Anda di halaman 1dari 24

Makalah Perekonomian Indonesia

KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA


SAMPAI REFORMASI

Oleh :
Artha Nadya Napitupulu (7183210031)
Budi Wira Utama (7183510017)
Ditha Ivany Tambunan (7183510029)
Enda Beatrix Middlen (7183210030)
Erna Oktaviani Simamora (7183210034)
Maswani Yuli Saputri Lubis (7183510030)

Dosen Pengampu : Armin Rahmansyah Nasution, SE, M.Si.

MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya
penulis bisa menyelesaikan Makalah Perekonomian Indonesia ini. Pada Makalah
Perekonomian Indonesia ini terdapat materi mengenai penjelasan terkait Kebijakan Fiskal
Pada Masa Pemerintahan Orde Lama Sampai Reformasi.
Dalam penulisan Makalah Perekonomian Indonesia ini, penulis telah berusaha
menyajikan yang terbaik. Penulis berharap semoga Makalah Perekonomian Indonesia ini
dapat memberikan informasi serta mempunyai nilai manfaat bagi semua pihak.

Medan, November 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
1.3 Tujuan Makalah ........................................................................................................... 1
BAB II.................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebijakan Fiskal......................................................................................... 2
2.2 Kebijakan Fiskal Pada Masa Orde Lama ...................................................................... 2
2.3 Kebijakan Fiskal Pada Masa Orde Baru ....................................................................... 5
2.4 Kebijakan Fiskal Pada Masa Reformasi ....................................................................... 8
BAB III .............................................................................................................................. 20
PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 20
3.2 Saran ......................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran dan belanja negara
yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Kebijakan fiskal bukan semata-
mata kebijakan dalam bidang perpajakan, akan tetapi menyangkut bagaimana mengelola
pemasukan dan pengeluaran negara untuk mempengaruhi perekonomian. Kebijakan fiskal
memiliki tujuan yang persis dengan kebijakan moneter. Perbedaan tersebut terletak pada
instrument kebijakan yang diterapkannya, yaitu dalam kebijakan moneter pemerintah
mengendalikan jumlah uang yang beredar, sedangkan dalam kebijakan fiskal pemerintah
mengendalikan penerimaan dan pengeluarannya.
Kebijakan ekonomi suatu negara tidak bisa lepas dari campur tangan pemerintah,
karena pemerintah memegang kendali atas segala sesuatu yang menyangkut semua kebijakan
yang bermuara kepada keberlangsungan negara itu sendiri. Kebijakan ekonomi sangat
beragam dan bermacam-macam pula kebijakannya. Oleh sebab itu, pemerintah wajib
menganut salah satu kebijakan ekonomi sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan
pemerintah. Apapun sistem ekonomi yang dianut pemerintah, maka itulah sistem ekonomi
yang terbaik bagi perekonomian rakyat, meskipun nantinya dalam perjalanannya memiliki
berbagai kelemahan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian kebijakan fiskal?
2. Bagaimana kebijakan fiskal pada masa pemerintahan orde lama?
3. Bagaimana kebijakan fiskal pada masa pemerintahan orde baru?
4. Bagaimana kebijakan fiskal pada masa pemerintahan reformasi?

1.3 Tujuan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian kebijakan fiskal
2. Untuk mengetahui kebijakan fiskal pada masa pemerintahan orde lama.
3. Untuk mengetahui kebijakan fiskal pada masa pemerintahan orde baru.
4. Untuk mengetahui kebijakan fiskal pada masa pemerintahan reformasi.

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal di Indonesia merupakan salah satu kebijakan dari pemerintah yang
ditujukan untuk mengarahkan ekonomi dari suatu negara. Kebijakan fiskal adalah kebijakan
penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan pemerintah untuk memperbaiki keadaan
ekonomi. Atau dapat juga dikatakan kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam
rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan secara istilah, pengertian kebijakan
fiskal adalah kebijakan atau panduan atau landasan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah
atau pimpinan sebuah negara/kerajaan untuk mengatur kondisi keuangan dan pendapatan
negara. Para ahli juga mendefinisakan apa itu kebijakan fiscal. Seperti menurut Zaini
Ibrahim, “Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengaturan
kinerja ekonomi melalui mekanisme penerimaan dan pengeluaran pemerintah”. Menurut
Rozalinda, “Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam mengatur setiap
pendapatan dan pengeluaran negara yang digunakan untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam
rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.”
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal merupakan
suatu kebijakan pemerintah yang di dalamnya terdapat peraturan yang menyangkut
penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam menjaga kegiatan ekonomi yang diinginkan
atau kondisi yang lebih baik.

2.2 Kebijakan Fiskal Pada Masa Orde Lama


Kepemimpinan Soekarno (1945-1967). Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945, Indonesia belum dapat melaksanakan pembangunan ekonomi secara utuh karena
sedang mempertahankan kemerdekaan hingga tahun 1949. Masa kepemimpinan Soekarno
merupakan masa perbaikan pasca penjajahan. Laju pertumbuhan jumlah penduduk pasca
kemerdekaan sangat tinggi. Jumlah penduduk pada tahun 1950 adalah 77,2 juta jiwa,
meningkat menjadi 85,4 juta jiwa pada tahun 1955, dan 97,02 juta jiwa (sensus penduduk
tahun 1961). Produksi pangan mengalami kenaikan, namun belum mampu mengimbangi
pertumbuhan penduduk. Produksi beras pada tahun 1956 adalah 26% lebih tinggi dari

2
produksi pada tahun 1950, tetapi impor beras masih diperlukan. Perusahaan-perusahaan asing
pada tahun 1950-an mulai masuk ke Indonesia seperti Shell, Stanvac, dan Caltec, dan
mendapatkan posisi yang kuat di bidang industri minyak. Sebagian besar pelayaran antar
pulau dipegang oleh pelayaran KPM Belanda (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).
Perbankan didominasi oleh oleh perusahaan-perusahan Belanda, Inggris, dan Cina. Orang-
orang Cina menguasai sebagian besar kredit pedesaan (Rickles, 1991, 356-358).
Kepemimpinan pada era Presiden Soekarno dapat dikategorikan menjadi tiga zaman,
yaitu revolusi fisik (1945—1949), demokrasi parlementer (1950—1958), dan demokrasi
terpimpin (1959—1966). Untuk diketahui, analisis peran pajak pada era ini terhambat
minimnya ketersediaan data terutama pada saat revolusi fisik. Informasi perkembangan
ekonomi, fiskal, dan pajak baru terdokumentasi lebih baik setelah 1950. Pada era Presiden
Soekarno, perkembangan ekonomi tidak terlalu menunjukkan suatu permasalahan yang
serius. Selama periode demokrasi parlementer, rata-rata pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) tercatat berada pada kisaran 5%.
Akan tetapi, keadaan makroekonomi semakin memburuk pada masa demokrasi
terpimpin dengan pertumbuhan rata-rata PDB nasional hanya sebesar 1,4% per tahun.
Pertumbuhan tersebut hanya ditopang oleh besarnya kontribusi pengeluaran konsumsi rumah
tangga kepada perekonomian. Dalam pengelolaan anggaran pada Orde lama dimana APBN
mengalami defisit, yang berarti selisih antara penerimaan negara dan pengeluarannya yang
cenderung negatif atau dimana pengeluaran negara lebih besar dibanding penerimaannya
(Kunarjo, 2001). Dengan adanya permasalahan tersebut pemerintah mengambil kebijakan
untuk mengatasi defisit APBN dengan jalan pencetakan uang baru. Akibatnya menyebabkan
tingkat harga-harga umum menjadi melambung (inflation). Defisit tersebut jelas merupakan
pertanda salah urus (mis-management) dan inefiensi penggunaan keuangan negara.
Dari sisi fiskal, pengeluaran pemerintah yang selalu melebihi penerimaan telah
mengakibatkan persoalan defisit anggaran yang besar. Pengeluaran tersebut terutama
diakibatkan oleh proporsi belanja anggaran pada sektor pertahanan/militer yang tinggi, yakni
sekitar rata-rata 35%. Jauh di atas alokasi untuk sektor lain. Adapun langkah atau kebijakan
yang diambil oleh pemerintah dalam membiayai defisit anggaran, diantaranya dengan
melakukan pencetakan uang, hutang luar negeri (IMF, World Bank), meminjam dari negara
tetangga, penerbitan surat berharga negara.
Selain itu, neraca perdagangan barang dan jasa dalam periode ini menunjukkan tren
defisit yang semakin membesar, sedangkan utang luar negeri perlu untuk segera dibayar.
Semua ini jelas mengerosi cadangan devisa dari US$326,4 juta pada 1960 turun secara drastis

3
menjadi US$8,6 juta US$ pada 1965. Instrumen pembiayaan dalam negeri yang digunakan
pemerintah Indonesia adalah Surat Berharga Negara yang terdiri dari Surat Hutang Negara,
berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN/T-Bills) dan Obligasi Negara (ORI, FR/VR Bond,
Global Bond) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara baik SBSN
berjangka pendek (Islamic T-Bills) maupun jangka panjang (Ijarah Fixed Rate, Global
Sukuk, Sukuk Dana Haji Indonesia). Dengan pembiayaan tersebut diharapkan mampu
merubah kondisi anggaran kearah lebih baik dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dalam
penerbitan SUN yang dilakukan pemerintah memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan, karena penerbitan SUN dapat dipakai untuk mengurangi ketergantungan pada
pembiayaan luar negeri.
Pada periode 1945-1966, pajak belum menjadi sumber utama penerimaan negara.
Keuangan negara justru memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap penerimaan sumber
daya alam serta pajak perdagangan internasional. Terdapat enam hal yang diduga menjadi
penyebab dari rendahnya kontribusi pajak pada era ini, yaitu :
- Faktor eksternal yaitu Korean Boom. Perang Korea pada awal dekade 1950-an telah
memengaruhi tingginya permintaaan dan harga barang komoditas, seperti karet,
timah, gula, hingga minyak bumi. Pada 1951—1958 sistem fiskal Indonesia sangat
tergantung pada sumber penerimaan yang berasal dari perdagangan internasional.
Pada akhir dekade 50-an, kontribusi sumber-sumber penerimaan itu mulai menurun
karena memburuknya situasi pasar dunia yang berdampak pada komoditas utama
Indonesia seperti karet. Selain itu, akibat ditetapkannya kurs devisa yang terlalu
rendah, terjadi peningkatan kegiatan penyelundupan ke Singapura dan beberapa
negara lain.
- Pengaruh dari struktur ekonomi yang masih tradisional. Perekonomian masih
berbasis pada sektor pertanian dengan distribusi sebesar 56,9% pada 1953 dan
hanya berkurang menjadi 52,4% pada 1965. Distribusi sektor modern seperti
manufaktur dan jasa-jasa sangat berpengaruh kepada kinerja penerimaan pajak
karena sifatnya lebih mudah untuk dipajaki serta penghasilan tenaga kerja di sektor
tersebut yang relatif lebih baik. Tidak mengherankan jika diperkirakan sebesar 91%
dari masyarakat tidak terkena batas penghasilan kena pajak.
- Tidak adanya kesinambungan kebijakan fiskal Indonesia akibat faktor politik.
Seluruh kabinet tersebut tidak ada yang dapat bertahan selama lebih dari dua tahun.
Hal ini tentu memberikan pengaruh pada tidak konsistennya kebijakan fiskal. Setiap

4
kabinet memiliki program dan rencananya masing-masing, tapi kurang
berkontribusi dalam desain kemandirian fiskal jangka panjang.
- Kendala mereformasi kebijakan pajak dalam negeri. Akibat berbagai peristiwa
politik, upaya untuk menyusun sistem pajak nasional sulit untuk dilakukan. Selama
era Orde Lama, sistem perpajakan dalam negeri masih mengikuti hukum pajak pada
masa kolonial, mulai dari Pajak Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944, Pajak
Upah 1935, dan sebagainya. Di era ini perubahan kebijakan pajak lebih banyak
diutamakan pada jenis pajak perdagangan internasional seperti bea masuk dan pajak
impor. Tambahan pembayaran impor tersebut dipatok dengan tarif tinggi atas
barang-barang nonesensial, pembayaran di muka untuk aktivitas impor, serta
penurunan tarif pajak ekspor agar komoditas Indonesia laku di pasaran dunia.
- Belum adanya upaya khusus untuk meningkatkan kepatuhan melalui pembenahan
sistem administrasi pajak. Menurut Kaldor (1963), jika saja pemerintah di negara-
negara berkembang fokus pada hal tersebut, mereka dapat mengamankan
penerimaan pajak.
- Minimnya basis pajak dari korporasi. Mayoritas pemodal asing menarik
investasinya dari Indonesia, terutama karena ketidakpastian situasi politik dan
ekonomi maupun program nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di bawah
Kabinet Djuanda. Sebagai catatan, industri minyak dan gas adalah sebuah
pengecualian untuk kasus ini. Turunnya investasi asing tersebut jelas memberikan
efek pengganda yang cukup signifikan bagi ekonomi dan basis pajak. Selain itu,
masih bertahannya investor pada industri migas nantinya akan cukup berpengaruh
pada ketergantungan Indonesia atas PNBP SDA pada era selanjutnya.
Permasalahan lainnya adalah adanya blokade ekonomi yang dilakukan Belanda sejak bulan
November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri Republik Indonesia yang baru
merdeka, maka sangatlah mempengaruhi penerimaan atau kas negara. Di sisi lain eksploitasi
besar- besaran di masa penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang juga mempengaruhi
rendahnya sumber-sumber penerimaan negara.

2.3 Kebijakan Fiskal Pada Masa Orde Baru


Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Soeharto (1996-1998) di
Indonesia.

5
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang di gunakan pemerintah untuk mengatasi
masalah –masalah ekonomi yang sedang di hadapi ,kebijakan fiskal diartikan sebagai
langkah-langkah pemerintah untuk mengubah pengeluarannya atau pemungutan pajaknya
dengan tujuan untuk mengurangi gerak naik –turun tingkat kegiatan ekonomi dari waktu ke
waktu ,menciptakan tingkat kegiatan ekonomi dengan tingkat kesempatan kerja yang tinggi
,tidak menghadapi masalah inflansi, dan selalu mengalami pertumbuhan yang memuaskan .

Harus diakui bahwa orde baru di kepemimpinan presiden soeharto telah berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam rentang waktu yang panjang .
pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan dampak positif dan negatif . dampak positif
tercatat dalam bentuk penurunan angka kemiskinan absolut yang diikuti dengan perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat secara rata-rata .adapun dampak negatif yang muncul adalah
perbedaan ekonomi antar daerah .Dalam rangka Rehabilitasi dan Stabilisasi Ekonomi
,pemerintah orde baru menerbitkan beberapa kebijakan umum dan khusus ,baik yang bersifat
jangka pendek maupun jangka panjang . prioritas utama yang dilakukan pemerintah adalah
memerangi atau menanggulangi hiperinflasi yang mencapai sekitar 600% .

Sebagai salah satu bentuk peran pemerintah, kebijakan fiskal tidak hanya diarahkan
guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan fiskal perlu menciptakan
pertumbuhan ekonomi berkarakter inklusif sehingga dapat memberikan manfaat yang setara
dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan . Dalam konteks ini,
pertumbuhan ekonomi tetap penting, namun sangat tergantung pada kecepatan dan pola dari
pertumbuhan ekonomi itu sendiri

Setelah kejatuhan rezim orde lama, pemerintahan baru mewarisi perekonomian yang
nyaris hancur. Indonesia saat itu gagal membayar utang luar negeri $ 2,4 milyar, inflasi
meroket 600%, produksi industri hanya dibawah 20% dari kapasitas, birokrasi yang lemah
dan korupsi yang merajalela, serta infrastruktur transportasi air, kereta dan jalan sudah usang .

Dalam pengelolaan keuangan Negara, pemerintah orde Baru menerbitkan UU Nomor


9 Tahun 1968, tentang perubahan pasal 7 "Indische Comptabiliteitswet" (Staatsblad 1925
No.448) sebagaimana telah diubah dengan UU No 3 Drt. 1954. UU ini mulai berlakukan
sejak 25 Oktober 1968. 47. Nomor 9 Tahun 1968 menjadi dasar bagi diterapkannya kebijakan
anggaran berimbang dan dinamis. Kebijakan berimbang adalah kebijakan anggaran yang
menghendaki terjadinya keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran, dengan jumlah

6
yang terus membesar setiap tahunnya. Kebijakan anggaran berimbang ditandai dengan
diterapkannya format T-account dalam penyusunan APBN.

Kepemimpinan Soeharto (1967-1998). Soeharto mulai menjalankan tugasnya sebagai


presiden Indonesia ke-2 pada 12 Maret 1967, dinamakan masa Orde Baru. Pada tahun 1967,
Indonesia berada dalam situasi yang kacau. Pendapatan per kapita turun sampai tingkat di
bawah yang telah dicapai lima tahun sebelumnya, perekonomian hancur oleh hiper-inflasi,
sektor pertanian tidak dapat lagi menyediakan bahan pangan yang cukup untuk kebutuhan
dalam negeri dan kemiskinan menjadi nasib sebagian besar penduduk.

Lalu bentuk kebijakan fiscal yang tampak pada masa ini adalah sebagai berikut :

a. Orde Baru menempatkan utang luar negeri sebagai strumen utama


pembiayaan pembangunan. Sebagian besar penerimaan negara dimasa orde baru
bersumber dari utang luar negeri, bahkan ketika Indonesia mendapat penerimaan
sangat besar akibat naiknya harga minyak pada masa oil boom, maupun pada
priode program reformasi perpajakan. Pada masa oil boom (1974-1985),
penerimaan migas Indonesia mencapai 66 persen dari total penerimaan dalam
negeri. Begitu pula, pada periode reformasi perpajakan (1984- 1994), penerimaan
pajak sebesar 12 persen dari PDB (produk domestik bruto). Angka-angka tersebut
sesungguhnya lebih dari cukup untuk menghapuskan ketergantungan terhadap
utang luar negeri yang berada pada kisaran 3% dari PDB per tahunnya. Namun,
demi menjaga momentum pertumbuhan (rata-rata pertumbuhan ekonomi
Indonesia periode 1974-1985 sebesar 7 persen per tahun). Pemerintah enggan
menggunakan dana yang diperoleh dari kenaikan harga minyak tersebut untuk
melunasi utang luar negeri.
b. Kebijakan fiskal tahun 1998 sampai 1999 pada awalnya diarahkan untuk
berperan sebagai suatu kebijakan campuran (policy mix) dalam rangka
membantu pengendalian laju inflasi dan nilai tukar rupiah di sektor
moneter. Hal ini ditunjukkan oleh kehati-hatian pemerintah dalam menetapkan
sasaran defisit APBN yang disusun pada tanggal 23 Januari 1998, yaitu hanya 1-
2%dari PDB.
c. Orientasi kebijakan fiskal kemudian difokuskan pada upaya peningkatan
peranan pemerintah sebagai penggerak roda perekonomian, menggantikan
peranan sektor swasta yang sedang terpuruk serta mengurangi tingkat

7
pengangguran, sekaligus beban masyarakat miskin. Perubahan orientasi tersebut
tercermin dari peningkatan sasaran defisit APBN menjadi 8,5%dari PDB.
Perubahan yang besar terjadi pada alokasi pengeluaran sosial, yakni menjadi
sekitar 29% dari total anggaran, meliputi pengeluaran subsidi dan Jaring
Pengaman Sosial (JPS) masing-masing sebesar 6,2 dan 1,9% dari PDB.

2.4 Kebijakan Fiskal Pada Masa Reformasi


 BJ Habibie (1998-1999)

Permasalahan yang ada pada masa BJ Habibie:


Pada masa pemerintahan BJ Habibie dikenal sebagai masa transisi dari krisis ekonomi ke
proses pemulihan. Pada masa ini pemerintahan menerapkan reformasi kebijakan ekonomi
salah satunya kebijakan fiskal guna memulihkan kepercayaan publik yang merosot akibat
krisis.

Kebijakan Fiskal yang dilakukan oleh BJ Habibie:


1) Membatalkan sejumlah proyek infrastruktur.
Pasca-krisis 1998 pemerintah sempat mengalami kesulitan dalam mencari dana untuk
pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Pembangunan infrastruktur bukan hanya
tertinggal cukup jauh. Karena setelah krisis 1998 kesulitan dalam membangun infrastruktur.
Pembiayaan infrastruktur mahal dan cukup lama baru bisa selesai. Krisis tersebut benar-benar
berpengaruh terhadap ekonomi, salah satunya pada kemampuan biaya untuk membangun
infrastruktur. Dikarenakan membutuhkan dana yang cukup besar dalam membangun
beberapa infrastruktur maka pemerintah Indonesia saat itu membatalkan sejumlah proyek
infrastruktur.

2) Memberhentikan perlakuan khusus bagi mobil nasional.


Krisis moneter pada 1998 pun memutus harapan mobil nasional salah satunya Maleo bisa
diproduksi. Habibie yang dikenal sebagai "Bapak Teknologi" tentu tidak main-main dengan
karyanya. Tahapan pengembangan dapat dijelaskannya secara spesifik. Perusahaan asal
Amerika Serikat (AS) yakni Ford dan General Motor (GM), menggarap mesin Maleo yang
bisa dikendalikan secara elektrik. Maleo pun dirancang dengan mesin yang irit bahan bakar
dan rendah polusi. Namun, proyek pengembangan Maleo ini tidak berjalan sesuai harapan.
Meski usulan pengembangan Maleo telah disetujui oleh DPR dan pemerintah, tetap saja

8
pengembangan Maleo mandek. Dilansir dari berbagai sumber, proyek yang diharapkan dapat
mendongkrak elektabilitas Soeharto pada Pemilu 1999 ini justru terbengkalai seiring dengan
kejatuhan Presiden Soeharto. Tak lama proyek mobnas Timor juga harus berhenti karena
dianggap menyalahi peraturan dagang dunia. Pada 22 April 1998, badan penyelesaian
sengketa (Dispute Settlement Body) WTO memutuskan bahwa program mobnas melanggar
asas perdagangan bebas, dikarenakan Indonesia dituduh melanggar beberapa poin pada
ketentuan General Agreements of Tariff and Trade atau GATT. Proyek mobnas pun ditutup
dan sejak itu tidak ada lagi istilah mobnas (mobil nasional).

3) Membiayai program Jaring Pengaman Sosial.


Pemerintah menjalankan program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dalam kerangka Structural
Adjustmen Program (SAP) yang diwajibkan oleh Bank Dunia kepada negara kreditur.
Habibie juga meratifikasi 7 standar pokok perburuhan ILO menjadi fundamen perlindungan
sosial kelas buruh/pekerja. Terdapat berbagai program JPS seperti JPS-Bidang Pendidikan,
JPS-Bidang Kesehatan, OPK-Beras, PDM-DKE (Pemberdayaan Masyarakat Desa), Program
Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan
Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Program JPS
ini telah berhasil membantu masyarakat miskin dalam situasi krisis, terutama dalam bidang
kesehatan dan pendidikan dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) direkomendasikan
langsung oleh IMF dan Bank Dunia. JPS merupakan program pengentasan kemiskinan
yang diterapkan pemerintah pada masa transisi pada tahun 1998-1999.
Dampak dari penetapan kebijakan tersebut adalah:
1) Inflasi menurun (1998=77.6%;1999=2%)
2) Kurs rupiah menguat (Juni 1998=Rp/USD 16.650;November 1998=Rp/USD 7.000)
3) Pertumbuhan ekonomi membaik (1998=-13%;1999=2%)

 Abdurahman Wahid (GusDur) (1999-2001)


Permasalahan yang ada pada masa GusDur:
Pada masa pemerintahan GusDur kondisi ekonomi menghadapi tantangan karena
terganggunya hubungan pemerintah dengan DPR dan IMF, oleh karena itu kondisi ekonomi
mulai kembali melemah. Salah satu pemicunya adalah daerah bebas melakukan utang luar
negeri sehingga kurs rupiah terhadap dollar naik, pertumbuhan ekonomi menurun, IHSG
menurun, dan inflasi meningkat.
Kebijakan Fiskal yang dilakukan oleh GusDur:
9
1) Implementasi pembagian dana perimbangan antara pusat dan daerah.
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
1. Pembagian PBB: Pemerintah Pusat (0,10), Pemerintah Daerah (0,90)
2. Pembagian PBBjatah daerah: Biaya pemungutan (0,10), Provinsi (0,16),
Kabupaten/Kota (0,64)
Penerimaan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan(BPHTB)
1. Pembagian BPHTB: Pemerintah Pusat (0,20), Pemerintah Daerah (0,80)
2. Pembagian PBBjatah daerah: Provinsi (0,16), Kabupaten/Kota (0,64)
Penerimaan dari SDA
1. Penerimaan dari SDA: Pemerintah Pusat (0,20), Pemerintah Daerah (0,80)
2. Pembagian SDA jatah daerah: Provinsi (0,16), Kabupaten/Kota (0,64)
Bagi Hasil Minyak
1. Penerimaan Hasil Bagi Minyak: Pemerintah Pusat (0,85), Pemerintah Daerah (0,15)
2. Pembagian Hasil Bagi Minyak jatah daerah: Kabupaten/Kota yang bersangkutan
(0,06), Provinsi (0,03), Kabupaten/Kota penghasil (0,06).

2) Pemerintah daerah diizinkan untuk mengajukan pinjaman daerah.


Pemerintah daerah melakukan pinjaman daerah dikarenakan untuk menutup kekurangan dana
yang berasal dari APBD sehingga pemerintah daerah dapat melaksanakan pembangunan
tanpa terkendala keterbatasan APBD.

3) Penerapan pajak daerah dan retribusi daerah.


Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah untuk
memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata dan tanggungjawab.
Selain dari ketiga kebijakan diatas, pemerintah bersama Bank Dunia melakukan
desentralisasi fiskal untuk menurunkan tingkat kemiskinan melalui program pengembangan
kecamatan. Dimana ada sekitar 17.000 proyek pedesaan diantaranya pembangunan jalan,
jembatan, irigasi, penyediaan air bersih, bantuan kredit usaha mikro.

 Megawati (2001-2004)
Setelah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnnoputri pun dilantik untuk
menggantikannya. Krisis ekonomi masih terasa di masa pemerintahan Megawati. Namun, ada
10
kemajuan di masa pemerintahannya seperti investasi yang mengalir baik dari dalam maupun
luar negeri. Tim ekonomi Presiden Megawati kembali memperbaiki hubungan dengan IMF,
yang berujung pada sejumlah persetujuan dengan IMF untuk memperbarui program bantuan
IMF yang sempat dihentikan. Tim ekonomi Megawati cukup terbuka dan suportif dengan
program IMF.
Sejak pertengahan 2002, mulai terbangun opini publik agar pemerintah tidak
melanjutkan program bantuan IMF setelah selesai pada akhir 2003. Pada saat itu, hanya
Indonesia satusatunya negara yang terkena krisis keuangan 1997/1998, yang masih menerima
bantuan IMF. Pada Juli 2003, pemerintah mengumumkan bahwa program bantuan IMF tidak
akan dilanjutkan. Oleh karena itu, pemerintah membentuk tim antar-lembaga yang menyusun
exit strategy yang mempertimbangkan hal-hal seperti financing gap, yang terkait dengan
kebutuhan pembiayaan pemerintah, dan credibility gap, yang terkait dengan dampak negatif
dari sentimen pasar, ketika program IMF berakhir. Keputusan untuk mengakhiri program
bantuan IMF dipengaruhi oleh pemilihan umum yang mendekat, serta oleh sentimen
nasionalistik yang tengah berkembang di dunia politik dan publik.
Sebagai persiapan berakhirnya program bantuan IMF, pada 15 September 2003
pemerintah menerbitkan ‘Paket Kebijakan Ekonomi Pra- dan Pasca-IMF’, yang juga dikenal
sebagai “White Paper”.
Pada tanggal 15 September 2003, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 5/2003
tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama
dengan IMF. Sejumlah elemen utama dalam paket kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
- Menjaga stabilitas makro ekonomi : Fokus dari usaha ini adalah untuk mencapai
kondisi fiskal yang sehat, serta mengurangi laju inflasi, dan menjaga persediaan
cadangan devisa untuk kebutuhan jangka menengah. Kebijakan fiskal untuk
mencapai target tersebut mencakup:
a. Mengurangi defisit anggaran secara bertahap untuk mencapai posisi yang
seimbang (balanced) pada 2005-2006;
b. Mengurangi rasio utang pemerintah terhadap PDB ke posisi yang aman;
c. Mereformasi dan melakukan modernisasi pada sistem perpajakan nasional
untuk mengembangkan sumber pemasukan negara yang dapat diandalkan;
d. Meningkatkan efisiensi belanja pemerintah, dan
e. Mengembangkan sistem pengelolaan utang yang efektif.
- Restrukturisasi dan reformasi pada sektor keuangan

11
- Meningkatkan investasi, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja : Sejumlah inisiatif
kebijakan kunci mencakup:
a. Memperbaiki kebijakan investasi dan perdagangan melalui layanan satu atap,
serta Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (Timnas
PEPI) untuk menangani persoalan inter-sektoral;
b. Meningkatkan kepastian hukum dengan merevisi UU Kepailitan, serta
mengharmonisasikan regulasi di tingkat regional dengan regulasi di tingkat
yang lebih tinggi untuk kepentingan publik;
c. Membangun dan memperbaiki infrastruktur di bidang listrik, transportasi,
telekomunikasi, dan sumber daya air;
d. Meningkatkan transparansi pelayanan publik; dan
e. Meningkatkan pemerataan melalui program pengentasan kemiskinan dan
penciptaan lapangan pekerjaan.
Poin penting lain dalam kebijakan fiskal ditandai dengan reformasi kebijakan
perpajakan, efisiensi belanja negara dan privatisasi BUMN.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Megawati berhasil
mempertahankan stabilitas makroekonomi. Kinerja perbaikan sektor finansial dapat
dikatakan beragam (mixed).

 Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)


Pada periode 1
Agenda utama dalam bidang ekonomi yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan
SBY -Kalla bertujuan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara yang lebih sejahtera,
diantaranya melalui program perbaikan iklim investasi,menjaga stabilitas makro,
peningkatan kesejahtraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan. Presiden SBY
menjalankan pemerintahannya dengan menetapkan visi dan misi bidang ekonomi
berdasarkan pada prinsip Esbeyenomics guna mencapai agenda utama yang telah
disebutkan.
Pertama, Esbeyenomics memberikan perhatian yang sangat besar bagi upaya
penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Prinsip Esbeyenomics yang kedua adalah
meletakkan prioritas pembangunan ekonomi pada sektor pertanian dan pedesaan. Prinsip
ketiga Esbeyenomics dengan rencana peningkatan alokasi anggaran negara yang lebih

12
besar untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di sektor pertanian dan perdesaan.
Sayangnya, pemikiran dan prinsip SBY dengan Esbeyenomics tidak direalisasikan.
Presiden SBY menginstruksikan kementerian untuk menjalankan Program Kerja 100
Hari. Agenda tersebut secara umum memiliki tiga tujuan: memperbaiki iklim investasi,
menjaga stabilitas makroekonomi, serta meningkatkan kesejahteraan publik dan
mengentaskan kemiskinan. Ketiga tujuan besar tersebut diterjemahkan dalam sejumlah target
serta langkah aksi. Namun demikian, rincian dari program tersebut tidak diumumkan kepada
publik, dan hanya menjadi dokumen internal di pemerintahan. Akan tetapi, sangat
disayangkan bahwa implementasi dari program tersebut tidak menunjukkan keseriusan
pemerintah dalam melakukan reformasi ekonomi. Contoh utama dalam hal ini adalah
ketidakmampuan pemerintahan SBY untuk melaksanakan reformasi pada kebijakan subsidi
Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah bertahun-tahun sangat membebani kondisi fiskal
dan sangat menghalangi pemerintah dalam melakukan investasi yang lebih produktif,
misalnya di sektor infrastruktur. Pergerakan ekonomi dunia dan naik turunnya harga minyak
dunia mempunyai dampak terhadap perekonomian Indonesia. Pada periode 2005-2008, salah
satu faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian adalah kenaikan harga minyak.
Kenaikan harga minyak ini mempengaruhi banyak hal, termasuk tekanan pada deficit
anggaran, alokasi anggaran, inflasi, kestabilan ekonomi makro, dan kemiskinan. Saat itu,
SBY menerapkan kebjakan berupa menaikkan harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005,
dan setelah sebelumnya pada bulan Maret 2005. Akan tetapi, pemberlakuan kebijaka
tersebut justru berdampak pada kondisi perekonomian di tahun-tahun berikutnya. Pada
waktu itu, Pemerintahan SBY-JK memang harus menaikkan harga BBM dalam
menghadapi tekanan APBN yang semakin berat karena lonjakan harga minyak dunia.
Pada masa pemerintahan SBY pada periode pertama yaitu tahun 2004-2009, masih
cukup banyak keluaran yang tidak terealisasi. Diantaranya adalah tidak ditetapkannya
penerimaan dalam APBN 2005, Revisi PP /129 2000, penyelesaian kasus TPST, Buyat dan
Reklamasi, Realisasi SMF, TOR dana investasi infrastruktur, PP Ketenagakerjaan,
Renstra penanggulangan kemiskinan, konsep pelayanan kesehatan, dan pengelolaan
TKI. Tidak terealisasinya keluaran tersebut mengakibatkan agenda utama dalam
bidang ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya tidak berjalan dengan baik.

Pada Periode 2
Krisis ekonomi global 2008 mewarnai transisi masa jabatan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) periode pertama dengan periode kedua. Kembali sebagai Presiden

13
Republik Indonesia periode 2009-2014, SBY yang pada periode ini didampingi oleh
Boediono sebagai wakilnya, memikul beban berat untuk memimpin Indonesia keluar dari
krisis ekonomi global.
Krisis finansial 2008 bermula dari krisis kredit pemilikan rumah yang dikenal
dengan sebutan subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) yang mulai terlihat sejak
pertengahan 2017. Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan yang
diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah
kredit sama sekali sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Imbas krisis
mortgage meluas mencapai Eropa dan asia. Bursa saham global jatuh dan terus mengalami
tekanan hingga 2008.
Meski tahun anggaran 2008 baru berjalan sebulan, pemerintahan SBY-JK mulai
membahas Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P).
Memasuki 2009, krisis ekonomi gloal masih berlanjut. Ketidakstabilan di pasar keuangan
global tetap terjadi dan pengetatan likuiditas tetap berlanjut.
Pemerintahan SBY periode kedua ini mengalami tantangan yang berasal dari
eksternal. Tantangan lainnya adalah tren perlambatan ekonomi dan penurunan kinerja ekspor.
Sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas, pelemahan ekonomi global beserta
tren penurunan harga komoditas sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Di awal tahun 2009, pemerintahan SBY-JK merilis program stimulus fiskal. Program
ini merupakan paket kebijakan yang ditujukan untuk meredam dampak negatif krisis
ekonomi global. Saat itu, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 73,2 triliun untuk
melaksanakan program tersebut.
Di sisi penerimaan, pemerintah memberikan stimulus melalui pemotongan pajak dan
subsidi pajak. Sedangkan di sisi belanja, pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk
penurunan harga solar, diskriminasi tarif listrik bagi industri, perluasan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan tambahan belanja infrastruktur.
Di bidang perpajakan, pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk pemotongan
pajak berupa penyederhanaan lapisan penghasilan, penurunan tarif pajak penghasilan, dan
kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Melalui program ini, pemerintah memberikan stimulus baik pada sisi pendapatan
maupun belanja. Tujuannya, pertama, memeliharan daya beli masyarakat. Kedua, menjaga
daya tahan sektor usaha dalam menghadapi krisis global. Ketiga, meningkatkan daya serap
tenaga kerja dan meredam pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui kebijakan
pembangunan infrastruktur padat karya. Tentu saja, kebijakan pemberian stimulus ini

14
berdampak terhadap keuangan negara. Pemotongan pajak jelas berpotensi menurunkan
pendapatan negara. Namun di sisi lain, tambahan belanja infrastruktur membuat anggaran
belanja bertambah.

 Masa Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019)

Adapun tandangan fiskal yang dihadapi yaitu :

 Pendapatan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar.
Pada RAPBN tahun 2015, target pendapatan pajak perdagangan internasional adalah
sebesar Rp51.503,8 miliar atau turun 8,5 persen dari target dalam APBNP 2014.
Semestinya pajak perdagangan internasional lebih ditingkatkan sering meningkatnya
volume perdagangan Indonesia menjelang MEA.
 Bea keluar ditetapkan menurun Rp 20,6 trilun pada tahun 2014, menjadi Rp 14,3 pada
tahun 2015. Bea keluar semestinya lebih ditingkatkan sebagai konsesuensi
pelaksanaan UU minerba.
 Dalam RAPBN tahun 2015, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi
pajak DTP untuk PPh dan fasilitas bea masuk yang direncanakan sebesar Rp8.650,0
miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan pagunya yang
ditetapkan dalam APBNP 2014 yang mencapai Rp6.513,8 miliar. Subsidi pajak tidak
diperlukan dan lebih diarahkan untuk pembiayaan pembangunan infrastuktur sebagai
bentuk insentif yang lain.
 Pendapatan PPh migas dalam RAPBN 2015 ditargetkan mencapai Rp82.912,8 miliar
atau turun 1,2 persen dari target dalam APBNP 2014. Penurunan target tersebut
dikarenakan terjadinya peningkatan cost recovery dari US$15,0 miliar dalam APBNP
2014 menjadi US$16,5 miliar pada RAPBN 2015. Sementara itu, pendapatan PPh
nonmigas dalam RAPBN tahun 2015 ditargetkan mencapai Rp553,119,0 miliar, atau
meningkat 13,8 persen dibandingkan dengan target dalam APBNP 2014. Dana cost
recoveri (pengembalian biaya operasi yang telah dikeluarkan) semestinya berkurang
seiring dengan berkurangnya lifting (merupakan volume produksi) migas.
 Pada tahun 2015 di mana potensi PPh Orang Pribadi berada di kisaran Rp175 triliun,
sebuah peningkatan yang sangat significant. Pada tahun 2010 berada di kisaran Rp79
triliun. Semestinya pajak orang pribadi diturunkan, namun harus meningkatkan
jumlah pembayar pajaknya.
Kebijakan fiskal yang dilakukan yaitu :
15
 Renegosiasi utang luar negeri, tidak membayar bunga dan cicilan utang pokok dalam
5-10 tahun ke depan, melakukan evalusasi ulang proyek utang dan menghentikan
proyek utang luar negeri yang tidak perlu.
 Menekan pengeluaran cost recovery migas dalam rangka meningkatkan pendapatan
Negara, dan mendorong peningkatan produksi migas.
 Meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan ekplotasi kekayaan alam migas,
mineral dan batubara.
 Memberlakukan pajak lingkungan terhadap eksploitasi kekayaan alam yang
berhubungan langsung dengan kawasan hutan, dan kawasan produktif lainnya
 Menjalankan kebijakan pajak progresif yang diikuti dengan pemberantasan mafia
pajak.
 Mengamankan semua asset pemerintah terkait dengan BLBI dan program
rekapitalisasi dan restrukturisasi akibat krisis 98.
 Rasionalisasi anggaran rutin terutama anggaran perjalanan dinas, program
pemerintahan dalam rangka mengehntikan kebocoran
 Memaksimalkan pengembalian anggaran Negara yang tidak terserap baik dalam
kementrian maupun dari pemerintah daerah.
 Meningkatkan bantuan langsung kepada rakyat, insetif, subsidi, asuransi pertanian
yang dibayarkan oleh Negara, dalam rangka memajukan kegiatan produktif.

Pada periode selanjutnya Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin terpilih
untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (2019-2024). Tantangan
Kabinet Indonesia Maju bidang perekonomian cukup berat dengan ancaman resesi
perekonomian global. Berlarut-larutnya perang dagang Amerika Serikat (AS)-China
memberikan dampak bagi perekonomian global terutama bagi Indonesia dengan menurunnya
jumlah ekspor Indonesia. AS dan China masing-masing menaikkan tarif impor barang masuk,
terutama minyak mentah untuk AS sebesar 5% dan barang-barang elektronik bagi China
sebesar 15%. Perlambatan perekonomian global menyebabkan harga dan permintaan
komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia semakin turun. Adapun manfaat yang
diperoleh dari perang dagang tersebut bersifat jangka pendek sedangkan jangka panjang tidak
memberikan manfaat sama sekali. Salah satu strategi untuk menghadapi perang dagang AS-
China dan perlambatan perekonomian global adalah

16
 Pertama, pemerintah harus fokus mengelola permintaan (konsumsi) dalam
negeri. Cara ini mampu meminimalisasi dampak dari pengaruh perekonomian
eksternal. Sementara itu, relokasi 21 Sumber: Bappenas.go.id, 14 Agustus
2019. Gambar 1. Potential Growth, Tahun 2020-2024 investor asing dari
Indonesia ke negara Asia Tenggara lain, terutama Vietnam, Malaysia, dan
Thailand, merupakan satu dari sejumlah tantangan perekonomian yang akan
dihadapi oleh pemerintah dalam 5 tahun ke depan. Investasi yang keluar dari
Indonesia mengakibatkan pengangguran meningkat dan konsumsi rumah
tangga menurun, seperti kasus PT. Foster Electronic yang pindah ke Myanmar
dengan melepas sekitar 1.000 karyawan, yang berimbas pada melambannya
pertumbuhan ekonomi (bbc.com, 18 Oktober 2019).
 Kedua, peningkatan daya saing industri manufaktur. Daya saing Indonesia
merosot lima peringkat ke posisi 50, dari 141 negara di dunia berdasarkan
laporan yang disusun Forum Perekonomian Dunia (WEF). Peringkat
Indonesia relatif lebih bagus dari Vietnam yang duduk di posisi 67, namun
Vietnam melesat 10 peringkat dibanding tahun lalu. Di Asia Tenggara,
Indonesia masih kalah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand, namun unggul
dari Filipina (bbc.com, 18 Oktober 2019).
 Ketiga, meningkatkan kemudahan berbisnis juga menjadi tantangan bagi
Pemerintahan Jokowi periode kedua. Kebijakan deregulasi sejumlah 16 paket
yang diterbitkan Jokowi berisi tentang kemudahan layanan investasi tiga jam,
perluasan tax allowance dan tax holiday, insentif untuk Kawasan
Perekonomian Khusus (KEK), relaksasi daftar negatif investasi, penerapan
sistem online single submission untuk mempermudah izin usaha, dan lain-lain
diharapkan dapat mencapai target realisasi investasi tahun 2019 sebesar Rp850
triliun dan dari target ini sekitar 50-55% diharapkan FDI sebagai
kontributornya.
 Keempat, tidak kalah penting yang harus diperhatikan adalah ancaman utang
luar negeri yang terus bertambah, termasuk utang luar negeri swasta. Secara
keseluruhan terdapat 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diperkirakan
akan memakan biaya hingga Rp4.197 triliun yang sebagian dapat dibiayai dari
utang. Pembangunan infrastruktur ke depan juga turut meningkatkan utang
Indonesia. Tahun 2014, utang Indonesia tercatat sebesar Rp3.165 triliun atau

17
27,43% dari PDB. Rasio utang atas PDB ini terus meningkat dalam lima tahun
terakhir, mencapai Rp4.418 triliun atau 29,98% dari PDB tahun 2018
(bbc.com, 18 Oktober 2019).
Presiden Joko Widodo mengatakan, beban fiskal yang ditanggung pemerintah sangat
berat di masa pandemi Covid-19. Selain untuk penanganan kesehatan, pemerintah juga berat
menggerakkan ekonomi karena kondisi sektor swasta juga mengalami perlambatan. Salah
satu pembelanjaan besar pemerintah di masa pandemi adalah untuk pembelian vaksin Covid-
19. Saat ini pemerintah sedang bekerja keras dalam pengadaan vaksin untuk program
vaksinasi nasional.

Pemerintah Jokowi berkomitmen melanjutkan kebijakan-kebijakan yang konstruktif


untuk menghadapi kondisi pandemi Covid-19 yang diperkirakan terjadi hingga tahun depan.
Setidaknya ada empat prioritas kebijakan fiskal yang tengah disusun pada RAPBN 2021.
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan, sesuai dengan tema utama pada
prioritas kebijakan fiskal tahun 2021, pemerintah fokus terhadap percepatan program
pemulihan ekonomi nasional dan melanjutkan reformasi struktural. Di mana prioritas
kebijakan fiskal yang

 Pertama adalah melanjutkan dan mempercepat program pemulihan ekonomi


nasional. langkah-langkah di bidang kesehatan tentang penanggulangan wabah
Covid-19 supaya bisa dikendalikan menjadi hal yang sangat penting dalam
pemulihan ekonomi. Sejalan dengan itu kebijakan program pemulihan
ekonomi yang dilakukan pemerintah juga diprioritaskan dengan cara
memperkuat perekonomian domestik supaya lebih tangguh dan berdaya saing.
 Selanjutnya, prioritas kebijakan fiskal kedua tahun depan juga diarahkan pada
penguatan reformasi struktural. Reformasi struktural akan dilakukan dengan
cara terus melanjutkan program perbaikan iklim investasi dan daya saing
ekonomi menjadi, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk
meningkatkan produktivitas melalui kebijakan pendidikan dan kesehatan.
 Program reformasi anggaran menjadi prioritas kebijakan fiskal yang ketiga di
tahun 2021. Program ini mencakup reformasi pada sektor penerimaan negara
baik itu pada sisi perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP),
maupun pada kebijakan transfer fiskal. Kemudian, peningkatkan kualitas
belanja negara dan peningkatan kesinambungan fiskal jangka panjang juga
menjadi bagian dari program reformasi penganggaran. Efisiensi pada

18
pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang bisa dilakukan secara virtual tersebut
akan menjadikan salah satu acuan bagi Pemerintah untuk bisa melakukan
realokasi anggaran belanja negara kepada kegiatan yang lebih produktif
sehingga bisa meningkatkan kualitas belanja pemerintah.
 Sementara prioritas utama kebijakan fiskal tahun 2021 yang keempat adalah
program percepatan pembangunan nasional. Hal ini diterjemahkan ke dalam
percepatan prioritas pembangunan pada reformasi bidang kesehatan, reformasi
bidang pendidikan, infrastruktur, teknologi informasi dan ketahanan pangan
nasional.
Presiden Joko Widodo mengungkapkan ada enam poin yang menjadi fokus
pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal 2022 yang akan dilakukan secara
ekspansif demi mempercepat pemulihan ekonomi nasional yang terimbas dampak
pandemi. Keenam hal itu antara lain, melanjutkan upaya pengendalian Covid-19 melalui
serangkaian kebijakan dengan memprioritaskan aspek kesehatan. Kedua, melanjutkan
program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan. Sehingga, masyarakat
kelompok tersebut dapat bertahan dari berbagai dampak pandemi. Ketiga, memperkuat
peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui berbagai kegiatan pelatihan oleh seluruh
pemangku kepentingan terkait. Dengan begitu, Jokowi berharap kualitas SDM dalam negeri
akan mampu bersaing dengan SDM luar negeri. Keempat, melanjutkan pembangunan
infrastruktur pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah, juga meningkatkan adaptasi
teknologi. Kelima, memperkuat desentralisasi fiskal untuk meningkatkan pemerataan
kesejahteraan antardaerah sehingga anggaran APBN dapat berdampak positif di seluruh
daerah. Terakhir, melanjutkan reformasi penganggaran dengan berbasis zero based budgeting
yang bertujuan mendorong sinergi antar pusat dan daerah dalam menyusun berbagai
kebijakan penyelenggaraan utama. Fokus utamanya adalah prioritas berbasis hasil terhadap
berbagai potensi ketidakpastian.

19
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebijakan ekonomi memiliki peran yang sangat penting dalam suatu tatanan negara
sebagai penstabilan ekonomi. Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal adalah dengan
maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian, atau dengan kata lain, kebijakan fiskal
pemerintah berusaha mengarahkan jalannya perekonomian menuju keadaan yang semakin
baik untuk kedepannya. Sehingga, dengan adanya kebijakan fiskal ini pemerintah berharap
dapat mengendalikan dan mengawasi keadaan ekonomi.

3.2 Saran
Saran penulis bagi pemerintah adalah diharapkan dengan kepemilikan kebijakan
dalam mengatur kegiatan ekonomi suatu bangsa maka diharapkan pemerintah mengambil
keputusan-keputusan kebijakan yang berpijak pada cita-cita bangsa Indonesia yaitu
kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia, sehingga kebijakan yang dimiliki pemerintah
melindungi segenap perekonomian rakyat dan tidak menyalah gunakan kebijakan tersebut
utuk keuntungan individu maupun kelompok.

20
DAFTAR PUSTAKA
Harefa, Mandala dan Burhanudin Mukhamad Faturahman. Target Dan Tantangan
Perekonomian Nasional Pemerintahan Presiden Jokowi Periode Kedua. Jakarta Pusat : Pusat
Penelitian Badan Keahlian DPR RI

https://www.slideshare.net/RidhoFitrahHyzkia/perjalanan-ekonomi-indonesia-1945-2017-
127854199

https://otomotif.kompas.com/read/2019/09/12/065200015/maleo-calon-mobil-nasional-
garapan-bj-habibie

https://nasional.republika.co.id/berita/njgauv/kondisi-indonesia-tak-memungkinkan-proton-
jadi-mobnas

https://igj.or.id/tantangan-fiskal-era-jokowi-jk/

https://www.merdeka.com/uang/ini-4-prioritas-kebijakan-fiskal-pemerintah-jokowi-di-
2021.html

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210817100321-537-681390/jokowi-ungkap-6-
fokus-kebijakan-fiskal-tahun-2022

https://ideas.or.id/2016/05/25/fakta-pengelolaan-awal-apbn-dari-orde-lama-ke-orde-baru/

https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/4079/3599

http://wartasejarah.blogspot.com/2014/12/kebijakan-ekonomi-orde-baru.html

21

Anda mungkin juga menyukai