dalam negara yang memiliki
sistem pemerintahan Islam, maka negara berkewajiban untuk mengawasi
pemberlakuan zakat. Negara memiliki hak untuk memaksa bagi mereka yang
enggan berzakat jika mereka berada pada taraf wajib untuk mengeluarkan
zakat. Apalagi jika mempertimbangkan keadaan masyarakat yang secara
44
umum lemah perekonomiannya.
Mencoba memperbandingkan dengan sistem konvensional, maka
pemasukan zakat sangat tergolong kecil. Meskipun demikian, negara Islam
tidak berada pada posisi yang terbebani, karena secara mendasar, sistem zakat
telah secara langsung dan signifikan telah mengurangi beban negara dari
spesifikasi syariat yang ada dalam aturan aplikasinya, yaitu menanggulangi
kecenderungan negatif dan pengangguran, kemiskinan dan masalah-masalah
sosial lainnya. Di lain sisi, zakat merupakan ujung tombak pertama dari
negara yang berfungsi untuk menjamin kebutuhan minimal rakyat.
Kedua, ghanîmah. Ghanîmah merupakan pendatan negara yang
didapatkan dari hasil kemenangan dalam peperangan. Distribusi hasil
ghanîmah secara khusus diatur langsung dalam Alquran surah al-Anfâl ayat
41. empat perlima dibagi kepada para prajurit yang ikut dalam perang,
sedangkan seperlimanya sendiri diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, karib
kerabat Nabi, anak-anak yatim, kaum miskin dan ibnu sabil. Dalam konteks
perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan barang
sitaan akibat pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanîmah.
Ketiga, khumus. Khumus atau seperlima bagian dari pendapat
ghanîmah akibat ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan
kemudian oleh negara dapat digunakan sebagai biaya pembangunan.
Meskipun demikian, perlu hatihati dalam penggunaannya karena aturan
pembagiannya telah jelas, seperti pada ayat di atas. Khumus, juga bisa

44 Hana. Anggaran Pendapatan Menurut Islam. Bandung, Alfabeta. 2009. h. 34

31
diperoleh dari barang temua (harta karun) sebagaimana terjadi pada periode
Rasul.
Ulama Syiah mengatakan bahwa sumber pendapatan apa pun harus
dikenakan khumus sebesar 20%. Sedangkan ulama sunni, beranggapan bahwa
ayat ini hanya berlaku untuk harta rampasan perang saja. „Uman Abû 'Ubayd
menyatakan bahwa yang dimaksud khumus itu bukan hasil perang saja, tapi
juga barang temuan dan barang tambang. Dengan demkian, di kalangan ulama
sunni ada sedikit perkembangan dan memaknai khumus.
Keempat, fay‟. Fay‟ adalah sama dengan ghanîmah. Namun bedanya,
ghanîmah diperoleh setelah menang dalam peperangan. Sedangkan, fay‟ tidak
dengan pertumpahan darah.
Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay‟ adalah pendapatan
negara selain dari zakat. Jadi termasuk di dalamnya: kharâj, jizyah, ghanîmah,
„usyur, dan pendapatan-pendapatan dari usaha komersil pemerintah. Definisi
ini lebih mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang
strukturnya cukup berbeda dengan keadaan pada masa Rasulullah.
Kelima, jizyah. Jizyah merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi
warga negara non-Muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti
mereka yang sudah uzur, cacat, dan mereka yang memiliki kendala dalam
ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu,
negara harus memenuhi kebuhhuhan pendiudik bukan Muslim tersebut akibat
ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang
penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat
dengan fungsi pertama dari negara. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas
45
hanya kepada penduduk Muslim saja.
Jizyah ini bisa disebut pula dengan istilah pajak perlindungan. Ketika
nonMuslim hidup dengan tenang dan mendapat jaminan perlindungan dari

45 Ibid. h. 45

32
pemerintah Islam, maka dengan jizyah tersebut bisa menjadi imbalannya.
Perlindungan yang dimaksud baik dalam maupun gangguan-gangguan dari
pihak luar. Dan ini sejalan secara adil dengan penduduk Muslim sendiri, yang
telah dibebani beberapa instrumen biaya yang harus dikeluarkan ke negara,
46
seperti zakat.
Keenam, kharâj. Kharâj merupakan pajak khusus yang diberlakukan
Negara atas tanah-tanah yang produktif yang dimiliki rakyat. Pada era awal
Islam, kharâj sebagai pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaybar
ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik
menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan
bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah dari
kharâj bersifat tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.
Kharâj adalah pajak terhadap tanah, yang bila dikonversi ke Indonesia,
ia dikenal sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Oleh karena itu,
perbedaan mendasar antara sistem kharâj dan sistem PBB adalah kharâj
ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan produktivitas dari tanah (land
productivity), dan bukan berdasarkan zona sebagaimana dalam aturan sistem
PBB (zona strategi). Hal ini bisa jadi dalam sistem kharâj, tanah yang
bersebelahan, yang satu ditanami buah kurma dan tanah lainnya ditanami
buah anggur, mereka harus membayar kharâj yang berbeda.
Yang menentukan jumlah besar pembayaran kharâj adalah pemerintah.
Secara spesifik, besarnya kharâj ditentukan berdasarkan tiga hal19, yaitu:
karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman (termasuk
marketability dan quantity), dan jenis irigasi.
Kharâj ini dibayarkan oleh seluruh anggota masyarakat baik orang-
orang Muslim maupun orang-orang non-Muslim. Pertama, „usyur. „usyur
merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke

46 Abd Syukur. Zakat Negara. Alfabeta, Jogjakarta. 2007. h. 33

33
dalam negara Islam (barang impor). Pada masa Rasul, „usyur hanya dibayar
sekali dalam setahun dan hanya berlaku pada barang yang nilainya lebih dari
200 dirham. Rasulullah Saw. berinisiatif mempercepat peningkatan
perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapusksan
semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan pelbagai suku
menjelaskan hal tersebut. Barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea
impor di wilayah Muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar-menukar
47
barang.
Menurut „Umar ibn al-Khaththâb, ketentuan ini berlaku sepanjang
ekspor negara Islam kepada negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan
jika dikenakan besarnya juga harus sama dengan tarif yang diberlakukan
negara lain atas barang Islam yang diekspor.
Kedua, infak, sedekah, dan wakaf. Infak, sedekah, dan wakaf
merupakan pemberian sukarela dasri rakyat demi kepentingan umat untuk
mengharapkan ridha Allah Swt. semata. Namun, oleh negara dapat
dimanfaatkan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan Negara.
Penerimaan ini sangat tergantung pada kondisi spiritual masyarakat secara
umum. Diyakini ketika keimanan masyarakat begitu baik, maka penerimaan
negara melalui instrumen ini akan besar. Sebaliknya jika keimanan
masyarakat buruk, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan relatif
kecil.
Ketiga, lain-lain. Masa Rasul, selain diperoleh dari pendapatan primer,
ada pula yang didapatkan dari peroleh sekunder. Fiskal pemerintahan masa
Rasul, di antaranya: Pertama, uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada
perang Hunain, enam ribu tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan. Kedua,
pinjamanpinjaman (setelah penaklukan kota Mekah) untuk pembayaran uang
pembebasan kaum Muslimin dari Judhaimah atau sebelum pertempuran

47 Ibid, h. 34

34
Hawazin 30.000 dirham dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa
pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofwan bin Umaiyyah (sampai
waktu tidak ada perubahan). Ketiga, nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya
cukup besar yang dibebankan pada kaum Muslimin yang kaya dalam rangka
menutupi pengeluaran negara selama masa darurat. Dan ini pernah terjadi
pada masa perang tabuk. Keempat, amwâl fadhlâ, yaitu bersumber dari harta
kaum Muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris. Atau bisa
pula bersumber dari kaum muslilmin yang meninggalkan tanah kelahirannya
tanpa ada kabar berita maupun wasiat. Kelima, bentuk lain bisa diperoleh dari
kurban dan kaffârah.
Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variabel seperti warisan
yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah, atau hadiah dari negara
sesama Islam serta bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat, baik
dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.
Dalam konteks ekonomi modern saat ini, tentu saja negara akan
memiliki pos penerimaan yang cukup variatif. Misalnya berupa penerimaan
devisa dan berupa keuntungan dari badan usaha milik negara (BUMN).
BUMN tersebut tentu saja harus dikelola secara profesional dan efesien
48
sehingga dapat mendatangkan hasil yang optimal.
Dalam khasanah ideal pemerintah Islam, pengelolaan usaha-usaha
milik negara tidak melibatkan penguasa secara langsung dalam kegiatan
perekonomian pasar. Hal tersebut akan cenderung membuat pasar tidak
berjalan secara wajar dan efesien. Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme
relatif akan terjadi, jika para pemimpun atau pejabat negara juga berperan
sebagai pelaku pasar.
Abû Bakr al-Shiddiq, sebagai khalifah pertama, pernah mengingatkan
sahabatnya „Umar ibn al-Khaththâb untuk tidak berniaga (bertani), karena

48 Ibid, h,. 35

35
cukup baginya upah sebagai pejabat negara yang diberikan oleh bayt al-mâl
kepadanya. Abû Bakr al-Shiddiq menyadari betul bahwa sukar bagi siapapun
untuk dapat berlaku adil dan maksimal pada masing-masing perannya, jika
pada saat yang sama seseorang berperan ganda, sebagai pemegang otoritas
politik dan sebagai saudagar.

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kebijakan fiskal memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang


kestabilan ekonomi suatu negara. Peranannya tidak hanya sekedar untuk kelancaran
pembelanjaan negara saja, tetapi memiliki dampak yang yang terkait dengan aktivitas
ekonomi secara makro di suatu negara. Dalam konsep ekonomi Islam yang tidak
mengenal riba, kebijakan fiskal lebih menjadi tumpuan dalam menstabilkan
perekonomian dari pada kebijakan moneter. Keberhasilan kebijakan fiskal pada masa
awal Islam pada dasarnya karena pemegang kebijakan mampu menerapkan berbagai
instrumen kebijakan fiskal yang mengacu pada ajaran Islam secara tepat sesuai
kondisi sosial, politik dan ekonomi yang ada waktu itu.

Namun penerapan kebijakan fiskal waktu itu tidak serta merta mudah diterapkan
untuk masa sekarang karena kendala, politik, sosial maupun kondisi perekonomian
global yang cukup dominan. Maka penerapan kebijakan fiskal, meski tidak bisa sama
persis sebagaimana yang digunakan pada masa awal Islam, perlu berpegang pada
prinsip-prinsip Islam tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang berorientasi
pada kesejahteraan dan distribusi kekayaan yang adil dalam masyarakat.

3.2 Saran

Pada masa periode penelitian kebijakan moneter kurang efektif dalam


meningkatkan perekonomian Indonesia sedangkan kebijakan fiskal cukup efektif
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pemerintah
perlu lebih efektif dan efisien dalam menggunakan dana APBN terutama pada sektor-
sektor yang menyentuh kepentingan masyarakat seperti perbaikan infrastruktur jalan,
jembatan, irigasi dan lain-lain

37
Penetapan jumlah uang beredar harus menyesuaikan pada tingkat pertumbuh ekonomi
artinya jumlah uang beredar tidak efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi
pertumbuhan ekonomi efektif menurunkan tingkat suku bunga deposito dan
penurunan tingkat suku bunga tersebut akibat peningkatanjumlah uang beredar.

38
DAFTAR PUSTAKA

Rahayu, Ani Sri, Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Mawardi, I., Widiastuti, T., Anova, D. F., Al Mustofa, M. U., Ardiantono, D. S., &
Insani, T. D. (2019). Public Debt as a Source of Financing for Government
Expenditures in the Perspective of Islamic Scholars. Humanities and Social
Sciences Reviews, 7(4), 285–290.

Rahmawati, L. (2008). Kebijakan Fiskal dalam Islam. Al-Qānūn, 11(2), 436-461.

Fauzan, M. (2017). Kebijakan Fiskal Dalam Perekonomian Islam Di Masa Khalifah


Umar Bin Al-Khathab. HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam,
4(1).

Chapra, M. Umer. 2001. The Future Of Economics; An Islamic Perspective. Jakarta:


Shari‟ah Economics and Banking institute

Islamy, M. Irfan. 2003. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi


Aksara

Wahab,Solichin Abdul. 2005. Analisis Kebijaksanaan dari Reformulasi ke Implementasi


Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara

Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi, teori, masalah dan kebijakan. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada Nasution, Mustafa Edwin dkk. 2007. Pengenalan
Eksklisif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana

Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema
Insani

Al Arif, M. Nur Rianto. Teori Makroekonomi Islam Konsep, Teori, dan Analisis
.Bandung: Alfabeta, 2010.

Karim, Adiwarman A. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

Muhammad,. Ekonomi Makro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFEYogyakarta,


2004.

Nasution, Mustawa Edwin dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana,
2007.

Rozalinda. Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2014.

Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.

Muhajirin. (2016). Konsep Hutang Negara Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam. Al
Mashlahah Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 347–358.

39
Pass, Christopher & Bryan Lowes, Collins Dictionary of Economics, terj. Tumpal
Rumapea & Posman Haloho, "Kamus Lengkap Ekonomi", Edisi Kedua, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1994.

Sukirno, Sadono, Makroekonomi Teori Pengantar, Edisi Ketiga, Jakarta : PT


RajaGrafindo Persada, 2006.

JUNAIDIN, J. (2020). PEMERINTAHAN ALI BIN ABI THALIB DAN


PERMULAAN KONFLIK UMAT ISLAM. FiTUA: Jurnal Studi Islam, 1(1),
33-48.

Rahman, M. F. (2015). Sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran negara Islam.

Fathurrahman, A. (2012). Kebijakan Fiskal Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Islam:


Studi Kasus Dalam Mengentaskan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan, 13(1), 72-82.

https://media.neliti.com/media/publications/195025-ID-sumber-
sumber-pendapatan-dan-pengeluaran.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/255568-konsep-fiskal-islam-dalam-
perspektif-his-edc8c0b0.pdf

Hamdan. Ekonomi Islam. Jakarta. Mulia, 2009.

Rusli, Wewenang dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. CV,MULIA, 2009

Dodi. Sistem Fiskal Islam Indonesia. Jakarta. Insan Pratam, 2007

ANAM. Teori Makro ekonomi Islam Konsep, Teori, dan Analisis (Bandung:
Alfabeta, 2013

Hana. Anggaran Pendapatan Menurut Islam. Bandung, Alfabeta. 2009

40

Anda mungkin juga menyukai