Anda di halaman 1dari 17

“ANALISIS STRUKTUR MODAL” TUGAS

MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN

Oleh:
Aulia Rohma (150810301009)
Muhammad Baihaki Iksan (150810301083)
Ferilatul Masruroh (150810301087)
Frenda Setianing Pragusti (150810301065)

Permana Ardian Syah (150810301112)


Eristha Putri Wahyuni (150810301147)
Dinda Widayanti Mochtar (150810301149)
Rosalina (150810301158)

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Jember

2016
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Struktur Modal
2.2 Teori Struktur Modal
2.3 Ketidaksempurnaan Pasar dan Isu Insentif
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Struktur modal yang efektif dan efisien mampu menciptakan perusahaan dengan
keuangan yang kuat dan stabil. Agar dikakatan efisien, perusahaan harus mempunyai struktur
modal yang optimal ayaitu bisa meminimalkan biaya penggunaan modal keseluruhan.
Bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di bidang pasar modal dan
tersedianya dana dari para calon investor yang berminat menginvestasikan modalnya, struktur
modal telah menjadi salah satu faktor pertimbangan yang cukup penting. Hal ini terkait dengan
resiko dan pendapatan yang akan diterima. Dalam melihat struktur modal perusahaan, investor
tidak dapat dipisahkan dari informasi perusahaan berupa laporan keuangan yang dikeluarkan
setiap tahunnya. Para investor akan melakukan berbagai analisis terkait dengan keputusan untuk
menanamkan modalnya pada perusahaan melalui informasi yang salah satunya berasal dari
laporan keuangan perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian struktur modal?

2. Bagaimana struktur modal yang baik?

3. Apa saja teori-teori struktur modal?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui tentang struktur modal yang efisien.

2. Agar lebih memahami lagi mengenai struktur modal.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Struktur Modal

Struktur modal (capital structur) adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka
pajang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal
sendiri. Penentuan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal
saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan perusahaan yang berasal dari modal
sendiri masih mengalami kekurangan (defisit) maka perlu dipertimbangkan pendanaan
perusahaan yang berasal dari luar, yaitu hutang (debtfinancing). Namun dalam pemenuhan
kebutuhan dana, peusahaan harus mencari alternatif-alternatif pendanaan yang efisien.
Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal.
Struktur modal yang optimal dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan
biaya pengguna modal keseluruhan atau biaya modal rata-rata (ks), sehingga akan
memaksimalkan nilai perusahaan. Struktur modal optimal terlihat pada gambar berikut :

Struktur modal yang optimal terjadi pada leverage keuangan sebesar x, dimana k s (tingkat
kapitalisasi perusahaan atau biaya modal keseluruhan) minimal yang akan memberikan harga
saham tinggi. Leverage keuangan merupakan pengguna dana dimana dalam pengguna dana
tersebut oerusahaan harus mengekuarkan beban tetap. Leverage keuangan ini merupakan
perimbangan pengguna hutang dengan modal sendiri dalam perusahaan.

Faktor yang mempengaruhi struktur modal suatu perusahaan yaitu :

Bentuk atau karakteristik bisnis yang dijalankan


Ruang lingkup aktivitas operasi bisnis yang dijalankan
Karakteristik manajemen yang diterapkan diorganisasi bisnis tersebut
Karakteristik, kebijakan dan keinginan pemilik

Kondisi micro dan macro economy yang berlaku di dalam negeri dan luar negeri
yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan perusahaan

2.2 Teori Struktur Modal

Dalam teori struktur modal diasumsikan bahwa perubahan struktur modal berasal dari
penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham biasa atau penerbitan saham baru. Selanjutnya
perlu dikaji bagaimana pengaruh perubahan struktur modal tersebut terhadap suatu nilai
perusahaan dan apakah ada pengaruh struktur modal terhadap harga saham perusahaan sebagai
pencerminan nilai perusahaan. Apabila ada pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan,
pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana struktur modal yang optimal bagi perusahaan. Dalam
analisis struktur modal ini digunakan beberapa asumsi, yaitu:

1. tidak ada pajak penghasilan


2. tidak ada pertumbuhan laba
3. pembayaran seluruh laba kepada pemegang saham yang berupa dividen
4. perubahan struktur modal terjadi dengan menerbitkan obligasi dan membeli kembali
saham biasa atau dengan menerbitkan saham biasa dan menarik obligasi

Adapun dalam pembahasan selanjutnya, untuk menghitung besarnya biaya modal dalam
kaitannya dengan struktur modal dan nilai perusahaan digunakan beberapa rumus sebagai berikut
(perlu diingat kembali bahwa biaya modal sama dengan return yang diharapkan oleh investor,
sehingga menghitung biaya modal sebenarnya sama dengan menghitung return modalnya):

1. Rumus pertama untuk menghitung return obligasi:

I
Ki B
Dimana : Ki = Return dari obligasi

I = Bunga hutang obligasi tahunan

B = Nilai pasar oblgasi yang beredar

2. Rumus kedua untuk menghitung return saham biasa

E
Ke S

Dimana : Ke = Return dari saham biasa

E = Laba untuk pemegang saham biasa

S = Nilai pasar saham biasa yang beredar

3. Rumus ketiga untuk menghitung return bersih perusahaan

O
Ko
V

Dimana : Ko = Return bersih perusahaan (sebesar biaya modal rata-rata minimal)

O = Laba operasi bersih

V = Total nilai perusahaan

Perlu diketahui bahwa nilai perusahaan sama dengan nilai pasar obligasi ditambah nilai
pasar saham atau V = B + S, sedangkan ko merupakan tingkat kapitalisasi total perusahaan dan
diartikan sebagai rata-rata tertimbang biaya modal. Oleh karena itu k o dapat dirumuskan sebagai
berikut:

Ko=Ki [BB+S]+Ke[SB+S]
Apakah terjadi perubahan ki, ke, dan ko apabila leverage keuangan mengalami perubahan
dapat dianalisis dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan laba operasi bersih,pendekatan
tradisional dan pendekatan Modigliani – Miller yang akan dibahas pada sub bab berikut.

2.2.1 Pendekatan Laba Bersih Operasi

Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand tahun 1952. Pendekatan
ini menggunakan asumsi bahwa investor memilki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan
hutang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang bersifat
konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Dengan demikian :
1. Diasumsikan bahwa biaya hutang konstan
2. Penggunaan hutang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai
peningkatan risiko perusahaan. Artinya apabila perusahaan menggunakan hutang yang
lebih besar, maka pemilik saham akan memeperoleh bagian laba yang semakin kecil.
Oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan
meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-
rata tertimbang akan berubah. Untuk melihat efek laba operasi bersih terhadap nilai
perusahaan.
Contoh :
Suatu perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp 8.000.000,- dengan tingkat bunga sebesar 15
%. Laba operasi bersih Rp 8.000.000,- dengan tingkat kapitalisasi total sebesar 20 %, dan saham
yang beredar sejumlah 10.000 lembar. Maka dari data di atas nilai perusahaan adalah :
Keterangan Nilai
Laba Operasi Bersih (O) Rp 8.000.000,-
Tingkat Kapitalisasi Total (k0) 20 %
Nilai Total Perusahaan (V) Rp 40.000.000,-
Nilai Pasar Hutang (B) Rp 8.000.000,-
Nilai Pasar Saham (S) Rp 32.000.000,-

Laba untuk pemegang saham biasa (E) = O – I


= 8.000.000 – (15% X 8.000.000)
= 8.000.000 – 1.200.000
= Rp 6.800.000,-
Sehingga tingkat return modal sendiri yang disyaratkan ke adalah :
E 6.800 .000 21,25
Ke
S 32.000.000

32.000 .000
Harga saham per lembar Rp .3.200,
10.000

Misalnya perusahaan mengganti sebagian modal sahamnya dengan modal hutang sebesar Rp
16.000.000,- sehingga diperlukan saham sebanyak = 16.0000.000 : 3.200 = 5.000 lembar saham
untuk mendapatkan hutang tersebut. Dengan demikian jumlah saham beredarsekarang berkurang
menjadi 5.000 lembar (10.000 lbr – 5.000 lbr), sehingga nilai perusahaan menjadi :

Keterangan Nilai
Laba Operasi Bersih (O) Rp 8.000.000,-
Tingkat Kapitalisasi Total (k0) 20 %
Nilai Total Perusahaan (V) Rp 40.000.000,-
Nilai Pasar Hutang (B) Rp 24.000.000,-
Nilai Pasar Saham (S) Rp 16.000.000,-

Laba tersedia bagi pemegang saham (E) =O–I


= 8.000.000 – (15% X (8.000.000 + 16.000.000))
= 8.000.000 – 3.600.000
= Rp 4.400.000,-
Sedangkan untuk return modal sendiri (ke) adalah :
E 4.400 .000 27,5
Ke
S 16.000.000

16.000 .000
Harga saham per lembar Rp .3.200,
5.000

Kesimpulan : Dari contoh diatas diketahui bahwa, peningkatan laverage ternyata


mempengaruhi tingkat keuntungan (return) yang disyaratkan. Tingkat return
yang disyaratkan (ke) meningkat secara linier dengan dengan laverage keuangan
(financial laverage) yang diukur dengan perimbanga antara hutang (B) dengan
saham (S). Sedangkan nilai total perusahaan (V) dan harga saham per lembarv
tidak berubah walaupun laverage keuangannya berubah.
2.2.2 Pendekatan Tradisional

Pada pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modal yang optimal
dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (hutang dibagi
modal sendiri atau B/S). Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut:

Contoh:

Perusahaan “ABC” pada awal mula berdirinya menggunakan modal hutang obligasi sebesar Rp
45.000.000,- dengan bunga 5%, dan mendapatkan laba operasi bersih sebesar Rp 15.000.000,-
per tahun. Keuntungan yang disyaratkan dari pemilik sebesar 11% per tahun. Jumlah saham yang
beredar 12.750 lembar. Dari data tersebut maka nilai perusahaan akan nampak sebagai berikut:

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O) Rp 15.000.000
Bunga hutang 5% (I) Rp 2.250.000
Laba tersedia untuk pemegang saham Rp 12.750.000
(E)
Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,11
Nilai pasar saham (S) Rp 115.909.090*
Nilai pasar hutang (B) Rp 45.000.000
Nilai total perusahaan (V) Rp 160.909.090
*Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (kn) = 15.000.000.000/160.909.090 = 9,3%

Harga per lembar saham = Rp 115.909.090/12.750 = Rp 9.090,- (dibulatkan)

Misalnya perusahaan akan mengganti seluruh modal hutang obligasi dengan saham.
Karena nilai obligasi sebesar Rp 45.000.000,- dengan harga saham per lembar sebesar Rp 9.090,-
maka diperlukan sebanyak Rp 45.000.000/9.090 = Rp 4.950 lembar saham. Sekarang, seluruh
modal perusahaan merupakan modal sendiri sehingga tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh
investor (modal sendiri) menjadi lebih rendah, misalnya dari 11% menjadi sebesar 10%. Dengan
demikian nilai perusahaan dan biaya modalnya sebagai berikut:

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O) Rp 15.000.000
Bunga hutang 5% (I) 0
Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp 15.000.000
Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,10
Nilai pasar saham (S) Rp 150.000.000
Nilai pasar hutang (B) 0
Nilai total perusahaan (V) Rp 150.000.000

Tingkat kapitalisasi keseluruhan atau (ko) = Rp 15.000.000 / 150.000.000 = 10%, sedangkan


harga saham menjadi 150.000.000 / (12.750 + 4.950) = Rp 8.474,58 per lembar. Sehingga harga
saham berubah (turun) dari Rp 9.090,- menjadi Rp 8.474,58,- akibat perubahan struktur modal.

Misalkan sekarang ini perusahaan mengganti sahamnya dengan hutang sebesar Rp


45.000.000,- dari keadaan semula, sehingga jumlah hutang menjadi Rp 45.000.000 + Rp
45.000.000 = Rp 90.000.000. Dengan demikian jumlah sahamnya akan berkurang sejumlah
4.950 lembar lagi. Jadi jumlah sahamnya tinggal 7.800 lembar (12.750 lembar – 4.950 lembar).
Karena sekarang proporsi modal asing menjadi lebih besar (dengan kata lain risiko finansialnya
menjadi lebih besar), maka mungkin tingkat kapitalisasi modal sendiri menjadi lebih besar,
katakanlah menjadi 14%. Dengan kata lain para pemegang saham mensyaratkan tingkat
keutungan yang lebih tinggi karena menganggap risiko perusahaan meningkat. Tetapi karena
risiko yang makin tinggi, maka hutang (obligasi) harus membayar bunga lebih besar, katakanlah
menjadi 6%. Dari data tersebut di atas, penilaian terhadap perusahaan akan menjadi:

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O) Rp 15.000.000
Bunga hutang 6% (I) Rp 5.400.000
Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp 9.600.000
Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,14
Nilai pasar saham (S) Rp 68.571.429*
Nilai pasar hutang (B) Rp 90.000.000
Nilai total perusahaan (V) Rp 158.571.429
*Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan adalah = O/V = 15.000.000 / 158.571.429 = 9,5%.

Berarti mengalami kenaikan dibandingkan dengan struktur modal semula sebesar 9,3%.
Sedangkan harga pasar sahamnya menjadi = Rp 68.571.429/7.800 = Rp 8.791,- per lembar, yang
berarti lebih rendah dari harga saham semula sebesar Rp 9.090,-.
Kesimpulan apa yang dapat diambil dari uraian di atas? Dengan menggunakan
pendekatan tradisional, bisa diperoleh struktur modal yang optimal yaitu struktur modal yang
memberikan biaya modal keseluruhan yang terendah dan memberikan harga saham yang
tertinggi. Hal ini disebabkan karena berubahnya tingkat kapitalisasi perusahaan, baik untuk
modal sendiri maupun pinjaman setelah perusahaan merubah struktur modalnya (leverage)
melewati batas tertentu. Perubahan tingkat kapitalisasi ini disebabkan karena adanya risiko yang
berubah.

2.2.3 Pendekatan Modigliani dan Miller

Franco Modigliani dan MH. Miller (disingkat MM) menentang pendekatan tradisional
dengan menawarkan pembenaran perilaku tingkat kapitalisasi perusahaan yang konstan. MM
berpendapat bahwa risiko total bagi seluruh pemegang saham tidak berubah walaupun struktur
modal perusahaaan mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pembagian
struktur modal atara hutang dan modal sendiri selalu tergantung dari keuntungan dan risiko,
sehingga nilai perusahaan tidak berubah walaupun struktur modalnya berubah. Asumsi-asumsi
yang digunakan MM adalah:

1. Pasar modal adalah sempurna dan investor bertindak rasional


2. Nilai yang diharapkan dari distribusi probabilitas semua investor sama
3. Perusahaan mempunyai risiko usaha (business risk) yang sama
4. Tidak ada pajak

Pendapat MM didukung oleh adanya proses arbitrase, yaitu proses mendapatkan dua
aktiva yang pada dasarnya sama dan membelinya dengan harga yag termurah serta menjual lagi
dengan harga yag lebih tinggi. Untuk memperjelas proses arbitrase akan diberikan contoh
sebagai berikut:

Contoh:

Ada dua perusahaan yag serupa yaitu Perusahaan A yang modal seluruhnya merupakan modal
sendiri, dengan keuntungan yag disyaratkan sebesar 15%. Perusahaan kedua adalah perusahaan
B yang sebagian modalnya berupa obligasi sebesar Rp 240.000,- dengan bunga 12% dan
keuntungan yang disyaratkan pemegang saham sebesar 16%. Maka penilaian kedua perusahaan
adalah sebagai berikut:

Keterangan Perusahaan A (Rp) Perusahaan B (Rp)


Laba operasi bersih (O) 80.000.000 80.000.000
Bunga hutang obligasi (I) 0 28.800.000
Laba yang tersedia untuk pemegang saham
80.000.000 51.200.000
(E)
Keuntungan yang disyaratkan (Ke) 0,15 0,16
Nilai pasar saham (S) 533.333.333* 320.000.000
Nilai pasar hutang (B) 0 240.000.000
Nilai total perusahaan (V) 533.333.333 560.000.000
*) Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (Ko) :

Perusahaan A = Rp 80.000.000 / Rp 533.333.333 = 15%


Perusahaan B = Rp 80.000.000 / Rp 560.000.000 = 14,3%

Menurut MM, situasi diatas tidak dapat berlangsung terus karena akan terjadi proses
arbitrase yang menjadikan kedua nilai perusahaan sama. Perusahaan B tidak akan memiliki nilai
yang lebih tinggi karena perusahaan sama. Perusahaan B tidak akan memiliki nilai yang lebih
tinggi karena perusahaan tersebut memiliki struktur modal yang berbeda dengan perusahaan A.
Menurut MM investor dalam perusahaan B akan mampu memperoleh keuntungan yang sama
tanpa peningkatan risiko keuangan dengan cara menginvestasikan danaya pada perusahaan A.
Transaksi arbitrase ini terus menerus berlangsung sampai membuat nilai total kedua perusahaan
sama. Misalnya seorang investor memiliki sejumlah 5% saham di perusahaan B, maka langkah-
langkah yang dilakukan investor tersebut adalah sebgai berikut:

1. Menjual saham perusahaan B untuk mendapatkan dana sebesar Rp 16.000.000 yaitu dari
5% x Rp 320.000.000,-
2. Meminjam dana Rp 12.000.000,- yaitu 5% x Rp 240.000.000 dengan bunga 12%,
sehingga total dana = Rp 16.000.000 + Rp 12.000.000 = Rp 28.000.000,-
3. Membeli 5% saham perusahaan A seharga 26.666.666,65 (dibulatkan 26.666.667) yaitu
dari 5% x Rp 533.333.333
Sebelum transaksi diatas dilakukan, investor tersebut mengharapkan keuntungan
investasinya dari perusahaan B sebesar 16% dari nilai investasi Rp 16.000.000 yaitu sebesar =
16% x Rp 16.000.000 = Rp 2.560.000,- Sedangkan keuntungan yang ia harapkan dari perusahaan
A sebesar 15% dari investasi sebesar Rp 26.666.667,- yaitu sama dengan 15% x Rp 26.666.667 =
Rp 4.000.000,- Dengan keuntungan ini investor harus mengurangi sebagian keuntungannya
untuk membayar bunga pinjaman, sehingga keuntungan bersihnya adalah:

Keuntungan investasi dari perusahaan A = Rp 4.000.000


Bunga yang harus dibayar (12% x Rp 12.000.000) = Rp 1.440.000
Keuntungan bersih = Rp 2.560.000

Keuntungan bersih sebesar Rp 2.560.000, sama dengan keuntungan investasi pada perusahaan B.
Tetapi, pengeluaran kas untuk investasi perusahaan A hanya sebesar Rp 14.666.667 (dari Rp
26.666.667 – Rp 12.000.000) dibandingkan pengeluaran kas untuk investasi pada perusahaan B
sebesar Rp 16.000.000,-. Karena investor dapat memperoleh keuntungan yang sama dengan
menggunakan jumlah investasi yag lebih kecil dan risiko finansialnya juga sama, maka investor
akan melakukan lagkah arbitrase tersebut. Dan apabila karena suatu alasan kemudian harga
saham perusahaan A lebih tinggi dari perusahaan B, maka proses abitrase akan berlangsung juga,
namun dalam arah yang sebaliknya.

2.3 Ketidaksempurnaan Pasar dan Isu Insentif

Dengan menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah sempurna, maka proses
penyeimbangan pasar akan menjamin kebenaran (validity) pendapat MM, yaitu bahwa biaya
modal dan penilaian keseluruhan perusahaan tidak tergantung pada struktur modalnya. Untuk
memperdebatkan hal ini haruslah digunakan dasar bahwa pasar modal sebenarnya adalah tidak
sempurna, yang menyebabkan proses penyeimbangan harga pasar tidak tergantung pada
keuntungan yang disyaratkan dan resiko sistematis. Dalam keadaan semacam ini “leverage”
mungkin mempunyai pengaruh atas nilai keseluruhan perusahaan dan modalnya. Meskipun
demikian, ketidaksempurnaan ini tidak hanya cukup besar (materiil) tetapi juga harus searah.
Beberapa argumen-argumen utama yang menentang proses arbitrase Modigliani dan Miller :

1. Adanya biaya kebangkrutan

Apabila ada kemungkinan untuk bangkrut, dan apabila biaya kebangkrutan tersebut
cukup besar, maka perusahaan yang menggunakan hutang ( leverage) mungkin menjadi kurang
menarik bagi para investor dibandingkan dengan perusahaan tanpa hutang. Dalam pasar yang
sempurna biaya kebangkrutan dianggap sama dengan nol. Apabila perusahaan bangkrut, maka
pada hakikatnya aset perusahaan dianggap dapat dijual pada harga ekonomisnya, dan tidak ada
biaya likuiditas. Kemudian penghasilan yang diperoleh dari penjualan kekayaan ini akan
dibagikan kepada kreditur dan pemilik, sesuai dengan prioritas dan proporsinya. Dalam kejadian
kebangkrutan, para pemilik saham secara keseluruhan menerima bagian kurang dari yang
seharusnya apabila tidak ada biaya kebangkrutan. Karena perusahaan yang memiliki hutang
mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kebangkrutan dari pada perusahaan
yang tidak memiliki hutang, maka perusahaan tersebut menjadi kurang menarik., apabila hak-
haknya sama. Kemungkina kebangkrutan biasanya bukan merupakan fungsi linier dari
perbandingan hutang dengan modal sendiri (debt to equity ratio) tetapi akan meningkat dengan
tingkatan yang semakin tinggi setelah mencapai tingkat leverage tertentu. Sebagai hasilnya,
biaya kebangkrutan yang diharapkan akan meningkat semakin tinggi dan mempunyai efek
negatif yang sama terhadap nilai perusahaan dan biaya modalnya. Dengan kata lain, biaya modal
sendiri meningkat dengan semakin cepat.

2. Adanya biaya agensi

Biaya agensi adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk
meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian perusahaan dengan
kreditur dan pemegang saham. Biaya agensi memiliki hunbungan cukup dekat dengan biaya
kebangkrutan yaitu berhubungan dengan pengaruh yang dimiliki dengan struktur dan nilai
modal. Manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Untuk
dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan
yang memadai.pengawasan dapat dilakukan dengan cara pengikatan agen, pemeriksaan laporan
keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat di ambil oleh manajemen. Kegiatan
manajemen ini tentunya membutuhkan biaya. Dalam teori agensi adalah siapapun yang
menimbulkan biaya pengawasan, maka biaya yang timbul merupakan tanggungan pemegang
saham. Apabila kita memegang obligasi maka dalam mengantisipasi biaya pengawasan, maka
kita akan membebankan bunga yang lebih tinggi. Jumlah pengawas yang diminta oleh pemegang
obligasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah obligasi yang beredar.

3. Hutang dan insentif bagi efisiensi manajemen

Dengan adanya tingkat hutang yang tinggi, maka manajemen berada pada posisi yang
terdesak karena harus memastikan arus kas yang dihasilkan mencukupi pembayaran hutang.
Oleh karena itu, manajemen memiliki insentif untuk menggunakan dana yang ada bagi investasi
yang menguntungkan dan berusaha menghindari timbulnya beban yang akan menghabiskan
dana. Caranya adalah perusahaan yang menggunakan leverage akan lebih efisien karena
manajemen berusaha menghilangkan biaya-biaya yang tidak perlu. Sedangkan perusahaan
dengan sedikit pinjaman memiliki kecenderungan untuk tidak terlalu mengawasi pemakai biaya-
biaya yang sebenarnya dapat di kurangi. Kekhawatiran karena tidak mampu membayar hutung
merupakan insentif bagi manajemen dalam hal efisiensi.

4. Batasan – batasan institusional

Batasan – batasan yang di miliki oleh lembaga – lembaga yang membeli saham sering
membatasi proses arbitrase. Misalnya lembag pensiun, perusahaan asuransi dan lembaga
pendidikan, yang memiliki saham, tidaklah mudah untuk membuat hutang. Lembaga – lembaga
tersebut harus menjaga hutang dalam tingkatan yang tetap “aman’’. Di samping itu mereka juga
tidak boleh begitu saja membeli saham perusahaan – perusahaan yang mempunyai tingkat
leverage yang tinggi. Dengan demikian perusahaan – perusahaan dengan tingkat leverage yang
tinggi akan “kehilangan’’ pembeli saham (lembaga – lembaga tersebut)

5. Biaya – biaya transaksi

Biaya – biaya transaksi cenderung membatasi proses arbitrase. Arbitrase akan terjadi jika
biaya transaksi memcapai jumlah tertentu, di luar itu arbitrase tidak akan memberikan
keuntangan lagi. Akibatnya, perusahaan yang menggunakan leverage akan memiliki nilai total
yang sedikit lebih tinggi atau lebih rendah dari yang diperkirakan.
6. Pengaruh pajak terhadap perusahaan

Apabila dimasukkan unsur pajak, maka kita harus menilai kembali pendapat bahwa
perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena
pembayaran bunga atas hutang bisa dipakai untuk mengurangi pajak (tax deductible). Dengan
demikian hal ini akan menurunkan rata – rata tertimbang dari biaya modal setelah pajak.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Struktur modal (capital structur) adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka
pajang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal
sendiri. Struktur modal yang baik adalah struktur modal yang efektif dan efisien. Terdapat 3
teori untuk yang membahas mengenai struktur modal yaitu Pendekatan laba operasi bersih,
Pendekatan tradisional, dan pendekatan Modigliani dan Miller.

DAFTAR PUSTAKA

Harjito, Agus dan Martono. 2011. Manajemen Keuangan edisi 2. Yogyakarta:


Ekonisia.

Anda mungkin juga menyukai