Anda di halaman 1dari 10

Memahami dan Menjelaskan Tentang Dokter Muslim

1.1 Definisi
Dokter muslim adalah dokter yang beragama islam yang diharapkan selalu
memegang teguh tujuan dan pencapaian hanya karena Allah SWT. Dokter muslim
dicapai dengan perilaku profesionalisme dan juga nilai-nilai keislaman, dokter
muslim diarahkan pada isu berkaitan dengan kepercayaannya, (Abu Sa’ud, 2014).
Menurut Kasule, dokter muslim harus mengikuti kaidah Islam, yakni menerapkan
nilai-nilai takwa dan memiliki etika profesional (adab) dan ahlak, dan memiliki
tanggung jawab yang besar

1.2 Ciri ciri


Banyak rumusan tentang dokter muslim telah dikemukakan oleh berbagai kalangan.
Ilmu kedokteran dapat dikatakan islami dengan Sembilan karakteristik, yaitu :
1. Dokter harus mengobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan Al-Quran
2. Tidak menggunakan bahan haram atau dicampur dengan unsur haram
3. Dalam pengobatan tidak boleh berakibat mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah
tidak ada alternatif lain
4. Pengobatannya tidak berbau tahayul, khurafat atau bid’ah
5. Hanya dilakukan oleh tenaga medis yang menguasai di bidang medis
6. Dokter memiliki sifat-sifat terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya, takabur, senang
merendahkan orang lain, serta sikap hina lainnya
7. Harus berpenampilan rapih dan bersih
8. Lembaga-lembaga pelayanan kesehatan musti bersifat simpatik
9. Menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh atau lambang-lambang non-Islamis
10. Percaya akan adanya kematian yang tidak terelakan seperti banyak ditegaskan
dalam Al-Quran dan hadits Nabi
11. Menghormati pasien, diantaranya, berbicara dengan baik kepada pasien tidak
membocorkan rahasia dan perasaan pasien, dan tidak melakukan pelecehan seksual
12. Pasrah kepada Allah sebagai zat penyembuh
13. Beriman dan Bertaqwa
14. Penyayang, Penghibur, Murah Senyum
15. Sabar, Rendah Hati, Toleran
16. Tenang sekalipun dalam keadaan kritis
17. Peduli terhadap Pasien
18. Memandang semua pasien sama
19. Pemberi Nasehat

2. Memahami dan Menjelaskan Kode Etik Kedokteran


2.1 Definisi
Etika kedokteran adalah salah satu cabang dari etika yang berhubungan dengan
masalah moral yang timbul dalam praktek pengobatan. 4 Etika kedokteran di
Indonesia diatur oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) berupa
KODEKI. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan kumpulan norma
untuk menuntun dokter di Indonesia selaku kelompok profesi berpraktik di
masyarakat.
2.2 Kaidah Dasar
1. Respect for Autonomy (menghormati autonomi pasien)
Otonomi secara literatur adalah aturan yang mengatur diri sendiri secara tenang dan
tidak tergesa-gesa. Dasar-dasar respect for autonomy terkait erat dengan dasar
mengenai rasa hormat terhadap martabat manusia dengan segala karakteristik yang
dimilikinya karena ia adalah seorang manusia yang memiliki nilai dan berhak untuk
meminta. Otonomi adalah aturan personal yang bebas dari campur tangan pihak lain.
Beuchamp dan Childress merumuskan hal ini sebagai kata “tindakan otonomi tidak
hanya ditujukan untuk mengontrol pembatasan oleh orang lain”.
2. Beneficence (berbuat baik)
Menurut teori Beuchamp dan Childress, prinsip atau kaidah ini tidak hanya menuntut
manusia memperlakukan sesamanya sebagai makhluk yang otonom dan tidak
menyakiti mereka, tetapi juga dituntut agar manusia tersebut dapat menilai kebaikan
orang lain selanjutnya. Tindakan tersebut diatur dalam dasardasar beneficence.
Bagaimanapun seperti yang telah disebutkan, dasar-dasar dari beneficence menuntut
lebih banyak agent dibanding dengan dasar-dasar nonmaleficence. Beuchamp dan
Childress menulis: “dalam bentuk yang umum, dasar-dasar beneficence mempunyai
tujuan untuk membantu orang lain melebihi kepentingan dan minat mereka”. Dasar
dari beneficence mengandung dua elemen, yaitu keharusan secara aktif untuk
kebaikan berikutnya, dan tuntutan untuk melihat berapa banyak aksi kebaikan
berikutnya dan berapa banyak kekerasan yang terlibat.
3. Non-maleficence (tidak merugikan orang lain) Tujuan prinsip ini adalah untuk
melindungi seseorang yang tidak mampu (cacat) atau orang yang non-otonomi.
Seperti yang telah dijelaskan, orang ini juga dilindungi oleh prinsip berbuat baik
(beneficence). Jawaban etik yang benar adalah dengan melihat kebaikan lebih lanjut
dari diri seseorang, tidak diperbolehkan untuk menyakiti orang lain. Prinsip ini
mengemukakan bahwa keharusan untuk tidak melukai orang lain lebih kuat
dibandingkan keharusan untuk berbuat baik.
4. Justice (keadilan)
Kesamaan merupakan inti dari justice, tetapi Aristoteles mengemukakan bahwa
justice lebih daripada kesamaan, karena seseorang dapat merasa tidak diperlakukan
secara semestinya walaupun telah diperlakukan sama satu dengan yang lain.
2.3 Etika Klinis
Dalam dunia kedokteran, fondasi moral hubungan dokter pasien adalah inti etika
kedokteran. Pembahasan dalam etika kedokteran lebih dititikberatkan pada fondasi
moral yang mengatur hubungan dokter pasien. Konsep hubungan ini akan lebih
mempertajam keputusan-keputusan klinis yang akan dibuat oleh dokter dalam
berbagai situasi, sehingga akan tersusun standar perilaku professional.
Etika klinis merupakan suatu metodologi dalam proses pengambilan keputusan klinis
yang etik.
Beberapa contoh metodologi tersebut adalah:
• Casuistry: metodologi pengambilan keputusan etik adalah menganalogikan situasi
dan kondisi suatu kasus terhadap kasus terdahulu yang sudah ada pemecahan
masalahnya secara konsensus. Kelemahan metode ini adalah bahwa tidak ada
konsensus yang abadi.
• Moral Pluralism: dikembangkan oleh Jonsen, Siegler and Winslade yang membagi 4
jenis kategori yang memerlukan analisis moral ; Medical Indication,Patient
Preferrence,Quality of Life,Contextual Features
Langkah yang dilakukan adalah mengkontekstualitas-kan masalah-masalah yang ada
ke dalam masing-masing kategori. Untuk selanjutnya dilakukan pertimbangan
keputusan apa yang akan diambil bila ada dua kategori yang berseberangan. Sebagai
catatan bahwa 4 kategori yang ada hanya merupakan alat bantu untuk meninjau ulang
kasus dan bukan ditujukan sebagai prioritas etik. Keputusan tetap harus diambil dari
pertimbangan ke empat kategori tersebut
2.4 Perbedaan Kode Etik Kedokteran dan Hukum
Etika kedokteran berkaitan erat dengan hukum, tetapi hukum dan etika tidaklah
identik. Etika dan hukum kedokteran saling melengkapi dan setiap kesalahan tenaga
kesehatan yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan akan dikenakan
sanksi, sehingga tidak dapat disangkal bahwa etika kedokteran merupakan sumber
hukum kedokteran.
Hukum kedokteran adalah suatu disiplin hukum, suatu bidang hukum yang dibatasi
subjeknya, yang mengatur hubungan antara pasien dan staf medis menurut norma
hukum serta kegiatan medis pada umumnya.
Hubungan antara etika dan hukum adalah kompleks. Nilai-nilai etika dan prinsip-
prinsip hukum biasanya terkait erat, tanggung jawab etis biasanya melebihi kewajiban
hukum.6 Etika dan hukum kedokteran saling melengkapi dan setiap kesalahan tenaga
kesehatan yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan akan dikenakan
sanksi, sehingga tidak dapat disangkal bahwa etika kedokteran merupakan sumber
hukum kedokteran.
Etika kedokteran berkaitan erat dengan hukum, tetapi hukum dan etika tidaklah
identik. Sering kali, etika memberikan standar perilaku yang lebih tinggi daripada
hukum. Selain itu, undang-undang berbeda dari satu negara ke negara lain, sementara
etika kedokteran berlaku terlepas dari batas-batas negara. Untuk menanggapi harapan
pasien, profesional kesehatan harus mengetahui dan mempraktikkan nilai-nilai inti
kedokteran dan terutama tentang pasien, kemampuan, dan otonomi dalam pekerjaan
mereka. Nilai-nilai ini, bersama dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia,
merupakan dasar dari etika kedokteran
3. Memahami dan Menjelaskan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh dokter
3.1 Definisi
Surat keterangan dokter dapat didefinisikan sebagai surat keterangan yang diberikan
oleh seorang dokter secara profesional mengenai keadaan tertentu yang diketahuinya
dan dapat dibuktikan kebenarannya.
3.2 Jenis jenis
Surat keterangan dokter yang biasa diberikan oleh dokter antara lain adalah:
1. Surat keterangan sehat (untuk berbagai keperluan seperti memperoleh SIM,
mengajukan klaim asuransi, menikah, melamar pekerjaan, dan lain-lain)
2. Surat keterangan sakit/istirahat sakit
3. Surat keterangan kelahiran
4. Surat keterangan kematian
5. Surat keterangan kematian untuk asuransi
6. Surat keterangan cacat
7. Surat keterangan ahli yang berkaitan dengan pemeriksaan forensik (Visum et
Repertum); mengenai pembuatan Visum et Repertum dibahas dalam bab tersendiri.
8. Laporan mengenai penyakit menular 
9. Kuitansi

3.3 Sanksi
Proses Penyidikan Tindak Pidana Pemalsuan tanda tangan pada surat sebaimana
dimaksud dalam pasal 263 Ayat (1) KUHPidana dan Pasal 263 Ayat (2) KUHPidana
mengenai Pemalsuan Surat yaitu : 1
Pasal 263
1. Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu,
diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan
surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat
yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 267 ayat:
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang
ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam
rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling
lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Pasal 268 ayat:
(1) Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang
ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk
menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama
memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu
benar dan tidak dipalsu.
4. Memahami dan Menjelaskan Profesionalisme Dokter
4.1 Hubungan Dokter dan Pasien
Hubungan dokter dengan pasien (HDP) merupakan hubungan antara
profesional (dokter) dengan klien (pasien). Hubungan tersebut melandasi
semua aspek praktek kedokteran baik dalam usaha menetapkan diagnosis
maupun pengelolaan pasien.
Banyak faktor yang mempengaruhi HDP antara lain: sosiobudaya, latar
belakang pendidikan baik dokter maupun pasien, pengalaman medis
terdahulu, usia dokter dan sikapnya terhadap pasien. Dalam melakukan
komunikasi dengan pasien, kita harus mampu menunjukkan penghargaan
pada pasien ( respect ), rasa percaya diri, dan empati. Komunikasi pasien
dengan dokter merupakan hubungan antar manusia yang mempunyai sifat
umum dan khusus. Sifat khusus tersebut antara lain: dokter merupakan profesi
penyembuhan dan menjadi kesediaan pasien untuk menyerahkan sebagian
rahasia pribadinya Kepada dokter.

Kewajiban dokter terhadap pasien diatur dalam kode etik kedokteran yaitu:
- pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
-Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
-Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
-Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya

4.2 Hubungan Dokter dengan Teman Sejawat


Pasal 18: Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan. Menghormati orang tua TS, memperhatikan keluarga TS
Pasal 19: Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis. Menghindari
perselisihan tentang perawatan pasien
Pasal 179 KUHP
4.3 Sanksi Atas Pelanggaran Seorang Dokter
Dalam ORTALA MKEK, pemberian sanksi terhadap dokter terhukum/pelanggar etik
dapat berupa penasihatan, peringatan lisan, peringatan tertulis, pembinaan perilaku,
pendidikan ulang (re-schooling), hingga pemecatan keanggotaan IDI, baik secara
sementara atau pun permanen.
Pada umumnya sanksi etik tersebut bersifat pembinaan, kecuali pemecatan
keanggotaan yang bersifat permanen atau pencabutan keanggotaan seumur hidup.
Mekanisme pemberian sanksi oleh MKEK diawali dari masuknya pengaduan yang
sah, dilanjutkan dengan proses penelaahan kasus yang diadukan.
Pada akhir penelaahan, Ketua MKEK menetapkan kelayakan kasus untuk
disidangkan oleh majelis pemeriksa yang akan melakukan sidang kemahkamahan
hingga tercapai keputusan MKEK. Bila terbukti terdapat bukti pelanggaran etik,
maka majelis akan menetapkan sanksi sesuai dengan berat ringannya kesalahan
dokter teradu. Pelaksanaan sangsi dilakukan oleh Divisi Pembinaan Etika Profesi
MKEK untuk dan atas nama pengurus IDI setingkat.
Dalam bidang hukum pidana penuntutan dilakukan dalam hal pasien menderita cacat
permanent atau meninggal dunia dalam arti apa yang dikenal dengan culpa lata,
dandapat dikenakan sansksi sebagaimana disebutkan dalam: 1. Pasal 359, 360 dan
361 KUHP, Pasal 359 menentukan: barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penajara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana kurugan lebih 1 tahun penjara.
Pasang 360 menentukan:
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (Kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-
luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) bulan atau pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah
Pasal 69 ayat 3
Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dapat berupa : pemberian peringatan tertulis;
rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi.
Pasal 75 (ketentuan pidana)
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana 17
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
DAFTAR PUSTAKA
Putri, R. A., Herman, R. B., & Yulistini, Y. (2015). Gambaran Penerapan Kode Etik
Kedokteran Indonesia pada Dokter Umum di Puskesmas di Kota Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4(2).
Susanto, E. A., & Gunarto, G. (2018). Pertanggungjawaban PidanaYang Memakai
Surat Palsu DitinjauDari Pasal 263 Ayat (2) KUHP. Jurnal Daulat Hukum, 1(1).
Tjoanto, D. (2014). Sanksi Pidana Terhadap Pemalsuan Keterangan dan Surat atau
Dokumen Kewarganegaraan Republik Indonesia. Lex Crimen, 3(3), 3190.

Anda mungkin juga menyukai