Anda di halaman 1dari 146

PERENCANAAN PENGEMBANGAN ASET FASILITAS FISIK

DAN INFRASTRUKTUR BERDASARKAN KONSEP


EKOWISATA PADA TAMAN KEHATI KIARAPAYUNG

Physical Facilities and Infrastructure Assets Development Planning Based on


Eco-Tourism Concept on Kehati Kiarapayung Park

SKRIPSI
Laporan ini disusun untuk memenuhi syarat menyelesaikan Pendidikan Sarjana
Terapan (D4) Program Studi Manajemen Aset di Jurusan Administrasi Niaga

Oleh
Andri Cahya Permadi
185246004

PROGRAM DIPLOMA IV MANAJEMEN ASET


JURUSAN ADMINISTRASI NIAGA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

1
2022
PERENCANAAN PENGEMBANGAN ASET FASILITAS FISIK
DAN INFRASTRUKTUR BERDASARKAN KONSEP
EKOWISATA PADA TAMAN KEHATI KIARAPAYUNG

Physical Facilities and Infrastructure Assets Development Planning Based on


Eco-Tourism Concept on Kehati Kiarapayung Park

SKRIPSI
Laporan ini disusun untuk memenuhi syarat menyelesaikan Pendidikan Sarjana
Terapan (D4) Program Studi Manajemen Aset di Jurusan Administrasi Niaga

Disusun Oleh
Andri Cahya Permadi
185246004

PROGRAM DIPLOMA IV MANAJEMEN ASET


KERJASAMA PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2022

2
LEMBAR PENGESAHAN

PERENCANAAN PENGEMBANGAN ASET FASILITAS FISIK


DAN INFRASTRUKTUR BERDASARKAN KONSEP
EKOWISATA PADA TAMAN KEHATI KIARAPAYUNG

SKRIPSI

Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Pendidikan Sarjana Terapan (D4) Program Studi Manajemen Aset
di Jurusan Administrasi Niaga

Oleh:
ANDRI CAHYA PERMADI
185246004

Diuji Oleh:
NIP
NIP

Disetujui Oleh:
Pembimbing,

Dr. H. A. Gima Sugiama, S.E., M.P.


NIP. 196109161990031001

Diketahui Oleh:
Ketua Jurusan Administrasi Niaga, Ketua Program Studi Manajemen Aset,

Sri Raharso, S.Sos., M.Si. Tiafahmi Angestiwi, SST., M.T.


NIP. 196712042001121002 NIP. 198807232015042002

iii
PERENCANAAN PENGEMBANGAN ASET FASILITAS FISIK
DAN INFRASTRUKTUR BERDASARKAN KONSEP
EKOWISATA PADA TAMAN KEHATI KIARAPAYUNG

Oleh:
ANDRI CAHYA PERMADI
185246004

Menyetujui
Bandung, November 2022
Pembimbing

Dr. H. A. Gima Sugiama, S.E., M.P.


NIP. 196109161990031001

Ketua Jurusan Administrasi Niaga, Ketua Program Studi Manajemen Aset,

Sri Raharso, S.Sos., M.Si. Tiafahmi Angestiwi, SST., M.T.


NIP. 196712042001121002 NIP. 198807232015042002

iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Andri Cahya Permadi
NIM : 185246004
Program Studi : D4 Manajemen Aset
Jurusan : Administrasi Niaga
Perguruan Tinggi : Politeknik Negeri Bandung

Dengan ini menyatakan bahwa Judul Skripsi saya:


“Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur Berdasarkan
Konsep Ekowisata pada Taman Kehati Kiarapayung”
benar bebas plagiarisme, dan apabila pernyataan ini terbukti tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan benar dalam keadaan sehat dan sadar.

Bandung, November 2022


UU No.20 Tahun 2003: Yang membuat pernyataan
Pasal 25 ayat (2)
“Lulusan perguruan tinggi yang karya
Ilmiahnya digunakan untuk memperoleh
gelar akademik, profesi, atau vokasi
terbukti merupakan jiplakan dicabut
gelarnya.”
Pasal 70: “Lulusan yang karya ilmiah Andri Cahya Permadi
yang digunakan untuk mendapatkan
gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Ayat (2) terbukti merupakan jiplakan
dipidana dengan pidana penjara paling
lama dua tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 200 juta.”

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur
Berdasarkan Konsep Ekowisata pada Taman Kehati Kiarapayung”. Tujuan
penulisan laporan ini untuk memenuhi syarat kelulusan menyelesaikan Pendidikan
Sarjana Terapan pada Program Studi Manajemen Aset, Jurusan Administrasi
Niaga Politeknik Bandung. Laporan skripsi ini berisi perencanaan pengembangan
aset fasilitas fisik (fasilitas utama dan pendukung) dan infrastruktur berdasarkan
konsep ekowisata pada Taman Kehati Kiarapayung. Laporan ini diharapkan
menjadi bahan bacaan bagi Instansi Pemerintah khususnya Dinas Lingkungan
Hidup Provinsi Jawa Barat dan Program Studi Manajemen Aset.
Skripsi ini terdiri dari lima bab yakni Bab I Pendahuluan, Bab II Landasan
Teori dan Landasan Normatif, Bab III Metode Perancangan Pengembangan Aset
Fasilitas Fisik dan Infrastruktur, Bab IV Hasil dan Pembahasan, dan Bab V
Kesimpulan dan Saran. Bab I menjelaskan mengenai latar belakang proyek,
identifikasi proyek, batasan proyek, tujuan, manfaat, luaran proyek, lokasi dan
jadwal proyek. Bab II menjelaskan landasan teori dan landasan normatif yang
digunakan untuk melakukan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur.
Bab III menjelaskan metode perancangan pengembangan aset fasilitas fisik dan
infrastruktur. Bab IV menjelaskan hasil dan pembahasan perencanaan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata
serta Bab V menjelaskan kesimpulan dan saran.
Penulis berharap semoga laporan skripsi ini bermanfaat bagi
berbagai pihak, khusunya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Kritik dan saran membangun untuk kesempurnaan lebih lanjut penulis
harapkan.
Bandung, November 2022
Penulis,

vi
Andri Cahya Permadi
LEMBAR PERSEMBAHAN

BISMILLAHIROHMANIRROHIIM

Teriring Tasbih, Tahmid, Tahlil dan Takbir Kehadirat Alloh SWT

Skripsi ini saya persembahkan kepada Istri tercinta,

“Sri Mulyati, STr.Kes”

Dengan setia senantiasa mendampingi, menyemangati dan mendorong


saya untuk menyelesaikan Pendidikan di Politeknik Negeri Bandung.

Selain itu, saya persembahkan juga kepada kedua anak saya:

“Mylan Arshia Ghaisani Eshan dan Emirza Muhammad Ghaisani


Eshan”

Senantiasa menjadi penyemangat dan pelepas lelah

Dengan segala kerendahan hati,

Andri Cahya Permadi

vii
UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan


saran/masukan, dan arahan dari semua pihak. Oleh karena itu, rasa terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada:
1. Dr. H. A Gima Sugiama, SE., MP., selaku dosen pembimbing yang
senantiasa dengan sabar memberikan arahan, saran dan motivasi selama
penyusunan laporan studi kasus sampai laporan skripsi.
2. Tiafahmi Angestiwi, SST., MT., selaku Ketua Program Studi Sarjana
Terapan (D-IV) Manajemen Aset Politeknik Negeri Bandung.
3. Dra. Nurlaila Fadjarwati, M.Si., selaku Dosen Wali Kelas MA Kerma.
4. Dra. Katharina Priyatiningsih, M.Si., selaku dosen penelaah dan penguji
yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyusunan laporan
skripsi.
5. Yulie Budiasih ST., M.Sc., selaku Kasie/Penyuluh Lingkungan Hidup Ahli
Muda (Koordinator Unit Konservasi Lingkungan dan Keanekaragaman
Hayati) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.
6. Fitriyani Silfana Nurfadillah, S.Si., selaku Pengelola Data/Tenaga Teknis
Pengembangan Kelembagaan dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati,
Dinas Lingkungan Hidup, Provinsi Jawa Barat.
7. Bapak Rahman selaku Koordinator Lapangan Pengelolaan Taman Kehati,
Bapak Arifin dan seluruh teman-teman THL DLH Jabar.
8. Rekan-rekan Kerma MA dan teman-teman mahasiswa Manajemen Aset
Politeknik Negeri Bandung yang tidak dapat dituliskan satu per satu.
Semoga Alloh SWT membalas semua kebaikan yang telah Bapak/Ibu,
Saudara/i berikan dan dicatat sebagai salah satu amal sholeh. Aamiin Ya
Robbal’alamin.
Penulis,

viii
Andri Cahya Permadi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


BIODATA DIRI
Nama Lengkap : Andri Cahya Permadi
Nama Panggilan : Andri
Tempat dan : Garut, 28 April 1981
Tanggal Lahir
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat Rumah : Kp. Kostarea I RT 02 RW 09
Ds. Mekarluyu Kec. Sukawening Kab.
Garut Provinsi Jawa Barat
Instansi : Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Jawa Barat
Alamat Instansi : Jl. Asia Afrika No. 146, Bandung
No. Telepon/HP : 081320300404
Alamat E-mal : andri.cahya.mas18@polban.ac.id

RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun Jenjang Nama Sekolah Jurusan/Bidang
1994 SD SD Negeri Kostarea I -
1997 SMP SMP Negeri I Sukawening -
2000 SMA/SMK SMK Negeri 6 Bandung Elektronika Komunikasi

PELATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI


Tahun Jenis Pelatihan Penyelenggara
2022 Pelatihan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah
2022 Table Manner
2022 Grooming and Beauty Class Wardah
2021 Pendidikan Dasar Penilaian 1 (PDP 1) MAPPI

Bandung, November 2022

Andri Cahya Permadi

ix
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME..............................................................v
KATA PENGANTAR............................................................................................vi
LEMBAR PERSEMBAHAN................................................................................vii
UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP...............................................................................ix
DAFTAR ISI............................................................................................................x
DAFTAR TABEL................................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xvi
ABSTRAK...........................................................................................................xvii
ABSTRACT.........................................................................................................xviii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Proyek.......................................................................1
1.2 Identifikasi dan Batasan Proyek.........................................................7
1.3 Tujuan, Manfaat dan Luaran Proyek..................................................7
1.4 Lokasi dan Jadwal Proyek..................................................................9
BAB II LANDASAN TEORI DAN LANDASAN NORMATIF........................10
2.1 Manajemen Aset...............................................................................10
2.1.1 Definisi, Tujuan dan Fungsi Manajemen Aset........................10
2.1.2 Jenis Aset.................................................................................10
2.1.3 Siklus Aset...............................................................................12
2.2 Perencanaan Kebutuhan Aset...........................................................14
2.2.1 Pengertian Perencanaan Kebutuhan Aset................................14
2.2.2 Tujuan Perencanaan Kebutuhan Aset.....................................14
2.2.3 Proses Perencanaan Aset.........................................................15
2.3 Pengembangan Aset.........................................................................15
2.3.1 Definisi, Tujuan dan Proses Pengembangan Aset...................16

x
2.3.2 Pengembangan Aset Fasilitas Fisik.........................................17
2.3.3 Pengembangan Aset Infrastruktur...........................................27
2.3.4 Pengembangan Berdasarkan Konsep Ekowisata.....................27
2.4 Aset Kepariwisataan.........................................................................31
2.4.1 Aset Fasilitas Fisik Pariwisata.................................................33
2.4.2 Aset Infrastruktur Pariwisata...................................................34
2.5 Estimasi Biaya..................................................................................34
2.5.1 Biaya Pembongkaran...............................................................35
2.5.2 Biaya Pembangunan................................................................35
2.5.3 Biaya Pengadaan.....................................................................36
2.6 Landasan Normatif...........................................................................37
2.7 Penelitian Sebelumnya.....................................................................43
2.8 Kerangka Berfikir Proyek................................................................44
BAB III METODE PERANCANGAN PENGEMBANGAN ASET FASILITAS
FISIK DAN INFRASTRUKTUR..........................................................................46
3.1 Metode Perancangan........................................................................46
3.2 Prosedur Perancangan......................................................................46
3.3 Benchmarking...................................................................................48
3.4 Jenis dan Sumber Data.....................................................................49
3.5 Teknik Pengumpulan Data...............................................................50
3.6 Teknik Analisa Data.........................................................................50
3.7 Kerangka Acuan Kerja Proyek.........................................................53
3.8 Operasionalisasi Proyek...................................................................55
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................60
4.1 Gambaran Umum Taman Kehati Kiarapayung................................60
4.2 Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur.62
4.2.1 Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Utama.................64
4.2.2 Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Pendukung..........75
4.2.3 Perencanaan Pengembangan Aset Infrastruktur......................90
4.3 Estimasi Biaya Perencanaan Pengembangan Fasilitas Fisik dan
Infrastrutur........................................................................................96

xi
4.3.1 Estimasi Biaya Pembongkaran................................................97
4.3.2 Estimasi Biaya Pengadaan......................................................98
4.3.3 Estimasi Biaya Pembangunan...............................................101
4.4 Luaran Proyek Perencanaan Pengembangan Aset.........................102
4.4.1 Artikel Ilmiah........................................................................102
4.4.2 Site Plan 2D..........................................................................102
4.4.3 Poster Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur...........................................................................105
4.4.4 Vidieo 3D Perencanaan Pengembangan Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur...........................................................................105
4.4.5 Buku Laporan Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik
dan Infrastruktur....................................................................106
4.5 Kelebihan dan Keterbatasan Perencanaan Pengembangan Fasilitas
Fisik dan Infrastruktur....................................................................107
4.6 Implikasi Manajerial.......................................................................108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................110
5.1 Kesimpulan.....................................................................................110
5.2 Saran...............................................................................................111
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................112

xii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel
Halaman
Tabel 1. 1 Permasalahan Aset Fasilitas dan Infrastruktur.......................................5
Tabel 1. 2 Jadwal Proyek........................................................................................9
Tabel 2. 1 Ketentuan dan Papan Informasi............................................................26
Tabel 2. 2 Implementasi Penggunaan Energi.........................................................29
Tabel 2. 3 Pengendalian Polusi Lingkungan..........................................................29
Tabel 2. 4 Penggunaan Bahan Akhir.....................................................................30
Tabel 2. 5 Kriteria Pusat Kuliner...........................................................................39
Tabel 2. 6 Kriteria Tempat Parkir..........................................................................43
Tabel 2. 7 Penelitian Sebelumnya..........................................................................44
Tabel 3. 1 KAK Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur.................54
Tabel 3. 2 Operasionalisasi Proyek Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung.............................................56
Tabel 4. 1 Daftar Narasumber................................................................................64
Tabel 4. 2 Rancangan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan.............................96
Tabel 4. 3 Biaya Pembongkaran Bangunan...........................................................97
Tabel 4. 4 Estimasi Biaya Pembongkaran Fasilitas Taman Kehati......................97
Tabel 4. 5 Estimasi Biaya Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pelengkap.............98
Tabel 4. 6 Perhitungan Estimasi Biaya Pembangunan Fasilitas Fisik.................101

xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Gambar
Halaman
Gambar 2. 1 Klasifikasi Aset.................................................................................11
Gambar 2. 2 Gambar 2. 2 Siklus Aset....................................................................12
Gambar 3. 1 Prosedur Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung.........................................48
Gambar 3. 6 Teknik Analisa Data Proyek.............................................................53
Gambar 4. 1 Struktur Pengelolaan BMD DLH Provinsi Jawa Barat.....................61
Gambar 4. 2 Taman Kehati dan Site Position........................................................61
Gambar 4. 3 Zonasi Pengembangan Taman Kehati...............................................63
Gambar 4. 4 Disain Akomodasi (Cottage).............................................................65
Gambar 4. 5 Disain Akomodasi (Cottage).............................................................66
Gambar 4. 6 Bangkok Tree House Restaurant, Thailand......................................67
Gambar 4. 7 Disain Fasilitas Tempat Makan dan Minum.....................................68
Gambar 4. 8 Ilustrasi Disain Greenhouse..............................................................69
Gambar 4. 9 Disain Greenhouse............................................................................70
Gambar 4. 10 Kelley Picnic Area...........................................................................71
Gambar 4. 7 Disain Area Piknik............................................................................71
Gambar 4. 12 Ilustrasi Disain Spot Foto................................................................72
Gambar 4. 13 Ilustrasi Disain Fasilitas Outbond...................................................73
Gambar 4. 14 Ilustrasi Disain Toilet......................................................................74
Gambar 4. 15 Ilustrasi Disain Area Berkemah......................................................76
Gambar 4. 16 Ilustrasi Disain Area Parkir.............................................................78
Gambar 4. 17 Ilustrasi Disain Mushola.................................................................79
Gambar 4. 18 Ilustrasi Disain TIC.........................................................................80
Gambar 4. 19 Disain Gerbang Masuk....................................................................82
Gambar 4. 20 Ilustrasi Disain Gazebo/Shelter.......................................................83
Gambar 4. 21 Ilustrasi Disain Tempat Sampah.....................................................85
Gambar 4. 22 APAR..............................................................................................86
Gambar 4. 23 Ilustrasi Pos Keamanan...................................................................86
Gambar 4. 24 Fasilitas P3K...................................................................................87
Gambar 4. 25 Ilustrasi Disain Papan Petunjuk/Penanda........................................89
Gambar 4. 26 Disain Toko Cinderamata...............................................................90
Gambar 4. 27 Disain Jalan Masuk TKK................................................................92
Gambar 4. 28 Disain Jalur Pejalan Kaki................................................................93
Gambar 4. 29 Disain Charging Station..................................................................94
Gambar 4. 30 Disain Wastafel dan Kran Air.........................................................95
Gambar 4. 31 Site Plan Perencanaan Pengembangan TKK................................103

xiv
Gambar 4. 32 Zona Intensif Perencanaan Pengembangan TKK.........................104
Gambar 4. 33 Zona Semi Intensif Perencanaan Pengembangan TKK................104
Gambar 4. 31 Zona Ekstensif Perencengembangan TKK...................................105
Gambar 4. 32 Screen Shoot Vidio Visualisasi 3D TKK......................................106

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Gambar


Halaman
Lampiran A. Surat Izin Penelitian
Lampiran B. Formulir Bimbingan Tugas Akhir
Lampiran C. Interview Guide
Lampiran D. Observation Guide
Lampiran E. Transkip Wawancara
Lampiran F. Dokumentasi Bimbingan Tugas Akhir
Lampiran G. Lampiran Dokumentasi Wawancara dan Survei Lapangan
Lampiran H. Perhitungan Pengembangan Cottage
Lampiran I. Perhitungan Pengembangan Fasilitas Makan dan Minum
Lampiran J. Perhitungan Pengembangan Fasilitas Toilet
Lampiran K. Perhitungan Pengembangan Fasilitas Berkemah
Lampiran L. Perhitungan Pengembangan Fasilitas Berkemah
Lampiran M. Perhitungan Pengembangan Fasilitas Berkemah
Lampiran N. Data Satuan Harga Peralatan dan Perlengkapan Fasilitas
Lampiran O. Harga Tanah dan Perhitungan Biaya Pengadaan Lahan
Lampiran P. Perhitungan Biaya Pembangunan Jalan
Lampiran Q. Poster Perencanaan Pengembangan Taman Kehati

xvi
ABSTRAK

Taman Kehati Kiarapayung selain berfungsi sebagai kawasan konservasi,


dikembangkan juga sebagai wisata ekologi, namun aset fasilitas fisik dan
infrastruktur yang ada belum memadai dan memenuhi kriteria wisata alam
berdasarkan kriteria fasilitas utama, fasilitas pendukung dan infrastruktur dengan
konsep ekowisata. Tujuan proyek ini untuk menghasilkan: (1) Rancangan
pengembangan aset fasilitas fisik (fasilitas utama dan pendukung), dan
infrastruktur; (2) Mengetahui estimasi biaya perencanaan pengembangan aset
fasilitas fisik dan infrastruktur. Landasan teori yang digunakan yakni perencanaan
pengembangan aset wisata alam berdasarkan fasilitas utama, fasilitas pendukung
dan infrastruktur dengan menggunakan konsep ekowisata, estimasi biaya serta
landasan normatif sebagai acuan dan standar dalam pengembangan aset fasilitas
fisik dan infrastruktur. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
jenis data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data melalui observasi
ilmiah, wawancara, studi dokumentasi, dan benchmarking. Teknik analisis data
menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
digunakan analisis statistik deskriptif untuk perhitungan estimasi biaya yang
diperoleh dari studi dokumentasi. Hasil proyek meliputi: (1) Rancangan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata;
(2) Estimasi biaya perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infarstruktur
sebesar Rp.22.959.571.161,50 tahun perhitungan 2022. Luaran proyek terdiri dari
artikel ilmiah, site plan 2D, poster perencanaan pengembangan denah kawasan
pengembangan, video 3D, dan buku laporan pengembangan fasilitas fisik dan
infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung. Proyek ini dapat direalisasikan dengan
melakukan pengkajian ulang terhadap rencana anggaran dan biaya perencanaan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur, membuat DED, melakukan
analisis AMDAL, dan melakukan kajian pemanfaatan aset.

Kata kunci: Perencanaan pengembangan aset, aset fasilitas fisik, infrastruktur,


ekowisata.

xvii
ABSTRACT

Kiarapayung Biodiversity Park is a conservation area which also has the


potential to be developed as ecotourism, but the existing condition of physical
facilities and infrastructure assets are inadequate and didn’t meet the criteria for
natural tourism based on main facilities, supporting facilities and infrastructure
of ecotourism concept. The objective of this project is to produce: (1)
development planning of physical facility assets (main and supporting facilities),
and infrastructure; (2) Knowing the estimated cost of physical facilities and
infrastructure asset’s development plan. The theoretical basis used is
development planning of natural tourism assets based on the main facilities,
supporting facilities and infrastructure using the ecotourism concept,include cost
estimation and normative basis as a reference and standard in developing
physical facilities and infrastructure assets. The method used is descriptive
method with primary and secondary data types. Data collection techniques
through scientific observation, interviews, documentation studies, and
benchmarking. Data analysis techniques use quantitative and qualitative
approaches. Quantitative approach used descriptive statistical analysis to
calculate the estimated costs obtained from the study of documentation. The
project results include: (1) Development planning of physical facilities and
infrastructure assets based on the concept of ecotourism; (2) The estimated cost
of planning the development of physical facilities and infrastructure assets is IDR
22,959,571,161.50 for 2022. The output of the project consists of scientific
articles, 2D site plans, development plan posters of development area plans, 3D
videos, and facility development report books physical and infrastructure of
Kiarapayung Biodiversity Park. This project can be realized by reviewing the
planned budget and planning costs for the development of physical facilities and
infrastructure assets, making a DED, conducting an AMDAL analysis, and
conducting a review of asset utilization.

Keywords: Asset development planning, physical facility assets, infrastructure,


ecotourism.

xviii
xix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Proyek


Aset adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, baik nilai
ekonomi, nilai komersial atau nilai tukar yang dapat dimiliki oleh instansi,
perusahaan dan perorangan, pada umumnya terbagi menjadi dua yaitu aset
berwujud dan tidak berwujud (Siregar, 2004; Setiawan, 2013; Sugiama,
2013). Aset fisik adalah salah satu komponen utama yang harus dimiliki
oleh setiap organisasi (Sugiama, 2013). Aset yang dimiliki perlu dikelola
dengan baik, efektif dan efisien agar bernilai tinggi sepanjang umur aset
bersangkutan dengan pengelolaan yang sistematis dimulai dari
perencanaan kebutuhan hingga menghapuska suatu aset (Hastings, 2010;
Campbell, 2011; Sugiama, 2013).
Taman Kehati Kiarapayung adalah salah satu aset fisik yang
dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) (BPKAD,
2022). Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 593/KEP.821-
BPLHD/2011 tentang Penetapan Lokasi Taman Kehati Jawa Barat,
Taman Kehati Kiarapayung merupakan aset fisik berupa lahan yang
terletak di areal Arboretum dan Hutan Konservasi Kiarapayung dengan
luas lahan yakni 16 Ha yang terbagi menjadi 8 blok. Mengacu kepada
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2012, Taman Kehati
adalah suatu kawasan sumber daya alam hayati lokal yang mempunyai
fungsi konservasi in-situ dan/atau ex-situ, khususnya bagi tumbuhan
yang penyerbukan dan/atau pemencaran bijinya harus dibantu oleh satwa
dengan struktur dan komposisi vegetasinya dapat mendukung kelestarian
satwa penyerbuk dan pemencar biji. Selain penggunaannya sebagai
taman konservasi, Taman Kehati dimanfaatkan sebagai sarana
pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, ruang
terbuka hijau dan ekowisata (DLH, 2019). Potensi pengembangan

1
pemanfaatan taman kehati tanpa mengubah fungsi konservasi didukung
oleh data perkembangan kunjungan wisatawan ke Kabupaten Sumedang
seperti yang disajikan pada Gambar 1.1.
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Gambar 1. 1 Kunjungan Wisatawan Ke Kabupaten Sumedang


Sumber: Modefikasi Open Data Jabar

Gambar 1.1 di atas menunjukkan bahwa ada kenaikan kunjungan


wisatawan ke Kabupaten Sumedang dalam dua tahun terakhir, yakni
Tahun 2020 dan Tahun 2021 meskipun situasi masih dalam pandemi
Covid-19. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan minat
kunjungan wisatawan terhadap objek wisata di Kabupaten Sumedang.
Kawasan wisata dikembangkan dengan memperhatikan sinergitas satu
komponen dengan komponen lainnya sehingga secara komprehensif dapat
membentuk sebuah destinasi wisata yang dapat memenuhi kebutuhan dan
keinginan wisatawan (Sugiama, 2013). Destinasi wisata dikembangkan
berdasarkan daya tarik wisata yang dibangunnya (Sugiama dan Nufi,
2021). Perencanaan pengembangan fasilitas fisik terdiri dari fasilitas
utama dan fasilitas pendukung serta infrastruktur dibutuhkan untuk
meningkatkan daya tarik wisata (Marzuki et al, 2017; Ginting dan
Sasmita, 2018). Pemenuhan aset fasilitas dan infrastruktur pada destinasi
wisata diperlukan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan serta dapat
meningkatkan kinerja yang sesuai dengan tujuan dari peraturan yang telah
ditetapkan, seperti mendukung kemudahan, kenyamanan, dan
keselamatan wisata saat berkunjung. (Yeti, 1997).
Fasilitas utama adalah fasilitas aset fisik terdiri dari akomodasi,
fasilitas makan dan minum, fasilitas rekreasi dan toilet (Marzuki et al,

2
2017; Ginting dan Sasmita, 2018). Berdasarkan hasil observasi, di Taman
Kehati Kiarapayung belum tersedia fasilitas akomodasi, fasilitas makan
dan minum dan fasilitas rekreasi sehingga aktivitas yang dilakukan oleh
pengunjung masih sangat terbatas. Fasilitas toilet sudah tersedia dengan
ukuran 6m x 6m, memiliki dua ruang dan dilengkapi dengan tempat
berwudhu namun belum bisa dipergunakan. Kondisi toilet saat ini tidak
terawat, lantai kotor dan pintu toilet ada yang rusak. Bangunan toilet
permanen sebagian bangunan terbuka. Kondisi toilet disajikan pada
Gambar 1.2.

Gambar 1. 2 Toilet Taman Kehati Kiarapayung

Fasilitas pendukung adalah aset fasilitas fisik pelengkap dari


fasilitas utama meliputi ketersediaan area berkemah, area parkir,
mushola/tempat ibadah, gerbang masuk, pusat informasi, gazebo/shelter,
fasilitas kebersihani dan keamanan, papan petunjuk/penanda dan toko
cinderamata (Alkahtani; 2015; Marzuki et al, 2017; Ginting dan Sasmita,
2018). Berdasarkan hasil observasi lapangan, Taman Kehati belum
dilengkapi fasilitas berkemah, tempat parkir, toko cinderamata, gazebo,
pusat informasi dan fasilitas keamanan. Mushola sudah tersedia tetapi
kondisinya kurang memadai. Ukuran mushola 2m x 3m, bangunan
terbuka dan berlantai keramik. Keadaan mushola saat ini kotor dan kurang
terawat. Mushola masih menyatu antara perempuan dan laki-laki. Taman
Kehati sudah memiliki gapura atau gerbang masuk, tetapi ukuran gerbang
masuk relatif kecil, masih satu jalur antara jalur masuk dan keluar serta
letaknya kurang strategis karena terlalu dalam sehingga kurang jelas
terlihat. Taman Kehati juga sudah memiliki satu unit shelter dengan
ukuran 6m x 8m. Kondisi shelter permanen dan terbuat dari material

3
rangka besi. Jika dibandingkan dengan jumlah area blok di Taman Kehati,
jumlah shelter masih kurang. Fasilitas kebersihan yang tersedia di Taman
Kehati berupa tempat sampah berjumlah 13 unit. Tempat sampah ini
terbuat dari pasir dan semen berbentuk menyerupai pot tanaman serta
belum ada pemisahan antara sampah organik dan anorganik. Papan
petunjuk di Taman Kehati Kiarapayung baru tersedia satu unit. Papan ini
terbuat dari kayu, tetapi kondisinya kurang baik. Taman Kehati belum
dilengkapi dengan papan interpretasi kawasan. Kondisi fasilitas
pendukung di Taman Kehati Kiarapayung disajikan pada Gambar 1.3.

(a) (b) (c) (d) (e)


Gambar 1. 3 Fasilitas Pendukung di Taman Kehati Kiarapayung
(a) Gerbang masuk, (b) Mushola, (c) Tempat sampah,
(d) Shelter, (e) Papan Informasi

Infrastruktur pariwisata menjadi dasar dalam pengembangan


pariwisata dan pemanfaatan sumber daya destinasi pariwisata mencakup
beragam layanan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan kepuasan wisatawan selama tinggal di destinasi wisata
(Krsak et al, 2015). Ketersediaan infrastruktur meliputi jalan, transportasi
dan sistem utilitas terdiri dari jaringan air bersih, jaringan listrik dan
telekomunikasi (Marzuki et al ,2017; Mandic et al, 2018;). Berdasarkan
hasil observasi, infrastruktur jalan masuk ke taman kehati saat ini
kondisinya tidak memadai. Jalan masuk sirkulasi kendaraan memiliki
lebar 2,80 meter dan panjang jalan 850 meter. Permukaan material jalan
tanah berbatu, belum ada perkerasan, belum dilengkapi dengan drainase
dan perlengkapan jalan. Kondisi jalan mengalami kerusakan cukup berat,
permukaan jalan sudah tidak rata dan banyak yang berlubang sehingga
belum memberikan rasa aman dan nyaman ketika berkendara. Jalur
pejalan kaki baru tersedia sepanjang 500 meter dan lebar 1,2 meter.

4
Jaringan air bersih belum memadai, hal ini terlihat dari belum
ditemukannya fasilitas pada setiap blok, baru teredia di area blok 8 dekat
toilet. Jaringan listrik belum memadai, hal ini ditandai oleh sulitnya
pengunjung menemukan sumber listrik dan belum tersedianya lampu
penerangan. kondisi infrastruktur di Taman Kehati disajikan pada Gambar
1.4.

(a) (b)
Gambar 1. 4 Infrastruktur di Taman Kehati Kiarapayung
(a) Jalan Masuk, (b) Jalur Pejalan Kaki
Kesimpulan permasalahan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di Taman
Kehati Kiarapayung disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1. 1 Permasalahan Aset Fasilitas dan Infrastruktur
di Taman Kehati Kiarapayung
Dimensi Indikator Permasalahan
Fasilitas Utama Akomodasi Belum tersedia
Fasilitas makan dan Belum tersedia
minum
Fasilitas rekreasi Belum tersedia
Toilet Sudah tersedia satu unit, tetapi belum
terpisah antara toilet pria dan wanita, ada
keruksakan, serta kondisinya kotor
Fasilitas Pendukung Area berkemah Belum tersedia
Tempat parkir Belum tersedia
Mushola Kondisi mushola kecil, belum terpisah
antara tempat sholat pria dan Wanita,
belum dilengkapi tempat wudhu dan
perlengkapan sholat
Gerbang masuk Ukuran kecil dan masih satu jalur untuk
arah masuk dan keluar, lokasinya kurang
strategis
Gazebo/Shelter Baru tersedia satu unit
Pusat informasi Belum tersedia
Fasilitas kebersihan Baru tersedia 13 unit tempat sampah,
dan keamanan namun belum memadai dan belum ada
pemisahan jenis sampah
Papan petunjuk Baru tersedia satu unit dan kondisinya
kurang baik
Toko cinderamata Belum tersedia
Infrastruktur Jalan Jalan masuk belum ada perkerasan, kondisi

5
Dimensi Indikator Permasalahan
jalan ruksak dan lebar jalan 3m
Jalur pejalan kaki Baru tersedia jalur pejalan kaki sepanjang
500m dengan lebar 1,2m
Jaringan listrik Belum ada lampu penerangan jalan dan
belum memadai
Jaringan air bersih Belum ada jaringan air bersih di areal
terbuka pada setiap blok

Merujuk kepada Permen LHDK No. P.13 Tahun 2020 Pasal 3 Ayat
1 Pembangunan Sarana dan Prasarana Wisata Alam di Kawasan
Konservasi perlu dilakukan dengan konsep berkelanjutan untuk menjaga
kelestarian lanskap kawasan, mempertahankan fungsi dari wisata alam,
mendukung program wisata rekreasi dan edukasi, memberikan
sumbangan pada ekonomi dan tidak memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan alam. Konsep Ekowisata merupakan salah satu konsep
pembangunan berkelanjutan pada kawasan konservasi (Metwally, 2019).
Selain itu hal ini didukung pula dari hasil wawancara dan diskusi dengan
Kepala Bidang, Kepala Seksi dan Staf Bidang Konservasi Alam Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan pada tanggal
28 September 2022 bertempat di Ruang Rapat DLH Jabar bahwa Taman
Kehati Kiarapayung akan dikembangkan sebagai wisata berbasis edukasi
dan rekreasi (ekowisata) sesuai dengan fungsi pemanfaatan Taman Kehati
berdasarkan Permen LHK RI No. 3 Tahun 2012. Ekowisata merupakan
suatu bentuk kegiatan wisata ke area-area alami dengan tujuan untuk
mengkonservasi lingkungan dan budaya serta mensejahterakan
masyarakat lokal (TIES, 2002).
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas dan
mengacu kepada hasil penelitian sebelumnya yakni Pengukuran
Sumberdaya Atraksi Fisik, Fasilitas Fisik dan Infrastruktur Pariwisata
(Studi Kasus pada Taman Kehati Kiarapayung), central issue pada proyek
ini adalah beberapa aset fasilitas dan infrastruktur Taman Kehati
Kiarapayung belum tersedia dan belum memenuhi kriteria karena kondisi
rusak, kurang terpelihara, belum memenuhi kapasitas dan kelengkapan

6
sesuai dengan standar yang ditetapkan serta belum mengimplementasikan
konsep berkelanjutan. Oleh karena itu perlu dilakukan perencanaan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati
Kiarapayung. Menurut Victorian Goverment (1995), perencanaan
pengembangan aset perlu ditunjang dengan adanya perencanaan
kebutuhan aset dan menghitung prakiraan biaya. Penentuan kebutuhan
yang baik adalah berdasar pada standar pelayanan aset wisata alam yang
diberlakukan. Mengingat Taman Kehati Kiarapayung ini dimiliki oleh
pemerintah Provinsi Jawa Barat, maka aspek legalitas untuk perencanaan
pengembangan aset mengacu pada peraturan pemerintah dan teori konsep
pengembangan wisata, yakni Peraturan Menteri Pariwisata No. 3 Tahun
2022 dan Konsep Developing Tourism Facilities (Ginting dan Sasmita,
2018), Nature Base Tourism (Marzuki et al, 2017) dan Konsep Ekowisata
(Metwally, 2019). Perencanaan pengembangan aset fasilitas dan
infrastruktur ini memerlukan biaya. Merujuk kepada Prawoto (2015),
perhitungan estimasi biaya yang diperlukan pada proyek ini yakni biaya
pembongkaran, biaya pembangunan, dan biaya pengadaan. Dengan
demikian perencanaan pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur
dengan menggunakan konsep ekowisata ini merupakan hal yang
menarik untuk dijadikan proyek tugas akhir dengan judul
“Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur Berdasarkan Konsep Ekowisata pada Taman Kehati
Kiarapayung”

1.2 Identifikasi dan Batasan Proyek


Berdasarkan latar belakang proyek di atas, identifikasi proyek ini meliputi:
1. Merencanakan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur
berdasarkan konsep ekowisata pada Taman Kehati Kiarapayung yakni:
a. Aset fasilitas fisik, terdiri dari:
1) Aset fasilitas utama (Main Facilities Asset) yang belum tersedia
mencakup akomodasi, fasilitas makan dan minum dan fasilitas

7
rekreasi serta fasilitas yang sudah tersedia yaitu toilet.
2) Aset fasilitas pendukung (Supporting Facilities Asset) yang belum
tersedia meliputi area berkemah, area tempat parkir, pusat informasi,
gazebo/shelter, fasilitas keamanan, dan toko cinderamata, serta
fasilitas yang sudah tersedia mencakup gerbang masuk, tempat ibadah
(mushola), fasilitas kebersihan, dan papan petunjuk.
b. Aset Infrastruktur yang belum tersedia meliputi jalan, jaringan air bersih
dan jaringan listrik serta infrastruktur yang sudah tersedia yakni jalur jalur
pejalan kaki.
2. Menghitung estimasi biaya perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik
dan infrastruktur di Taman Kehati Kiarapayung.
Berdasarkan identifikasi proyek di atas, batasan proyek akan fokus pada
perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik (fasilitas utama dan fasilitas
pendukung) dan infrastruktur Taman Kehati Kiarapayunng dengan luas lahan
maksimal yang dapat dibangun 10% dari luas lahan.

1.3 Tujuan, Manfaat dan Luaran Proyek


Berdasarkan identifikasi, tujuan proyek ini adalah untuk mengetahui:
1. Menghasilkan rancangan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur
berdasarkan konsep ekowisata pada Taman Kehati Kiarapayung meliputi:
a. Aset fasilitas fisik, terdiri dari:
1) Aset fasilitas utama (Main Facilities Asset) yang belum tersedia
mencakup akomodasi, fasilitas makan dan minum dan fasilitas
rekreasi serta fasilitas yang sudah tersedia yaitu toilet.
2) Aset fasilitas pendukung (Supporting Facilities Asset) yang belum
tersedia meliputi area berkemah, area tempat parkir, pusat informasi,
gazebo/shelter, fasilitas keamanan, dan toko cinderamata serta
fasilitas yang sudah tersedia mencakup gerbang masuk, tempat ibadah
(mushola), fasilitas kebersihan dan papan petunjuk.
b. Aset Infrastruktur yang belum tersedia meliputi jalan, jaringan air bersih
dan jaringan listrik serta infrastruktur yang sudah tersedia yakni jalur

8
lokal/jalur pejalan kaki.
2. Mengetahui estimasi biaya perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik
dan infrastruktur di Taman Kehati Kiarapayung.
Manfaat dari proyek ini:
1. Manfaat bagi Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat hasil proyek ini
diharapkan menjadi masukan positif untuk mengembangkan Taman Kehati
berdasarkan hasil perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan
infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata.
2. Manfaat bagi Program Studi Manajemen Aset
a. Memperoleh umpan balik atas pembelajaran perkuliahan yang telah
dilaksanakan di Program Studi Manajemen Aset.
b. Menjalin hubungan baik dengan instansi pemerintah khususnya Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.
3. Manfaat bagi pembaca, menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
pengaplikasian manajemen aset dan kajian pengembangan aset fasilitas fisik
dan infrastruktur serta sebagai sarana untuk melakukan penelitian sejenis.
Luaran proyek ini meliputi:
1. Artikel ilmiah untuk dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.
2. Site plan zonasi pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur 2D.
3. Poster pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur.
4. Video 3D disain Taman Kehati Kiarapayung.
5. Buku laporan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur.

1.4 Lokasi dan Jadwal Proyek


Proyek tugas akhir ini dilaksanakan di Taman Kehati Kiarapayung yang
berlokasi di Jatinangor tepatnya berada di Kp. Cikeuyeup, Ds. Sindang Sari,
Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat 45366. Peta
lokasi Taman Keanekaragaman Hayati Kiarapayung disajikan pada Gambar 1.5.

9
Gambar 1. 5 Peta Lokasi Taman Kehati Kiarapayung

Proyek pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur pada


Taman Kehati dilaksanakan dalam jangka waktu 5 bulan, mulai bulan
Agustus 2022 sampai Desember 2022. Jadwal proyek disajikan pada
Tabel 1.2.
Tabel 1. 2 Jadwal Proyek
Agust. Sept. Okto. Nov. Des.
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
1 Menetapkan objek dan
topik proyek
2 Mengidentifikasi
masalah
3 Menetapkan tujuan
4 Memilih landasan teori
dan normatif
5 Mengumpulkan dan
pengolahan data
6 Analisis dan
interpretasi data
7 Perancangan Proyek
8 Menyusun laporan

10
BAB II
LANDASAN TEORI DAN LANDASAN NORMATIF

2.1 Manajemen Aset


Manajemen aset sebagai ilmu yang mempelajari pengelolaan aset
diperlukan agar aset yang dimiliki oleh setiap individu, organisasi maupun
institusi dapat dikelola dengan baik sehingga memberikan manfaat bagi
pemiliknya (Elisa, 2018).

2.1.1 Definisi, Tujuan dan Fungsi Manajemen Aset


Aset adalah barang atau segala sesuatu yang memiliki nilai
ekonomi, nilai komersial, atau nilai tukar yang dapat dimiliki oleh
individu, pemerintah maupun perusahaan yang dapat diukur atau dinilai
secara finansial (Siregar 2004; Sugiama, 2013). Manajemen aset adalah
serangkaian kegiatan atau aktivitas dalam pengelolaan aset mulai dari
merencanakan kebutuhan aset, mengadakan aset, menginventarisasi,
melakukan audit aspek legal, menilai, mengoperasikan, memelihara,
memperbaharui atau menghapuskan aset untuk mencapai tujuan secara
efektif dan efisien (Soleh dan Romansah, 2010; Hasting, 2010;
Sugiama;2013).
Tujuan manajemen aset adalah pengambilan keputusan yang tepat
dalam pengelolaan aset untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi
pengoperasian aset, menjaga atau meningkatkan potensi dan nilai
ekonomis aset serta objektivitas dalam pengendalian, pengawasan,
penggunaan dan alih penguasaan (Siregar, 2004; Sugiama, 2013). Fungsi
manajemen aset meliputi merencanakan kebutuhan aset, mengadakan
aset, menginventarisasi aset, mengaudit atau melengkapi aspek legal aset,
menilai aset, mengoperasikan aset, memelihara aset, memperbaharui,
menghapuskan aset, dan mengalihkan atau memusnahkan aset (Sugiama,
2013).

11
2.1.2 Jenis Aset
Campbell (2011) mengklasifikasikan aset menjadi lima golongan
yaitu real estate and facilities, plant and production, mobile assets,
infrastructure, dan information technology. Klasifikasi aset menurut
Campbell disajikan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Klasifikasi Aset


Sumber: Campbell, 2011 hal.12

Penjelasan klasifikasi aset menurut Campbell (2011) sebagai berikut:


1. Real Estate and Facilities. Real estate adalah tanah atau segala sesuatu yang
melekat atau terkandung pada tanah baik yang ada di atas tanah maupun di
dalam tanah beserta aset pengembangannya baik karena peristiwa alam atau
buatan manusia yang dapat dimiliki atau disewa perusahaan dalam
menjalankan usahanya (Santoso, 2010; Campbell, 2011; MAPPI, 2015).
Fasilitas adalah penyediaan perlengkapan fisik untuk memberikan
kemudahan, memperlancar fungsi dan memenuhi kebutuhan pengguna
(Bucari, 2001). Real estate and facilties contohnya tanah, perkantoran,
gudang, dan rumah sakit.
2. Plant and Production. Produksi didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang
mengubah pemasukan (input) menjadi hasil (output) dalam membuat atau
meningkatkan kegunaan barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan. Plant
and production contohnya makanan, tekstil, minyak, dan elektronik.
3. Mobile Assets adalah aset yang tidak melekat pada tanah sehingga dapat

12
berpindah, misalnya kendaraan, pesawat terbang, dan kereta api.
4. Infrastructure diartikan sebagai fasilitas fisik yang diperlukan untuk
operasional kegiatan masyarakat atau perusahaan. Contohnya rel kereta api,
dan jalan raya.
5. Information Technology adalah fasilitas dari segala jenis teknologi yang
dapat digunakan untuk membuat, mengubah, menyimpan,
mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi misalnya komputer,
jaringan, dan software.
Aset negara adalah harta kekayaan negara (HKN) terdiri dari barang
bergerak atau barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai oleh Instansi
Pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari perolehan lain yang
sah, tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan (Siregar, 2018).
Sutrisno (2010) berpendapat bahwa berdasarkan penggunaannya aset
dapat dibedakan menjadi: (1) Aset privat adalah aset yang terbatas
penggunaannya hanya untuk pemiliknya; (2) Aset semi publik atau semi
privat merupakan aset yang digunakan oleh kelompok organisasi yang
telah memenuhi persyaratan tertentu untuk menggunakan aset tersebut;
dan (3) Aset publik adalah aset yang digunakan oleh masyarakat umum.

2.1.3 Siklus Aset


Siklus aset merupakan tahapan proses dalam pengelolaan aset
selama aset yang bersangkutan digunakan. Siklus aset berdampak
langsung terhadap produktivitas dan operasionalitas aset (Haidar, dkk.,
2016). Menurut ISO 55001 siklus aset terdiri dari empat tahapan kunci
yaitu perencanaan aset, pengadaan aset, operasi dan pemeliharaan, dan
penghapusan aset. Sugiama (2013) menjelaskan siklus aset dimulai dari
tahap perencanaan kebutuhan, pengadaan, inventarisasi, pemenuhan aspek
legal, penilaian, pengoperasian, pemeliharaan, pembaharuan/rejuvenasi,
penghapusan, pengalihan dan pemusnahan aset.

13
Gambar 2. 2 Gambar 2. 2 Siklus Aset
Sumber: Sugiama, 2015

Tahapan dalam siklus aset dijelaskan sebagai berikut:


1. Perencanaan kebutuhan aset adalah langkah awal dan penentuan tujuan akhir
yang mengacu pada sasaran strategis organisasi dan menerjemahkan rencana
strategis ke dalam rencana kegiatan.
2. Pengadaan aset adalah serangkaian kegiatan mendapatkan aset/barang
maupun jasa baik yang dilaksanakan sendiri secara langsung oleh pihak
internal, maupun oleh pihak luar sebagai mitra atau penyedia/pemasok aset
bersangkutan.
3. Inventarisasi aset adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan pendataan,
pencatatan, pelaporan hasil pendataan aset, dan mendokumentasikannya baik
aset berwujud maupun aset tidak berwujud pada suatu waktu tertentu.
4. Legal audit aset adalah pemeriksaan untuk mendapatkan gambaran yang
jelas dan menyeluruh mengenai status kepemilikan, sistem dan prosedur
penguasaan, pengalihan aset, mengidentifikasi kemungkinan terjadinya
berbagai permasalahan hukum, serta mencari solusi atas masalah hukum
tersebut.
5. Penilaian aset adalah proses kegiatan penilai dalam memberikan suatu opini
atau pendapat dan estimasi atas nilai ekonomis suatu properti, baik aset
berwujud (tangible asset) maupun aset tidak berwujud (intangible asset),
sesuai dengan hasil analisis terhadap fakta-fakta yang objektif dan relevan

14
dengan menggunakan metode dan prinsip-prinsip penilaian yang berlaku.
6. Operasi aset adalah mencakup perancangan, pelaksanaan, dan pengendalian
dari operasi seluruh sumber daya untuk menghasilkan barang atau jasa, dan
mengimplementasikannya dalam strategi organisasi. Pengoperasian aset
dapat berupa penggunaan dan/atau pemanfaatan.
7. Pemeliharaan aset adalah suatu sistem yang mencakup kombinasi dari
sekumpulan aktivitas yang dilengkapi oleh beragam sumber daya untuk
menjamin agar aset bersangkutan dapat berfungsi sebagaimana diharapkan.
8. Pembaharuan/rejuvenasi aset adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka
membangun kembali atau bahkan meningkatkan fungsi dari aset tersebut.
9. Penghapusan aset adalah menghapus aset dari daftar aset dengan
membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan/atau pengelola dari
tanggungjawab administrasi dan fisik data aset yang berada dalam
penguasaannya.
10. Pengalihan dan Pemusnahan Aset. Pengalihan aset, merupakan tahap
terakhir dimana organisasi menentukan pilihan dalam penghapusan suatu
aset yakni pemusnahan atau pengalihan aset. Pemusnahan aset ketika aset
benar-benar dihapus keberadaannya secara fisik. Pengalihan aset dapat
berupa penjualan aset, penyertaan modal, ataupun hibah.

2.2 Perencanaan Kebutuhan Aset


Perencanaan kebutuhan aset merujuk kepada siklus aset menurut Sugiama
(2013) dan ISO 55001 merupakan tahap pertama dalam siklus aset. Pada subbab
ini akan dibahas mengenai pengertian, tujuan dan proses perencanaan aset.

2.2.1 Pengertian Perencanaan Kebutuhan Aset


Perencanaan kebutuhan adalah kegiatan mengidentifikasi terhadap hal-hal
yang dibutuhkan oleh suatu organisasi (Hasting, 2010). Perencanaan kebutuhan
aset adalah rangkaian kegiatan dalam mengidentifikasi kebutuhan sesuai dengan
target, standar, kebijakan, strategi dan prosedur untuk merencanakan suatu
rencana strategis yang mencakup proses penentuan dan pemeriksaan terhadap

15
persyaratan aset yang berdasarkan kepada evaluasi aset dan peluang untuk dapat
memenuhi kebutuhan pelayanan aset sehingga ketika tersedia dapat dioperasikan
dengan lancar, efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan organisasi (Campbell
et al, 2011;Sugiama, 2013, Keqa,2016).

2.2.2 Tujuan Perencanaan Kebutuhan Aset


Perencanaan aset bertujuan sebagai pedoman atau petunjuk menilai
kelayakan kondisi aset, memastikan ketersediaan sumber daya, mengetahui
kinerja aset, pengambilan keputusan pengadaan aset, memastikan operasi aset
sesuai kebutuhan dan menentukan strategi paling tepat dalam penyediaan aset
sehingga aset yang tersedia dapat berfungsi secara efektif dan efisien (Sugiama,
2013; Keqa, 2016; Yunita dan Devitra, 2017). Watkins (2012) menjelaskan tujuan
analisis kebutuhan adalah untuk memverifikasi kemampuan atas pencapaian hasil
sesuai dengan tujuan yang diharapkan, membandingkan beberapa alternatif,
menentukan solusi efektif dan memilih strategi yang efisien dalam menggunakan
sumber daya.

2.2.3 Proses Perencanaan Aset


Perencanaan aset memiliki empat tahapan yakni create, prioritise, develop
dan implement (Burr et al, 2013). Tahapan perencanaan disajikan pada Gambar
2.4

Gambar 2. 3 Proses Perencanaan Aset


Sumber: Blur et all, 2013.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap create meliputi registrasi lokasi


aset, kondisi, umur, kinerja, nilai aset, sisa umur yang bermanfaat, urgensi, dan

16
tingkat layanan yang diinginkan. Aktivitas pada tahap Prioritise meliputi
pemeliharaan atau penggantian aset berdasarkan kondisi dan tingkat
kepentingannya masing-masing. Tahap pengembangan (develop) menjadi
tanggungjawab semua anggota organisasi. Aktivitas pada tahap ini yakni
pengembangan strategi aset meliputi ketersediaan sumber daya, perkiraan
kebutuhan biaya pemeliharaan baik besar atau kecil dan perhitungan biaya
penggantian aset dimasa yang akan datang. Pelaksanaan (Implement)
merupakan tahapan terakhir yang mengimplementasikan rencana manajemen
aset dan melakukan aktivitas review, pembaharuan, dan perbaikan terhadap
rencana yang tidak efektif.

2.3 Pengembangan Aset


Merujuk kepada siklus aset menurut Sugiama (2013), pengembangan aset
masuk kedalam siklus perencanaan aset. Hal ini sejalan dengan proses
perencanaan aset, bahwa pengembangan (development) merupakan tahapan ketiga
dalam perencanaan aset (Blur et al, 2013).

2.3.1 Definisi, Tujuan dan Proses Pengembangan Aset


Pengembangan aset adalah serangkaian aktivitas terencana yang
dilaksanakan oleh perusahaan/instansi dengan menggunakan sumber daya untuk
membuat barang atau jasa yang sebelumnya belum ada atau memperbaiki,
memperbaharui dan menyempurnakan produk yang sudah ada sehingga
menambah jenis barang atau jasa yang dipasarkan serta memperkenalkan merk
baru sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Pearson 1992; Yoeti, 2008;
Sugiama, 2013; Ridwan dan Aini, 2016; Abuiyada, 2018). Proses perencanaan
pengembangan aset memiliki empat tahap proses, yaitu menentukan kebutuhan
aset, mengevaluasi aset yang ada, mengembangkan strategi pengelolaan aset, dan
pembiayaan anggaran (Victorian Government, 1995).
Pengembangan pariwisata adalah proses perubahan untuk menciptakan
memajukan, memperbaiki serta meningkatkan nilai dalam segala aspek pariwisata
mulai dari fasilitas, infrastruktur, daya tarik wisata dan aspek lainnya, sehingga

17
memberikan nilai tambah dan bermanfaat bagi masyarakat lokal yang ada di
sekitar kawasan wisata, wisatawan dan pemerintah daerah (Badarab dkk., 2017;
Refindra, 2017). Komponen kepariwisataan perlu dikembangkan dalam rangka
melengkapi fasilitas dan penunjang daya tarik wisata (Sugiama, 2016). Hasting
(2015) menjelaskan terdapat tujuh jenis tipe pengembangan, meliputi: (1)
Pengakuisisian yang siap digunakan; (2) Pengembangan bisnis tanpa melakukan
akuisisi; (3) Disain gabungan aset terpilih; (4) Pemodelan kembali rencana awal
tetapi dengan memenuhi standar yang ada; (5) Pemodelan sesuai perkembangan
teknologi; (6) Pengenalan perubahan teknis; dan (7) Penelitian dan pengembangan
yang digunakan sesuai dengan kebutuhan. Tahapan pengembangan aset meliputi
lahirnya gagasan, evaluasi dan penyaringan gagasan, pengembangan konsep dan
pengetesan, pengembangan strategi pemasaran, analisis, pengembangan produk,
tes pemasaran dan komersialisasi (Sugiama, 2013).
Pengembangan aset pada lahan kawasan wisata termasuk wisata
cagar alam (ecotourism) perlu memperhatikan zona yang terbagi menjadi
tiga yakni zona atau blok intensif untuk pengembangan ruang aktif dan
pasif, zona semi intensif untuk ruang aktivitas terbatas dan bangunan
fasilitas dengan tujuan agar tidak merusak alam dan zona ekstensif untuk
fasilitas pemenuhan aktivitas minat khusus (Beljai dkk, 2014; Mulyana
dkk., 2019). Zona atau zoning merupakan penetapan area pada kawasan
wisata yang dilakukan dengan cara pengelompokan komponen-komponen
yang memiliki tata letak fungsi dan penamaan yang sama serta
karakteristik lingkungan yang spesifik dengan tujuan untuk memisahkan
kawasan/area dengan fungsi tertentu (Djunaedi dkk, 2011; Zalukhu dan
Wiraprana, 2020).

2.3.2 Pengembangan Aset Fasilitas Fisik


Pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur wisata alam
merupakan pembangunan yang dilakukan pada fasilitas dan infrastruktur
yang belum tersedia dan/atau memperbaiki fasilitas dan infrastruktur di
kawasan wisata (Ginting dan Sasmita, 2018; Sugiama, 2013). Fasilitas

18
fisik terdiri dari fasilitas utama dan fasilitas pendukung (Marzuki et al.
2017; Ginting dan Sasmita, 2018).
1. Fasilitas Utama
Fasilitas utama adalah fasilitas yang harus tersedia di tempat wisata karena
keberadaannya diperlukan dan dibutuhkan oleh wisatawan selama mengunjungi
tempat wisata serta dapat mendorong fasilitas lain berkembang, menarik minat
juga mempertahankan loyalitas wisatawan terdiri dari akomodasi, tempat makan
dan minum, fasilitas rekreasi dan toilet (Huda, 2015; Syahputra dkk., 2015; Rosita
dkk., 2016; Sarim dan Wiyana, 2017; Marzuki et al, 2017; Ginting dan Sasmita,
2018). Berikut penjelasan lebih rinci mengenai indikator pada fasilitas utama.
a. Akomodasi
Fasilitas akomodasi adalah penyediaan tempat tinggal sementara bagi
wisatawan menikmati pelayanan dan hiburan yang tersedia dan memiliki peranan
penting bagi wisata karena dapat menjadi sarana untuk mempromosikan dan
mengembangkan wisata (Cooper, 2008; Nutsugbodo, 2016; Ginting dan Sasmita,
2018). Fasilitas akomodasi di tempat wisata terdiri dari hotel, penginapan, motel,
wisma tamu/guesthouse, apartemen dan area perkemahan/camping ground
(Panasiuk, 2007; Nutsugbodo, 2016; Ginting dan Sasmita, 2018). Penginapan
adalah suatu fasilitas yang disediakan kepada wisatawan dan bisa melakukan
pembayaran atas bentuk pelayanan berupa makanan, minuman, dan disediakan
kamar bagi wisatawan untuk beristirahat (Sulastiyono, 2011). Faktor utama yang
dipertimbangkan oleh wisatawan dalam memilih akomodasi berupa penginapan di
tempat wisata dilihat dari kedekatannya dengan lokasi penginapan, kondisi
penginapan yang memadai, kebersihan, harga dan suasana (Ginting & Sasmita,
2018; Pertiwi dan Sulistyawati, 2020). Menurut Roziana (2002), cottage salah
satu fasilitas akomodasi yang bergerak dibidang komersial dengan menjual jasa
berupa menyewakan kamar-kamar yang dilengkapi dengan fasilitas penunjang
untuk menampung pengunjung yang menginap di kawasan wisata. Kamar pada
fasilitas penginapan memiliki ukuran 3,5m x 4m, kamar mandi minimal 1,75m x
2,15m dan balkon lebar 1,5m (Fischer-Zernin dan Schipani, 2005).
b. Fasilitas Makan dan Minum

19
Penyediaan fasilitas makan dan minum merupakan aset fasilitas yang
menyediakan hidangan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan wisatawan di
tempat wisata karena selain melakukan aktivitas wisatawan juga akan
mengonsumsi makanan dan minuman yang tersedia dengan demikian tempat
wisata akan memperoleh keuntungan (Lin et al, 2011; Karamustafa dan Uker,
2017; Ginting dan Sasmita, 2018). Ketersediaan makanan dan minuman di suatu
tempat wisata menjadi faktor penting kedua yang dipertimbangkan oleh
wisatawan dalam berwisata oleh karena itu kondisinya harus bersih dan lokasinya
harus mudah ditemukan (Enrihgt dan Newton, 2005; Edress, 2014; Ginting dan
Sasmita, 2018).
c. Fasilitas Rekreasi
Rekreasi adalah berbagai aktivitas menyenangkan, disenangi oleh
masyarakat (sosial), dapat memulihkan fisik dan mental individu dan
secara bersamaan dapat memberikan pengalaman rekreasi tersendiri
(Mandic et al, 2018). Recreation facility merupakan peralatan atau
fasilitas untuk aktivitas rekreasi dan edukasi yang keberadaannya perlu
ditata dengan baik dengan harapan memberikan kesan yang berbeda
kepada pengunjung (Gidlow et al, 2012; Kose, 2020). Fasilitas rekreasi
yang berkualitas dapat ditinjau dari kriteria pada kualitas suatu produk
yaitu ketersediaan serta kondisi fisik, kelengkapan, kenyamanan, variasi
atau keberagaman karena dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan
(Gaspersz, 2008; Unbehaun et al., 2008; Vengesayi et al., 2009). Fasilitas
rekreasi dan edukasi pada tempat wisata dapat berupa greenhouse
(Pradiana et al., 2021). Tempat wisata dengan konsep ekowisata perlu
menyediakan fasilitas rekreasi seperti spot foto, area piknik dan fasilitas
khusus (Bell, 2008; Lee et al, 2010; Prosbtl et al, 2010).
1) Greenhouse
Menurut Alahudin et al (2013) kondisi lingkungan dapat
dimanipulasi dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman pada rumah
kaca memungkinkan pelaksanaan penelitian di dalamnya. Green house
dan papan identifikasi tanaman disediakan untuk menunjang kegiatan

20
rekreasi lingkungan (Firmansyah et al, 2018; Pradiana et al, 2021).
Pembangunan greenhouse mengacu pada SNI 7604-2010 adopsi dari
Philipphine Agricultural Engineering Standard Paes 415-2001 dengan
ketentuan: (a) Greenhouse berlokasi pada lahan terbuka dengan cahaya
matahari yang cukup; (b) Greenhouse ditempatkan di dekat meja tanam
untuk mengurangi naungan dari struktur bangunan; (c) Pelindung dari
angin berlebihan; (d) Panjang rumah tanaman 7,5m hingga 12,8m; (e)
Tinggi standar rumah tanaman 3,75m hingga 4,23m ; (f) Tinggi tepian
atap tipe segitiga (gable) memiliki ukuran minimum 1,7 m dengan tinggi
atap segitiga minimum yakni 2,4m; (g) Meja tanam sebaiknya mempunyai
lebar 0,9m - 1,8m; dan (h) Memiliki celah sirkulasi udara.
2) Area Piknik
Menurut Handayani (2018) area piknik adalah salah satu destinasi wisata
alam yang menyediakan kebutuhan pengunjung untuk sekedar bersitirahat dengan
menggunakan fasilitas berpiknik yang tersedia. Fasilitas area piknik terdiri dari
meja piknik dan kursi serta fasilitas pemanggangan (Bell, 2008). Penjelasan dari
masing-masing fasilitas di area piknik sebagai berikut:
a) Meja piknik dan tempat duduk. Meja Piknik disediakan dalam bentuk meja
dengan bangku yang panjang, meja tersebut memungkinkan untuk memiliki
kaki meja yang dapat dilipat, agar mempercepat pengangkutan dan
penyimpanan (Ganapathi et al., 2017). Area piknik perlu memiliki picnic
tables yang memungkinkan pengguna kursi roda disertakan dengan
menempatkan picnic tables di atas permukaan padat untuk menopang kursi
roda di meja (Perry et al., 2021). Güngör et al (2016) berpendapat
ketinggian picnic table diatur sesuai bagi pengguna kursi roda yaitu antara
75 sampai 90 cm. Menurut Bell (2008) standar ukuran meja yaitu
mempunyai lebar 0,65 m - 0,7 m, panjang 1,5 meter dan tinggi 0,72 meter.
Ukuran standar bangku yaitu mempunyai lebar 25 cm - 30 cm dengan
tinggi 42,5 cm. Jarak antara meja dan kursi yaitu 10 cm. Permukaan harus
rata dan halus, bagian atas meja harus memanjang agar terdapat celah yang
tersisa untuk memungkinkan orang yang memakai kursi roda dapat

21
menggunakan meja dan kursi tersebut.
b) Fasilitas memanggang atau perapian adalah fasilitas memasak, termasuk
tempat di mana api dapat menyala, memiliki dua jenis yaitu perapian
rendah dan perapian altar (Priskin, 2001; Bell, 2008).
3) Spot foto.
Spot foto dapat berupa dermaga pandang biasanya terdiri dari kerangka
yang terbuat dari kayu maupun baja, lantai pijakan, dan atap (Bell, 2008).
Dermaga pandang harus memiliki disain yang kokoh dan stabil, terbuat dari kayu
sebagai material utama dan dapat dibantu dengan rangka dan kabel baja untuk
memperkuat pondasi. Anak tangga dengan jarak yang pas, handrails, dan tepi
pengaman setiap sisi juga perlu dipenuhi agar dapat digunakan dengan aman dan
nyaman.
4) Fasilitas khusus
Fasilitas khusus adalah fasilitas yang dapat menunjang atraksi
wisata pada suatu objek wisata, pengembangan fasilitas wisata dapat
diarahkan pada fasilitas outbound. Outbound merupakan kegiatan
pembelajaran ilmu terapan yang dilakukan di alam terbuka atau tertutup
dengan bentuk permainan yang efektif yang menggabungkan intelegensia,
fisik, dan mental (Ancok, 2003). Standar ukuran area outbond yakni 1,5m
x 1,5m atau 2,25m2 untuk setiap orang (Rezki, 2018). Kegiatan outbond
memiliki beberapa jenis permainan, yaitu seperti flying fox, birma crosser,
hell barier, pipa bocor dan spider web (Probstl, 2010; Sukmaratri dan
Damayanti, 2016). Penjelasan dari masing-masing fasilitas outbound
sebagai berikut.
a) Birma Crosser adalah jenis permainan outbound untuk melatih rasa percaya
diri menghadapi suatu rintangan dengan menggunakan alat bantu seperti
kayu/bambu, snappling, kong, karmentel, helm, dan webbing (Bina Suasana
Pelatihan, 2015).
b) Hell Barrier adalah kegiatan outbound dengan teknik permainan yaitu
mengerjakan sesuatu secara bertahap dengan tujuan mencapai puncak. Alat
bantu dalam permainan ini yaitu kaos tangan dan helm, kong, karmentel,

22
snappling dan webbing (Bina Suasana Pelatihan, 2015).
c) Spider Web adalah permainan outbound berkelompok dengan jumlah dalam
satu kelompok 10 – 15 orang dimana seluruh peserta harus berpindah dari
satu sisi ke sisi yang lain melalui sebuah jaring laba-laba raksasa dengan
dibantu rekan yang lain. Alat yang dibutuhkan dalam permainan ini seperti
jaring dan kayu penyangga (Bina Suasana Pelatihan, 2015).
d. Toilet
Toilet merupakan salah satu fasilitas publik yang harus tersedia di tempat
wisata untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, setiap hari manusia tidak bisa
lepas dari ketergantungan terhadap toilet baik itu untuk buang air kecil, air besar
dan keperluan lainnya (Sunarsa dan Darmawijaya, 2014; Ginting dan sasmita;
2018; Sunarsa dan Andiani, 2019; Widayanti dkk., 2020). Keberadaan toilet perlu
memperhatikan berbagai aspek meliputi aspek psikologis pengguna, kesehatan
dan keselamatan, pemeliharaan dan lingkungan serta estetika sehingga
ketersediaan toilet di tempat rekreasi lebih ramah terhadap pengunjung ditunjang
dengan peralatan yang memadai, lokasi tepat dan tersedia akses khusus bagi
penyandang disabilitas dengan memberikan ruang yang cukup untuk
memungkinkan pergerakan penggunaan kursi roda (Neisiani et al, 2016; Afio et
al, 2016; Purnaya et al, 2019; Bagiastra dan Damayanti; 2021).
Toilet pria dan wanita harus terpisah dan perlu disediakan wastafel dan
cermin ketika dalam satu unit lebih dari satu toilet (Bell, 2008). Bell (2008)
berpendapat bahwa konstruksi bangunan toilet dapat menggunakan kayu ,batu,
bata merah dan kaca atau polikarbonat untuk jendela atau atap, tetapi pilihannya
tergantung pada lokasi. Bahan dan finishing interior : (a) Lantai dari beton halus,
ubin, atau papan kayu. Bahan-bahan yang digunakan harus mudah dibersihkan;
(b) Atap, terbuat dari papan kayu atau bilah kayu yang berjarak agar cahaya bisa
masuk; dan (c) Pintu terbuat dari konstruksi kayu berbingkai tertutup yang kuat.

2. Fasilitas Pendukung

23
Fasilitas pendukung adalah aset fasilitas fisik pelengkap dari fasilitas utama
yang dapat mendukung kenyamanan pengunjung terdiri dari area berkemah,
tempat parkir, tempat ibadah/mushola, pusat informasi, pintu masuk/gerbang
masuk, gazebo/shelter, fasilitas keamanan dan kebersihan, papan
petunjuk/penanda, dan toko cinderamata (Alkahtani et al. 2015; Marzuki et al.
2017; Ginting dan Sasmita, 2018). Aset fasilitas pendukung didefinisikan juga
sebagai sarana atau fasilitas yang secara proporsional berfungsi sebagai
pelengkap, penambah nilai dan manfaat fasilitas utama yang membuat wisatawan
merasa lebih nyaman berada di tempat wisata (Syahputra dkk., 2015; Rosita dkk.,
2016; Harahap dkk., 2017).
a. Area Berkemah
Berkemah adalah aktivitas yang dilakukan di areal terbuka dengan
menggunakan tenda atau mobil khusus kemah yang dilakukan untuk memperoleh
kesenangan, melepas penat dari ramainya perkotaan, mengisi waktu luang,
relaksasi dan eksplorasi menikmati keindahan alam (Sulaeman, 1983; Garst et.al,
2010; Prasetyo dkk, 2011; Larisa, 2013; Rinaldi, 2015). Areal berkemah atau
camping site adalah areal yang dimanfaatkan untuk kegiatan berkemah, lokasinya
harus mudah ditemukan, memiliki kontur lahan yang datar, rumput yang halus,
permukaan tanah tidak basah atau berlumpur dan kondisinya aman (Locke, 2008;
Bell, 2008; Lucivero, 2012; Ginting & Sasmita, 2018; Sinta, 2020).
b. Tempat Parkir
Tempat parkir adalah fasilitas pendukung yang penting agar dapat menarik
minat wisatawan untuk berkunjung ke tempat wisata, namun terkadang fasilitas
ini menjadi permasalahan karena peningkatan jumlah wisatawan tidak sebanding
dengan fasilitas parkir (Lee et al, 2010; Marsanic et al, 2021). Area parkir
merupakan salah satu tempat pemberhentian dari suatu pergerakan atau transit
terakhir bagi lalu lintas kendaraan (Rifai dkk, 2021). Menurut Neufert (2002)
standar ruang manuver untuk kendaraan mobil adalah sebesar 5,75 meter dan
standar ruang manuver untuk kendaraan motor adalah sebesar 2 meter. Lokasi
area parkir harus strategis dan menyediakan tempat khusus bagi penyandang
disabilitas dengan menggunakan perkerasan paving block terbuka yang dapat

24
mudah menyerap air ke dalam tanah dan tidak menghalangi rumput untuk tumbuh
(Pröbstl et al., 2010; Nandi, 2016). Ketentuan standar teknis dan penyediaan
rambu-rambu yakni rambu parkir harus konsisten dalam ukuran, warna, dan lokasi
di seluruh tempat parkir untuk memudahkan pengguna melihat, mengidentifikasi
dan mendapatkan informasi yang jelas (Hull et al., 2012).. Kondisi tempat parkir
yang aman dan nyaman dapat memberikan rasa tenang pada pengunjung dalam
melakukan aktivitas di kawasan rekreasi (Priyatiningsih & Luthfi, 2021).
c. Tempat ibadah/mushola
Tempat ibadah merupakan fasilitas pendukung bagi pengunjung untuk
memenuhi kewajiban spiritualnya, diharapkan kondisinya bersih dan nyaman
sehingga dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan wisatawan (Saeed et al,
2001; Mohsin, 2005; Kadir et al, 2020). Ketersediaan tempat ibadah di suatu
objek wisata harus memiliki kondisi bangunan yang terawat, memberikan kesan
yang nyaman saat digunakan dan mudah untuk di akses (Ginting dan Sasmita,
2018). Fasilitas tempat ibadah yang disediakan di objek wisata alam yaitu masjid
yang dilengkapi dengan ruang untuk shalat, tempat wudhu, dan toilet (Kahera et
al, 2009).
d. Gerbang Masuk
Pintu gerbang merupakan salah satu fasilitas pendukung wisata yang
menjadi akses keluar masuk pengunjung ke dalam suatu kawasan wisata, penanda
lokasi masuk dan memberikan ucapan selamat datang kepada wisatawan serta
menjadi titik dimana pengunjung membayarkan sejumlah uang sebelum
memasuki kawasan wisata alam (Bell, 2008; Alkahtani et al., 2015). Pintu
gerbang harus ditandai dengan tanda yang cukup besar dilengkapi dengan fitur
atau tanda khusus agar mudah untuk dibaca dari jalan umum (Probstl et al., 2010).
Informasi di titik akses merupakan faktor kunci untuk memberikan gambaran
tentang peluang rekreasi yang akan ditawarkan, aturan, dan larangan atau
peringatan yang disampaikan kepada pengunjung sebelum memasuki lokasi
wisata (Probstl et al., 2010).
e. Touris Information Centre (TIC)

25
Touris Information Centre merupakan fasilitas pendukung wisata yang
berfungsi memberikan layanan dan informasi khusus tentang kawasan lokal, daya
tarik wisata dan agenda festival sehingga memberikan manfaat kepada wisatawan
untuk memahami destinasi wisata (Mill, 2000; Mazuchova dan Pancikova; 2018).
Aset fasilitas ini harus mudah ditemukan dan menyajikan informasi yang lengkap
tentang kawasan wisata seperti lokasi, peta, pusat hiburan, penginapan, objek
wisata, serta hal-hal lainnya (Fesenmater, 2015; Ginting dan Sasmita, 2018).
f. Gazebo/Shelter
Gazebo adalah bangunan yang diletakkan pada areal terbuka dengan
pemandangan indah, unik dan menyejukkan, dapat dipergunakan sebagai tempat
yang nyaman untuk bersantai, beristirahat dan relaksasi oleh wisatawan sehingga
perlu memperhatikan pola naungan yang melindunginya, kebersihan serta
kenyamanan (Pahlawan, 2020; Sinta, 2020; Nur’aini et al., 2018 ). Penggunaan
material untuk gazebo atau pergola perlu diperhatikan dengan mengurangi
pembangunan permukaan yang keras agar dapat menjaga area resapan air dan
gunakan material berwarna cerah untuk dapat mengurangi efek panas matahari
(Hamka et al., 2021). Tempat duduk atau shelter pada destinasi wisata diletakkan
di berbagai ketinggian dengan dan tanpa pegangan tangan, diletakkan secara
sering di sepanjang jalan setapak utama, area yang menunjukkan pemandangan
alam, meningkatkan penggunaan dan interaksi sosial pengunjung, mudah
dijangkau dan menggunakan bahan yang nyaman dengan permukaan tidak terbuat
dari beton atau logam bera (Perry et al., 2021; Douglas et al., 2018; Güngör et al.,
2016).
g. Fasilitas Keamanan dan Kebersihan
Fasilitas keamanan dan kebersihan diperlukan untuk mendukung
fasilitas utama dalam memberikan kepuasan, kenyamanan dan citra positif
tempat wisata (Jesus dkk., 2019). Fasilitas keamanan adalah fasilitas yang
dapat memberikan kestabilan keadaan dan memberikan rasa ketenangan
tanpa kekhawatiran bagi wisatawan sehingga perlu dikelola dengan baik
agar dapat menurunkan tingkat kriminalitas di sekitar tempat rekreasi,
fasilitas ini dapat berupa pos keamanan/jaga dengan ukuran 4 m 2

26
(Konijnendijk, 2008; Mahagangga, 2013). Fasilitas kebersihan adalah
pelayanan yang diciptakan oleh pengelola agar kondisi tempat wisata
menjadi nyaman (Violina dkk, 2016). Fasilitas kebersihan dan keamanan
dapat dilihat dari ketersediaan tempat sampah, peralatan kebersihan,
peralatan keamanan dan pos keamanan, adanya sabun untuk mencuci
tangan, dan terdapat papan penanda dan arahan untuk keamanan seperti
informasi, tanda darurat dan bahaya (Erfurt, 2011; Alananzeh, 2017;
Nagaj dan Zuromskaite, 2020).
1) APAR
Fasilitas safety dan security pada ruang publik dapat ditinjau berdasarkan
security system (penerangan, CCTV, dan kontrol keamanan misalnya tersedia
pagar pengaman/pos jaga), smart crime prevention (tingkat keamanan sosial), dan
risk of natural disaster (kemungkinan bencana alam dengan menyediakan fasilitas
jalur evakuasi) dan perangkat mitigasi kebakaran (APAR) (Türkseven Doğrusoy
dan Zengel, 2017; Garau dan Pavan; 2018). Menurut NFPA 10 (2013) kebutuhan
APAR dapat dihitung sebagai berikut.
Jumlah Kebutuhan APAR =
Jumlah Kebutuhan Area yang Dilindungi
Area Perlindungan Maksimum tiap APAR (NFPA 10)
2) Tempat Sampah
Tempat sampah termasuk fasilitas pendukung yang sebaiknya
tersedia di kawasan wisata, merupakan fasilitas sanitasi untuk
penyimpanan sementara sampah sebelum sampah diangkut dan diolah
pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA), jumlahnya mencukupi, mudah
ditemukan dan ditempatkan di lokasi dimana sumber sampah muncul
seperti di tempat parkir, toilet, jalur, dan area piknik lainnya (Bell, 2008;
Bagiastra et al., 2022). Anatolia (2015) berpendapat hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penyediaan tempat sampah, yakni: (1) Dilengkapi
dengan penutup; (2) Dibuat menggunakan material yang kokoh, kedap air,
dan tahan karat; (3) Besar volume dan jumlah tempat sampah disesuaikan
dengan sampah yang dihasilkan setiap harinya dan (4) Tempat sampah

27
harus tersedia pada setiap bangunan atau fasilitas serta tersedia setiap 20
meter sekali pada ruang terbuka.
3) Pos Keamanan
Pos keamanan atau pos jaga termasuk ke dalam salah satu elemen penting
yang perlu tersedia pada taman rekreasi. Fungsi dari adanya pos kemanan adalah
untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengunjung atau masyarakat
ketika sedang beraktivitas di kawasan wisata. Selain itu, adanya pos kemanan
lingkungan wisata atau rekreasi dapat terjaga dengan baik. Menurut Mahagangga
(2013) pos keamanan atau pos jaga berukuran 2m x 2m atau luas 4 m2.
4) Fasilitas P3K
Fasilitas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) diperlukan untuk
meminimalisir dampak sekaligus sebagai fasilitas pertolongan pertama bagi
wisatawan yang mengalami kecelakaan di kawasan wisata (Alaeddinoglu & Can,
2011). Dampak kecelakaan di tempat wisata dapat menyebabkan luka ringan, luka
berat, cacat fisik hingga meninggal dunia.
h. Papan Petunjuk/Penanda
Informasi mengenai objek wisata pada umumnya diperlukan
pengunjung di titik kedatangan yang menunjukkan fasilitas, tempat
wisata, informasi khusus seperti acara atau kegiatan dan menampilkan
aturan-aturan (Probstl et al., 2010). Menurut Bell (2008) suatu struktur
informasi harus memenuhi kriteria dari 3 komponen yakni pesan, media
yang digunakan, dan struktur yang digunakan. Penjelasan dari standar
suatu struktur papan informasi disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Ketentuan dan Papan Informasi
No Komponen Ketentuan dan Standar
1 Pesan yang disampaikan Pesan terlihat jelas namun harus pendek dan efisien, lebih
banyak menggunakan simbol, gambar, dan peta atau diagram.
2 Media yang dipakai Selembaran (brosur) dan papan petunjuk
3 Material yang digunakan Batu, kayu, logam, dan bahan komposit
4 Ilustrasi papan informasi

Sumber: Bell, 2008

28
i. Toko Cinderamata
Kios cinderamata merupakan salah satu sarana pendukung wisata yang
berupaya untuk menyediakan berbagai cinderamata atau souvenir yang memiliki
kekhasan budaya dan daya tarik dari destinasi wisata yang dituju serta lokasinya
mudah ditemukan (Ginting & Sasmita, 2018; Mulogo et.al, 2018). Ketersediaan
kios cinderamata berpeluang meningkatkan pendapatan karena wisatawan pada
umumnya akan berbelanja oleh-oleh sebagai tanda bahwa mereka pernah
berkunjung ke objek tersebut (Fajriah & Mussadum, 2014).

2.3.3 Pengembangan Aset Infrastruktur


Pengembangan aset infrastruktur pada proyek ini meliputi jalan dan sistem
utilitas.
1. Jalan
Jalan adalah infrastruktur yang berfungsi sebagai penghubung antar
wilayah, memudahkan mobilitas dan meningkatkan kenyamanan
wisatawan dalam melakukan perjalanan ke tempat wisata dapat
diklasifikasikan menjadi jalan tol, jalan utama, jalan sekunder, ruang
milik jalan, jalur sepeda, dan jalur bus (Yudaningrum dan Ikhwanudin,
2017; Nello-Deakin; 2019; Nugroho dkk, 2021).
2. Sistem Utilitas
Sistem utilitas adalah infrastruktur penunjang kemudahan,
kenyamanan, kesehatan, keselamatan, komunikasi, dan mobilisasi yang
terdiri dari saluran air limbah, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan
telekomunikasi, dan pembuangan sampah (Vengesayi et al, 2009; Fahirah,
2010; Machete et al, 2015; Marzuki et al, 2017; Mandic et al, 2017).
Menurut Wu et al, (2017) sistem utilitas pada kegiatan pariwisata
bergantung kepada preferensi wisatawan. Indikator sistem utilitas
destinasi wisata terdiri dari air bersih dan jaringan listrik (Vengesayi,
2009). Menurut Marzuki et.al., (2017) indikator sistem utilitas pada
infrastruktur pariwisata meliputi air bersih, pasokan listrik dan jaringan
telekomunikasi. Berdasarkan hal tersebut ketersediaan sistem utilitas pada

29
objek wisata dilihat dari kemudahan menemukan sumber listrik berupa
fasilitas untuk mengisi baterai handphone, dan tersedianya penerangan
yang cukup dan kemudahan menemukan air bersih berupa wastafel dan
kran air (Vengesayi, 2009; Alaedidinoglu & Can, 2011, Machete et.al,
2015; Marzuki dkk, 2017).

2.3.4 Pengembangan Berdasarkan Konsep Ekowisata


Ekowisata adalah konsep wisata yang mengedepankan upaya konservasi
alam, memperhatikan dan melestarikan sumber daya alam, pemberdayaan sosial
budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan yang
dikelola dengan prinsip berkelanjutan (Arida, 2009; Kumparan, 2021). Ekowisata
ini merupakan salah satu komponen dari pariwisata berkelanjutan yang berarti
memiliki keterikatan dengan proses pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dan saat ini menjadi sumber pendapatan dan pembangunan di
negara-negara berkembang diluar dari pelestarian lingkungan (Sambotin et al,
2011; Metwally, 2019). Perbedaan mendasar antara ekowisata dengan tipe wisata
lainnya adalah ekowisata mencoba melestarikan lingkungan dan tidak
menggunakan teknik-teknik yang dapat mengganggu keanekaragaman dan
keseimbangan alam pada suatu lokasi, serta menjamin kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan dari sumberdayanya (Metwally, 2019). Potensi ekowisata meliputi
berbagai objek baik alam, budaya, ataupun buatan yang membutuhkan berbagai
pengelolaan sehingga dapat memberikan nilai untuk menarik wisatawan
(Damanik dan Weber, 2006). Ekowisata memiliki enam prinsip dasar berdasarkan
International Ecotourism Society (2006), yakni: (1) Meminimalisir dampak; (2)
Membangun kesadaran dan rasa hormat terhadap budaya dan lingkungan; (3)
Memberikan kesan pengalaman yang positif bagi pengunjung dan penyedia
layanan wisata; (4) Memberikan keuntungan (benefit) langsung terhadap
konservasi alam; (5) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi
masyarakat sekitar; dan (6) Meningkatkan sensitivitas bagi negara tuan rumah,
politik, lingkungan, dan iklim sosial.

30
Pengembangan aset fasilitas wisata sebaiknya memperhatikan
prinsip pembangunan yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian
lingkungan, tidak merusak keseimbangan dan kelestarian alam atau yang
lebih dikenal dengan pengembangan berbasis ekowisata (Metwally,
2019). Konsep ekowisata dewasa ini telah berkembang dan tersebarluas
menjadi salah satu konsep pembangunan berkelanjutan dengan
mempertimbangkan tiga hal yakni produksi energi, pengendalian polusi
lingkungan dan penggunaan bahan dalam hasil akhir (Bryne, 2007;
Metwally, 2019). Berikut penjelasan dari ketiga hal tersebut.
1. Produksi Energi
Energi dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu energi terbarukan dan energi tak
terbarukan (Metwally, 2019). Sumber daya terbarukan memiliki tingkat
penurunan lebih tinggi dibandingkan konsumsinya dan bersifat lebih ramah
lingkungan karena memiliki jejak karbon lebih rendah , sedangkan sumber
daya tak terbarukan memiliki tingkat konsumsi lebih tinggi dibandingkan
penurunannya, memiliki emisi karbon lebih tinggi dan dapat menimbulkan
dampak serius terhadap lingkungan. Sumber utama dari energi terbarukan
yaitu solar, udara, air, limbah bio, hidrogen, dan energi geotermal.
Implementasi penggunaan secara efisen energi terbarukan disajikan pada
Tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Implementasi Penggunaan Energi
No. Pengimplementasian Keterangan
1 Isolasi panas Penggunaan energi dikurangi dengan mempertahankan
(Thermal insulation) temperatur dalam ruangan. Penggunaan bahan tanah liat,
gulungan pryogel (pryogel rolls), dan uap air meningkatkan
isolasi panas.
2 Pencahayaan alami Distribusi jendela dan pemilihan posisi penempatannya
(Natural lighting) dapat memaksimalkan cahaya alami dan pencahayaan
buatan di dalam ruangan sebaiknya menggunakan lampu
LED untuk menghemat konsumsi penggunaan listrik.
3 Bayangan (Shading) Radiasi pada dinding bangunan dapat dikurangi dengan
menggunakan bayangan pada siang hari dengan
menggunakan jendela berbayang dan orientasi dimana
jendela dibuka pada dinding yang tebal sehingga
memperkenankan ventilasi dan bayangan.
4 Orientasi Bangunan Bangunan diorientasikan ke arah yang memungkinkan untuk
(Building orientation) tidak terlalu banyak terkena sinar matahari pada siang hari.
Orientasi bangunan seperti ini memungkinkan panel tenaga

31
sel surya untuk dipasang di arah yang terkena matahari
Sumber: Metwally, 2019.
2. Pengendalian Polusi Lingkungan
Sumber polusi dari bagian internal bangunan yakni ventilasi yang buruk,
kegiatan manusia, dan polutan eksternal. Bangunan modern sebagian besar
memiliki disain tertutup dan memiliki plafon rendah sehingga menyebabkan
penurunan masuknya udara segar ke dalam bangunan. Ketentuan yang perlu
diperhatikan dalam pengendalian polusi lingkungan dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2. 3 Pengendalian Polusi Lingkungan
No
Faktor Keterangan
.
1 Polutan penting dalam Jenis polutan terhadap udara dalam ruangan yaitu gas beracun,
ruangan formaldehyde, radon, pendingin ruangan (AC), perilaku
merokok, dan mikropartikel.
2 Interior Kesehatan Pengendalian atau pengelolaan limbah harus memperhatikan 4
Lingkungan dan prinsip yakni reduce, recover, reuse, dan recycle. Pelaeangan
Pengendalian Polusi kegiatan merokok didalam ruangan.
3 Ventilasi Alami Mengarahkan bangunan ke arah masuk angin, memeriksa lokasi
serta ukuran saluran masuk dan keluar udara untuk menciptakan
aliran udara yang baik.
4 Suara/ Kebisingan Penggunaan material lantai dari bahan alam seperti pohon
kelapa atau karpet yang dibuat dari bulu kambing. Sedangkan
pada dinding dapat digunakan dinding yang lebih tebal
berbahan alami seperti batu dan tanah liat. Adapun untuk
mengurangi kebisingan dari area lain dapat ditanam pohon yang
memiliki daun besar di sekitar bangunan.
5 Air Penerapan sistem greywater yang merupakan proses
penggunaan kembali air limbah yang menghasilkan penggunaan
kamar mandi dengan cara mengumpulkan air limbah pada
penampungan di bawah tanah yang disaring menggunakan
pasir, kerikil, dan penyaringan biologis, lalu digunakan kembali
untuk pengairan taman atau digunakan kembali pada flush
toilet.
6 Tumbuhan Menempatkan tumbuhan di sekitar bangunan. Tumbuhan
berperan mengonversikan energi matahari menjadi energi kimia
yang mengurangi radiasi lingkunga, melindungi bangunan dari
sinar matahari, meningkatkan kelembapan udara dan
melembutkan temperatur udara yang sampai ke bangunan.
Sumber: Metwally, 2019.
3. Penggunaan Bahan dalam Hasil Akhir
Penggunaan bahan sesuai konsep ekowisata sebaiknya memperhatikan hal-
hal berikut seperti yang tersaji pada Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Penggunaan Bahan Akhir
No. Pengimplementasian Keterangan
1 Penggunaan Material Penggunaan material ramah lingkungan/ Material tersebut

32
No. Pengimplementasian Keterangan
Ramah Lingkungan antara lain tanah liat atau bata jemuran dan batu, kayu, daun
palem, dan bambu merupakan material bangunan terbaik yang
dapat mengisolasi panas dalam ruangan, mengurangi
pengurangan sumber daya alam yang vital, serta emisi karbon.
Lumpur, batu, dan kayu dapat digunakan dengan luas pada
bangunan.
2 Kriteria Material Alami, berlebihan, atau terbarukan; Diproduksi dari sumber
Ramah Lingkungan daya yang efisien, di mana pembuatan dilakukan melalui proses
industri yang mengonsumsi energi dalam jumlah kecil, tidak
menghasilkan limbah, dan mengurangi gas rumah kaca;
Penggunaan kembali atau daur ulang sampai akhir masa
pakainya; Daya tahan tinggi, seperti bahan tradisional dengan
harapan hidup lebih lama; Tidak beracun atau rendah racun dan
tidak menghasilkan zat beracun; Rendahnya emisi senyawa
organik yang mudah menguap (VOC); Tahan kelembaban;
Meningkatkan kualitas udara dalam ruangan dengan mencegah
polutan udara;Mengurangi biaya perawatan dan penggantian
selama umur bangunan;
3 Bahan bangunan yang Material bangunan yang ramah lingkungan:
ramah lingkungan a. Bangunan batu (Stone Building). Material yang memiliki
daya tahan terhadap cuaca dan sifatnya menarik estetika.
b. Bangunan lumpur (Mud Buildings). Material yang tidak
menyebabkan polusi terhadap lingkungan saat
pembuatan, pengimplementasian, atau modifikasinya,
atau juga dalam pembongkaran dan rekonstruksi dari
bangunan bahkan disaat bangunan tersebut sudah
ditinggalkan dan runtuh.
4 Penggunaan Material Beberapa material dalam pekerjaan interior dapat menggunakan
Ramah Lingkungan anyaman (wicker), gabus (cork), kaca daur ulang (recycled
dan Berkelanjutan glass), kertas daur ulang (recycled paper), wol Kambing
pada Pekerjaan (Sheep’s wool), bulu (leather), busa kaku poliuretan berbasis
Interior tanaman (Plant-Based Polyurethane Rigid Foam), tanah liat
(Terracota), kompos bioplastik (Bioplastic Compostable), katun
dan linen (Cotton and Linen), cat warna (Paints), dan
penggunaan ulang kayu (Reused Wood)
5 Furnitur Ramah Penggunaan furnitur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Lingkungan dan Furnitur yang terbuat dari material daur ulang dapat dikatakan
Berkelanjutan berkelanjutan seperti metal, tekstil, dan kayu. Furnitur yang
berkelanjutan harus dapat dengan mudah diperbaiki, dibongkar,
dipasang kembali, dan didaur ulang di akhir periode
penggunaan
Sumber: Metwally, 2019.

Merujuk Metwally (2019) pembangunan fasilitas berupa dinding


bangunan dapat menggunakan bahan dari tanah liat/batu bata, kayu, batu,
dan atau bambu sebagai penerapan material ramah lingkungan.
Penggunaan bahan-bahan tersebut dipercaya dapat mengisolasi suhu
dalam ruangan dan menahan panas sehingga dapat meminimalisir

33
penggunaan pendingin ruangan (AC). Penyediaan ventilasi yang baik dan
cukup dengan menggunakan jendela berbayang diletakkan pada dinding
yang berukuran tebal untuk meminimalisir penggunaan pendingin
ruangan. Bagian lantai, dilapisi oleh karpet berbahan bulu. Orientasi
bagian depan bangunan sedapat mungkin tidak diarahkan ke arah sinar
matahari pada siang hari untuk menghemat penggunaan energi listrik.
Pencahayaan buatan dapat menggunakan lampu LED karena ramah
lingkungan. Fasilitas tempat sampah disediakan dan dibedakan
berdasarkan jenis sampah untuk menekan pengelolaan limbah.
Penyediaan furnitur dilakukan dengan menggunakan bahan yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan seperti metal, tekstil, kayu, dan anyaman.

2.4 Aset Kepariwisataan


Sektor pariwisata mempunyai peran yang sangat penting dalam
pembangunan sekaligus sebagai salah satu penghasil devisa terbesar di Indonesia
(Muhksin, 2020; Hasanah dkk., 2021). Wisata adalah rangkaian aktivitas, dan
penyediaan layanan baik untuk kebutuhan atraksi wisata, transportasi, akomodasi,
dan layanan lain yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perjalanan seseorang
atau sekelompok orang (Sugiama, 2013). Jenis wisata dikategorikan menjadi dua,
yaitu wisata alam dan wisata sosial budaya (Sudaryana dan Oktavia, 2015).
1. Wisata alam atau Nature Based Tourism (NBT) pada dasarnya dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu kegiatan wisata yang secara pasif
menikmati sumber daya alam yang masih asri atau belum berkembang dan
kegiatan wisata yang secara aktif memanfaatkan atribut berbasis alam
(Ceballos dan Lascurain, 1996; Pickering dan Waver, 2003). Wisata alam
diklasifikasikan menjadi: (a) Wisata Pantai (Marine Tourism); (b) Wisata
Etnik (Etnic Tourism); dan (c) Wisata Agro (Agrotourism).
2. Wisata Sosial budaya, terdiri dari: (a) Monumen nasional gedung bersejarah,
kota, desa, bangunan keagamaan, dan tempat-tempat bersejarah lainnya
seperti tempat bekas pertempuran (bettle fields) yang menjadi daya tarik
wisata; dan (b) Museum dan fasilitas budaya seperti museum arkeologi,

34
sejarah, etnologi, sejarah alam, seni dan kerajinan, ilmu pengetahuan
teknologi dan industri.
Berdasarkan jenisnya, Taman Kehati termasuk jenis wisata alam
dengan klasifikasi wisata cagar alam (ecotourism). Aset dalam pariwisata
meliputi seluruh komponen aset yang dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu aset berwujud meliputi objek fisik, prasarana dan sarana transportasi
dan layanan akomodasi dan aset tidak berwujud (Sugiama, 2013). Sebuah
destinasi terdiri dari tiga komponen inti fasilitas, ameniti dan layanan
yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan wisatawan (Kamra, 2001).
Wisatawan yang berkunjung ke suatu Daerah Tujuan Wisata (DTW)
memerlukan berbagai kebutuhan dan pelayanan berupa makan dan
minum, tempat menginap dan alat transportasi dari satu tempat ke tempat
yang lain (Setyanto dan Pangestuti, 2019). Kebutuhan dan pelayanan di
suatu Daerah Tujuan Wisata harus didukung oleh empat komponen utama
kepariwisataan yang dikenal dengan istilah “4A” yaitu atraksi
(attraction), aksesibilitas (accessibility), ameniti (amenity), dan ansilari
atau ancillary (Cooper, 2010; Suwena dan Wydiatmaja, 2010; Andrianto
dan Sugiama, 2016).

Gambar 2. 4 Komponen Aset Pariwisata


Sumber: Sugiama, 2016

Attraction merupakan suatu objek yang memiliki daya tarik bagi


wisatawan untuk mengunjungi dan menikmati/menyaksikan objek

35
tersebut. Lalu Access merupakan fasilitas prasarana dan sarana yang
memungkinkan wisatawan dapat menjangkau atau sampai ke destinasi
wisata yang ditujunya. Faktor dalam komponen aksesibilitas diantaranya
fasilitas transportasi lokal dan terminal. Selain itu, Amenities meliputi
beragam fasilitas untuk memenuhi kebutuhan akomodasi (penginapan)
penyediaan tempat makan dan minum, tempat hiburan (entertainment),
tempat berbelanja (retailing) dan fasilitas penunjang lainnya misalnya
untuk kesehatan, perbankan dan jaminan keamanan. Sedangkan Ancilarry
services merupakan keberadaan berbagai organisasi yang ditujukan untuk
memfasilitasi dan mendorong berkembangnya kepariwisataan di destinasi
tersebut.

2.4.1 Aset Fasilitas Fisik Pariwisata


Fasilitas fisik adalah fasilitas yang disediakan oleh pengelola wisata
dalam rangka memberikan layanan dan memberikan peluang kepada
wisatawan untuk menikmatinya sehingga mendorong calon wisatawan
untuk mengunjungi dan menikmati atraksi wisata dalam waktu yang
relatif lama (Spillane, 2010). Fasilitas wisata merupakan salah satu unsur
dalam pengembangan destinasi wisata berupa layanan yang selalu tersedia
dimanfaatkan dengan menawarkan kualitas dan harga sesuai kebutuhan
pengunjung sehingga memberikan kepuasan kepada pengunjung selain
atraksi wisata (Ginting dan Sasmita, 2018).
Fasilitas wisata terbagi tiga yakni fasilitas akomodasi, fasilitas
pendukung, dan fasilitas penunjang pariwisata (Ginting dan Sasmita,
2018). Marzuki, et al (2017) berpendapat dimensi fasilitas wisata dibagi
ke dalam dua dimensi yakni fasilitas utama dan fasilitas pendukung.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dilakukan penggabungan dimensi
fasilitas wisata menjadi dua dimensi yaitu dimensi fasilitas utama dan
fasilitas pendukung. Dimensi akomodasi dimasukkan ke dalam fasilitas
utama karena menurut Marzuki, et al (2017) fasilitas akomodasi termasuk
dari indikator fasilitas utama. Demikian juga dengan dimensi fasilitas

36
penunjang wisata dimasukkan ke dimensi fasilitas pendukung karena
menurut Marzuki et al (2017) indikator fasilitas penunjang masuk ke
indikator fasilitas pendukung.

2.4.2 Aset Infrastruktur Pariwisata


Aset infrastruktur adalah penyediaan sarana dan prasarana fisik yang
dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial manusia yang
dapat dilihat dari ketersediaan jalan, transportasi, jalur pedestrian/jalur pejalan
kaki, utilitas berupa jaringan air bersih, jaringan listrik dan telekomunikasi
(Fahirah, 2010; Marzuki et. al, 2017; Ginting dan Sasmita, 2018; Mandic et. al,
2018; Heagnel et al, 2018). Infrastruktur merupakan aspek mencakup pariwisata
secara luas yang mendorong semua elemen dalam suatu destinasi dikembangkan
oleh karenanya perlu dibangun diperbaiki melalui inovasi dengan
mengombinasikan unsur budaya dengan sarana prasarana yang sudah ada atau
belum untuk meningkatkan kunjungan wisatawan (Ghani, 2017; Swarbrooke;
2021).

2.5 Estimasi Biaya


Estimasi biaya dalam suatu proyek diperhitungkan untuk pekerjaan
persiapan dan pekerjaan pembangunan. Estimasi adalah suatu proses yang
dilakukan menggunakan estimator dengan tujuan dapat menghasilkan estimasi
yang dibutuhkan (Harinaldi, 2005). Biaya adalah suatu pengorbanan dari sumber
ekonomi atau suatu proses untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk
mengetahui biaya yang akan dikeluarkan dalam pekerjaan yang dilakukan pada
masa sekarang atau masa yang akan datang (Siregar, 2013; Mislick dan
Nussbaum, 2015). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa estimasi biaya
adalah proses memperkirakan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu pekerjaan sesuai dengan kebutuhan baik pada masa sekarang atau yang akan
datang. Proyek pengembangan aset ini memerlukan estimasi biaya untuk kegiatan
pembongkaran, pembangunan, dan pengadaan. Biaya pembongkaran,
pembangunan dan pengadaan diuraikan sebagai berikut.

37
2.5.1 Biaya Pembongkaran
Biaya pembongkaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk
menghapuskan atau menghancurkan sebagian atau seluruh material suatu
bangunan atau fasilitas yang dilakukan agar dapat memberikan manfaat
dari hasil pembongkaran tersebut pada masa yang akan datang (Siregar,
2013). Menurut Zulfikar (2020), Faktor yang mempengaruhi biaya
pembongkaran bangunan yakni: (a) Lokasi, jika lokasi dengan akses yang
mudah maka harganya akan lebih murah; (b) Luas bangunan, dasar
perhitungan biaya bongkar bangunan berdasarkan ukuran bangunan dalam
satuan meter persegi; dan (c) Material bangunan, jika bangunan memiliki
material yang mudah rapuh sehingga mudah dibongkar maka akan
memiliki biaya bongkar yang lebih murah. Menurut Prawoto (2015) biaya
pembongkaran dapat dihitung berdasarkan satuan biaya per meter persegi
dikalikan dengan luas yang akan dibongkar. Rumus perhitungan biaya
pembongkaran:

Biaya pembongkaran = Luas bangunan x biaya per meter persegi

2.5.2 Biaya Pembangunan


Estimasi biaya pembangunan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
metode, yaitu survei kuantitas, unit terpasang dan meter persegi (Prawoto, 2015).
1. Metode Survei Kuantitas (Quantity Survei Method)
Metode ini mempertimbangkan perhitungan biaya berdasarkan pada rincian
untuk persediaan buruh, material dan peralatan yang digunakan pada proyek
pengembangan. Metode survei kuantitas dilakukan dengan menghitung
seluruh
atau sebagian unsur bangunan secara rinci mencakup biaya langsung dan
tidak langsung (Prawoto, 2015). Rumus perhitungan estimasi biaya
berdasarkan metode survei kuantitas sebagai berikut:

Biaya Pembangunan = (biaya langsung x harga satuan) + (biaya tidak langsung x


harga satuan)

38
2. Metode Unit Terpasang (Unit in Placed Method)
Metode unit terpasang adalah metode perhitungan biaya yang dilakukan
dengan menghitung biaya per unit berdasarkan jumlah riil material yang
digunakan untuk setiap meter persegi pada area tertentu (Prawoto, 2015).
Rumus perhitungan biaya unit terpasang sebagai berikut:

Biaya Pembangunan = satuan unit terpasang x harga satuan per unit

3. Metode Meter Persegi (Square Meter Method)


Metode meter persegi adalah metode perhitungan estimasi biaya berdasarkan
hitungan bangunan per meter persegi atau unit area yang telah diketahui,
setara maupun sejenis dan disesuaikan dengan waktu dan perbedaan fisik
(Prawoto, 2015). Rumus perhitungan estimasi biaya metode meter persegi
sebagai berikut:
Biaya Pembangunan = luas bangunan x harga/m2 bangunan

Metode yang akan digunakan untuk menghitung estimasi biaya pada


perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di Taman
Kehati Kiarapayung yakni metode meter persegi (square meter method).

2.5.3 Biaya Pengadaan


Biaya pengadaan adalah biaya yang timbul pada saat pembelian
suatu barang (Siswanto, 2007). Biaya-biaya pengadaan dirinci dan
dijumlahkan sehingga akan menghasilkan prakiraan biaya yang
dibutuhkan. Setelah mengetahui hasil dari estimasi biaya pengadaan,
kemudian jumlahkan dengan hasil perkalian dari estimasi biaya dan pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%. Biaya pengadaan menggunakan
Biayametode harga= satuan,
pengadaaan (Jumlahdihitung
fasilitas xdengan
Satuan rumus sebagai
harga per unit) +berikut.
PPN

39
2.6 Landasan Normatif
Landasan normatif yang digunakan sebagai acuan pada proyek
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati
Kiarapayung diuraikan sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Fungsi dan manfaat jalan dalam kawasan yakni menghubungkan antar persil
atau antar area dalam suatu kawasan, menghubungkan lokasi-lokasi strategis
pariwisata dalam suatu kawasan melalui jalur daratan, dan mengendalikan
akses dan penggunaan lahan sekitar jalan.
2. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Jalan dalam kawasan wisata termasuk jalan lingkungan sekunder dengan
ketentuan: (a) Didisain berdasarkan kecepatan 10 (sepuluh) kilometer per
jam; (b) Lebar badan jalan paling sedikit 6,5 (enam koma lima) meter; (c)
Syarat teknis diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau
lebih; (c) Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor mempunyai lebar badan jalan paling sedikit (tiga koma
lima) meter; dan (d) Ruang pengawasan jalan (ruang tertentu diluar ruang
milik jalan yang diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan
pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan) untuk jalan
lingkungan sekunder paling sedikit 2 (dua) meter. Standar Sarana dan
Prasarana Pelengkap Jalan dalam Kawasan Wisata meliputi: (a) Lampu
Penerangan Jalan: bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat
diletakkan atau dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian
median jalan), dan (b) Jenis lampu penerangan jalan yang diusulkan dalam
Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat diusulkan
menggunakan lampu penerangan jalan dengan solar cell.
4. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah (BMD). Pengelolaan BMD adalah kegiatan yang meliputi
perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan,
pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan,

40
pemusnahan, penghapusan, penatausahaan dan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.15 Tahun 2008
tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di Tempat Kerja. Fasilitas
pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) adalah semua perlengkapan,
peralatan, dan bahan yang digunakan dalam upaya memberikan pertolongan
pertama secara cepat dan tepat kepada orang yang mengalami sakit atau
cidera pada tempat itu sendiri
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 19 Tahun 2011 tentang Persyaratan
Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
7. Permenpar No.24 Tahun 2015 tentang Standar Usaha Bumi Perkemahan.
8. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
No. P.8 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Wisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Usaha Pariwisata Alam adalah keseluruhan kegiatan yang bertujuan untuk
menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan/pengunjung
dalam pelaksanaan kegiatan wisata alam, mencakup usaha obyek dan daya
tarik, penyediaan jasa, usaha sarana, serta usaha lain yang terkait dengan
wisata alam.
9. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
No. P.13 Tahun 2020 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Wisata
Alam di Kawasan Hutan.
10. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia No
3 Tahun 2022 tentang Petunjuk Operasional Pengelolaan Dana Alokasi
Khusus Fisik Pariwisata Tahun 2022. Kawasan Wisata Alam merupakan
kawasan tempat berlangsungnya kegiatan wisata alam di wilayah
pegunungan, hutan, serta bentang alam khusus, dilengkapi berbagai fasilitas
dan layanan, meliputi:
a. Fasilitas makan dan minum

41
Fasilitas makan dan minum atau plaza/area pengunjung di tempat wisata
berupa kios kuliner yang ditata berkelompok pada suatu area dalam
kawasan pariwisata dengan kriteria seperti yang tersaji pada Tabel 2.5.

Tabel 2. 5 Kriteria Pusat Kuliner


No. Unsur Sub Unsur
1 Penyediaa Menyajikan makanan tradisional yang dapat dikonsumsi oleh
n makanan masyarakat, minimal ada 5 jenis kuliner dan maksimal 20 serta
tidak ada duplikasi
2 Bangunan Luas setiap kios 3 m x 3 m dengan dapur 2m x 3m, Kapasitas
sentra maksimal 300 orang, penyediaan kursi 300 buah, meja 50-
60, dan tempat cuci tangan 12 buah serta dilengkapi fasilitas
penyandang disabilitas dengan lebar minimal 1,2 m
3 Material Jenis material lokal yang dapat digunakan meliputi paving
block/porous pavement, grass block, dan material lainnya yang
mampu menyerap air,anti slip, tidak licin, rata, dan dipasang
datar.
Sumber: Permenparekraf No. 3 Tahun 2022
Ketentuan plaza kuliner pada suatu destinasi wisata meliputi
menerapkan arsitektur budaya lokal, penataan berhadapan antara kios
kuliner baris pertama dan kedua dan menyediakan sirkulasi pejalan kaki,
area makan minum pada bagian tengah antara dua baris kios dengan
lebar minimum 6m, jarak antara unit kuliner satu dan lainnya memiliki
jarak minimum 3,5m (yang juga berfungsi sebagai akses), dan sarana
dan prasarana standar pelengkap terdiri dari toilet, tempat sampah,
instalasi listrik, APAR, serta saluran telepon dan internet. Indikasi biaya
pembangunan plaza kuliner sebesar Rp.1.250.000/m2 dan biaya
pembangunan kios Rp.5.000.000/m2.
b. Toilet
Ketentuan standar toilet: (1) Panjang bangunan 6 m, lebar 6 m dan teras
tangga-ramp 20 m2; (2) Bangunan satu lantai dan merupakan tipe
bangunan tertutup; (3) Ketinggian 60 cm dari permukaan tanah; (4)
Material: Struktur beton, dinding bata dilapisi waterproof, pintu dan
jendela aluminium, keramik toilet setara roman, atap; (5) plafond
gypsum/GRC dilapisi waterproof; saniter setara american standard
(termasuk kloset duduk dan jongkok, urinoar, toilet penyandang

42
disabilitas, janitor), sumber air bangunan toilet ini menyambung ke pipa
sumber air yang sudah ada; (6) Toilet juga dapat dilengkapi dengan
sarana dan prasarana lain disesuaikan dengan kebutuhan Kawasan
Wisata Alam. Indikasi biaya pembangunan toilet termasuk jaringan air
bersih, sumur pompa, jaringan listrik, dan jalur pembuangan sebesar
Rp.6.500.000/m2.
c. Pusat Informasi Pariwisata (Tourism Information Center)
Pusat Informasi Pariwisata (TIC) pada destinasi wisata dibagi menjadi 2
alternatif yakni alternatif satu dengan luas bangunan 150 m 2 dan
alternatif dua dengan luas bangunan 300 m2 . Ketentuan bangunan TIC
sebagai berikut: (1) Memiliki 4 ruangan yakni ruang staf, ruang display,
ruang serbaguna, toilet, dan gudang; (2)Tinggi bangunan 60 cm dari
permukaan tanah/panggung dengan teras-tangga-ramp 20 m2; (3)
Bangunan dapat berupa bangunan 1 (satu) atau 2 (dua) lantai; (4)
Bangunan tipe tertutup; (5) Material bangunan: struktur beton, dinding
dari susunan bata, lantai keramik, bukaan aluminium dan artificial
wood/composite wood, rangka atap baja ringan, atap genteng, plafond
gypsum/GRC. Indikasi biaya pembangunan pusat informasi pariwisata
sebesar Rp.6.500.000/m2.
d. Gazebo
Gazebo memiliki dua tipe yakni gazebo tipe satu (panggung) dan tipe
dua. Kriteria gazebo tipe satu: (1) Arsitektur disesuaikan dengan
arsitektural setempat pada masing-masing destinasi; (2) Panjang
bangunan 3 m dan lebar bangunan 2 m; (3) Bangunan panggung 1
lantai,tipe bangunan terbuka, tinggi 45 cm dari permukaan tanah; (4)
Material bangunan: Struktur beton, plafond gypsum/GRC, atap rangka
baja, atap genteng, lantai artificial wood/composite wood; dan (5)
Bangunan dapat dilengkapi dengan ornamen dan komponen pelengkap
sesuai dengan kebutuhan Kawasan Wisata Alam. Indikasi biaya
pembangunan gazebo 1 lantai sebesar Rp. 3.500.000/m2.
e. Tempat Ibadah/Mushola

43
Ketentuan standar tempat ibadah atau mushola: (1) Panjang 9 m, lebar 9
m dan teras-tangga-ramp 20 m2; (2) Tipe bangunan tertutup satu lantai
dan tinggi 60 cm dari permukaan tanah; (3) Material bangunan: Struktur
beton, dinding bata, lantai keramik, bukaan alumunium dan artificial
wood/composite wood, rangka atap baja ringan, atap genteng, plafond
gypsum/GRC; (4) Bangunan terdiri dari ruang shalat wanita kapasitas 24
orang dan ruang shalat pria kapasitas 24 orang; (5) Dilengkapi dengan
saniter (keran dan lain-lain) pada tempat wudhu, serta toilet untuk pria
dan wanita; (6) Sumber air bangunanmenyambung ke pipa sumber air
yang sudah ada; (7) Bagian depan bangunan atau terasdilengkapi dengan
fasilitas tempat duduk untuk pengguna melepaskan dan memasangkan
alas kaki, serta fasilitas rak sepatu untuk pengguna meletakkan sepatu.
Indikasi biaya pembangunan mushola atau tempat ibadah sebesar
Rp.6.000.000/m2.
f. Toko Cinderamata
Ketentuan toko cinderamata di tempat wisata: (1) Menerapkan
arsitektural budaya lokal pada bentuk atap dan bangunan kios; (2)
Panjang bangunan 3 m dan lebar bangunan 3 m; (3) Tipe bangunan semi
terbuka; (4) Material bangunan: Struktur beton, lantai keramik, plafond
gypsum/GRC, atap rangka baja dan atap genteng; (4) Kios dapat
dilengkapi dengan furnitur dan peralatan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing penjual pada kios cinderamata; (5) Luas ruangan sesuai
dengan kebutuhan jenis cinderamata; (6) Kios Cinderamata dapat
dirancang persatuan unit kecil atau berkelompok (terdiri dari beberapa
unit kecil kios pada); (7) Bentuk rak yang ideal untuk cinderamata
adalah rak single wall minimarket dan rak double dengan ukuran
panjang papan antara 30 cm–40 cm; (8) Jenis bahan ideal untuk
cinderamata adalah besi dengan ketebalan plat antara 0,5 mm – 0,6 mm
dan mampu menahan berat barang sebesar 30 kg–50 kg. Indikasi biaya
pembangunan kios cendera mata Rp.4.500.000/m2.
g. Fasilitas Kebersihan dan Keamanan

44
Fasilitas kebersihan di lokasi pariwisata adalah tempat sampah yang
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tempat sampah organik tertutup dan
tempat sampah anorganik tertutup. Tempat sampah outdoor di tempat
wisata terdiri dari tiga kompartemen atau tiga label tempat sampah: (1)
Label sampah organik (warna hijau); (2) Label sampah daur ulang
(warna biru); dan (3) Label sampah guna ulang (warna kuning).
Ketentuan standar: (1) Ukuran dimensi tempat sampah 104 cm x 40 cm
x 100 cm; (2) Material yang digunakanberupa fiber atau metal wooden;
(3) Memadukan aksen budaya lokal berupa ragam pola ornamen
budaya/motif batik yang diterapkan menggunakan laminate sticker
(tahan cuaca) pada sisi kiri dan kanan tempat sampah; (4) Tempat
sampah yang digunakan tidak mudah rusak dan kedap air, ekonomis dan
mudah dibuat/diperoleh, serta mudah dikosongkan; dan (5) Jumlah
sarana tempat sampah harus sesuai dengan pengelompokan sampah.
Indikasi biaya fasilitas tempat sampah outdoor 3 kompartemen
Rp.4.000.000,- per unit.
h. Menara Pandang. Menara pandang berfungsi sebagai pos jaga dan
fasilitas rekreasi wisatawan serta memiiki dua tipe , yakni tipe 1 dan 2.
Menara pandang tipe 1 berstruktur baja sedangkan menara pandang tipe
2 berstruktur beton. Kriteria dan disain menara pandang yakni: (1)
Tinggi bangunan minimal 3 m dan luas 20 m2; (2) Jenis bangunan semi
permanen menggunakan fondasi; dan (3) Menyediakan alat komunikasi
untuk penjaga pos, menyediakan peralatan seperti teropong, dan
pengeras suara, memiliki motif budaya lokal. Biaya pembangunan
menara pandang tipe 1 sebesar Rp.6.500.000/m2 dan Rp.7.000.000/m2
untuk menara pandang tipe dua.
i. Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian)
Jalur pejalan kaki merupakan jalur disediakan untuk pejalan kaki untuk
meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki.
Kriteria jalur pedestrian yakni memenuhi sarana dan prasarana
pelengkap seperti rambu dan marka jalan, tersedia tempat sampah yang

45
terletak setiap 20 meter atau sesuai kebutuhan, lampu penerangan
berkisar antara 50-150 lux yang terletak setiap 10 meter dengan tinggi
maksimal 4 meter, drainase, ramp, dan toilet umum. Indikasi biaya:
Rp.1.250.000,-/m2.
j. Area/Tempat Parkir
Pembangunan tempat parkir perlu memperhatikan SRP (Satuan Ruang
Parkir) dan pola parkir untuk memudahkan pengguna. Kriteria tempat
parkir pada suatu kawasan wisata disajikan pada Tabel 2.6.

Tabel 2. 6 Kriteria Tempat Parkir


Kategori Keterangan
A. Satuan Ruang Parkir (SRP)
Ruang Bebas Kendaraan Parkir Jarak bebas arah lateral 5 cm dan jarak
bebas longitudinal 30 cm
Lebar Bukaan Pintu Kendaraan SRP a. Mobil penumpang gol I: 2,3 x 5
(m2) b. Mobil penumpang gol II: 2,5 x 5
c. Mobil Penumpang gol III: 3 x 5
d. Bus/Truk: 3,4 x 12,5
e. Sepeda Motor: 0,75 x 2
B. Pola Parkir Kendaraan
Parkir Kendaraan Satu Sisi:
a.Tegak Lurus Membentuk sudut 90
derajat.
b.Pola Sudut Penerapan barisan 30,
45, dan 60 derajat.

Parkir Kendaraan Dua Sisi:


a. Tegak Lurus Berhadapan
Membentuk sudut 90 derajat
b. Pola Sudut Berhadapan Penerapan
barisan 30, 45, dan 60 derajat.

Pola Parkir Bus/Truk Dibuat


menyudut 60 atau 90 derajat.

Pola Parkir Sepeda Motor Posisi sudut


90 derajat dapat dibuat satu sisi atau dua
sisi.

46
11. Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 93 Tahun 2017 tentang Standar
Pembangunan dan Pengelolaan Daya Tarik Wisata.

2.7 Penelitian Sebelumnya


Penelitian sebelumnya yang menjadi rujukan dalam penelitian ini disajikan
pada Tabel 2.7.
Tabel 2. 7 Penelitian Sebelumnya
Kriteria/ Dimensi yang
No. Penulis Judul Penelitian
digunakan
1 Azizan Marzuki, Linking nature-based Physical, Environment,
Mana Khoshkam, tourism attributes to tourists Main Facilities, Support
Diana Mohamad dan satisfaction (2017) Facilities,Infrastructure
Irhanida Abdul Kadir
2 Nurlisa Ginting dan Developing tourism Accommodation, support
Anggun Sasmita facilities based on facilities and auxiliary
geotourism in Silalahi facilities
Village, Geopark Toba
Caldera (2018)
3 Essam Metwally Use Energy Efficiency, Eco- The development of the
Design, and Eco-Friendly ecotourism concept must
Materials to Support Eco- consider three things,
Tourism namely energy production,
environmental pollution
control, and the use of
materials in the final
product
4 A Gima Sugiama dan The Identification of Infrastructure, Accessibility,
Nufi Trani Infrastructure, Accessibility, Environment,Physical
Environment, and Physical Tourism Attraction
Tourism Attraction
Resources: Cibeureum Lake
Case (2021)
5 A Gima Sugiama, Tourism Potential Attractiveness, Accessibility,
Femmy Indriany Resources Measurement: Infrastructure,
Dalimunthe dan The Talaga Pancar Lake Environmental
Rinjani Sastrowati Case (2022) degradatioon

2.8 Kerangka Berfikir Proyek


Kerangka berpikir adalah model konseptual yang bertujuan untuk
menggambarkan kompleksitas hubungan antara faktor atau variabel yang
diidentifikasi penting dalam suatu permasalahan (Sugiama, 2008). Kerangka
berfikir teoritikal ini dibangun berdasarkan logika alur teori yang bersumber dari

47
berbagai literatur atau dokumen hasil penelitian sebelumnya dalam area masalah
yang sama (Sekaran, 2003). Kerangka berpikir dalam proyek ini, diawali dengan
identifikasi permasalahan yang ada pada Taman Kehati Kiarapayung. Berdasarkan
hasil observasi dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang ada aset fasilitas
fisik (fasilitas utama dan fasilitas pendukung) dan infrastruktur belum memadai
dan memenuhi kriteria sehingga perlu dilakukan perencanaan pengembangan aset.
Rencana pengembangan membutuhkan landasan teori dan normatif sebagai acuan
dan referensi kajian perencanaan pengembangan. Selain itu dibutuhkan juga
benchmarking sebagai referensi tambahan sehingga dihasilkan rancangan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur serta estimasi biaya yang
dibutuhkan dalam pengembangan aset. Hasil dan luaran proyek berupa site plan
pengembangan aset (2D), poster pengembangan aset, video disain 3D dan buku
laporan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di Taman Kehati
Kiarapayung. Kerangka berfikir proyek pengembangan aset fasilitas fisik dan
infrastruktur Taman Kehati disajikan pada Gambar 2.5.

48
Gambar 2. 5 Kerangka Berfikir Proyek Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung

BAB III
METODE PERANCANGAN PENGEMBANGAN ASET
FASILITAS FISIK DAN INFRASTRUKTUR

3.1 Metode Perancangan


Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur
berdasarkan konsep ekowisata pada Taman Kehati Kiarapayung
menggunakan metode deskriptif. Merujuk kepada Sugiama (2013),
penggunaan metode dimaksudkan untuk menguraikan dan menganalisis
data yang telah dikumpulkan mengenai proyek pengembangan aset
fasilitas fisik dan infrastruktur di Taman Kehati Kiarapayung. Pendekatan
yang digunakan pada proyek ini yakni jenis pendekatan penelitian
kualitatif dan kuantitatif (mixed method).
Pendekatan kualitatif digunakan karena pengumpulan data dalam
penelitian ini juga berupa kata-kata tertulis atau lisan dari Pengelola
Taman Kehati, memahami lebih mendalam mengenai kualitas aset dan
perilaku yang dapat diamati secara deskriptif seperti untuk mengukur
hasil wawancara narasumber terhadap penelitian yang dilakukan sehingga
dapat menarik kesimpulan dari data lapangan. Pendekatan kuantitatif
digunakan karena menggunakan data lapangan berupa angka dari hasil

49
pengamatan/survei lapangan untuk menghitung kebutuhan ruang dan
jumlah aset fasilitas infrastruktur serta estimasi biaya pengembangannya.

3.2 Prosedur Perancangan


Prosedur proyek pengembangan fasilitas fisik dan infrastruktru Taman
Kehati Kiarapayung sebagai berikut.
1. Survei pendahuluan. Tahap ini dilakukan oleh penulis melalui penelitian
studi kasus. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi fenomena-
fenomena masalah yang terjadi pada Taman Kehati Kiarapayung (TKK).
2. Mengidentifikasi permasalahan. Tahap ini dilakukan untuk mengidentifikasi
permasalahan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di Taman Kehati
Kiarapayung.
3. Menetapkan identifikasi proyek. Identifikasi proyek meliputi: (a) Menyusun
rencana pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati
Kiarapayung; dan (b) Menghitung estimasi biaya pengembangan aset
fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung.
4. Menentukan tujuan proyek, yakni: (a) Menghasilkan rancangan pengembangan
aset fasilitas fisik dan infrastruktur pada Taman Kehati Kiarapayung; dan (b)
Mengetahui estimasi biaya perencanaan pengembangan aset fisik dan infrastruktur
di TKK.
5. Memilih landasan teori dan landasan normatif. Landasan teori yang
digunakan yakni Linking Nature-Based Tourism Attributes to Tourists’
Satisfaction (Marzuki et al, 2017) dan Developing Tourism Facilities Based
on Geotourismi in Silalahi Village, Geopark Toba Caldera (Ginting dan
Sasmita, 2018) dan Use Energy Efficiency, Eco-Design, and Eco-Friendly
Materials to Support Eco-Tourism (Metwally, 2019). Sedangkan landasan
normatif yang menjadi rujukan meliputi UU No. 38 Tahun 2004, UU No. 26
Tahun 2007, PP No. 34 Tahun 2006, Permen PU No.19 Tahun 2011, Permen
LHK No. P8 Tahun 2019, Permen LHK No. 13 Tahun 2020, Permenparekraf
No. 3 Tahun 2022 dan Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 97 Tahun 2017.

50
6. Pengumpulan Data. Proyek ini menggunakan data kualitatif dan kuantitatif.
Sumber data berupa data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan
data melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi dan bencmarking.
Data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan pengelola
Taman Kehati Kiarapayung. Data sekunder diperoleh dari studi dokumentasi
dari publikasi, peraturan-peraturan, publikasi ilmiah dan data digital.
7. Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
8. Menyusun Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas dan Infrastruktur.
Perencanaan pengembangan aset berdasarkan konsep ekowisata disusun
dengan memperhatikan jenis asetnya. Benchmark terhadap aset yang
mempunyai kesamaan karakteristik dilakukan untuk selanjutnya dilihat dan
dimodifikasi kelebihannya sebagai tolok ukur dalam pengembangan aset.
9. Menyusun laporan proyek. Tahapan terakhir dalam prosedur proyek yakni
menyusun laporan sesuai dengan hasil dan pembahasan yang dilakukan
mulai proses dari awal sampai akhir proyek.
Prosedur proyek pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur Taman
Kehati Kiarapayung disajikan pada Gambar 3.1.

51
Gambar 3. 1 Prosedur Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung

3.3 Benchmarking
Benchmarking pada proyek ini dilakukan untuk mencari data tambahan
sebagai refrensi kemudian dilakukan modifikasi serta diimplementasikan dalan
desain rancangan pengembangan aset fasilitas di Taman Kehati Kiarapayung. Hal
ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Rivai dan Murni (2012) bahwa
benchmarking merupakan proses mencari dan latihan secara terus menerus yang
mengantar kita menuju pada penampilan terbaik.

3.4 Jenis dan Sumber Data


Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur pada Taman
Kehati menggunakan dua jenis data yakni data kualitatif dan data kuantitatif
(Sugiama, 2008). Data proyek terdiri dari: (1) Data kualitatif pada proyek ini yaitu
mengenai gambaran umum, tata letak dan kondisi aset fasilitas fisik dan
infrastruktur TKK; dan (2) Data kuantitatif pada proyek ini yaitu luas lahan yang
dapat dikembangkan, jumlah dan ukuran aset fisik yang tersedia, ukuran tapak,
dan biaya pembongkaran dan pembangunan.
Sumber data dalam proyek ini dibedakan berdasarkan cara mendapatkannya,
terdiri dari dua jenis yakni data primer dan data sekunder (Sugiama, 2008). Data
primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh
dari pihak lain selain peneliti (Sekaran & Bougie, 2016).
1. Data primer
Sumber data primer pada proyek perencanaan pengembangan aset fasilitas
fisik dan infrastruktur Taman Kehati diperoleh dengan cara:
a. Wawancara kepada pihak pengelola Taman Kehati Kiarapayung yaitu
Kasie/Penyuluh Bidang Konservasi, Pengolah Data Konservasi, Staf
Bidang Konservasi dan Pengawas Lapangan mengenai sejarah

52
pembangunan Taman Kehati Kiarapayung, luas lahan, jenis fasilitas dan
infrastruktur yang tersedia, ukuran setiap jenis fasilitas dan infrastruktur,
kondisi fasilitas dan infrastruktur yang ada dan aktivitas yang dapat
dilakukan;
b. Observasi lapangan untuk mengetahui kondisi dan ketersediaan aset
fasilitas fisik dan infrastruktur di Taman Kehati Kiarapayung.
2. Data sekunder
Data sekunder dalam proyek ini diperoleh dengan cara studi dokumentasi
dan bencmaking. Data sekunder dalam proyek ini berupa dokumen yang
diperoleh dari pengelola Taman Kehati Kiarapayung, peraturan-peraturan
yang sesuai, jurnal dan publikasi ilmiah serta data yang berasal dari internet
terkait taman kehati.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada proyek perencanaan pengembangan ini
dilakukan melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi dan benchmarking.
Berikut penjelasan dari masing-masing Teknik pengumpulan data.
1. Observasi dilakukan dengan cara mengunjungi lokasi objek proyek secara
langsung yaitu di TKK. Observasi dilakukan untuk mengamati ketersediaan
dan kondisi aset fasilitas dan infrastruktur di TKK, melihat lahan yang akan
dikembangkan serta mencatat data-data yang diperoleh. Alat bantu yang
digunakan dalam observasi yakni kamera handphone, meteran dan alat tulis.
2. Wawancara. Unit observasi dalam penelitian ini adalah pengelola Taman
Kehati yang berada di Bidang Konservasi Dinas Lingkungan Hidup Provinsi
Jawa Barat. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara didisain dengan
pendekatan pola 5W+1H: What, Who, Where, When, Why dan How merujuk
kepada Aaker dalam Sugiama (2016:135). Wawancara dilakukan untuk
mengetahui data dan informasi mengenai pengelolaan dan ketersediaan aset
fasilitas fisik terdiri dari fasilitas utama, pendukung dan aset infrastruktur.
Teknik wawancara yang digunakan yaitu teknik wawancara bebas terpimpin

53
untuk dengan menggunakan interview guide dan menggunakan media berupa
catatan dan perekam suara.
3. Studi dokumentasi dilakukan dengan mencari peraturan, sumber
penelitian/jurnal ilmiah, data dari sumber resmi pemerintah/instansi, data dari
internet dan dokumentasi yang mendukung pengerjaan proyek. Media yang
digunakan alat tulis dan kamera handphone.
4. Benchmarking atau studi banding dilakukan terhadap aset akomodasi berupa
cottage dari Dream Cliff Mountain Resort, greenhouse dari Queen Sirikit
Botanic Garden, fasilitas makan minum dari Bangkok Tree House
Restaurant, dan area piknik dari Kelley Picnic Area, Cleveland Metro Park.

3.6 Teknik Analisa Data


Teknik analisis data menggunakan metode analisis deskriptif dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis deskriptif dilakukan dengan
menyusun, merapikan, meringkas, dan menyajikan data agar dapat dianalisis
dengan memberikan deskripsi serta gambaran terkait data yang diperoleh secara
terbuka tanpa bermaksud membuat kesimpulan secara general (Sugiama, 2008;
Sugiyono, 2018).
1. Teknik analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk
menganalisis kondisi dan standar yang berlaku sebagai kondisi ideal,
mengolah hasil wawancara dengan pengelola objek, menganalisis hasil
benchmarking, dan mendeskripsikan serta membuat rancangan
pengembangan aset berdasarkan landasan teori dan normatif yang digunakan.
Teknik analisis data residual digunakan untuk menganalisis data hasil
wawancara merujuk kepada Miles dan Huberman dalam Sugiono (2011).
Tahapan dalam analisis data terbagi tiga, reduksi data, display data dan
verifikasi data.
a. Reduksi data adalah proses merangkum, memilih hal-hal pokok dan
memfokuskan pada hal-hal yang penting, sehingga data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran dan mempermudah peneliti dalam

54
melakukan pengumpulan data pada penelitian selanjutnya (Sugiono,
2012).
b. Display data. Miles dan Huberman dalam Sugiono (2012) berpendapat
bahwa teks yang bersifat naratif lebih sering dipergunakan dalam
penyajian data pada penelitian kualitatif. Display data mempermudah
pemahaman dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan pemahaman
yang ada.
c. Verifikasi data. Langkah ketiga dalam analisis penelitian kualitatif adalah
verifikasi dan penarikan kesimpulan. Data jawaban dari masing-masing
informan kemudian diverifikasi dan dibuat kesimpulan secara menyeluruh
untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan sebelumnya.
Data primer yang digunakan berupa gambaran umum, kondisi saat ini dari
aset fasilitas dan infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung yang diperoleh dari
hasil observasi serta wawancara kepada pengelola TKK. Data sekunder yang
digunakan yakni studi dokumentasi dari artikel jurnal dan peraturan mengenai
standar kriteria dan standar rancangan pengembangan aset fasilitas dan
infrastruktur sebagai landasan teori, landasan normatif, dan benchmarking.
Pendekatan kualitatif ini menghasilkan simpulan hasil perbandingan, melakukan
perancangan pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur berdasarkan konsep
ekowisata dan menyesuaikan kondisi lapangan.
2. Teknik analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif pada proyek ini
meliputi penganggaran dan teknis bangunan yang diuraikan sebagai berikut.
a. Penganggaran, meliputi biaya pembongkaran, biaya pengadaan, biaya
pembangunan, dan total biaya proyek.
1). Biaya Pembongkaran. Pembongkaran adalah kegiatan menghancurkan
seluruh dan/atau sebagian bangunan atau fasilitas meliputi komponen,
material, dan/atau sarana prasarana. Biaya pembongkaran dihitung
berdasarkan biaya per meter persegi (Prawoto, 2015), dirumuskan:
Biaya pembongkaran = Luas bangunan x Biaya per meter persegi

2). Biaya Pengadaan. Biaya pengadaan fasilitas adalah biaya yang

55
dibutuhkan untuk pembelian atas peralatan dalam perancangan suatu
proyek. Total biaya pengadaan dijumlahkan dengan PPn sebesar 11%.
Biaya pengadaan menggunakan metode harga satuan, dihitung dengan
rumus (Siswanto, 2007):
Biaya pengadaan = (Jumlah fasilitas yang dibutuhkan x harga satuan) + PPN
3). Biaya Pembangunan. Biaya pembangunan merupakan biaya yang
disediakan pada saat akan mengadakan proyek pembangunan. Biaya-
biaya tersebut akan dirinci dan dijumlahkan sehingga akan
menghasilkan prakiraan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan
kawasan wisata. Biaya pembangunan menggunakan metode meter
persegi dihitung dengan rumus (Prawoto, 2015) :
Biaya pembangunan = Luas bangunan x Harga per meter persegi
4). Total Biaya Proyek. Total biaya proyek merupakan total biaya yang
harus dikeluarkan agar proyek yang dilaksanakan dapat segera
difungsikan.
Total
Totalbiaya proyek
Biaya Proekdihitung
= Total dengan rumus:
Biaya Pembongkaran + Total Biaya
Pengadaan + Total Biaya
Pembangunan

b. Teknis bangunan
Proyek ini dilaksanakan sesuai dengan perhitungan teknik bangunan.
Perhitungan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1). Koefisien Dasar Bangunan (KDB). KDB menjelaskan mengenai
persentase antara luas lantai dasar bangunan dengan luas lahan atau
daerah perencanaan yang dikuasai. KDB dihitung dengan rumus:
KDB = 10 % x Luas Daerah Perencanaan
2). Koefisien Dasar Hijau (KDH). Koefisien dasar hijau menjelaskan
persentase perbandingan luas dari seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung dengan luas lahan. KDH dihitung dengan rumus:
KDH = 90 % x Luas Daerah Perencanaan

56
Teknik Analisa dalam proyek pengembangan aset fasilitas fisik dan
infrastruktur di Taman Kehati Kiarapayung disajikan pada Gambar 3.5.

Gambar 3. 2 Teknik Analisa Data Proyek

3.7 Kerangka Acuan Kerja Proyek


Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau dikenal juga dengan istilah Term of
Reference (TOR) adalah dokumen perencanaan kegiatan yang berisi informasi
gambaran umum dan uraian kegiatan proyek yang digunakan agar pengerjaan
proyek lebih lebih terarah. KAK perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik
dan infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3. 1 KAK Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur
Taman Kehati Kiarapayung
No. Uraian Deskripsi/Keterangan
1 Nama Proyek Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur Berdasarkan Konsep Ekowisata pada
Taman Kehati Kiarapayung
2 Latar belakang Hasil dari penelitian studi kasus menunjukkan bahwa
Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur di Taman Kehati
Kiarapayung belum memadai dan belum sesuai kriteria
3 Identifikasi Proyek 1. Menyusun rencana pengembangan aset fasilitas
fisik dan infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung;
2. Menghitung estimasi biaya perencanaan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur
Taman Kehati Kiarapayung.
4 Tujuan Proyek 1. Menghasilkan rancangan pengembangan aset
fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati

57
No. Uraian Deskripsi/Keterangan
Kiarapayung;
2. Mengetahui estimasi biaya pengembangan aset
fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati
Kiarapayung.
5 Lokasi Proyek Kp. Cikeuyeup, Ds. Sindang Sari, Kecamatan Sukasari,
Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat 45366.
6 Jangka Waktu Proyek Proyek dilaksanakan mulai dari bulan Agustus 2022
sampai dengan Desember 2022
7 Landasan Teori 1. Nature Base Tourism (Marzuki et al, 2017; Ginting
dan Sasmita, 2018) meliputi: (a) Fasilitas utama;
(b) Fasilitas pendukung; dan (c) Infrastruktur.
2. Ekowisata (Nugroho, 2018; Metwally, 2019)
3. Estimasi Biaya (Prawoto, 2015) meliputi: (a)
Metode survei kuantitas; (b) Metode unit
terpasang; dan (c) Metode meter persegi
8 Landasan Normatif 1. Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Jalan;
2. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Jalan;
3. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang
Jalan;
4. Permenpu No. 19/Prt/M/2011 tentang tentang
Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan
Teknis Jalan;
5. Permen LHK No, 3 Tahun 2012 tentang
Keanekaragaman Hayati;
6. Permen LHK
No.P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang
Pengusahaan Wisata Alam di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman
Wisata Alam;
7. Permen LHK No.
P.13/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2020 Tentang
Pembangunan Sarana Dan Prasarana Wisata Alam
Di Kawasan Hutan;
8. Permenparekraf RI No. 3 Tahun 2022 tentang
Petunjuk Operasional Pengelolaan Dana Alokasi
Khusus Fisik Pariwisata Tahun 2022;
9. Perda Jabar No. 3 Tahun 2019 tentang Pengelolaan
Barang Milik Daerah;
10. Pergub Jabar No. 97 Tahun 2017 tentang Standar
Pembangunan dan Pengelolaan Daya Tarik Wisata.
9 Metode Perancangan Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
Proyek pendekatan kualitatif dan kuantitatif
10 Data dan Informasi Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan
kuantitatif. Data yang digunakan yaitu data primer, yang
bersumber dari wawancara pengelola dan observasi
dengan mengamati secara langsung kondisi aset di
Taman Kehati Kiarapayung. Data sekunder yang
digunakan dalam proyek ini berupa data-data dari hasil
studi literatur perencanaan pengembangan, landasan
normatif dan dokumen terkait yang terdapat di Taman
Kehati Kiarapayung yang didapat melalui pengelola.
11 Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi ilmiah
2. Wawancara

58
No. Uraian Deskripsi/Keterangan
3. Studi dokumentasi
4. Studi banding (Bencmarking)
12 Teknik Analisa Data Analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif
11 Luaran Proyek 1. Site plan (zonasi) pengembangan aset fasilitas fisik
dan infrastruktur dua dimensi (2D);
2. Poster pengembangan aset fasilitas fisik dan
infrastruktur;
3. Video disain 3D Taman Kehati Kiarapayung;
4. Buku laporan pengembangan aset fasiitas fisik dan
infrastruktur di Taman Kehati Kiarapayung.

3.8 Operasionalisasi Proyek


Operasionalisasi proyek berisi uraian susunan dimensi, faktor,
indikator, dan butir pertanyaan dan teknik pengumpulan data yang
digunakan pada proyek ini. Dimensi yang digunakan yaitu fasilitas utama,
fasilitas pendukung dan infrastruktur. Operasionalisasi proyek
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati
Kiarapayung berdasarkan konsep ekowisata disajikan pada Tabel 3.2.

59
Tabel 3. 2 Operasionalisasi Proyek Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung
Teknik Pengumpulan
Variabel Dimensi dan Definisi Indikator Kisi-Kisi Pernyataan
Data
Aset Fasilitas wisata 1. Aset Fasilitas Utama 1.1 Akomodasi 1.1.1 Minat pengunjung terhadap fasilitas Wawancara, Observasi
di Taman Kehati (Main Facilities Asset) (Penginapan) akomodasi
berdasarkan kriteria Aset Fasilitas utama 1.1.2 Ketersediaan dan lokasi fasilitas
nature based tourism adalah sarana yang sangat akomodasi
meliputi fasilitas fisik diperlukan dan dibutuhkan 2.1.1 Ukuran cottage yang akan dibangun Studi Dokumentasi,
yang terdiri dari oleh wisatawan selama 2.1.2 Jumlah cottage yang akan dibangun Benchmarking
fasilitas utama dan mengunjungi tempat 2.1.3 Penyesuaiata letak akomodasi
pendukung dan aset wisata dan dapat penginapan (cottage) di kawasan
infrastruktur (Marzuki mendorong fasilitas lain wisata
et. al, 2017; Ginting untuk berkembang, 2.1.4 Material yang digunakan
dan menarik minat serta 2.2 Fasilitas/Tempat 2.2.1 Ketersediaan fasilitas makan dan Wawancara, Observasi
Sasmita, 2018) mempertahankan loyalitas makan dan minum minum
wisatawan, yang 2.2.2 Urgensi fasilitas makan dan minum
ditunjukkan oleh indikator 2.3.1 Ukuran fasilitas makan dan minum Studi Dokumentasi,
penginapan (akomodasi), 2.3.2 Jumlah kios makanan dan minuman Benchmarking
fasilitas berjualan 2.3.3 Rencana tata letak
makanan dan minuman, 2.3.4 Material yang digunakan
fasilitas rekreasi dan toilet 2.4 Fasilitas rekreasi 2.4.1 Ketersediaan fasilitas rekreasi Wawancara, Observasi
(Priskin,2001; Vengesayi, 2.4.2 Jenis fasilitas rekreasi
2009; Syahputra dkk., 2.4.3 Lokasi fasilitas rekreasi
2015; Rosita dkk., 2016; 2.5.1 Luas fasilitas rekreasi dan edukasi Studi Dokumentasi
Marzuki et. al, 2017; 2.5.2 Jumlah fasilitas rekreasi dan edukasi
Ginting dan Sasmita, 2.5.3 Penyesuaian tata letak
2018). 2.5.4 Material yang digunakan
2.6 Toilet 2.6.1 Ketersediaan fasilitas toilet Wawancara, Observasi
2.6.2 Lokasi fasilitas toilet
2.7.1 Ukuran dan jumlah kebutuhan toilet Studi Dokumentasi,
2.7.2 Bagaimana rencana tata letak toilet Benchmarking
2.7.3 Material yang digunakan

56
Teknik Pengumpulan
Variabel Dimensi dan Definisi Indikator Kisi-Kisi Pernyataan
Data
3. Aset Fasilitas Pendukung 3.1 Area berkemah 3.1.1 Ketersediaan dan aktivitas berkemah Wawancara, Observasi
(Supportting Facilities 3.1.2 Jumlah kunjungan pengunjung
Asset) 4.1.1 Luas areal berkemah Studi Dokumentasi
Aset fasilitas pendukung 4.1.2 Penyesuaian tata letak area berkemah
adalah sarana atau fasilitas 5.1 Tempat parkir 5.1.1 Perbandingan kendaraan pengunjung Wawancara, Observasi
yang secara proporsional 5.1.2 Ketersediaan area parkir
berfungsi sebagai 5.1.3 Lokasi dan urgensi area parkir
pelengkap, penambah nilai 6.1.1 Luas area parkir Studi Dokumentasi
dan manfaat fasilitas 6.1.2 Penyesuaian tata letak area parkir
utama yang membuat 6.1.3 Kelengkapan rambu-rambu area
wisatawan merasa lebih parkir
nyaman berada di tempat 6.1.4 Material yang digunakan
wisata, disajikan dengan
6.2 Mushola/Tempat 6.2.1 Ketersediaan fasilitas tempat Wawancara, Observasi
indikator fasilitas/tempat
ibadah ibadah/mushola
berkemah, fasilitas/tempat
6.3.1 Ukuran tempat ibadah/mushola Studi Dokumentasi
parkir, pusat informasi
6.3.2 Kelengkapan fasilitas tempat ibadah
gazebo/shelter, fasilitas
6.3.3 Material yang digunakan
kebersihan dan keamanan,
6.4 Gerbang masuk 6.4.1 Ketersediaan fasilitas gerbang masuk Wawancara, Observasi
tempat ibadah/mushola,
toko cinderamata, fasilitas 6.5.1 Ukuran gerbang masuk Studi Dokumentasi
keamanan dan kebersihan, 6.5.2 Bagaimana penyesuaian tata letak
meja piknik dan papan 6.5.3 Material apa saja yang digunakan
petunjuk/tanda (Priskin, 6.6 Pusat informasi 6.6.1 Ketersediaan fasilitas pusat Wawancara, Observasi
2001; Alleaddinoglu dan informasi
Can, 2011; Syahputra 6.6.2 Lokasi fasilitas pusat informasi
dkk., 2015; Rosita dkk.,
2016; Harahap dkk., 2017; 6.7.1 Ukuran/luas pusat informasi Studi Dokumentasi
Marzuki et. al, 2017; 6.7.2 Kelengkapan fasiltas pusat informasi
Ginting dan Sasmita, 6.7.3 Bagaimana penyesuaian tata letak
6.7.4 Material yang digunakan

57
Teknik Pengumpulan
Variabel Dimensi dan Definisi Indikator Kisi-Kisi Pernyataan
Data
2018; Sugiama dkk., 6.8 Gazebo/shelter 6.8.1Ketersediaan gazebo/shelter Wawancara, Observasi
2022). 6.8.2Lokasi penempatan gazebo/shelter
6.9.1 Ukuran dan jumlah gazebo/shelter Studi Dokumentasi
6.9.2 Bagaimana rencana tata letak
gazebo/shelter
6.9.3 Material yang digunakan
6.10Fasilitas kebersihan 6.10.1 Ketersediaan fasilitas kebersihan Wawancara, Observasi
dan keamanan dan keamanan
6.10.2 Kendala keamanan dan kebersihan
6.10.3 Jenis dan jumlah fasilitas Studi Dokumentasi,
6.10.4 Bagaimana penyesuaian tata letak Benchmarking
fasilitas kebersihan dan keamanan
6.10.5 Material yang digunakan untuk
fasilitas keamanan dan kebersihan
6.11Papan 6.11.1 Ketersediaan fasilitas papan Wawancara dan
petunjuk/Penanda petunjuk/penanda Observasi
6.12.1 Jumlah papan petunjuk Studi Dokumentasi
6.12.2 Bagaimana rencana tata letak papan
petunjuk
6.12.3 Apa saja material yang dapat
digunakan
6.13Toko cinderamata 6.13.1 Ketersediaan toko cinderamata Wawancara dan observasi
6.13.2 Jenis cinderamata
6.13.3 Berapa luas toko cinderamata Studi Dokumentasi
6.13.4 Jumlah toko cinderamata
6.13.5 Penyesuaian tata letak toko
cinderamata
6.13.6 Material yang digunakan
7. Aset Infrastruktur 7.1 Jalan 7.1.1 Ketersediaan jalan Wawancara, Observasi,
(Infrastructure Asset) 7.1.2 Kondisi jalan

58
Teknik Pengumpulan
Variabel Dimensi dan Definisi Indikator Kisi-Kisi Pernyataan
Data
Aset infrastruktur adalah 7.1.3 Panjang ruas jalan
penyediaan sarana dan 8.1.1 Ukuran jalan wisata Studi Dokumentasi
prasarana fisik yang 8.1.2 Material apa yang akan digunakan
dibutuhkan dalam rangka 8.2 Jalur pejalan kaki 8.2.1 Ketersediaan jalur pejalan kaki Wawancara, Observasi
memenuhi kebutuhan 8.2.2 Kondisi jalur pejalan kaki
ekonomi dan sosial
manusia yang dapat dilihat 8.3.1 Ukuran jalur pejalan kaki Studi Dokumentasi
dari ketersediaan jalan, 8.3.2 Apa saja material yang akan
transportasi dan sistem digunakan
utilitas, indikator yang 8.4 Jaringan air bersih 8.4.1 Ketersediaan jaringan air bersih Wawancara, Observasi
ditampilkan terdiri dari
jalan, transfer lokal dan 8.5.1 Jaringan air bersih yang akan Studi Dokumentasi
jaringan air bersih disediakan
(Vengesayi et. al, 2009; 8.5.2 Bagaimana tata letak jaringan air
Fahirah, 2010; bersih
Alleadinoglu dan Can, 8.6 Jaringan listrik 8.6.1 Ketersediaan jaringan listrik Wawancara, Observasi,
2011; Marzuki et. al,
2017; Mandic et.al., 2018; 8.6.2 Jaringan listrik yang akan Studi Dokumentasi
Heagney et. al, 2018). disediakan
8.6.3 Daya listrik yang perlu tersedia

59
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Taman Kehati Kiarapayung


Objek pada proyek ini yakni perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik
(fasilitas utama dan pendukung) dan infrastruktur pada Taman Kehati
Kiarapayung (TKK) yang beralamat di Kp. Cikeuyeup Ds. Sindang Sari
Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang. Aset TKK terdiri dari lahan seluas 16
ha, bangunan, jalan, peralatan, dan keanekaragaman tumbuhan. Berdasarkan
klasifikasi aset menurut Campbell (2011), aset wisata ini diklasifikasikan kedalam
jenis aset real estate, facilities, dan infrastructure. Berdasarkan siklus aset
menurut ISO 55001 dan Sugiama (2013), objek proyek berada pada tahap
perencanaan aset.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pemilik aset membangun Taman
Kehati Kiarapayung pada tahun 2010. Aset Taman Kehati dikelola oleh Bidang
Konservasi Alam, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. Aset fisik ini
mempunyai fungsi penggunaan sebagai kawasan konservasi pelestarian
keanekaragaman hayati tumbuhan lokal, langka dan endemik Jawa Barat. Selain
fungsi penggunaan, Taman Kehati Kiarapayung juga memiliki fungsi
pemanfaatan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu
pengetahuan, ruang terbuka hijau dan ekowisata. Menurut kepada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2017, aset Taman Kehati Kiarapayung dapat
diklasifikasikan kedalam lima golongan, yakni KIB A untuk aset lahan/tanah, KIB
B untuk aset mesin dan peralatan, KIB C untuk aset bangunan, KIB D untuk aset
jalan dan KIB E untuk aset tumbuhan (aset lainnya). Berdasarkan kepada
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2020, pengelolaan aset Taman Kehati saat ini
berada pada tahap penggunaan dan pemanfaatan. Kegiatan pengelolaan Aset
Taman Kehati meliputi perencanaan aset yang diwujudkan dengan adanya rencana
aksi kegiatan dari pengelola, pengoperasian aset, dan pemeliharaan aset. Hirarki
pengelolaan aset Taman Kehati menjadi tanggungjawab dan wewenang Kepala

60
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat selaku pengguna barang/aset dan
dikuasakan kepada Kepala Bidang Konservasi Alam sebagai kuasa pengguna
barang. Struktur pengelolaan aset BMD di DLH Provins Jawa Barat disajikan
pada Gambar 4.1.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup

Pejabat Penatausahaan
Pengguna Barang
Kuasa Pengguna Barang

Pengurus Barang
Pengguna

Pengurus Barang Pembantu

Gambar 4. 1 Struktur Pengelolaan BMD


DLH Provinsi Jawa Barat

Taman Kehati Kiarapayung berada pada titik koordinat longitude


6.8892007110414974, dan latitude 107.75894982780831. Taman Kehati dengan
site and position disajikan pada Gambar 4.2.

(a) (b)
Gambar 4. 2 Taman Kehati dan Site Position
(a) Taman Kehati, (b) Site and Position

Batas-batas wilayah Taman Kehati Kiarapayung sebagai berikut:


a. Utara : Tanah Perhutani
b. Selatan : Tanah Dishut Jabar
c. Timur : Tanah Perhutani
d. Barat : Tanah Dishut Jabar, Permukiman Warga
Pengunjung Taman Kehati Kiarapayung dapat melihat keanekaragaman
jenis tanaman lokal dan endemic Jawa Barat, menikmati pemandangan alam yang

61
indah dan udara sejuk pegunungan. Selain itu, wisatawan juga dapat melakukan
kegiatan adventure alam berupa menelusuri setiap blok taman kehati sampai ke
puncak Taman Kehati. Daya tarik wisata ini perlu didukung oleh ketersediaan
fasilitas fisik dan infrastruktur yang memadai untuk memberikan kepuasan dan
loyalitas wisatawan dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian kawasan
konservasi.

4.2 Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan Infrastruktur


Berdasarkan inti identifikasi proyek yakni merencanakan pengembangan
aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata pada Taman
Kehati Kiarapayung, pada subbab ini disajikan data, analisis, perancangan dan
pembahasan. Perencanaan pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur
dilakukan berdasarkan konsep ekowisata untuk menjaga keseimbangan dan
kelestarian lingkungan kawasan konservasi sehingga dalam penggunaan material
pengembangan asetnya menggunakan material ramah lingkungan sesuai merujuk
kepada The Victorian Govement (1995), Sugiama (2013), Blur et all (2013),
Alhaktani (2015), Marzuki et al (2017); Ginting & Sasmita (2018); Mandic et al
(2018); dan Metwally (2019) serta standar pengembangan aset fasilitas dan
infrastruktur. Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di
Taman Kiarapayung perlu disesuaikan dengan zonasi atau zoning code pada
lokasi wisata, aspek legal objek wisata, dan perhitungan teknis bangunan yakni
Koefisien Dasar Hijau (KDH) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sehingga
dapat dihasilkan perencanaan kebutuhan pengembangan yang sesuai.
1. Zoning Code.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 4 Tahun 2018
Kabupaten Sumedang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Sumedang Tahun 2018 – 2038, TKK dengan luas lahan 16 hektar yang berada di
Kecamatan Sukasari termasuk kedalam kawasan lindung, kawasan resapan air dan
rencana pengembangan pariwisata. Berdasarkan data dari DLH Provinsi Jawa
Barat, zona pengembangan TKK terbagi menjadi tiga yakni area pubik, edukasi
dan rekreasi. Zona pengembangan Taman Kehati disajikan pada Gambar 4.3.

62
Sumber: Modifikasi DLH Jabar, 2022.
Gambar 4. 3 Zonasi Pengembangan Taman Kehati

2. Koefisien Dasar Hijau.


Merujuk Permen LHK No. 03 Tahun 2012 dan Permenhut No. P22 Tahun
2012, disebutkan bahwa luas area bebas bangunan untuk kegiatan usaha
pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebesar 90%. Berdasarkan ketentuan
tersebut, berikut perhitungan KDH di TKK:
Luas area hijau = KDH x total area = 90% x 160.000 m2 = 144.000 m2.
3. Koefisien Dasar Bangunan
Berdasarkan Permen LHK No. 03 Tahun 2012 dan Permenparekraf No. 3
Tahun 2022, nilai Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau
masing-masing 10% dan 90% dari luas tapak peruntukannya. Jumlah lantai
bangunan yang diperbolehkan maksimal 2 lantai dan ketinggian maksimal 10
meter. KDB di TKK dihitung dengan rumus perhitungan sebagai berikut.
Luas area yang dapat dibangun = KDB x total area
= 10% x 160.000 m2 = 16.000 m2.
Berdasarkan perhitungan KDB di atas, dapat diketahui bahwa luas area yang
dapat dibangun untuk fasilitas fisik dan infrastruktur wisata di TKK maksimal
seluas 16.000 m2 atau 1,6 hektar. Perencanaan pengembangan aset ditentukan

63
berdasarkan kebutuhan aset fasilitas utama, fasilitas pendukung dan infrastruktur
(Marzuki et al, 2017; Ginting dan Sasmita, 2018).
Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di TKK
diawali dengan proses pengumpulan data yang dilakukan dengan observasi,
wawancara, benchmarking dan studi dokmentasi. Tahap selanjutnya dilakukan
analisis data dengan mengacu kepada landasan teori dan normatif sehingga
diperoleh rencana penggembangan yang tepat dan sesuai. Narasumber pada
proyek ini disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Daftar Narasumber
No Narasumber Jabatan Kode

1 Narasumber 1 Kepala Seksi/Koordinator Unit Konservasi Lingkungan NI


dan Keanekaragaman Hayati
2 Narasumber 2 Pengelola Data/Tenaga Teknis Pengembangan N2
Kelembagaan dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
3 Narasumber 3 Pengawas/Koordinator Lapangan Pengelolaan Taman N3
Keanekaragaman Hayati

4.2.1 Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Utama


Merujuk pada teori dari Marzuki et al. (2017) dan Ginting dan Sasmita
(2018) bahwa fasilitas utama adalah aset fisik yang terdiri dari fasilitas
akomodasi, fasilitas makan dan minum, fasilitas rekreasi dan toilet. Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa fasilitas akomodasi, makan dan
minum serta rekreasi belum tersedia. Fasilitas toilet sudah tersedia namun
kondisinya kurang memadai dan belum memenuhi kriteria menurut standar teori
dan aturan. Oleh karena itu, akan dilakukan perencanaan pengembangan pada aset
fasilitas utama meliputi akomodasi, fasilitas tempat makan dan minum, fasilitas
rekreasi, dan toilet.
1. Akomodasi
Akomodasi atau penginapan merupakan salah satu indikator fasilitas utama
(Marzki et al, 2017; Ginting dan Sasmita, 2018). Merujuk Permen LHK No. P.8
Tahun 2019 dan Permen LHK No. P.13 Tahun 2020, bentuk akomodasi yang
diperbolehkan di kawasan wisata alam dan kawasan konservasi yakni penginapan
yang dibangun semi permanen dengan menerapkan unsur budaya lokal. Menurut
Fischer-Zernin dan Schipani (2005) standar fasilitas penginapan: (1) Kamar

64
memiliki ukuran 3,5m x 4m; (2) Ukuran kamar mandi minimal 1,75m x 2,15m;
dan (3) Balkon 1,5m. Metwally (2019) menjelaskan pembangunan berkelanjutan
dengan konsep ekowisata perlu mempertimbangkan produksi energi terbarukan,
pengendalian polusi dan lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan.
Hasil observasi diketahui belum ada penginapan di TKK. Hal tersebut
sejalan dengan hasil wawancara:
“Ada pengunjung yang tertarik menginap,… namun belum tersedia
penginapan,…dan memungkinkan penginapan di blok 3 atau blok 8”.

Display data hasil wawancara menunjukan adanya minat pengunjung yang


tertarik untuk menginap memerlukan ketersediaan fasilitas penginapan (cottage)
di TKK. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa TKK belum dilengkapi
fasilitas akomodasi padahal sudah ada pengunjung yang berminat untuk
menginap. Hal ini ini didukung pula bahwa hasil observasi di TKK yang
menunjukan tidak ada fasilitas penginapan. Penginapan terdekat berjarak 7 km
dari TKK.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
menunjukan bahwa TKK perlu dilengkapi dengan fasilitas akomodasi. Oleh
karena itu, dilakukan rancangan pengembangan fasilitas akomodasi dengan
konsep ekowisata merujuk kepada teori Fischer-Zernin dan Schipani (2005),
Marzuki et al (2017), Ginting dan Sasmita (2018), Metwally (2019). Selain itu,
mengacu kepada landasan normatif dari Permen LHK No. P.8 Tahun 2019, dan
Permen LHK No. P.13 Tahun 2020 serta benchmarking terhadap design cottage
Dream Cliff Mountain Resort, Sri Lanka yang menarik untuk diterapkan di TKK
karena sama-sama berada di daerah pegunungan dan memiliki daya tarik
pemandangan alam. Dream Cliff Mountain Resort disajikan pada Gambar 4.4.

65
Gambar 4. 4 Disain Akomodasi (Cottage)
(Sumber: https://www.dreamcliffresort.com/)

Perencanaan pengembangan aset fasilitas akomodasi yang dilakukan yakni


pembangunan penginapan berupa cottage pada lahan 300m2 sebanyak 10 unit dan
melakukan pengadaan baru untuk aset peralatan pada fasilitas akomodasi. Setiap
cottage berukuran 28m2 terdiri dari kamar tidur 18,24m2, kamar mandi 3,76m2 dan
balkon/teras 6m2 serta kapasitas 2–3 orang. Perhitungan jumlah cottage yang akan
dibangun disajikan pada Lampiran H. Sebagai bentuk pemenuhan elemen
berkelanjutan pada konsep ekowisata maka fasilitas akomodasi akan dibangun
dengan penggunaan material ramah lingkungan sebagian besar berbahan dasar
kayu yang dapat mengisolasi panas dalam ruangan, mengurangi pengurangan
sumber daya alam yang vital serta emisi karbon. Disain pada cottage
direncanakan memiliki kaca yang besar untuk pencahayaan dan ventilasi alami.
Arsitektural cottage memadukan budaya Sunda dengan hasil benchmarking pada
Dream Cliff Mountain Resort. Konsekuensi biaya pengembangan aset akomodasi
yakni biaya pembangunan dan biaya pengadaan. Ilustrasi disain Cottage yang
akan dibangun disajikan pada Gambar 4.5.

Gambar 4. 5 Disain Akomodasi (Cottage)

2. Fasilitas makan dan minum


Fasilitas tempat makan dan minum merupakan salah satu indikator dari
fasilitas utama (Marzuki et al, 2017; Ginting dan Sasmita; 2018). Merujuk
Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 standar dan ketentuan ukuran satu kios/kedai
makanan: (1) Berukuran 9m2 atau 3m x 3m dan tinggi 2m hingga 2,5m serta dapur
2m x 3m; (2) Dimensi ruang gerak adalah 2 m2; (3) Dilengkapi wastafel, tempat
sampah, meja, dan kursi dengan kapasitas sentra maksimal 300 orang; dan (4)

66
Menyajikan 5 jenis makanan yang berbeda. Menurut Metwally (2019) konsep
ekowisata mempertimbangkan produksi energi terbarukan, pengendalian polusi
dan lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan.
Hasil observasi di TKK belum tersedia fasilitas tempat makan dan minum.
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara:
“Ada pengunjung yang merasa kehausan,…tetapi kesulitan menemukan
tempat makan minum,…dan keberadaan kios makanan dapat meningkatkan
ekonomi masyarakat”.

Display data wawancara menunjukan adanya pengunjung yang merasa


kehausan dan kesulitan menemukan tempat makan dan minum sehingga
memerlukan ketersediaan fasilitas tempat makan dan minum di TKK. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa TKK belum dilengkapi fasilitas tempat
makan dan minum. Hal ini didukung dari hasil observasi yang menunjukan bahwa
tidak terdapat fasilitas tempat makan dan minum di TKK. Kios makan dan minum
terdekat berjarak kurang lebih 2 km dari TKK.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data
wawancara menunjukan ketersediaan fasilitas tempat makan dan minum
diperlukan di TKK. Oleh karena itu, rancangan pengembangan aset dilakukan
dengan penyediaan fasilitas makan dan minum dengan menggunakan konsep
ekowisata merujuk kepada teori Marzuki et al, (2017), Ginting dan Sasmita
(2018), Metwally (2019), dan landasan normatif Permenparekraf No. 3 Tahun
2022 serta benchmarking terhadap design fasilitas tempat makan dan minum
BangkokTree House Restaurant, Thailand yang menarik untuk diterapkan di TKK
karena sama-sama memiliki daya tarik pemandangan alam dari ketinggian dengan
variasi tanaman disekitarnya. Bangkok Tree House Restaurant, ditunjukan pada
Gambar 4.6.

67
Gambar 4. 6 Bangkok Tree House Restaurant, Thailand
(Sumber: https://www.bangkoktreehouse.com/)

Perencanaan pengembangan aset fasilitas dilakukan dengan pembangunan


tempat makan dan minum sebanyak 5 kios pada lahan seluas 645 m2 dengan
kapasitas maksimum 300 orang serta dilengkapi dengan fasilitas pelengkap.
Perhitungan perencanaan pengembangan fasilitas tempat makan dan minum
disajikan pada Lampiran I. Sebagai bentuk pemenuhan elemen berkelanjutan pada
konsep ekowisata maka fasilitas makan dan minum akan menggunakan material
ramah lingkungan sebagian besar dari kayu yang dapat mengisolasi panas dalam
ruangan dan mengurangi pengurangan sumber daya alam yang vital serta emisi
karbon. Material lokal lainnya seperti paving block/porous pavement, dan grass
block yang mampu menyerap air. Disain bangunan mengusung tema bercirikan
budaya sunda dan dikombinasikan dengan ciri TKK serta hasil benchmarking
terhadap Restoran Bangkok Tree House. Konsekuensi biaya dari pengembangan
aset fasilitas makanan dan minuman ini berupa biaya pembangunan dan biaya
pengadaan. Ilustrasi fasilitas tempat makan dan minum disajikan pada Gambar
4.7.

Gambar 4. 7 Disain Fasilitas Tempat Makan dan Minum

3. Fasilitas rekreasi
Fasilitas rekreasi merupakan salah satu indikator dari fasilitas utama
(Ginting dan Sasmita, 2018). Fasilitas rekreasi perlu disediakan di tempat wisata
sebagai sarana hiburan, beraktivitas, bermain dan edukasi (Gidlow et al, 2012;
Kose, 2020). Merujuk kepada Pradiana et al (2021), Lee et al (2010), Prosbtl et al
(2010) dan Bell (2008) fasilitas rekreasi dan edukasi di tempat wisata dengan

68
konsep ekowisata dapat berupa green house, fasilitas bermain anak (outbond),
area piknik (picnic tables), spot poto dan fasilitas khusus.
Hasil observasi belum ditemukan fasilitas rekreasi di TKK. Hal ini sejalan
dengan hasil wawancara:
“Belum ada fasilitas rekreasi,…tetapi sudah ada perencanaan,…dan area
pengembangan yang mumungkinkan di blok 2, 3, 5, 6 serta 8”.

Display data hasil wawancara menunjukan fasilitas rekreasi belum ada di


TKK tetapi sudah ada perencanaan untuk dikembangkan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa fasilitas rekreasi belum tersedia di TKK. Hal ini didukung
dari hasil observasi yang menunjukan tidak ada fasilitas rekreasi di TKK.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
TKK perlu dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan edukasi. Oleh karena itu,
rancangan pengembangan aset dilakukan dengan membangun fasilitas rekreasi
merujuk teori Ginting dan Sasmita (2018), Metwally (2019), Gidlow et al, (2012),
Kose (2020), Pradiana et al (2021), Lee et al (2010), Prosbtl et al (2010) dan Bell
(2008) serta landasan normatif Permenparekraf No. 3 Tahun 2022. Fasilitas
rekreasi yang akan dibangun diuraikan sebagai berikut.
a. Green House
Green house dan papan identifikasi tanaman disediakan untuk menunjang
kegiatan rekreasi lingkungan (Firmansyah et al., 2018; Pradiana et al., 2021).
Perencanaan pengembangan aset yang dilakukan ialah pembangunan greenhouse
yang akan dilengkapi dengan identifikasi tanaman. Rancangan greenhouse
merujuk kepada SNI 7604-2010 dengan menerapkan konsep ekowisata dan
benchmarking terhadap design greenhouse dari Queen Sirikit Botanic Garden,
Thailand yang menarik untuk diterapkan di TKK karena sama-sama berada di
daerah pegunungan dan memiliki daya tarik pemandangan alam dari ketinggian.
Queen Sirikit Botanic Garden, Thailand dapat dilihat pada Gambar 4.8.

69
Gambar 4. 8 Ilustrasi Disain Greenhouse
(https://www.tourismthailand.org/)

Green house yang akan dibangun berjumlah dua unit berukuran 10m x 4m x
4m dan kebutuhan luas lahan 80 m2. Selain itu, sebagai bentuk pemenuhan elemen
berkelanjutan pada konsep ekowisata maka greenhouse akan dibangun
menggunakan materal ramah lingkungan berupa rangka dari kayu untuk
mengurangi pengurangan sumber daya alam yang vital serta emisi karbon. Disain
arstiktural bangunan greenhouse memadukan budaya sunda dan hasil
benchmarking pada greenhouse di Queen Sirikit Botanic Garden, Thailand.
Konsekuensi biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan greenhouse yakni biaya
pembangunan. Ilustrasi disain bangunan greenhouse dapat dilihat pada Gambar
4.9.

Gambar 4. 9 Disain Greenhouse

Perencanaan pengembangan aset selanjutnya yakni pengadaan papan


identifikasi tanaman untuk melengkapi fasilitas greenhouse. Papan identifikasi
tanaman berukuran 40cm x 20cm, menggunakan bahan alumunium anti karat dan
menyajikan informasi mengenai nama lokal tanaman dan nama ilmiah tanaman.
Berdasarkan studi dokumentasi diketahui bahwa terdapat 150 jenis tanaman di
TKK, maka pengadaan papan identifikasi tanaman dibutuhkan sebanyak 150 unit.
Konsekuensi biaya dari papan identifikasi tanaman yakni biaya pengadaan.
b. Area Piknik
Menurut Bell (2008) fasilitas area piknik terdiri dari meja piknik dan kursi
serta fasilitas pemanggangan. Perencanaan pengembangan aset dilakukan dengan

70
pembangunan area piknik yang dilengkapi fasilitas pemanggang mengacu kepada
teori Bell (2008) dan Metwally (2019) dengan konsep ekowisata serta
benchmarking disain pada Kelley Picnic Area yang menarik untuk diterapkan di
TKK karena sama-sama memiliki daya tarik pemandangan alam dengan variasi
tanaman disekitarnya. Kelley Picnic Area disajikan pada Gambar 4.10.

Gambar 4. 10 Kelley Picnic Area


Sumber: https://www.clevelandmetroparks.com/

Area piknik direncanakan dibangun di blok 3 dengan ukuran bangunan 9m x


5m dan luas lahan seluas 64m2, dilengkapi meja dan kursi piknik sebanyak 10 set
untuk 40 orang serta 10 unit alat pemanggangan. Standar ukuran meja yaitu
mempunyai lebar 0,65 m - 0,7 m, panjang 1,5m dan tinggi 0,72m. Ukuran standar
bangku yaitu mempunyai lebar 25cm - 30cm dengan tinggi 42,5cm. Jarak antara
meja dan kursi yaitu 10 cm. Area piknik dibangun dengan menggunakan material
ramah lingkungan sebagian besar terbuat dari kayu untuk rangka bangunan, meja
dan kursi. Hal ini untuk mengurangi pengurangan sumber daya alam yang vital
serta emisi karbon. Bangunan dirancang terbuka dan disain bangunan mengadopsi
ciri khas tradisional sunda serta hasil benchmarking pada Kelley Picnic Area.
Konsekuensi biaya yang dibutuhkan yakni biaya pembangunan dan biaya
pengadaan. Ilustrasi disain area piknik disajikan pada Gambar 4.7.

71
Gambar 4. 11 Disain Area Piknik
c. Spot Foto
Spot foto berupa dermaga atau menara pandang biasanya terdiri dari
kerangka yang terbuat dari kayu maupun baja, lantai pijakan, dan atap (Bell,
2008). Merujuk kepada Permenparekraf No. 3 Tahun 2022, menara pandang
selain berfungsi sebagai pos jaga juga berfungsi sebagai fasilitas rekreasi
wisatawan yang dapat menciptakan suatu pengalaman lebih kepada para
pengunjung dengan aktivitas sightseeing. Kriteria dan disain visual menara
pandang yakni: (1) Tinggi bangunan minimal 3m dan luas 20m2; (2) Jenis
bangunan semi permanen menggunakan fondasi; dan (3) Menyediakan alat
komunikasi untuk penjaga pos, menyediakan peralatan seperti teropong, dan
pengeras suara, memiliki motif budaya lokal. Menurut Bell (2008), anak tangga
dengan jarak yang pas, handrails, dan tepi pengaman setiap sisi juga perlu
dipenuhi agar dermaga pandang dapat digunakan dengan aman dan nyaman.
Perencanaan pengembangan aset yang dilakukan adalah pembangunan fasilitas
spot foto dengan menerapkan konsep ekowisata merujuk kepada teori Bell (2008)
dan Metwally (2019) serta landasan normatif Permenparekraf No. 3 Tahun 2022.
Perencanaan pembangunan spot foto di Taman Kehati Kirapayung akan dibuat
dalam bentuk dermaga pandang berjumlah 2 unit dilengkapi ornamen menyerupai
kupu-kupu dengan luas 20 m2 dengan tinggi 3 meter. Menara pandang
direncanakan dibangun pada puncak Taman Kehati yang berada diantara blok 5,
blok 6 dan blok 8. Penerapan konsep ekowisata sebagai bentuk pemenuhan
elemen berkelanjutan maka fasilitas rekreasi berupa spot foto akan dibangun
menggunakan material ramah lingkungan yang sebagian besar kayu
dikombinasikan dengan material lainyna seperti artificial wood/composite wood
dengan struktur utama beton. Arsitektural spot foto menerapkan arsitektur budaya
sunda dikolaborasikan dengn ciri khas Taman Kehati. Ilustrasi disain menara
pandang di Taman Kehati dapat dilihat pada Gambar 4.12.

72
Gambar 4. 12 Ilustrasi Disain Spot Foto

d. Outbond
Outbound merupakan kegiatan pembelajaran ilmu terapan yang dilakukan
di alam terbuka atau tertutup dengan bentuk permainan yang efektif yang
menggabungkan intelegensia, fisik, dan mental (Ancok, 2003). Kegiatan outbond
memiliki beberapa jenis permainan, yaitu seperti flying fox, birma crosser, hell
barier, pipa bocor dan spider web (Probstl, 2010; Sukmaratri dan Damayanti,
2016). Rancangan pengembangan aset fasilitas outbond meliputi birma crosser,
hell barrier dan speider web yang akan ditempatkan di blok 8. Proyek
perencanaan area outbond akan dirancang untuk kapasitas 300 orang. Perhitungan
perencanaan kebutuhan fasilitas rekreasi berupa area outbond merujuk kepada
Rizky (2018), dimana standar ruang area outbond yakni 2,25 m2 per orang.
Luas area outbond = Jumlah orang x standar luas area/org
= 300 x (2,25m2) = 675 m2
Material yang digunakan yakni kayu dan material ramah lingkungan lainnya
untuk mengurangi pengurangan sumber daya alam yang vital serta emisi karbon
sebagai sebagai bentuk pemenuhan elemen berkelanjutan pada konsep ekowisata.
Konsekuensi biaya dari pengembangan aset fasilitas outbond ini yakni biaya
pengadaan. Ilustrasi disain fasilitas outbond di TKK disajikan pada Gambar 4.13.

73
Gambar 4. 13 Ilustrasi Disain Fasilitas Outbond

4. Toilet
Toilet merupakan salah satu indikator fasilitas utama ditempat wisata
(Marzuki et al, 2017). Standar dan kriteria toilet merujuk kepada teori Bell (2008)
dan landasan normatif Permen PUPR No.14 Tahun 2017 serta Permenparekraf RI
No.3 Tahun 2022.
Hasil observasi diketahui sudah ada satu bagun toilet di TKK, namun
kondisinya kurang memadai dan rusak. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara:
“Kondisi toilet kurang nyaman,…dibutuhkan perbaikan,…dan penambahan
jumlah”.

Display data wawancara menunjukan bahwa kondisi toilet yang ada kurang
nyaman dan belum memenuhi kebutuhan sehingga diperlukan perbaikan dan
penambahan jumlah toilet. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi
toilet di TKK saat ini kurang memadai. Hal ini didukung pula dengan hasil
observasi yang menunjukan bahwa kondisi toilet yang ada saat ini kurang
memadai, kondisinya kotor dan tidak terawat serta baru ada satu bangunan toilet.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
diketahui bahwa perlu dilakukan pembangunan dan penambahan jumlah toilet
yang ada di TKK. Rancangan pengembangan fasilitas toilet dengan menerapkan
konsep ekowisata dilakukan dengan merujuk kepada teori Marzuki et al (2017),
Sunarsa dan Darmawijaya, (2014), Ginting dan sasmita (2018), Sunarsa dan
Andiani (2019), Widayanti dkk. (2020), Bell (2008) dan Metwally (2019) serta
standar aturan Permenparekraf No.3 Tahun 2022, dan Permen PUPR No.14
Tahun 2017 yang dilakukan ialah pembongkaran dan pembangunan 8 unit toilet

74
yang akan ditempatkan pada setiap blok dilengkapi dengan fasilitas pelengkap
toilet. Luas setiap bangunan yakni 9,34 m2, terdiri dari toilet wanita, toilet pria,
dan toilet disabilitas. Perhitungan luas bangunan toilet disajikan pada Lampiran J.
Ilustrasi disain toilet disajikan pada Gambar 4.14.

Gambar 4. 14 Ilustrasi Disain Toilet

Disain bangunan mengkombinasikan arsitektural sunda dan ciri khas TKK.


Sebagai bentuk pemenuhan konsep ekowisata toilet akan dibangun menggunakan
material ramah lingkungan seperti kayu dan dinding bata dilapisi waterproof
untuk mengurangi pengurangan sumber daya alam yang vital dan emisi karbon.

4.2.2 Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Pendukung


Fasilitas pendukung merupakan fasilitas pelengkap dalam kawasan wisata
yang secara proporsional melengkapi keberadaan fasilitas utama sehingga dapat
meningkatkan kenyamanan pengunjung terdiri dari area berkemah, tempat parkir,
pusat informasi, gerbang masuk, fasilitas kebersihan dan keamanan,
gazebo/shelter, papan petunjuk, toko cinderamata (AlKahtani, 2015; Marzuki et
al, 2017; Ginting dan Sasmita, 2018). Berdasarkan hasil penelitian pada studi
kasus diketahui bahwa aset fasilitas pendukung di TKK belum semuanya tersedia
dan belum memenuhi kriteria menurut standar teori dan aturan. Oleh karena itu,
akan dilakukan rancangan pengembangan pada fasilitas pendukung meliputi area
berkemah, tempat parkir, tempat ibadah, pusat informasi, gerbang masuk,
gazebo/shelter, fasilitas keamanan dan kebersihan, papan petunjuk, dan toko
cinderamata.
1. Area Berkemah
Area berkemah merupakah salah satu indikator dari fasilitas pendukung
(Marzuki et al, 2017). Area berkemah adalah area yang digunakan untuk aktivitas

75
rekreasi di ruang terbuka (Rinaldi, 2015). Standar dan ketentuan area berkemah
merujuk kepada Permenpar No.24 Tahun 2015 dan Permen LHK No. 13 Tahun
2020. Perencanaan pembangunan berkelanjutan dengan konsep ekowisata
mempertimbangkan produksi energi terbarukan, pengendalian polusi dan
lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan (Metwally, 2019).
Hasil observasi diketahui belum ada area berkemah di TKK. Hal ini sejalan
dengan hasil wawancara:
“Sudah ada pengunjung yang berkemah,…tetapi tempat berkemahnya tidak
menentu,… dan jumlah kunjungan tertinggi 100 orang”.

Display data wawancara menunjukan ada pengunjung yang melakukan


aktivitas berkemah, tetapi area berkemahnya tidak menentu dan jumlah kunjungan
tertinggi ke TKK saat ini berjumlah 100 orang. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sudah ada aktivitas berkemah, tetapi TKK belum memiliki
fasilitas area bekemah. Hal ini didukung pula dengan hasil observasi yang
menunjukan bahwa fasilitas area berkemah tidak tersedia di TKK.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
menunjukan TKK perlu dilengkapi dengan area berkemah. Oleh karena itu,
perencanaan pengembangan aset merujuk kepada teori Rinaldi (2015), Marzuki et
al (2017) dan Metwally (2019) serta standar aturan Permenpar No. 24 Tahun 2015
dan Permen LHK No. 13 Tahun 2020 yakni penyediaan area berkemah dengan
penetapan dan pengadaan baru untuk tata letak tenda dan pagar pengaman. Area
berkemah direncanakan akan dibangun di blok 8 pada lahan seluas 225m2 untuk
25 kavling tenda berukuran 3m x 2m dengan kapasitas masing-masing tenda 4
orang dan dilengkapi dengan fasilitas pelengkap. Perhitungan kebutuhan area
berkemah disajikan dalam Lampiran K. Sebagai bentuk pemenuhan elemen
berkelanjutan pada konsep ekowisata maka fasilitas berkemah akan menggunakan
material ramah lingkungan yakni kayu sebagai alas tata letak tenda (deck) dan
pagar pembatas dari kayu. Konsekuensi biaya pengembangan area berkemah ini
berupa biaya pengadaan. Ilustrasi disain area berkemah disajikan pada Gambar
4.15.

76
Gambar 4. 15 Ilustrasi Disain Area Berkemah

2. Tempat Parkir
Menurut Ginting dan Sasmita (2018), salah satu indikator fasilitas
pendukung wisata yakni area parkir. Merujuk pada standar dari Permenparekraf
No. 3 Tahun 2022 bahwa area parkir harus memenuhi satuan ruang parkir (SRP)
dan memiliki pola parkir kendaraan. Ukuran SRP untuk mobil golongan 1 yakni
2,3m x 5m, mobil golongan II 2,5m x 5m, mobil golongan III 3m x 5m, bus dan
truk 3,4 x 12,5 m serta sepeda motor 0,75 m x 2 m. Menurut Neufert (2002)
standar ruang manuver kendaraan untuk mobil sebesar 5,75 meter dan motor
sebesar 2 meter. Area parkir harus strategis dan menyediakan tempat khusus bagi
penyandang disabilitas dengan menggunakan perkerasan yang dapat mudah
menyerap air ke dalam tanah (Probstl et al., 2010). Mengacu kepada Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat Tahun 1998, kebutuhan ruang parkir untuk tempat
rekreasi dengan luas area pengembangan sebesar 1,6 ha atau 16.000 m2 yakni 120
SRP. Pembangunan dengan konsep ekowisata mempertimbangkan produksi
energi terbarukan, pengendalian polusi dan lingkungan serta penggunaan material
ramah lingkungan (Metwally, 2019).
Hasil observasi diketahui belum ada tempat parkir di TKK. Hal ini sejalan
dengan hasil wawancara:
“Jenis kendaraan pengunjung mobil dan motor,… dan kendaraan diparkir
di jalan dan lahan milik warga”.

Display data wawancara menunjukan jenis kendaraan yang digunakan


pengunjung yakni mobil dan motor, selama ini kendaraan diparkir di jalan dan
lahan kosong milik warga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa TKK
belum memiliki area parkir. Hal ini didukung oleh hasil observasi yang
menunjukan tidak tersedia lahan parkir di TKK.

77
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
menunjukan bahwa TKK perlu dilengkapi fasilitas area parkir. Oleh karena itu,
perencanaan pengembangan aset dilakukan dengan pembangunan area parkir
merujuk teori Ginting dan Sasmita (2018), Metwally (2019), Probstl (2010) dan
Neufert (2002) serta standar ketentuan Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 dan
Dirjen Perhubungan Darat Tahun 1998. Area parkir direncanakan membentuk
pola sudut 90o dengan pola kendaraan dua sisi. Tempat parkir direncanakan
berada dibagian depan TKK yakni di lahan blok 7 dan 8. Luas lahan parkir untuk
mobil direncanakan yaitu 600m2 dengan panjang 30m dan lebar 20m yang dapat
menampung 28 mobil. Luas lahan untuk parkir motor 150 m2 dengan panjang 15
m dan lebar 10 m yang dapat menampung 80 motor. Perhitungan kebutuhan ruang
parkir disajikan pada Lampiran L. Sebagai bentuk pemenuhan elemen
berkelanjutan pada konsep ekowisata maka perkerasan area parkir menggunakan
material ramah lingkungan yakni paving block/porous pavement setara K-200 s.d.
K-350 yang mudah menerap air dilengkapi dengan kanstein mengelilingi paving
block/porous pavement tempat parkir. Konsekuensi biaya dari perencanaan
pengembangan aset fasilitas tempat parkir yakni biaya pembangunan dan biaya
pengadaan. Ilustrasi disain area parkir di TKK disajikan pada Gambar 4.16.

Gambar 4. 16 Ilustrasi Disain Area Parkir

3. Tempat Ibadah (Mushola)


Tempat ibadah merupakan salah satu indikator dari fasilitas pendukung
(Ginting dan Sasmita, 2018). Tempat ibadah merupakan fasilitas yang perlu
disediakan di kawasan wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang ingin
melakukan kegiatan ibadah sesuai kepercayaan atau agama yang dianut seseorang

78
atau sekelompok wisatawan (Acourete, 2019). Standar ketentuan bangunan
mushola merujuk kepada Permenparekraf No.3 Tahun 2022. Konsep ekowisata
perlu mempertimbangkan produksi energi terbarukan, pengendalian polusi dan
lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan (Metwally (2019).
Hasil observasi diketahui TKK sudah memiliki mushola dengan ukuran 2m
x 3m. Namun, mushola yang ada belum memenuhi kriteria. Hal ini sejalan dengan
hasil wawancara:
“Mushola sudah ada,… tetapi belum memadai,… dan perlu perbaikan”.

Display data wawancara menunjukan sudah ada mushola di TKK, tetapi


kondisinya belum memadai dan membutuhkan perbaikan. Dengan demikian dapat
disimpulkan mushola di TKK belum memadai. Hal ini didukung hasil observasi
yang menunjukan mushola di TKK kurang nyaman dan tidak sesuai kriteria.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data
wawancara TKK membutuhkan fasilitas mushola/tempat ibadah yang memadai
dan dapat memberikan rasa nyaman. Oleh karena itu, rancangan pengembangan
aset fasilitas mushola merujuk teori Ginting dan Sasmita (2018), Acourete (2019),
Nasution dan Zahrah (2016), Cetin dan Dincer (2016), dan Metwally (2019) serta
landasan normatif Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 yang dilakukan dengan
membangun fasilitas mushola di TKK. Fasilitas mushola direncanakan memiliki
luas bangunan 130,8 m2 terdiri dari: (1) Ruang ibadah 81 m2 untuk ruang shalat
pria dan wanita; (2) Area wudhu untuk pria dan wanita seluas 7,8 m 2; (3) Toilet
wanita dan laki laki masing-masing 2 buah dengan luas 18 m2; dan (4) Teras atau
selasar seluas 24 m2. Bangunan mushola menerapkan arsitektur budaya sunda
pada bentuk atapnya dilengkapi dengan ornamen ciri TKK. Pemenuhan elemen
konsep ekowisata maka fasilitas tempat ibadah akan menggunakan material ramah
lingkungan seperti kayu yang dapat mengisolasi panas dalam ruangan,
mengurangi pengurangan sumber daya alam yang vital serta emisi karbon.
Material lainnya keramik, artificial wood/composite wood, genteng, dan
gypsum/GRC. Konsekuensi biaya dari pengembangan aset fasilitas mushola
yakni biaya pembongkaran, pembangunan dan biaya pengadaan. Perhitungan luas

79
bangunan mushola tersaji pada Lampiran M. Disain fasilitas mushola di Taman
Kehati disajikan pada Gambar 4.17.

Gambar 4. 17 Ilustrasi Disain Mushola

4. Pusat Informasi (Information Center)


Pusat informasi merupakan salah satu indikator fasilitas pendukung wisata
(Marzuki et al, 2017; Ginting dan Sasmita, 2018). Pusat informasi berfungsi
memberikan layanan dan informasi khusus tentang kawasan lokal, daya tarik
wisata dan agenda festival sehingga memberikan manfaat kepada wisatawan
memahami destinasi wisata (Mill, 2000; Mazuchova dan Pancikova; 2018).
Standar bangunan pusat informasi merujuk kepada Permenparekraf No. 3 Tahun
2022. Pembangunan berkelanjutan dengan konsep ekowisata perlu
mempertimbangkan faktor produksi energi terbarukan, pengendalian polusi dan
lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan (Metwally, 2019).
Hasil observasi TKK belum memiliki fasilitas pusat informasi. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara:
“Pusat informasi perlu tersedia,… dan area untuk pusat informasi di blok 4
atau blok 7”.

Display data hasil wawancara menunjukan fasilitas pusat informasi


diperlukan di TKK dan area untuk pusat informasi ditempatkan di blok 4 atau
blok 7. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa TKK memerlukan fasilitas
pusat informasi. Hal ini dukung pula oleh hasil observasi yang menunjukan bahwa
tidak saat ini TKK tidak memiliki fasilitas pusat informasi.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data
wawancara menunjukan bahwa TKK perlu dilengkapi fasilitas pusat informasi.
Oleh karena itu, rancangan pengembangan aset merujuk teori Marzuki et al
(2017), Ginting dan Sasmita (2018), Metwally (2019) dan landasan normatif

80
Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 dilakukan dengan membangun fasilitas pusat
informasi di TKK. Perencanaan pengembangan aset fasilitas pusat informasi akan
dibangun di blok 7 dengan total luas bangunan berukuran 150m2 dilengkapi
ruangan serbaguna berukuran 8m2, ruang pengelola/administrasi berukuran 30m2,
ruang display berukuran 65m2, toilet berukuran 14m2, gudang berukuran 27m2,
dan teras berukuran 27m2 serta dilengkapi dengan tulisan information center dan
material berupa kayu. Disain bangunan TIC disajikan pada Gambar 4.18.

Gambar 4. 18 Ilustrasi Disain TIC

Disain bangunan bercirikan arstektur sunda dikolaborasikan dengan ciri


khas TKK. Pemenuhan konsep ekowisata maka fasilitas pusat informasi
menggunakan material ramah lingkungan berupa kayu dikombinasikan dengan
material lokal lainnya agar dapat mengisolasi panas dalam ruangan, mengurangi
pengurangan sumber daya alam yang vital serta emisi karbon. Bangunan
dilengkapi dengan jendela di setiap sisi untuk mendapatkan penerangan dan
ventilasi secara alami.
5. Gerbang Masuk
Gerbang masuk merupakan salah satu fasilitas pendukung wisata yang
menjadi akses keluar masuk pengunjung ke kawasan wisata, penanda lokasi
masuk wisata dan memberikan ucapan selamat datang kepada wisatawan serta
menjadi titik dimana pengunjung membayarkan sejumlah uang sebelum
memasuki kawasan wisata (Bell, 2008; Alkahtani et al, 2015). Mengacu pada
Permen LHK No. 13 Tahun 2020 disebutkan bahwa standar ukuran pintu masuk
atau gerbang wisata: (1) Disesuaikan dengan skala bentang alam area pintu masuk
dan kebutuhan perencanaan; (2) Elaborasi dari struktur budaya lokal; dan (3)
Dilengkapi sarana penunjang berupa portal dan pondok jaga. Menurut Metwally

81
(2019) konsep ekowisata perlu mempertimbangkan produksi energi terbarukan,
pengendalian polusi dan lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan.
Hasil observasi menunjukan TKK sudah memiliki gerbang masuk namun
belum cukup memadai. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara:
“Gerbang tidak strategis,… dan perlu pengembangan”.

Display data wawancara menunjukan gerbang/gapura masuk saat ini


penempatannya kurang strategis dan memerlukan pengembangan dengan ukuran
yang lebih besar serta disain yang menarik. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa gerbang TKK gerbang belum memadai. Hal ini didukung oleh hasil
observasi yangmenunjukan bahwa letak gerbang masuk terlalu ke dalam,
ukurannya kurang besar dan bentuknya kurang menarik.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data hasil
wawancara TKK perlu dilengkapi dengan fasilitas gerbang masuk yang lebih
memadai, ukuran lebih besar, disain menarik dan tata letaknya yang strategis.
Oleh karena itu, perencanaan pengembangan aset merujuk kepada teori Bell
(2008), Alkahtani et al. (2015), Probstl (2010) dan Metwally (2019) serta landasan
normatif Permen LHK No. 13 tahun 2020 dilakukan dengan pembangunan
fasilitas gerbang masuk di TKK. Perencanaan pengembangan aset gerbang masuk
dilakukan untuk menyediakan sirkulasi bagi kendaraan sesuai dengan akses jalan
dengan lebar 6,5 meter, dan disesuaikan dengan sirkulasi masuk dan keluar
kendaraan sebesar 0,5 m di sebelah kiri dan kanan, sehingga lebar pintu masuk
menjadi 7,5 m dengan tinggi 4 m. Disain gerbang masuk mengkombinasikan
budaya lokal dengan ciri khas TKK. Selain itu, sebagai bentuk pemenuhan elemen
berkelanjutan pada konsep ekowisata gerbang masuk akan menggunakan material
ramah lingkungan dengan tiang penyangga berupa pondasi beton dan bagian
atasnya menggunakan material kayu untuk mengurangi pengurangan sumber daya
alam yang vital serta emisi karbon serta dilengkapi dengan ucapan selamat datang.
Konsekuensi biaya dari pengembangan aset fasilitas gerbang masuk yakni biaya
pembongkaran dan biaya pembangunan. Disain gerbang masuk menuju TTK
disajikan pada Gambar 4.19.

82
Gambar 4. 19 Disain Gerbang Masuk
6. . Gazebo/Shelter
Gazebo/Shelter merupakan salah satu indikator fasilitas pendukung wisata
(Marzuki et al, 2017; Ginting dan Sasmita, 2018). Merujuk kepada
Permenparekraf No.3 Tahun 2022 ukuran standar gazebo adalah 3m x 2m dengan
tinggi 3 m dan jumlah minimum 5 unit. Menurut Metwally (2019) pembangunan
berkelanjutan sesuai konsep ekowisata mempertimbangkan produksi energi
terbarukan, pengendalian polusi dan lingkungan serta penggunaan material ramah
lingkungan.
Hasil observasi sudah tersedia satu unit shelter di TKK. Hal ini sejalan
dengan hasil wawancara:
“Sudah ada shelter,… namun jumlahnya masih kurang,…dan minimal ada
satu shelter/gazebo di setiap blok”.

Display data wawancara menunjukan sudah tersedia shelter di TKK,


namun jumlahnya masih belum memadai minmal terdapat satu unit shelter/gazebo
di setiap blok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fasilitas shelter
/gazebo di TKK belum memadai jumlahnya. Hal ini didukung pula dengan hasil
observasi bahwa TKK baru memiliki satu unit shelter yang ada di blok 4.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
diketahui bahwa fasilitas gazebo/shelter di TKK perlu ditambah jumlahnya. Oleh
karena itu, rancangan pengembangan aset merujuk kepada teori Marzuki et al.
(2017), (Ginting dan Sasmita, 2018), Pahlawan (2020), Sinta (2020), Hamka et al
(2021), dan Metwally (2019) serta landasan normatif Permenparekraf No.3 Tahun
2022 dilakukan dengan penambahan jumlah fasilitas gazebo/shelter di TKK.
Berdasarkan jumlah blok yang ada saat ini yakni 8 blok, maka perlu dilakukan
penambahan 7 unit gazebo/shelter. Rancangan gazebo/shelter di TKK merupakan

83
bangunan satu lantai dengan luas setiap bangunan 6 m2 dan luas keseluruhan
bangunan 42 m2. Sebagai bentuk pemenuhan elemen berkelanjutan pada konsep
ekowisata gazebo/shelter menggunakan material ramah lingkungan yakni kayu
dan material lokal lainnya agar dapat mengisolasi panas dalam ruangan dan
memberikan kesan menyatu dengan alam serta dilapisi cat yang ramah
lingkungan, mengurangi pengurangan sumber daya alam yang vital dan emisi
karbon. Disain gazebo/shelter mengadopsi arsitektur sunda merupakan bangunan
terbuka tipe panggung, tinggi 45 cm dari permukaan tanah dan di bagian bawah
dilakukan perkerasan menggunakan paving block agar dapat meresap air.
Konsekuensi biaya dari pengembangan aset fasilitas pendukung gazebo/shelter
yakni biaya pembangunan. Ilustrasi disain gazebo/shelter disajikan pada Gambar
4.20.

(a) Gazebo (b) Shelter


Gambar 4. 20 Ilustrasi Disain Gazebo/Shelter

7. Fasilitas Kebersihan dan Keamanan


Fasilitas kebersihan dan keamanan (hygiene and safety facilities) merupakan
salah satu indikator fasilitas pendukung wisata (Ginting dan Sasmita, 2018).
Violina dkk (2017) menjelaskan fasilitas kebersihan dan keamanan merupakan
pelayanan yang perlu disediakan di kawasan wisata agar kawasan wisata menjadi
nyaman. Merujuk kepada Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 bahwa fasilitas
kebersihan dapat berupa tempat sampah dan fasilitas keamanan berupa APAR,
fasilitas P3K dan Pos Keamanan.
Hasil observasi di TKK baru tersedia fasilitas kebersihan berupa tempat
sampah berjumlah 13 unit. Namun tempat sampah yang ada saat ini kurang
memadai dan tidak memenuhi kriteria. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara:

84
“Sampah dibuang sembarangan, belum ada pemilahan sampah,… dan
pernah terjadi pengrusakan pintu toilet”.

Display data hasil wawancara menunjukan adanya permasalahan kebersihan


dan keamanan di TKK terlihat dari belum ada pemilahan sampah, sampah masih
dibuang sembarangan dan adanya pengrusakan pintu toilet. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa fasilitas kebersihan dan keamanan di TKK belum
memadai. Hal didukung pula oleh hasil observasi bahwa fasilitas kebersihan yang
tersedia baru tempat sampah yang terbuat dari pasir dan semen, belum ada
pemisahan sampah organik dan anorganik serta belum tersedia pos keamanan.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
diketahui TKK perlu dilengkapi fasilitas kebersihan dan keamanan. Oleh karena
itu, dilakukan perencanaan pengembangan fasilitas kebersihan dan keamanan
merujuk kepada teori Ginting dan Sasmita (2018), Violina dkk (2017) dan
Metwally (2019) serta landasan normatif Permen PUPR No. 3 Tahun 2013 dan
Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 dengan penyediaan tempat sampah, APAR,
pembangunan pos keamanan, dan pengadaan fasilitas P3K.
a. Tempat sampah
Tempat sampah merupakan fasilitas sanitasi yang digunakan untuk
penyimpanan sementara sebelum sampah diangkut dan diolah pada Tempat
Pembuangan Akhir (Bagiastra et al., 2022). Tempat sampah yang akan disediakan
sebanyak 77 unit yang dilengkapi label sampah organik, daur ulang dan guna
ulang. Ilustrasi disain tempah sampah disajikan pada Gambar 4. 21.

Gambar 4. 21 Ilustrasi Disain Tempat Sampah

Rencana penyediaan tempat sampah pada TKK akan diletakkan di jalur


pedestrian/pejalan kaki, area parkir, pusat informasi, kios kuliner, area rekreasi

85
(green house, spot foto, area piknik, dan outbond), mushola, area penginapan,
area berkemah, gazebo/shelter, toilet, dan kios cinderamata. Konsekuensi biaya
dari pengembangan aset fasilitas tempat sampah yakni biaya pengadaan
b. APAR
APAR menurut Permenhut RI No P.22 Tahun 2012 adalah peralatan
keamanan yang digunakan untuk menjaga keamanan yang ketersediaannya
dibutuhkan dalam upaya untuk penanganan dan pengendalian resiko terjadinya
kebakaran. Menurut Firecek (2019), standar penempatan APAR harus
ditempatkan pada ketinggian 125 cm diatas permukaan tanah dan ditempatkan di
area yang mudah terlihat. Perencanaan penyediaan jumlah APAR mengacu pada
perhitungan menurut NFPA 10 (2013) sebagai berikut.
Jumlah Kebutuhan APAR =
Jumlah Kebutuhan Area yang Dilindungi
Area Perlindungan Maksimum tiap APAR (NFPA 10)
16000
= m2 = 16 (dibulatkan)
1.045,159
APAR yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan di TKK berjumlah 16
unit dengan jenis Dry Chemical Powder. APAR ini akan diletakan di tempat
parkir, toko cinderamata, TIC, area piknik, greenhouse, area berkemah, area
penginapan, area makan dan minum, area outbond, gazebo/shelter dan mushola.
Konsekuensi biaya dari pengembangan aset yakni biaya pengadaan. Bentuk
APAR yang akan digunakan disajikan pada Gambar 4.22.

Gambar 4. 22 APAR

c. Pos keamanan
Pos keamanan berfungsi untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi
pengunjung atau masyarakat ketika sedang beraktivitas di kawasan wisata.

86
Menurut Mahagangga (2013), ukuran pos keamanan/jaga di tempat wisata
berukuran 2m x 2m atau memiliki luas 4 m2. Perencanaan pengembangan aset
yang dilakukan ialah pembangunan fasilitas pos keamanan sebanyak 4 pos yang
akan ditempatkan pada pintu gerbang, area dekat perkemahan, area outbond, dan
tempat spot foto. Pos keamanan yang dibangun berukuran 2m x 2m, sehingga
total luas bangunan 16 m2. Material yang digunakan sebagai pemenuhan elemen
konsep ekowisata yakni material ramah lingkungan yang sebagian berupa kayu,
batu bata, gypsum/grc dan bahan alami lainnya. Konsekuensi biaya dari
perencanaan pengembangan aset fasilitas pos keamanan yakni biaya
pembangunan. Ilustrasi disain pos keamanan di TKK disajikan pada Gambar 4.23.

Gambar 4. 23 Ilustrasi Pos Keamanan

d. Fasilitas P3K
Pengelola tempat rekreasi perlu menyediakan peralatan P3K untuk
meminimalisir dampak risiko kecelakaan di kawasan wisata (Alaeddinoglu dan
Can, 2011). Merujuk kepada Permennakertrans No. PER.15 Tahun 2008
penyediaan fasilitas P3K disesuaikan dengan rata-rata jumlah pengunjung.
Perencanaan pengembangan aset yang dilakukan dengan pengadaan fasilitas
4 kotak P3K Tipe A untuk kebutuhan jumlah pengunjung kurang dari 100 orang.
Fasilitas P3K ini akan diletakkan pada fasilitas pusat informasi, kios kuliner, area
piknik, dan area spot foto. Konsekuensi biaya dari perencanaan pengembangan
aset fasilitas P3K yakni biaya pengadaan. Bentuk P3K disajikan pada Gambar
4.24.

87
Gambar 4. 24 Fasilitas P3K
8. Papan Petunjuk
Papan petunjuk merupakan salah satu indikator fasilitas pendukung wisata
(Ginting dan Sasmita, 2018). Papan petunjuk di kawasan wisata merupakan salah
satu bentuk fasilitas kepariwisataan yang penting untuk kegiatan operasional
wisata, menjamin aktivitas pengunjung terutama dalam mengakses informasi
mengenai fasilitas yang tersedia di destinasi wisata (Syahputra et al, 2019).
Menurut Permen LHK No. P.8 Tahun 2019, papan petunjuk sebagai sarana
penunjang kawasan wisata terdiri dari papan nama, papan informasi dan papan
petunjuk arah.
Hasil observasi, di TKK baru tersedia satu papan petunjuk, namun
kondisinya kurang baik sehingga belum memadai dan memenuhi kriteria. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara:
“Papan petunjuk perlu tersedia,…untuk informasi,…dan kemudahan bagi
pengunjung”.

Display data wawancara menunjukan bahwa TKK memerlukan papan


petunjuk untuk memberikan informasi dan kemudahan bagi pengunjung. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa TKK memerlukan fasilitas papan petunjuk.
Hal ini didukung oleh hasil observasi bahwa ketersediaan papan petunjuk di TKK
belum memadai karena baru tersedia satu unit dan kondisinya rusak.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
fasilitas papan petunjuk diperlukan di TKK untuk memberikan informasi dan
kemudahaan kepada pengunjung. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan
aset merujuk teori Ginting dan Sasmita (2018), Probstl (2010), dan Metwally
(2019) serta landasan normatif Permen LHK No. P8 Tahun 2019, dan
Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 dilakukan dengan pengadaan fasilitas papan
petunjuk. Sebagai bentuk pemenuhan elemen berkelanjutan pada konsep
ekowisata maka papan petunjuk akan dibuat dari material ramah lingkungan

88
berupa kayu sintetis dan plat besi galvanis untuk mengurangi pengurangan sumber
daya alam yang vital serta emisi karbon. Rincian kebutuhan dari papan petunjuk
sebagai berikut.
a. Papan Informasi
Papan informasi berisi mengenai informasi singkat dan denah tata letak
fasilitas TKK. Jumlah papan informasi dibutuhkan yakni 2 buah dan akan
ditempatkan di area parkir dan area dekat fasilitas akomodasi.
b. Papan Penanda Arah
Papan penanda arah berfungi untuk memberikan arah/petunjuk jalan di
kawasan TKK. Papan penanda arah yang dibutuhkan minimal 8 buah yang
menunjukan arah pada setiap blok.
c. Papan Rambu Lalu Lintas
Papan rambu lalu lintas bertujuan untuk menjadi penanda fasilitas utama dan
pendukung. Papan rambu lalu lintas direncanakan sebanyak 14 buah, dengan
rincian rambu lalu lintas area berkemah, area piknik, greenhouse, mushola,
area parkir motor dan mobil masing-masing 1 satu buah serta petunjuk toilet
8 buah.
d. Papan Larangan
Papan larangan bertujuan untuk mencegah pengunjung melakukan hal yang
berbahaya. Pengadaan papan larangan berupa larangan membuang sampah
dan menginjak tanaman. Papan larangan akan disediakan sebanyak 5 buah.
e. Papan Bina Cinta Alam
Papan bina cinta alam ditujukan untuk menghimbau pengunjung agar tetap
menjaga lingkungan. Jumlah papan bina cinta alam akan disediakan sebanyak
2 buah yang akan ditempatkan di area berkemah dan area piknik.
Berdasarkan rincian tersebut, maka total papan petunjuk yang akan
disediakan berjumlah 31 buah. Konsekuensi biaya dari perencanaan
pengembangan aset fasilitas papan petunjuk yakni biaya pengadaan. Contoh
Ilustrasi disain papan petunjuk disajikan pada Gambar 4.25.

89
Papan Informasi Papan Informasi

Papan Rambu Lalu Lintas Papan Rambu Lalu Lintas


Gambar 4. 25 Ilustrasi Disain Papan Petunjuk/Penanda

9. Toko Cinderamata
Toko cinderamata merupakan salah satu indikator fasilitas pendukung
(Ginting dan Sasmita, 2018). Standar ketentuan bangunan toko cinderamata
mengacu kepada Permenparekraf No. 3 Tahun 2022. Menurut Metwally (2019)
konsep ekowisata perlu mempertimbangkan produksi energi terbarukan,
pengendalian polusi dan lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan.
Hasil observasi di TKK belum tersedia fasilitas toko cinderamata. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara:
“Toko cinderamata diperlukan,…dan jenis cinderamata dapat berupa kaos,
gantungan kunci, topi, kerajinan, serta bibit tanaman”.

Display data hasil wawancara menunjukan bahwa TKK memerlukan


fasilitas toko cinderamata dengan souvenir berupa kaos, gantungan kunci, topi,
kerajinan dari kayu atau bambu dan bibit tanaman. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa TKK memerlukan fasilitas toko cinderamata. Hal ini
didukung pula oleh hasil observasi bahwa tidak ditemukan toko cinderamata baik
di TKK maupun di daerah sekitar TKK.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data
wawancara fasilitas toko cinderamata perlu tersedia di TKK. Oleh karena itu,
perencanaan pengembangan aset merujuk kepada Ginting dan Sasmita (2018),
Mulogo et.al (2018), Oka (2015), dan Metwally (2019) serta landasan normatif
Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 dilakukan dengan pembangunan toko

90
cinderamata dan pengadaan fasilitas pelengkapnya. Toko cinderamata yang
direncanakan berbentuk plaza souvenir yang dilengkapi dengan etalase 0,5m x
1,5m, area kasir, dan area penyimpanan. Sebagai bentuk pemenuhan elemen
berkelanjutan pada konsep ekowisata maka fasilitas toko cinderamata
menggunakan material ramah lingkungan yakni sebagian besar kayu dan material
lokal lainnya yang dapat mengisolasi panas dalam ruangan, mengurangi
pengurangan sumber daya alam yang vital serta emisi karbon. Bangunan
dilengkapi dengan jendela di setiap sisi sehingga pencahayaan siang hari dan
udara berasal dari penerangan dan ventilasi alami. Disain toko cinderamata
mengadopsi unsur budaya lokal pada bagian atap. Konsekuensi biaya dari
perencanaan pengembangan fasilitas yakni biaya pembangunan. Disain toko
cinderamata disajikan pada Gambar 4.26.

Gambar 4. 26 Disain Toko Cinderamata

4.2.3 Perencanaan Pengembangan Aset Infrastruktur


Perencanaan pengembangan aset infrastruktur pada TKK meliputi jalan,
jalur pejalan kaki, jaringan listrik dan jaringan air bersih.
1. Jalan
Jalan merupakan salah satu bagian dari infrastruktur pariwisata (Mandic et
al, 2018). Jalan menjadi infrastruktur yang penting karena menjadi akses utama
bagi wisatawan sebagai penghubung antar zona wisata. Standar ketentuan
infrastruktur jalan mengacu kepada UU No. 38 Tahun 2004, PP No. 34 Tahun
2006, Permen PU No. 19/PRT/2011, dan Permenparekraf No. 2 Tahun 2021
menyebutkan bahwa standar minimum jalan dalam kawasan pariwisata minimal
lebar 6,5 m dilengkapi dengan lampu penerangan jalan, bahu jalan, marka jalan
dan drainase. Pembangunan berkelanjutan dengan konsep ekowisata perlu

91
mempertimbangkan produksi energi terbarukan, pengendalian polusi dan
lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan (Metwally, 2019).
Hasil observasi jalan masuk TKK belum memadai dan kondisinya rusak
berat. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara:
“TKK memerlukan akses jalan yang bagus,…namun kondisi jalan saat ini
tidak memadai”.

Display data hasil wawancara menunjukan TKK memerlukan aksesibilitas


jalan yang bagus dan nyaman, namun kondisi jalan masuk yang ada saat ini tidak
memadai. Dengan demikian dapat disimpulkan jalan masuk TKK tidak memadai.
Hal ini didukung oleh hasil observasi yang menunjukan bahwa jalan masuk TKK
saat ini lebar jalannya kecil dan kondisinya rusak.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data
wawancara menunjukan bahwa keberadaan TKK perlu ditunjang oleh aksebilitas
jalan yang memadai. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan aset merujuk
kepada Mandic et al (2019) dan Metwally (2019) serta landasan Normatif UU No.
38 Tahun 2004, PP No. 34 Tahun 2006, Permen PU No. 19/PRT/2011, dan
Permenparekraf No. 2 Tahun 2022 dilakukan dengan melakukan pembangunan
pada infrastruktur jalan masuk serta kelengkapannya. Jalan yang direncanakan
dibangun memiliki lebar jalan 6,5m dan panjang ruas jalan 850m, bahu jalan di
kiri dan kanan jalan dengan lebar 1m, drainase 1 m dibagian kiri dan kanan jalan,
marka jalan dan lampu penerangan. Sebagai bentuk pemenuhan elemen
berkelanjutan pada konsep ekowisata infrastruktur jalan akan menggunakan
material ramah lingkungan seperti perkerasan material hotmix, penggunaan
paving block untuk bahu jalan, cat ramah lingkungan untuk marka jalan dan
lampu led untuk penerangan jalan. Konsekuensi dari biaya perencanaan
pengembangan aset yakni biaya pengadaan dan biaya pembangunan. Disain jalan
masuk menuju TKK disajikan pada Gambar 4. 27.

92
Gambar 4. 27 Disain Jalan Masuk TKK

2. Jalur Pejalan Kaki


Jalur pejalan kaki merupakan salah satu indikator infrastruktur (Heagley et
al, 2018). Jalur pejalan kaki merupakan aset tetap berupa jalan yang digunakan
untuk mempermudah pengunjung mengakses setiap daya tarik wisata (Probstl et
al, 2010). Menurut Permenparekraf No.2 Tahun 2021 standar lebar jalur pejalan
kaki yakni minimal 2 m (untuk 2 arah) dan jalur pejalan kaki harus memiliki
perkerasan agar jalur dapat difungsikan sebagai jalur evakuasi. Konsep ekowisata
perlu mempertimbangkan produksi energi terbarukan, pengendalian polusi dan
lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan (Metwally, 2019).
Hasil observasi, jalur pejalan kaki di TKK sudah tersedia sepanjang 500
meter dan lebar 1,2 meter dengan material pavin block. Hal ini sejalan dengan
hasil wawancara:
“Jalur pejalan kaki cukup memadai,….namun masih perlu penambahan
jalur sekitar 1.000-2.500m”.

Display hasil wawancara menunjukan bahwa jalur pejalan kaki di TKK


sudah ada dan cukup memadai namun masih memerlukan penambahan jalur
sepanjang 1.000 – 2.500m. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa TKK
memerlukan penambahan jalur pejalan kaki. Hal ini didukung oleh hasil observasi
yang menunjakan sudah ada jalur pejalan kaki di TKK tetapi panjangnya baru
500m.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data wawancara
diketahui bahwa TKK memerlukan penambahan jalur pejalan kaki. Oleh karena
itu, perencanaan pengembangan aset merujuk Heagley et al (2018), Probstl el al
(2010) dan Anggriani (2019) serta landasan normatif Permenparekraf No.2 Tahun
2021 dan Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 dilakukan dengan melakukan
penambahan jalur pejalan kaki sepanjang 1.000 m. Sebagai bentuk pemenuhan
elemen berkelanjutan pada konsep ekowisata maka jalur pejalan kaki
menggunakan perkerasan material ramah lingkungan yakni paving block/porous

93
pavement setara K-200 s.d. K-350, anti slip, tidak licinn, mudah meresapkan air,
dan diberikan kanstein. Jalur pejalan kaki akan dilengkapi dengan lampu
penerangan dimana jarak antar lampu yakni 10m dan tingkat pencahayaan 50–150
lux. Dengan demikian kebutuhan lampu untuk menerangi seluruh jalur pejalan
kaki sebanyak 150 unit. Konsekuensi dari rancangan pengembangan aset ini yakni
biaya pembangunan dan pengadaan. Disain jaur pejalan kaki disajikan pada
Gambar 4.28.

Gambar 4. 28 Disain Jalur Pejalan Kaki

3. Jaringan Listrik
Jaringan listrik merupakan salah satu indikator infrastruktur wisata
(Marzuki et al, 2017). Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 kawasan
wisata harus memenuhi kualitas jaringan listrik untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketersediaan listrik pada objek wisata dapat diukur berdasarkan jaringan listrik
dan kelengkapannya untuk kebutuhan wisatawan, seperti tersedianya stop kontak
dan lampu penerangan. Mengacu pada Permenparekraf No. 3 Tahun 2022,
ketersediaan lampu penerangan jalan dapat dibuat dari bahan beton atau kayu
dapat diletakan 30cm2 dengan dipasang maksimal tinggi tiang lampu 4 m, di jalan
dengan jarak setiap 10 m, dengan lampu penerangan berwarna jingga dan
memiliki kemampuan 50-150 lux. Pembangunan berkelanjutan dengan konsep
ekowisata perlu mempertimbangkan produksi energi terbarukan, pengendalian
polusi dan lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan (Metwally,
2019).
Hasil observasi TKK belum dilengkapi dengan jaringan listrik yang
memadai. Hal ini sejalan dengan hasil wawncara:
“Jaringan listrik belum memadai,… masih memerlukan peningkatan
fasilitas”.

94
Display data hasil wawancara menunjukan bahwa jaringan listrik di TKK
saat ini belum memadai, dibutuhkan perbaikan dan peningkatan fasilitas. Dengan
demikian dapat disimpulkan jaringan listrik di TKK belum memadai. Hal ini
didukung oleh hasil observasi tidak ditemukan stop kontak dan lampu penerangan
yang merupakan bagian dari jaringan listrik.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data diketahui
bahwa jaringan listrik di TKK belum memadai dan perlu dilakukan peningkatan
fasilitas. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan aset merujuk kepada
Marzuki et al (2017), Metwally (2019) dan landasan normatif Undang-Undang
No. 10 Tahun 2009 serta Permenparekraf No. 3 Tahun 2022 dilakukan dengan
penyediaan infrastruktur pada utilitas jaringan listrik berupa pengadaan lampu
sebanyak 150 unit yang akan dipasang pada jalur pedestrian, 1 unit charging
station di area fasilitas makanan dan minum serta 10 unit terminal stop kontak
direncanakan berada di setiap unit penginapan. Selain itu, sebagai bentuk
pemenuhan elemen berkelanjutan pada konsep ekowisata maka infrastruktur
jaringan listrik berupa lampu penerangan akan disediakan berupa lampu led yang
merupakan lampu penerangan ramah lingkungan serta box charging station yang
terbuat dari kayu. Konsekuensi biaya dari perencanaan pengembangan aset yakni
biaya pengadaan. Disain charging station disajikan pada Gambar 4.29.

Gambar 4. 29 Disain Charging Station

4. Jaringan Air Bersih


Jaringan air bersih merupakan salah satu indikator infrastruktur menurut
Marzuki et al (2017). Indikator water supply dapat diukur dengan tersedianya air
bersih serta jaringannya pada areal terbuka sehingga wisatawan dapat dengan

95
mudah menggunakan air bersih di area atau kawasan wisata. Ketersediaan fasilitas
cuci tangan dan fasilitas air minum merupakan fasilitas yang sangat dibutuhkan
(Alaedinoglu dan Can, 2011; UU RI No.10 Tahun 2009). Menurut Metwally
(2019) pembangunan berkelanjutan dengan konsep ekowisata (ecotourism) perlu
mempertimbangkan produksi energi terbarukan, pengendalian polusi dan
lingkungan serta penggunaan material ramah lingkungan.
Hasil observasi, TKK saat ini belum dilengkapi fasilitas jaringan yang
memadai. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara:
“Jaringan air belum memadai,… dan perlu peningkatan fasilitas”.

Display data wawancara menunjukan bahwa jaringan air bersih di TKK saat
ini belum memadai dan membutuhkan peningkatan fasilitas air bersih. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa fasilitas jaringan air bersih di TKK belum
memadai. Hal ini didukung hasil observasi yang menunjukan tidak ditemukan
fasilitas air bersih berupa kran air dan wastafel di TKK.
Berdasarkan hasil observasi, reduksi, display dan verifikasi data diperlukan
peningkatan fasilitas jaringan air bersih di TKK. Oleh karena itu, perencanaan dan
pengembangan aset merujuk kepada Alaedinoglu dan Can, 2011 (2011) Marzuki
et al (2017) dan Metwally (2019) serta landasan normatif UU RI No.10 Tahun
2009 dilakukan dengan pengadaan fasilitas jaringan air bersih berupa wastafel dan
kran air di area terbuka. Disain wastafel dan kran air disajikan pada Gambar 4.30.

Gambar 4. 30 Disain Wastafel dan Kran Air


Wastafel dan kran air yang direncanakan pada setiap blok masing-masing 1
buah, sehingga total pengadaan wastafel dan kran air berjumlah 8 buah. Sebagai
bentuk pemenuhan elemen berkelanjutan pada konsep ekowisata maka fasilitas
wastafel terbuat dari material batu dan kran air berbahan baku ramah lingkungan.

96
Rekapituasi perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur
di TKK disajikan pada Tabel 4. 2
Tabel 4. 2 Rancangan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur di TKK
Standar Ketentuan Pembangunan
Luas Lahan 16 hektar = 160.000 m2
KDH 90% 90% x 160.000 m2 = 144.000 m2.
KDB 10% 10% x 160.000 m2 = 16.000 m2.

Total
No Aset Luas Strategi Perencanaan dan Pengembangan
(m2)
Fasilitas Utama
1 Akomodasi /Cottage 280,00 Pembangunan dan Pengadaan
2 Fasilitas Makan/Minum 645,00 Pembangunan dan Pengadaan
3 Green House 80,00 Pembangunan dan Pengadaan
4 Area Piknik 45,00 Pembangunan dan Pengadaan
5 Spot Foto/Menara Pandang 40,00 Pembangunan
6 Toilet 115,04 Pembongkaran, Pembangunan dan Pengadaan
Fasilitas Pendukung
7 Mushola 130,80 Pembongkaran, Pembangunan dan Pengadaan
8 Area Parkir 750,00 Pembangunan dan Pengadaan
9 Pusat Informasi 150,00 Pembangunan dan Pengadaan
10 Gazebo/Shelter 48,00 Pembangunan
11 Pos Keamanan 16,00 Pembangunan
12 Gerbang Masuk 11,25 Pembangunan
13 Toko Cinderamata 27,00 Pembangunan dan Pengadaan
Infrastruktur
1 Jalan Pengadaan dan Pembangunan
2 Jalur Pejalan Kaki 2.000,00 Pembangunan dan Pengadaan
Total Luas yang dibangun 4.338,09

4.3 Estimasi Biaya Perencanaan Pengembangan Fasilitas Fisik dan


Infrastrutur
Berdasarkan inti identifikasi pada Bab I nomor 2 yakni menghitung estimasi
biaya perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di Taman
Kehati Kiarapayung, pada subbab ini disajikan perhitungan estimasi biaya
meliputi biaya pembongkaran, biaya pengadaan, dan biaya pembangunan.

4.3.1 Estimasi Biaya Pembongkaran


Estimasi biaya pembongkaran yaitu perkiraan dana yang dikeluarkan untuk
membongkar suatu bangunan. Metode yang digunakan untuk menghitung estimasi

97
biaya pembongkaran adalah metode meter persegi (Prawoto, 2015). Pendekatan
besarnya biaya pembongkaran mengacu kepada beberapa sumber yang disajikan
pada Tabel 4.3.
Tabel 4. 3 Biaya Pembongkaran Bangunan
No Biaya Pembongkaran Satuan Sumber
1 Rp.100.000,- s.d. Rp.250.000,- M 2
https://timbongkarrumah.com/
2 Rp.100.000,- s.d. Rp.300.000,- M2 https://blk.co.id
3 Rp.100.000,- - Rp. 250.000,- M2 https://artikel.rumah123.com/
4 Rp. 78.000,- rincian: M2 htpps://Builder.id, 2022
Pembongkaran atap Rp.37.500,-
Pembongkaran dinding Rp.22.000,-
Pembersihan bongkaranRp.18.000,-

Berdasarkan data pada tabel diatas, besarnya kisaran biaya pembongkaran


bangunan mulai Rp.78.000,- sampai Rp.300.000,-. Berdasarkan hal tersebut, maka
estimasi biaya pembongkaran bangunan dapat diambil dari nilai pertengahan dari
nilai terendah dan nilai tertinggi kisaran biaya pembongkaran yakni
Rp.150.000/m2. Aset fasilitas yang akan dilakukan pembongkaran terdiri dari
toilet, mushola dan gerbang masuk. Perhitungan estimasi biaya pembongkaran
aset fasilitas dan infrastruktur di TKK disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4. 4 Estimasi Biaya Pembongkaran Fasilitas Taman Kehati
Biaya Luas Total Biaya
No Aset Fasilitas Jumlah
Pembongkaran Bangunan (Rp)
. Fisik Unit
(Rp./m2) (m2)
1 Gerbang Masuk 150.000,- 6 1 900.000,-
2 Mushola 150.000,- 6 1 900.000,-
3 Toilet 150.000,- 36 1 5.400.000,-
Total Estimasi Biaya Pembongkaran 7.200.000,-
PPN 11% 792.000,-
Total Eatimasi Biaya Pembongkaran setelah PPN 7.992.000,-

Berdasarkan perhitungan pada tabel di atas dapat diketahui total estimasi


biaya pembongkaran yang sudah termasuk PPN 11% adalah sebesar
Rp.7.992.000,-tahun perhitungan 2022 yakni untuk pembongkaran: (1) fasilitas
utama yaitu toilet, dan (2) fasilitas pendukung terdiri dari gerbang masuk dan
mushola. Sedangkan jika dilaksanakan pada Tahun 2023 dengan
memperhitungkan rata-rata nilai inflasi Tahun 2022 sebesar 3,76 (Bank
Indonesia), maka estimasi biaya pembongkaran sebesar Rp.8.292.499,20.

98
4.3.2 Estimasi Biaya Pengadaan
Estimasi biaya pengadaan dilakukan untuk memperkirakan biaya yang dapat
dihitung untuk pembelian suatu barang. Estimasi biaya pengadaan pada proyek ini
meliputi biaya pengadaan fasilitas pelengkap dan pengadaan lahan untuk
pembangunan akses jalan masuk menuju TKK.
1. Estimasi biaya pengadaan fasilitas pelengkap
Biaya pengadaan pada proyek ini digunakan untuk menghitung biaya
pengadaan aset fasilitas berupa peralatan dan perlengkapan pada fasilitas utama
dan pendukung. Metode yang digunakan yakni satuan harga. Daftar harga untuk
perhitungan estimasi biaya pengadaan perlengkapan aset fasilitas fisik dan
infrastruktur pada TKK disajikan pada Lampiran N.
Perhitungan estimasi biaya pengadaan peralatan dan fasilitas pelengkap
menggunakan metode satuan harga mengacu kepada data pada Lampiran N
disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4. 5 Estimasi Biaya Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Pelengkap
Standar
Total Biaya
Fasilitas Fasilitas Pelengkap Jumlah Harga/Unit
(Rupiah)
(Rupiah)
Fasilitas Utama
Akomodasi Tempat tidur Set 120cm x 10 1.680.000 16.800.000
(Coutage) 200cm
Armchair, 10 570.000 5.700.000
Meja, 1 m x 1 m 10 1.599.000 15.990.000
Cermin dinding, 10 352.500 3.525.000
LED TV 24 Inch. 10 619.000 6.190.000
Lampu LED 7 Watt 30 14.200 426.000
Wastafel 10 650.000 6.500.000
Kran air 10 265.000 2.650.000
Cermin toilet 10 229.900 2.299.000
Kloset jongkok 10 525.000 5.250.000
Terminal stop kontak 10 55.000 550.000
Tempat sampah toilet 10 80.000 800.000
Fasilitas Meja dan kursi makan 75 2.250.000 168.750.000
Makan/Minum Etalase makan dan minum 5 1.285.000 6.425.000
Lampu LED 20 Watt 10 60.000 600.000
Wastafel 12 650.000 7.800.000
Tempat sampah organik dan 2 775.000 1.550.000
anorganik
Green House Lampu LED 7 Watt 4 14.200 56.800
Papan identifikasi tanaman 150 30.000 4.500.000
Area Piknik Meja dan kursi piknik 10 4.500.000 45.000.000

99
Standar
Total Biaya
Fasilitas Fasilitas Pelengkap Jumlah Harga/Unit
(Rupiah)
(Rupiah)
Fasilitas pemanggangan 10 308.000 3.080.000
Fasiitas Peralatan birma crosser 1 15.000.000 15.000.000
Outbond Peralatan hell barrier 1 10.000.000 10.000.000
Peralatan outbond spider web 1 10.000.000 10.000.000
Toilet Kloset jongkok 32 525.000 16.800.000
Urinoir 16 1.150.000 18.400.000
Keran air 16 265.000 4.240.000
Wastafel 16 650.000 10.400.000
Cermin Toilet, 16 189.000 3.024.000
Tempat sampah toilet 32 80.000 2.560.000
Lampu LED 7 Watt 32 14.200 454.400
Jumlah 395.320.200
Fasilitas Pendukung
Area Parkir Lampu penerangan 5 7.500.000 37.500.000
Area berkemah Papan tenda (deck) 3 m x 2 m 25 3.500.000 87.500.000
Pagar pembatas 225 375.000 84.375.000
Tempat Pengeras Suara 1 285.000 285.000
ibadah/Mushola Rak Penyimpan Alat Sholat 2 89.000 178.000
Sajadah 30 60.000 1.800.000
Sarung 15 40.000 600.000
Mukena 15 65.000 975.000
Keran air 6 265.000 1.590.000
Kloset jongkok 2 525.000 1.050.000
Pusat informasi Set Perlengkapan Pusat 1 32.500.000 32.500.000
Infomasi
Gazebo/shelter Lampu LED 20 Watt 8 60.000 480.000
Fasilitas Apar dan Box Pengaman 16 1.234.000 19.744.000
keamanan dan Tempat sampah 3 kompatibel 77 4.000.000 308.000.000
kebersihan Fasilitas P3K 4 565.000 2.260.000
Papan petunjuk Papan Informasi 2 3.000.000 6.000.000
Papan Penanda Arah 4 1.500.000 6.000.000
Papan Rambu Lalu Lintas 14 275.000 3.850.000
Papan Bina Cinta Alam 2 2.000.000 4.000.000
Papan Larangan 10 2.000.000 20.000.000
Toko Etalase Toko 5 1.285.000 6.425.000
cinderamata Mesin kasir 7 1.680.000 11.760.000
Lampu led 20w 4 60.000 240.000
Jumlah 637.112.000
Infrastruktur
Lampu penerangan jalan 174 7.500.000 1.305.000.000
Charging station 1 1.100.000 1.100.000
Wastafel dan kran 8 850.000 6.800.000
Jumlah 1.312.900.000
Total 2.345.332.200
PPN 11% 257.986.542
Total biaya pengadaan 2.603.318.742

100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa total estimasi biaya
pengadaan peralatan dan fasilitas pelengkap sudah termasuk PPN 11% yakni
sebesar Rp.2.603.318.742,- tahun perhitungan 2022. Sedangkan jika dilaksanakan
pada Tahun 2023 dengan memperhitungkan rata-rata nilai inflasi Tahun 2022
sebesar 3,76% (Bank Indonesia), maka estimasi biaya pengadaan peralatan dan
fasilitas pelengkap sebesar Rp.2.701.203.526,70.
2. Estimasi biaya pengadaan lahan
Estimasi biaya pengadaan lahan untuk pembangunan jalan masuk dihitung
berdasarkan kebutuhan lahan dikalihan dengan harga tanah dengan luas kebutuhan
lahan dalam satuan meter persegi. Berdasarkan hasil observasi harga pasar tanah
di Kp. Cikeueup Ds. Sindangsari Kec. Sukasari Kab. Sumedang rata-rata
Rp.10.000.000,- per bata atau Rp.715.000,- /m2. Selain itu, informasi data harga
rata-rata tanah disekitar sekitar Kp. Cikeuyeup Ds. Sindang Sari diperoleh dari
market place yakni sebesar Rp.900.411,-m2. Harga tanah dari hasil observasi
lapangan dielaborasi dengan harga tanah dari market place sehingga diperoleh
prakiraan estimasi harga pasar Rp.807.700,-/m2 atau Rp.11.307.800,-/bata.
Perhitungan estimasi biaya pengadaan lahan disajikan pada Lamporan O.
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui estimasi biaya pengadaan
lahan sebagai akses jalan masuk menuju TKK sebesar Rp. 7.388.940.562,50,-
tahun perhitungan 2022. Sedangkan jika dilaksanakan pada Tahun 2023 dengan
memperhitungkan rata-rata nilai inflasi Tahun 2022 sebesar 3,76% (Bank
Indonesia), maka estimasi biaya pengadaan lahan sebesar Rp.7.666.764.727,65.
Berdasarkan perhitungan diatas total estimasi biaya pengadaan yakni
Rp.9.992.259.304,50 untuk perhitungan tahun 2022. Sedangkan jika
direalisasikan pada tahun 2023, estimasi biaya pengadaan sebesar
Rp.10.367.968.254,35.

4.3.3 Estimasi Biaya Pembangunan


Estimasi biaya pembangunan terdiri dari biaya pembangunan fasilitas fisik
dan infrastruktur yang dihitung menggunakan metode biaya meter persegi dan
unit terpasang merujuk kepada Prawoto (2015). Estimasi biaya metode meter

101
persegi ini digunakan untuk menghitung estimasi biaya pembangunan berdasarkan
satuan mata uang per unit luas atau volume. Biaya yang digunakan adalah biaya
pada Tahun 2022 yang berseumber dari Permenparekraf No. 3 Tahun 2022, SBK
Bidang Kebinamargaan dan Tata Ruang Provinsi Jawa Barat Tahun 2022 dan
marketplace. Perhitungan biaya pembangunan infrastruktur jalan masuk TKK
secara rinci ada pada Lampiran P. Perhitungan estimasi biaya pembangunan aset
fasilitas fisik dan infrastruktur pada TKK disajikan pada Tabel 4.6.
Tabel 4. 6 Perhitungan Estimasi Biaya Pembangunan Fasilitas Fisik
Standar
Luas Total Biaya
Fasilitas Harga/m2 Sumber
(m2) (Rupiah)
(Rupiah)
Fasilitas Utama
Penginapan /Cottage 2.500.000 Rumahkayuwoloan.com 280,00 700.000.000
Fasilitas Makan/Minum 1.250.000 Permenparekraf No.3 645,00 806.250.000
Green House 1.200.000 Tokopedia.com 80,00 96.000.000
Area Piknik 3.500.000 Permenparekraf No.3 45,00 157.500.000
Spot Foto/Menara 7.000.000 Permenparekraf No.3 40,00 280.000.000
Pandang
Toilet 6.500.000 Permenparekraf No.3 115,04 747.760.000
Fasilitas Pendukung
Mushola 6.000.000 Permenparekraf No.3 130,80 784.800.000
Area Parkir 1.250.000 Permenparekraf No.3 750,00 937.500.000
Pusat Informasi 6.500.000 Permenparekraf No.3 150,00 975.000.000
Gazebo/Shelter 3.500.000 Permenparekraf No.3 48,00 168.000.000
Pos Keamanan 1.016.000 Pinhome.com 16,00 16.256.000
Gerbang masuk 9.003.204 Permenparekraf No. 3 11,25 101.286.045
Toko Cinderamata 4.500.000 Permenparekraf No.3 27,00 121.500.000
Infrastruktur
Jalan SBK Kebinamargaan 3.283.210.889,23
dan Tata Ruang Prov.
Jabar Tahun 2022
Jalur pejalan kaki 1.250.000 Permenparekraf No.3 2.000,00 2.500.000.000
Total 11.675.062.934
PPN 11% 1.284.256.923
Total Biaya Pembangunan 12.959.319.857

Berdasarkan perhitungan pada tabel di atas dapat diketahui total estimasi


biaya pembangunan aset fasilitas fisik dan infrastruktur dengan PPN yakni Rp.
12.959.319.857,- tahun perhitungan 2022 sedangkan jika direalisasikan pada tahun
2023 dengan memperhitungkan tingkat inflasi tahun 2022 sebesar 3,76% (Bank
Indonesia), maka total estimasi biaya pembangunan aset fasilitas fisik sebesar
Rp.13.446.590.284,-.

102
Berdasarkan hasil perhitungan estimasi maka dapat disimpulkan biaya
perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastrutur di TKK sebesar
Rp.22.959.571.161,50 tahun perhitungan 2022 terdiri dari biaya pembongkaran
Rp.7.992.000,-, biaya pengadaan Rp.9.992.259.304,50 dan biaya pembangunan
Rp.12.959.319.857,-. Sedangkan jika dilaksanakan pada Tahun 2023 dengan
memperhitungkan rata-rata nilai inflasi Tahun 2022 sebesar 3,76% (Bank
Indonesia), maka estimasi biaya perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik
dan infrastruktur di TKK sebesar Rp.23.822.851.037,17 terdiri dari biaya
pembongkaran Rp.8.292.499,20 biaya pengadaan Rp.10.367.968.254,35 dan
biaya pembangunan Rp.13.446.590.283,62.

4.4 Luaran Proyek Perencanaan Pengembangan Aset


Luaran proyek sebagaimana diajukan pada Bab I meliputi Artikel Ilmiah,
Site Plan 2D, Poster, Vidieo Pemetaan dan Laporan Pengembangan Aset Fasilitas
Fisik dan Infrastruktur Taman Kehati Kiarapayung.

4.4.1 Artikel Ilmiah


Artikel ilmiah hasil penelitian sebelumnya dan laporan tugas akhir akan
dipublikasikan dengan judul “Pengukuran Sumberdaya Aset Fasilitas Fisik dan
Infrastruktur (Studi pada Taman Kehati Kiarapayung)”.

4.4.2 Site Plan 2D


Site plan 2D ini berupa rancangan penempatan untuk perencanaan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di TKK yang disediakan
mempermudah pengunjung dan pembaca. Aset fasilitas fisik dan infrastruktur
dalam site plan terdiri dari akomodasi (cottage), kios makan dan minum, fasilitas
rekreasi (green house, area piknik, menara pandang/spot foto, dan outbond),
toilet, area berkemah, area parkir, mushola, pusat informasi, gerbang masuk,
fasilitas keamanan dan kebersihan (tempat sampah, pos keamanan, APAR, dan
fasilitas P3K), papan petunjuk, kios cinderamata, jalan masuk, jalur pedestrian,
jaringan listrik dan jaringan air bersih. Rancangan site plan disajikan pada
Gambar 4.31.

103
Gambar 4. 31 Site Plan Perencanaan Pengembangan TKK

Lahan kawasan konservasi terbagi menjadi tiga zona yakni zona intensif
untuk pengembangan ruang aktif dan pasif, zona semi intensif untuk pembatasan
kegiatan dan bangunan fasilitas dengan tujuan menjaga kelestarian alam, dan zona
ekstensif untuk pengembangan fasilitas aktivitas minat khusus (Beljai dkk, 2014;
Mulyana; 2019).
a. Zona Intensif
Zona intensif menyediakan fasilitas untuk kebutuhan beraktivitas, pelayanan
pengunjung dan adanya daya tarik zona tersebut. Fasilitas utama pada zona ini
meliputi fasilitas rekreasi (greenhouse, area piknik dan spot foto/menara
pandang) dan toilet yang tersebar di setiap blok. Fasilitas pendukung meliputi,
mushola, gazebo/shelter, pusat informasi, fasilitas kebersihan dan keamanan
(tempat sampah, pos keamanan, APAR dan P3K) serta infrastruktur berupa
jalan masuk, jalur pejalan kaki, jaringan listrik (lampu penerangan jalan,
charging terminal dan stop kontak listrik) dan jaringan air bersih berupa
wastafel dan kran air bersih. Zona intensif ekowisata TKK disajikan pada
Gambar 4.32.

104
Gambar 4. 32 Zona Intensif Perencanaan Pengembangan TKK

b. Zona Semi Intensif


Zona semi intensif menyediakan fasilitas pelayanan umum dan penunjang.
Fasilitas utama pada zona semi intensif TKK yakni fasilitas akomodasi
(coutage), dan fasilitas pendukung meliputi area parkir, gerbang masuk, kios
makan dan minum, papan petunjuk dan toko cinderamata. Zona semi intensif
disajikan pada Gambar 4.33.

Gambar 4. 33 Zona Semi Intensif Perencanaan Pengembangan TKK

105
c. Zona Ekstensif
Fasilitas utama pada zona ektensif (minat khusus) TKK terdiri dari area
berkemah, dan area outbond. Zona ekstensif disajikan pada Gambar 4.31.

Gambar 4. 34 Zona Ekstensif Perencengembangan TKK

4.4.3 Poster Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan


Infrastruktur
Poster dibuat berfungsi sebagai media publikasi dan promosi TKK dengan
memadukan tulisan dan gambar perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik
dan infrastruktur dilengkapi dengan disain site plan yang diharapkan dapat
menarik minat kunjungan wisatawan. Disain poster TKK disajikan pada Lampiran
Q.

4.4.4 Vidieo 3D Perencanaan Pengembangan Fasilitas Fisik dan


Infrastruktur
Video disain 3D perencanaan pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur
merupakan bentuk penyajian rancangan pengembangan yang lebih ilustratif untuk
setiap aset meliputi fasilitas utama, fasilitas pendukung, dan infrastruktur pada
Taman Kehati Kiarapayung. Vidieo perencanaan pengembangan fasilitas fisik dan
infrastruktur Taman Kehati dapat dilihat pada

106
https://bit.ly/VidieoVisualisasi_AndriCahya dan sreen shootnya dapat dilihat pada
Gambar 4.32.

Gambar 4. 35 Screen Shoot Vidio Visualisasi 3D TKK

4.4.5 Buku Laporan Perencanaan Pengembangan Aset Fasilitas Fisik dan


Infrastruktur
Merujuk pada teori The Victorian Government (1995), Sugiama (2013),
Blur et al (2013), Marzuki (2017), Ginting dan Sasmita (2018), Mandic et.al
(2018), Heagley (2018), Metwally (2019) serta landasan normatif bahwa
perencanaan pengembangan aset pada fasilitas utama, fasilitas pendukung dan
infrastruktur merupakan rangkaian kegiatan untuk menciptakan atau melakukan
peningkatan kualitas pada aset tersebut dengan menggunakan konsep ekowisata.
Pada buku laporan ini menyajikan perencanaan pengembangan aset fasilitas dan
infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata pada TKK. Laporan terdiri dari dari
lima bab yakni pendahuluan, landasan teori dan landasan normatif, metode
perancangan dan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur, hasil dan
pembahasan serta kesimpulan dan saran. Buku laporan ini diharapkan menjadi
masukan, referensi dan bahan bacaan bagi DLH Provinsi Jawa Barat khususnya
Bidang Konservasi Alam yang membidangi Pengelolaan TKK dan umumnya bagi
pembaca.
Bagian pendahuluan memaparkan latar belakang dilakukannya perencanaan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata

107
pada TKK. Selain itu, pada bagian ini dijelaskan juga identifikasi dan batasan
proyek, tujuan, manfaat dan luaran proyek, lokasi dan jadwal pelaksanaan proyek.
Bagian landasan teori dan normatif berisikan mengenai teori dan peraturan
yang digunakan pada pelaksanaan proyek ini. Grand theory yang digunakan pada
perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur yakni Linking
nature-based tourism attributes to tourists’ satisfaction (Marzuki et al, 2017) dan
Developing tourism facilities based on geotourism in Silalahi Village, Geopark
Toba Caldera (Ginting dan Sasmita, 2018) terdiri dari fasilitas utama, fasilitas
pendukung dan infrastruktur, serta konsep ekowisata menurut Metwally (2019).
Landasan teori lainnya yang berkaitan yakni manajemen aset, perencanaan
pengembangan aset, dan estimasi biaya. Pada bagian ini juga dijelaskan mengenai
landasan normatif, penelitian sebelumnya, landasan normatif, dan kerangka
berpikir proyek perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur.
Bagian metode perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan
infrastruktur menjelaskan metode yang digunakan, prosedur perancangan proyek,
benchmarking, jenis dan sumber data, Teknik pengumpulan data, Teknik Analisa
data, kerangka acuan kerja dan operasionalisasi proyek. Bagian hasil dan
pembahasan berisi gambaran umum objek proyek, rencana pengembangan aset
meliputi fasilitas utama, fasilitas pendukung dan infrastruktur, estimasi biaya,
luaran proyek, kelebihan dan kekurangan proyek, serta implikasi manajerial.
Bagian kesimpulan dan saran berisikan kesimpulan pembahasan perencanaan
pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata
pada TKK sesuai dengan identifikasi, batasan dan tujuan yang telah ditetapkan
dan saran secara akademik untuk penelitian ataupun proyek selanjutnya.

4.5 Kelebihan dan Keterbatasan Perencanaan Pengembangan Fasilitas


Fisik dan Infrastruktur
Proyek perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur pada
TKK memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan proyek meliputi:
1. Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur tidak hanya
memperhatikan standar pengembangan berdasarkan Permenparekraf No.3

108
Tahun 2022, namun mengimplementasikan penerapan konsep ekowisata pada
fasilitas fisik dan infrastruktur agar memenuhi prinsip dan aspek yang
memperhatikan lingkungan seperti penggunaan material ramah lingkungan;
2. Perencanaan pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur berdasarkan konsep
ekowisata pada TKK dapat menjadi acuan bagi pemilik dan pengelola aset dalam
melaksanakan perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur;
3. Perencanaan pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur berdasarkan konsep
ekowisata pada TKK dilengkapi dengan papan interpretasi kawasan sehingga
memudahkan pengunjung TKK;
4. Perencanaan dan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur dilengkapi
dengan disain fasilitas 3D, site plan, site map zonasi, poster, vidieo visualisasi,
dan perhitunan estimasi biaya.
Keterbatasan proyek perencanaan pengembangan fasilitas dan infrastruktur
di TKK berdasarkan konsep ekowisata meliputi:
1. Perencanaan pengembangan aset berdasarkan konsep ekowisata pada TKK
belum dilengkapi dengan perhitungan secara rinci terhadap kebutuhan dan
biaya setiap komponen aset fasilitas fisik dan infrastruktur;
2. Perencanan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur pada TKK
belum dilengkapi dengan detail petunjuk teknis setiap fasilitas fisik (fasilitas
utama dan pendukung) dan infrastruktur;
3. Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan
konsep ekowisata pada TKK belum memperhitungkan serta menganalisis
faktor dampak lingkungan;
4. Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan
konsep ekowisata pada TKK belum dilengkapi dengan kajian pola
pemanfaatan aset yang tepat untuk setiap aset fasilitas.

4.6 Implikasi Manajerial


Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur memiliki
implikasi penting bagi pemegang kebijakan yakni Pemprov Jabar dan DLH selaku
pengelola. Berdasarkan hasil proyek perencanaan pengembangan aset fasilitas dan

109
infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata pada TKK, diharapkan dapat
digunakan sebagai referensi TKK. Berikut implikasi manajerial perlu
diperhatikan, dipersiapkan dan dilakukan sebagai tindak lanjut pihak pengelola.
1. Melakukan kajian terhadap rancangan pengembangan aset fasilitas dan
infrastruktur serta estimasi biaya pengembangan aset dilengkapi dengan
Rencana Anggaran Biaya secara detail sesuai dengan standar biaya terbaru jika
pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur tidak dilakukan pada tahun 2022.
2. Membuat DED (Detail Engineering Design) proyek pengembangan aset
fasilitas dan infrastruktur dengan bidang ahlinya yang digunakan sebagai acuan
lebih detail mengenai gambar perencanaan pengembangan pada bangunan
sipil.
3. Melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada proyek
pengembangan aset fasilitas dan infrastruktur agar proyek yang akan dilakukan
tersebut tidak merusak alam di TKK sebagai kawasan konservasi.
4. Melakukan kajian terhadap pemanfaatan aset melalui sistem sewa agar aset
yang ada dapat menghasilkan profit dan benefit bagi pemilik serta diharapkan
pengelolaan aset menjadi lebih efektif dan efisien.

110
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan perencanaan pengembangan aset
fasilitas dan infrastruktur berdasarkan konsep ekowisata pada Taman Kehati
Kiarapayung (TKK) dapat disimpulkan:
1. Perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur berdasarkan
konsep ekowisata pada TKK dapat meliputi:
a. Fasilitas utama terdiri dari: (1) Akomodasi berupa cottage sejumlah 10
unit dengan total luas bangunan 280 m2; (2) Fasilitas tempat makan dan
minum berjumlah 5 unit dengan luas 645 m2; (3) Fasilitas rekreasi terdiri
dari 2 unit greenhouse dengan total luas 80 m2, 2 unit spot foto dengan
total luas 40 m2, outbond dengan total luas 675 m2, area piknik dengan
total luas 64 m2; dan (4) 8 unit bangunan toilet dengan total luas 74,72 m2.
b. Fasilitas pendukung terdiri dari: (1) Area berkemah dengan luas 225 m2;
(2) Area parkir dengan luas 750 m2; (3) Tempat ibadah dengan luas 130,80
m2; (4) Gerbang masuk dengan luas 11,25 m2; (5) Gazebo/shelter
sebanyak 7 buah dengan total luas 48 m2; (6) Pusat informasi dengan luas
150 m2; (7) Fasilitas kebersihan dan kemanan yang terdiri dari tempat
sampah 77 unit, APAR sebanyak 16 unit, pos keamanan sebanyak 4 buah
dengan total luas 16 m2, dan fasilitas P3K sebanyak 4 unit; (8) Papan
petunjuk sebanyak 31 unit; dan (9) Toko Cinderamata dengan luas 27 m2.
c. Infrastruktur terdiri dari: (1) Jalan masuk TKK dengan panjang 850 m dan
lebar 6,5 m dilengkapi dengan lampu jalan, bahu jalan, drainase sepanjang
1.700 m dan marka jalan; (2) Jalur pejalan kaki sepanjang 1.000m; (3)
Jaringan listrik berupa lampu penerangan 174 unit, charging station 1 unit
dan 10 stop kontak listrik; dan (4) Jaringan air bersih berupa penyediaan
wastafel dan kran air sebanyak 8 set.

111
2. Estimasi biaya untuk perencanaan pengembangan aset fasilitas dan
infrastruktur di TKK sebesar Rp.22.959.571.161,50 tahun perhitungan 2022
terdiri dari biaya pembongkaran Rp.7.992.000,-, biaya pengadaan
Rp.9.992.259.304,50 dan biaya pembangunan Rp.12.959.319.857,-.
Sedangkan jika dilaksanakan pada Tahun 2023 dengan memperhitungkan rata-
rata nilai inflasi Tahun 2022 sebesar 3,76% (Bank Indonesia), maka estimasi
biaya perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur di TKK
sebesar Rp.23.822.851.037,17 terdiri dari biaya pembongkaran
Rp.8.292.499,20 biaya pengadaan Rp.10.367.968.254,35 dan biaya
pembangunan Rp.13.446.590.283,62.

5.2 Saran
Saran akademis dan manajerial yang diajukan sebagai berikut:
1. Proyek/penelitian selanjutnya dapat mengkaji penelitian terhadap pelayanan
pengunjung atau proyek perencanaan pengembangan jaringan telekomunikasi
(telecommunication network coverage).
2. Melakukan kajian terhadap faktor dan analisis dampak lingkungan dari
perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur.
3. Melengkapi perhitungan secara rinci terhadap kebutuhan dan biaya setiap
komponen aset fasilitas fisik dan infrastruktur.
4. Menyusun secara detail petunjuk teknis setiap fasilitas fisik dan infrastruktur.
5. Melakukan kajian pola pemanfaatan pemanfaatan aset yang tepat dari
perencanaan pengembangan aset fasilitas fisik dan infrastruktur Taman Kehati

112
DAFTAR PUSTAKA

Abuiyada, R. (2018). Traditional Development Theories have failed to Address


the Needs of the majority of People at Grassroots Levels with Reference to
GAD. International Journal of Business and Social Science .
Aditia, D. A. (2015). Survei Penerapan Nilai-Nilai Positif Olahraga Dalam
Interaksi Sosial Antar Siswa Di SMA Negeri Se-Kabupaten Wonosobo
Tahun 2014/2015. Journal of Physical Education, Sport, Health and
Recreations , 2252-6773.
Alaeddinoglu, F., & Can, A. S. (2011). Identification and classification of nature-
based tourism resources: western Lake Van basin, Turkey. Procedia Social
and Behavioral Sciences , 198–207.
Alananzeh. (2017). Impact of Safety Issues and Hygiene Perceptions on Customer
Satisfaction: A Case Study of Four- and Five-Star Hotels in Aqaba, Jorban.
Journal Tourism Research Hospitality. Vol. 6 (1).
AlKahtani, S., Xia, J., Veenendaaland, B., & Hughes, M. (2015). Building a
conceptual framework for determining individual differences of accessibility
to tourist attractions. Tourism Management Perspectives , 28–42.
Anatolia, L. (2015). Pengaruh Pengelolaan Sistem Pembuangan Akhir Sampah
Dan Dampak terhadap Kesehatan Masyarakat di Desa Tibar, Kecamatan
Bazartete, Kabupaten Liquiça, Timor-Leste. Jurnal Bumi Lestari , 115–124.
Andrianto, T., & Sugiama, A. G. (2016). The Analysis of Potential 4A’s Tourism
Component in the Selasari Rural Tourism, Pangandaran, West Java. Asia
Tourism Forum 2016 - The 12th Biennial Conference of Hospitality and
Tourism Industry in Asia (ATF-16),. Atlantis Press.
Ardiansah, I., & Iskandar, H. (2022). Analisis Potensi Ekowisata Di Taman
Wisata Alam Gunung Pancar Dengan Menggunakan Metode Analisis Ado –
ODTWA. Jurnal Inovasi Penelitian .
Arida, N. S. (2009). Meretas Jalan Ekowisata Bali (Proses Pengembangan,
Parisipasi Lokal dan Tantangan Ekowisata di Tiga Desa Kuno Bali).
Denpasar: Universitas Udayana.
Badarab, F., Trihayuningtas, E., & Suryadana, M. L. (2017). Strategi
Pengembangan Destinasi Pariwisata di Kepulauan Togean Provinsi Sulawesi
Tengah. Tourism and Hospitality Essentials (THE) Journal, (7) , 97.
Beljaj, M., Muntasib, H., & Sustyantara. (2014). Konsep Penataan Lanskap untuk
Wisata Alam di Kawasan Taman Wisata Alam Sorong. Jurnal Manusia dan
Lingkungan , 3.
Bell, S. (2008). Design for Outdoor Recreation (2nd ed.). Taylor & Francis
Incorporation.
Biswas, Chhanda, Omar, Hamimi, & Rashid-Radha, J. Z. (2020). The impact of
tourist attractions and accessibility on tourists' satisfaction: The moderating
role of tourists' age. GeoJournal of Tourism and Geosites, 32(4) , hal. 1202-
1208.
Byrne, J. (2007). Design (and Ecodesign). In: Encyclopedia of Environment and
Society. Sage, Thousand Oaks, CA , 451-453.
Campbell, J. D., Jardine, A. K., & McGlynn, J. (2011). Asset Management
Excellence. United State of America: CRC Press Taylor and Francis Group.
Ceballos, L. H. (1996). Tourism, ecotourism, and protected areas. Cambridge:
IUCN.
Chylińska, D., & Kołodziejczyk, K. (2017). Degraded Landscapes as A Tourist
Attraction and Place for Leisure and Recreation. Tourism , 2080-6922, 0867-
5856.
Clius, M., & Patroescu, M. (2014). An Evaluation Matrix for Ecotourism
Potential in Certain Categories of Protected Areas in Romania, Case
Studies: National Parc, Nature Parc, Geopark. International
Multidisciplinary Scientific GeoConferences. SGEM 2014 14.
Cooper, C., J., F., D., G., & S., W. (2008). Tourism Principles and Practices.
England: Pearson Education.
Damanik, J., & Weber, H. (2006). Perencanaan Ekowisata Dari Teori ke Aplikasi.
Yogyakarta: PUSPAR UGM.
Darwis, ,. R., A., H., & Adriani, Y. (2016). Kelayakan Fasilitas Publik dalam
Kawasan Industri Wisata Belanja di Kota Bandung: Studi Kasus Terhadap
Toilet dan Mushala. Jurna Barista , 3(2): 188-202.
Edress. (2014). Study on Impact of Household Environment Factors Regarding
Milk Storage and Wheat Powder Prepared for Feeding Infants and Some
Other Regular Storage Flour Infested with Suidasinesbetti. Journal of
American Science , (10) 10.
Elisa, E. (2018). Analisa Rasio Laporan Keuangan Pada PT. Jasa Sarana Citra
Bestari Cabang Bengkalis Menurut Perspektif Islam. JAS (Jurnal Akuntansi
Syariah) , 2(1), 56-76.
Enright, M. J., & Newton, J. (2005). Determinants of Tourism Destination
Competitiveness in Asia Pacific: Comprehensiveness and Universality.
Journal Of Travel Research , 339-350.
Erfurt, P. J. (2011). An Assessment of the Role of Natural Hot and Mineral
Springs in Health, Wellness, and Recreational Tourism. James Cook
University .
et.al, M. (2015). Influence of Energy Saving on The Quality of Lighting Services
on Selected Hotels in Mpumalanga, Republic of South Africa. African Journal
of Science Technology, Innovation and Development .
Fahirah, F. (2010). Sistem Utilitas pada Konstruksi Gedung. Jurnal SMARTek. .
Fajriah, & Massadun, M. (2014). Pengembangan Sarana dan Prasarana untuk
Mendukung Pariwisata Pantai yang Berkelanjutan. Jurnal Pembangunan
Wilayah dan Kota, Vol. 2 .
Fesenmater, D. R. (2015). Traveler Use of Visitor Information Centers:
Implications for Development in Illnois.
Fitriantono, Rusyanto, M., Kristianto, Agus, & Siswandari. (2018). Potensi Alam
untuk Olahraga Rekreasi. Prosiding Seminar Nasional IPTEK Olahraga 2018,
(hal. 2622 - 0156).
Garst, B., Williams, D. R., & Roggenbuck, J. (2010). Exploring Early Twenty-
First Century Developed Forest Camping Experiences and Meanings. Leisure
Sciences 32(1) , 90-97.
Ghani, Y. A. (2017). Pengembangan Sarana Prasarana Destinasi Pariwisata
Berbasis Budaya di Jawa Barat. Jurnal Pariwisata, (4)1 , 2355-6587, 2528-
2220.
Ginting, N., & Sasmita, A. (2018). Developing Tourism Facilities Based on
Geotourism in Silalahi Village, Geopark Toba Caldera. IOP Conf. Series:
Earth and Environmental Science, (hal. 126).
Harahap, A. S., Zain, J., & Hutauruk, R. M. (2017). The Condition of Main
Facility in the Village of Fish Marketing Pakningasal Bukitbaru District of
Bengkalis Regency in Riau Province. Jurnal Online Mahasiswa .
Harinaldi. (2005). Prinsip-Prinsip Statistik Untuk Teknik dan Sains. Erlangga.
Hariyono, A. (2007). Prinsip dan Teknik Manajemen Kekayaan Negara: Modul
Pelatihan, Diklat Teknis Substantif Spesialisasi Pengelolaan Kekayaan
Negara (Diklat Jarak Jauh) Departemen Keuangan RI. Jakarta: Badan Diklat
Keuangan Pusdiklat Keuangan Umum.
Hasanah, A. N., Hadian, M., Safari, D., & Khan, A. M. (2021). Kajian Konsep
Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Melalui Kearifan Lokal di
Desa Wisata Terong Kabupaten Belitung. Journal of Community Services in
Tourism (2) 2 , 109-114.
Hastings, N. A. (2010). Physical Asset Management. London: Springer.
Heagley, E., Rose, J., A., A., & Kovac, M. (2018). Optimising recreation services
from protected areas – Understanding the role of natural values, built
infrastructure and contextual factors. Ecosystem Services. Elsevier .
Huda, A. (2015). Pengelolaan Fasilitas Objek Wisata Cagar Budaya Makam Raja
Kecik Di Desa Buantan Besar Kabupaten Siak. Jom FISIP Vol. 2 .
Isbayani, N. S., Sulastri, N. M., & Tirtayani, L. A. (2015). Penerapan Metode
Outbound Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Emosional Anak. Jurnal
Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini vol. 3 (1) .
Jesus, A., Sukarnen, & Rachim, A. M. (2019). Re-disain Wisata Pemandian Air
Panas Marobo di Bobonaro, Timor Leste. Seminar Teknologi
Perencanaan,Perancangan, Lingkungan, dan Infrastruktur.
Kadir, N., Mohamad, M. R., Olabayonle, O., Zahari, M., Bachok, S., & Mariana,
M. (2020). Travellers’ Perception of Worship Facilities for Multimodal
Users of MRT SBK Line. Journal of the Malaysian Institute of Planners 18 (4)
, 312-327.
Kamra, K. K. (2001). Managing Tourist Destination. New Delhi, India: Kanishka
Publisher.
Karamustafa, K., & Ulker, M. (2017). Using Local Food and Beverages in
Tourism: A Conceptual Study. Akdeniz Üniversitesi Manavgat Matso Turizm.
Kawale, S. K., Thakur, H., & Sharma, V. (2018). Assesment of Knowing Practice
Gap Regarding Sanitary Toilet – A Hospital Based Cross-Sectional Study.
Intenational Journal of Medical Science and Public Health. Vol. 7(9) , 1-5.
Keqa, A. (2016). 4 Key Stages of Asset Management Lifecycle. Professional
Evaluation and Certification Board .
Kusmaedi, N. (2002). Olahraga Rekreasi dan Olahraga Tradisional. Bandung:
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan
Indonesia.
Kusumastuti, D., & Sugiama, A. G. (TT). Modul 1 Manajemen Logistik
Organisasi Publik.
Larissa, E. (2013). Camping as a Form of Nature Tourism Case Study:
Svanen/Joutsen Camping. Centria University of Applied Sciences.
Latiff, K., & Imm, N. (2015). The Impact Of Tourism Service Quality On
Satisfaction. International Journal of Economics and Management 9(S) , 67-9.
Lee, C.-F., & King, B. (2010). International Competitiveness in Hot Springs
Tourism: An Application of the Analytical Hierarchy Process Approach.
Tourism Analysis 15 (5) , 531-544.
Lin, Y.-C., Perason, T. E., & Cai, L. (30–48). Food as a form of Destination
Identity: A Tourism Destination Brand Perspective. Tourism and Hospitality
Research, (11) 1 .
Locke, D. (2008). Guide to the Wiring Regulations: IEE Wiring Regulations.
West Sussex: England John Wiley and Sons.
Lucivero, M. (TT). Camping and Open-Air Tourism: An Opportunity for
Sustainable Tourism in Coastal Areas.
Mahagangga, d. (2013). Keamanan Dan Kenyamanan Wisatawan Di Bali
(KajianAwal Kriminalitas Pariwisata). Bali: Universitas Udayana.
Mandic, A., Mrnjavac, Z., & Kordic, L. (2018). Tourism Infrastruktur,
Recreational Facilities and Tourism Development. Tourism and Hospitality
Management, (24) 1 .
Mantu, Y. H. (2019). Peluang Potensi Wisata Olah Raga Dalam Meningkatkan
Kunjungan Wisatawan. . Jurnal of S.P.O.R.T , 2620-7699.
Marsanic, R., M., E., P., D., & Krpan, L. (2021). Stationary Traffic as a Factor of
Tourist Destination Quality and Sustainability. Sustainability, 13(7) .
Marzuki, A., Khoshkam, M., & Mohammad, D. (2017). Linking nature-based
tourism attributes to tourists’ satisfaction. An International Journal of
Tourism and Hospitality Research , 1303-2917.
Mazuchova, L., & Pancikova, K. (2018). The Importance of Tourist Information
Centers in The Development of Tourism in Slovakia. International
Multidisciplanry Scientific Conference on Social Sciences and Arts.
Metwally, E. (2019). Use Energy Efficiency, Eco-Design, and Eco-Friendly
Materials to Support Eco-Tourism. Journal of Power and Energy
Engineering, 7 , 15-41.
Mill, R. C. (2000). Tourism The International Bussiness. Jakarta: Grafindo
Persada.
Mohsin, A. (2005). Tourist Attitudes and Destination Marketing – The Case of
Australia’s Nothern Territory and Malaysia. Tourism Management .
Mukhsin, D. (2020). Strategi Pengembangan Kawasan Pariwisata Gunung
Galunggung (Studi Kasus Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya).
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, (14) 1 .
Mulogo et, a. (2018). Water, Sanitation and Hygiene Service Availability at Rural
Health Care Facilities in Southwestern Uganda. Journal of Environment and
Public Health.
Mulyana, A., Kosmaryadi, N., Hakim, N., Suryadi, S., & Suwito. (2019). Ruang
Adaptif Refleksi, Penataan Zona/Blok Di Kawasan Konservasi. Bogor:
Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (PIKA), Direktorat
Jenderal.
Nagaj, R., & Brigita, Z. (2020). Security Measures as a Factor in the
Competitiveness of Accomodation Facilities. Journal of Risk and Financial
Management Vol. 13 (99) , 1-16.
Nello-Deakin, S. (2019). Is There Such a Thing as a ‘fair’ Distribution of Road
Space? Journal of Urban Design.
Nugroho, F., Sutono, A., & Sopian, T. (2021). The Influence of Destination
Attributes on Tourists’ Length of Stay in Kebumen Regency, Central Java.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, (22) 1 , 40-50.
Nurhasah, A. N., Hadian, M., Dwi Hadian, M. S., & Khan, A. (2021). Kajian
Konsep Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Melalui Kearifan
Lokal di Desa Wisata Terong Kabupaten Belitung. Journal of Community
Services in Tourism, (2) 2 , 109-114.
Nutsugbodo, R. (2016). Tourism Development in Ghana’s BAR: Demand and
Supply Dynamics. Tourist Accommodation (4) .
Pahlawan, d. (2020). Perancangan Gazebo di Taman Ir. H. Djuanda. E-Proceeding
of Art & Design, (7) 1 , 445.
Panasiuk, A. (2007). Tourism Infrastructsure as a Determinant of Regional
Development. Aktualijos ir Perspektyvos, 1 , 212-215.
Pelatihan, B. S. (2015). Jenis Permainan Outbound.
Prasetyo, A. D., Martono, H. Y., & Ahsan, A. S. (2011). Aplikasi Mobile
Penentuan Lokasi Perkemahan Di Jawa Timur. Jurnal Politeknik Elektronika
Negeri Surabaya Institut Teknologi Sepuluh November .
Prawoto, A. (2015). Teori & Praktek Penilaian Properti (Edisi Ketiga).
Yogyakarta: BPFE.
Priskin, J. (2001). Assessment of natural resources for nature-based tourism: the
case of the Central Coast Region of Western Australia. Journal of Tourism
Management (22) , 637-648.
Priyatiningsih, K., & Lutfi, I. I. (2021). Evaluasi Kinerja Aset Fasilitas Wisata
Alam Cukul Sunrise Point Pangalengan. IRWNS Prosiding The 12 th
Industrial Research Workshop and National Seminar Bandung .
Pröbstl, U., Wirth, V., Elands, B. H., & Bell, S. (2010). Management of
Recreation and Nature Based Tourism in European Forests (1st ed.).
Springer-Verlag Berlin Heidelberg .
Refindra, G. (2017). The Development of Facilities and Infrastructure to Support
Sustainable Coastal Tourism in Belitung Regency. Jess, (1) 1 .
Ridwan, M., & Aini, W. (2019). Perencanaan Pengembangan Daerah Tujuan
Pariwisata. Deepublish.
Rinaldi, O. (2015). Kawasan Bumi Perkemahan di Kota Singkawang. Jurnal
online mahasiswa Arsitektur Universitas Tanjungpura,() 2 , 199.
Rosita, S. M., & Wahadi, W. H. (2016). Pengaruh Fasilitas Wisata dan Kualitas
Pelayanan Terhadap Kepuasan Wisatawan di Taman Margasatwa Ragunan
Jakarta. Jurnal Manajemen Resort dan Leisure, (13) 1 .
Roziana, B. H. (2002). Cottage di Pantai Bangsal Kabupaten Lombok Barat
Provinsi Nusa Tenggara Barat Perwujudan Budaya dan Arsitektur XXII
Tradisional Pada Tata Ruang Dalam dan Penampilan Bangunan. Jurnal
Arsitektur Universitas Islam Indonesia .
Roziana, B. H. (2002). Perwujudan Budaya Dan Arsitektur Tradisional Pada Tata
Ruang Dalam Dan Penampilan Bangunan.
Saeed M., U., Zafar, A., & Mukhtar, S.-M. (2021). International Marketing
Ethics from an Islamic Perspective: a value-maximization approach. Journal
of Business Ethics, (32) 2 , 127-142.
Sarim, & Wiyana, T. (2017). Pengaruh Fasilitas Wisatawan Terhadap Motivasi
Kunjungan Wisatawan (Studi Kasus Kunjungan Wisatawan Kota Solo).
Jurnal Hospitality dan Pariwisata, Vol 3(No.2) , 294-374.
Sekaran, U., & Roger, B. (2016). Research Methods for Business: A Skill
Building Approach (7th Ed). United Kingdom: Willey.
Setiawan, T. (2013). Mahir Akutansi. Buku Pengantar Akutansi Untuk SMA dan
Universitas. Jakarta: Bhuana Ilmu Popular.
Setyanto, I., & Edriana, P. (2019). Pengaruh Komponen Destinasi (4A) Terhadap
Kepuasan Wisatawan Pantai Gemah Tulung Agung. Jurnal Administrasi
Bisnis (JAB), (72) 1 .
Sinta. (2020). Penilaian Wisatawan Terhadap Pengelolaan Fasilitas Pada Objek
Wisata Air Panas Hapanasan Kabupaten Rokan Hulu. Jom Fisip (7) 2. .
Siregar, D. D. (2018). Manajemen Aset: Strategi Penataan Konsep Pembangunan
Berkelanjutan secaraNasional dalam Konteks Kepala Daerah Sebagai CEO’S
pada Era Globalisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Siregar, D. (2004). Manajemen Aset. Jakarta: Satyatama Graha Tara.
Spillane, J. (2000). Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Spillane, J. J. (1994). Pariwisata Indonesia Siasat Eko success and failure. Leis.
Stud. 173–187.
Sudibyanung, D., Retno, A., & Christine, R. V. (2020). Buku Ajar Dasar Dasar
Penilaian Aset dan Properti. Yogyakarta: STPN Press.
Sugiama, A. G. (2013). Manajemen Aset Pariwisata. Bandung: Guardaya
Intimarta.
Sugiama, A. G. (2008). Metode Riset: Bisnis dan Manajemen. Bandung:
Guardaya Intimarta.
Sugiama, A. G. (2019). The Sustainable Rural Tourism Asset Development
Process Based on Natural and Cultural Conservation. 2nd International
Conference on Applied Science and. Social Sciences Track (ICASTSS 2019).
Sugiama, A. G., & Tirani, N. (2021). The Identification of
Infrastructure,Accessibility, Environment, and Physical Tourism Attraction
Resources: Cibeureum Lake Case. Proceedings of the 2nd International
Seminar of Science and Applied Technology.
Sugiyono. (2018). Metode penelitian kuatintatif, kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. (2012). Qualitative Quantitative Research Methods and R&D.
Bandung: Alphabeta.
Sulaeman, I. (1983). Petunjuk Praktik Berkemah. Jakarta: Gramedia.
Sulastiyono, A. (2011). Manajemen Penyelenggara Hotel. Bandung: Alfabeta.
Sunarsa, I. W., & Andiani, N. D. (2019). Tourism Perception of General Toilet
Hygiene in Objects and Tourist Attractions in Bali. International Journal of
Social Science and Business, (3) 1 , 28-35.
Sunarsa, I. W., & Darmawijaya, I. G. (2014). Kualitas Kebersihan, Fasilitas,
Disain Dan Pengelolaan Toilet Umum Pada Daya Tarik Wisata di Bali.
Sutrisno, M. (2004). An Investigation of Participation Project Appraisal in
Developing Countries Using Elements of Value and Risk Management
(Volume 1). Manchester: University of Manchester Institute.
Suwena, I. K., & Widyatmaja, I. G. (2010). Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata.
Denpasar: Udayana University.
Swarbrooke, J., & Horner, S. (2001). Business travel and tourism,
ButterworthHeinemann. Oxford.
Syahputra, F., Pane, A. B., Lubis, E., & Iskandar, B. H. (2015). Kebutuhan
Fasilitas Pokok Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo 15 Tahun Mendatang.
Marine Fisheries, (6) 1 , 2087-4235.
Thapa, B. (2012). Why Did They Not Visit? Examining Structural Constraints To
Visit Kafue National Park, Zambia. Journal of Ecotourism, 11 .
Tjiptono, F., & Chandra, G. (2011). Service, Quality, & Satisfaction. Jakarta:
Andi.
Vengesayi, S., Mavondo, F. T., & Reisinger, Y. (2009). Tourism Destination
Attractiveness: Attractions, Facilities, And People As Predictors. Tourism
Analysis, (14) , 621- 636.
Violina, & dkk. (2016). Kualitas Kebersihan Lingkungan sebagai Penunjang Daya
Tarik Wisata Pantai Sanur Kaja. Jurnal Destinasi Pariwisata, Vol. 4, No. 1.
Widyanti, N. L., Anggreni, M. A., & Sumardiana, I. N. (2020). Manajemen
Pengelolaan Toilet Umum di Daya Tarik Wisata Kuta Lombok Tengah.
Jurnal Inovasi Penelitian, (1) 1 .
Wiratini, N., Setiawina, N., & Yuliarmi, N. (2018). Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Niat Kunjungan Kembali Wisatawan Pada Daya Tarik Wisata
Di Kabupaten Badung. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana,
7(1) , 279-308.
Wu, e. (2015). A study of revisit intentions, customer satisfaction, corporate
image, emotions and service quality in the hot spring industry. J. China Tour.
Res. 11 , 371 - 401.
Yoeti, ,. O. (2008). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT.
Pradnya Paramit.
Yoeti, A. O. (1996). Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Yudaningrum, F., & Ikhwanudin. (2017). Identifikasi Jenis Kerusakan Jalan:
Studi kasus Ruas Jalan Kedungmundu-Meteseh. Teknika .
Yunita, I., & Devita, J. (2017). Analisis dan Perancangan Sistem Informasi
Manajemen Aset pada SMK Negeri 4 Kota Jambi. Journal Sistem Informasi,
2(1) , 278-294.

Referensi Normatif
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tetang Jalan.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 Tentang
Perencanaan Kehutanan.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di
Tempat Kerja.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/Prt/M/2011 tentang Persyaratan
Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
Peraturan Menteri Pariwisata Repubik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Petunjuk Operasional Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang
Pariwisata.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang Pengusahaan Wisata Alam di
Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam.
Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Petunjuk
Operasional Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Fisik Pariwisata Tahun 2022.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 19 Tahun 2016 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan
Barang Milik Daerah.
Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 93 Tahun 2017 tentang Standar Pembangunan
dan Pengelolaan Daya Tarik Wisata

Referensi Lainnya
BI. (n.d.). Data Inflasi. Retrieved Oktober 28, 2022, from Bank Indonesia:
https://www.bi.go.id/id/statistik/indikator/data-inflasi.aspx

BLKP. (n.d.). 5 CARA MENENTUKAN BIAYA JASA BONGKAR RUMAH YANG


HANDAL. Retrieved Oktober 15, 2022, from BLKP:
https://blkp.co.id/blogs/detail/5-cara-menentukan-biaya-jasa-bongkar-rumah-
yang-handal

DISPARBUD. (n.d.). Jumlah Pengunjung Ke Objek Wisata Berdasarkan Jenis


Wisatawan dan Kabupaten Kota di Jawa Barat. Retrieved Agustus 15, 2022,
from Open Data Jabar: https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-
pengunjung-ke-objek-wisata-berdasarkan-jenis-wisatawan-dan-
kabupatenkota-di-jawa-barat

DLH, J. B. (3, September 2020). Peran Pemda Dalam Mendorong Pengelolaan


Dan Pemanfaatan Taman Kehati. Retrieved 2022, from Kehati:
https://www.kehati.or.id
Indonesia, B. (n.d.). Ongkos Tukang Borongan Bangunan dan Konstruksi 2022.
Retrieved Oktober 12, 2022, from Builder Future Construction:
https://www.builder.id/ongkos-tukang-borongan-bangunan/

Pinhome. (n.d.). Cara Membuat Pos Satpam Minimalis Konstruksi Kayu.


Retrieved Oktober 13, 2022, from Pinhome Blog:
https://www.pinhome.id/blog/cara-membuat-post-satpam-minimalis/

Ramadhan, W. (n.d.). Biaya Jasa Bongkar Rumah dan Contoh RAB untuk Bangun
Ulang. Retrieved Oktober 12, 2022, from Rumah123.com:
https://artikel.rumah123.com/biaya-jasa-bongkar-rumah-dan-contoh-rab-
untuk-bangun-ulang-62628

Rumah, T. B. (n.d.). Harga Borongan Jasa Bongkar Rumah per meter 2022.
Retrieved Oktober 12, 2022, from Tim Bongkar Rumah:
https://timbongkarrumah.com/harga-borongan-jasa-bongkar-rumah-per-
meter-2022/

Wetik, W. (n.d.). Harga Rumah Kayu. Retrieved Oktober 15, 2022, from Rumah
Kayu Woloan: https://rumahkayuwoloan.com/harga-rumah-kayu/

Anda mungkin juga menyukai