Anda di halaman 1dari 1

Terjemahan

Latar Belakang

Penduduk Ponorogo dan sekitarnya sudah akrab dengan tingkeban, salah satu budaya Indonesia yang beragam.
Ilmu sosial dan budaya mengklaim bahwa tingkeban dan ritual lain yang serupa adalah inisiasi, yaitu cara untuk
melewati makna kecemasan. Dalam situasi ini, kekhawatiran calon orang tua tentang terwujudnya impian
mereka selama persalinan dan melahirkan, serta harapan mereka untuk anak yang akan lahir nanti, hadir. Hal ini
menyebabkan terciptanya upacara yang membutuhkan makna tersebut dan masih diyakini oleh sebagian
masyarakat Ponorogo dan sekitarnya, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang tidak memiliki pengetahuan
agama.

Diskusi

UPACARA MANDI

Upacara ritual ini biasanya dilakukan di kamar mandi atau di tempat khusus seperti di halaman belakang.
Upacara mandi suci ini dimaksudkan untuk mensucikan bayi dan calon ibu. Di depan tempat siraman, duduk
orang tua ibu dan calon ayah, anggota keluarga perempuan lain yang juga akan memandikan calon ibu dan tamu
lain yang juga hadir untuk memberikan restu. Setiap orang diwajibkan memakai pakaian adat.

UPACARA GANTI BAJU

Di ruangan lain, setelah calon ibu dijemur, beberapa wanita tua akan membantu calon ibu mendandaninya
dengan tujuh “batik kain” (batik panjang yang dibuat menjadi rok panjang) dan tujuh berbeda dengan “kebaya”
(blouse khas Indonesia yang didesain sebagai atasan rok batik). Semua pola memiliki keinginan baik untuk
keluarga dan bayi.

ANGREMAN

Usai acara ganti baju, calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan kain bekas pakai tadi. Hal ini memiliki
perlambang bahwa calon ibu akan selalu menjaga kehamilannya dan anak yang dikandungnya dengan penuh
perhatian dan kasih sayang. Sang calon ayah menyuapi sang calon ibu dengan nasi tumpeng dan bubur merah
putih sebagai lambang cinta seorang suami dan calon ayah.

BROJOLAN

Dua buah kelapa gading kuning muda didorong ke bawah melalui kain lurik. Kelapa diukir dengan gambar
Dewa Kamajaya (Dewa tampan dan setia) dan Dewi Ratih-dewi cantik dan setia.

Jika laki-laki akan setampan Kamajaya dan jika perempuan, jadilah secantik Ratih.

Sang calon ayah akan mengambil salah satu buah kelapa dan membelahnya menjadi dua. Jika kelapa dibelah
menjadi dua, orang banyak akan berkata “Gadis”. Jika kelapa tetap bulat dan hanya air yang keluar, maka orang
banyak akan berkata “anak laki-laki”. Apakah bayinya perempuan atau laki-laki, orang tua akan menerima dan
membesarkannya dengan cinta dan tanggung jawab. Kelapa lain yang tidak dipilih calon ayah akan dipeluk dan
dipegang oleh calon nenek yang akan diletakkan di atas tempat tidur calon orang tua. Di akhir Ritual, pasangan
ini menjual Rujak (campuran irisan buah-buahan dengan sambal=terbuat dari gula merah dan cabai) dan Dawet
(minuman penyegar manis, sarinya terbuat dari santan dicampur dengan potongan-potongan kecil kue yang
terbuat dari tepung dan warnanya hijau). Pembayaran dilakukan dengan potongan genteng tanah yang
sebelumnya telah disiapkan oleh tuan rumah.

Penjelasan panjang lebar di atas membawa kita pada kesimpulan bahwa tingkeban adalah praktik inisiasi
komunal pada zaman dahulu, di mana para pesertanya mendambakan kehamilan dan persalinan yang lancar
serta jumlah anak yang diharapkan. Masyarakat Jawa mayoritas masih mengikuti adat ini yang diperkirakan
berasal dari zaman Jayabaya dan dilakukan secara turun temurun hingga sekarang. Namun, hal ini tidak
dibenarkan menurut hukum Islam konvensional karena bertentangan dengan prinsip-prinsip. Oleh karena itu,
mulai saat ini tradisi-tradisi tersebut harus diberantas dari kehidupan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat
yang Islami.

Anda mungkin juga menyukai