Procotan atau orang orang sering menyebutnya “mrocoti” adalah suatu upacara adat
yang dilakukan untuk memperingati 9 bulan kehamilan seseorang. Upacara ini masih sering dilakukan
di kampung kampung di daerah kabupaten wonosobo. Upacara ini bertujuan agar sang ibu diberi
kemudahan saat melahirkan, untuk keselamatan ibu dan calon anaknya, serta sebagai ungkapan rasa
syukur dari keluarga sang calon ibu karena akan segera mendapatkan anggota kelluarga yang baru.
Upacara ini disebut procotan (mrocoti) karena kata procot atau mrocot sendiri memiliki arti
mudah lepas atau mudah mengeluarkan sesuatu. Hal ini menjadi harapan agar saat melahirkan nanti
si ibu diberi kemudahan seperti bakul yang mrocot dari gendongan.
Hal yang perlu dipahamai dan diyakini adalah bahwa apapun statusnya anak kandung maupun anak angkat
sesunguhnya memiliki kedududkan yang sama dalam segala hal. Hal ini tercemin dalam kekawin nitisastra bahwa yang
bisa disebut anak adalah anak kandung (lahir dari hasil perkawinan), anak yang lahir dari pendididkan kesucian, anak
yang ditolong jiwanya saat menemui jiwanya, anak yang dipelihara, diberi makan selama hidup.
Dengan mengacu pada kekawin nitisastra tersebut maka dapat ditafsirkan sebagai anak angkat adalah anak yang
seorang bapak diberi makan selama hidupnya dengan tiada mengharapkan balasan apa-apa.
Masyarakat Bali mengenal beberapa istilah dalam pengangkatan anak antara lain:
a) Ngidih pianak,
b) Nyentanayang,
c) Ngedeng/Ngengge pianak dan Memeras anak.
2. Setelah semua jalan lancar dilanjutkan dengan pengumuman(pasobyahan) dalam rapat desa atau banjar. Tujuanya,
untuk memastikan tidak ada anggota keluarga lainnya dan warga desa atau banjar yang keberatan atas
pengangkatan anak yang dimaksud. Oleh karena itu, anak angkat harus diusahakan dari lingkungan keluarga yang
terdekat, garis purusa, yang merupakan pasidi karya. Ada tiga golongan pasidikarya yaitu pasidikarya waris
(mempunyai hubungan saling waris), pasidikarya sumbah ( pempunyai hubungan salaing menyembah leleuhur), dan
pasidikarya idih pakidih ( mempunyai hubungan perkawinan).
3. Apabila tidak ada garis dari garis purusa, maka dapat dicari dari keluarga menurut garis pradana (garis ibu). Apa bila
tidak ditemuakn pula maka dapat dihusahakan dari keluarga lain dalam satu soroh dan terakhir sama sekali tidak
ada pengangkatan anak dapat dilakukan walaupun tidak ada hubungan keluarga (sekama-kama).
4. Anak yang diangkat wajib beragama Hindu. Jika yang diangkat seseorng yang bukan umat Hindu, pengangkatan
anak itu akan ditolak warga desa karena tujuan pengangkatan anak antara laian untuk meneruskan warisan baik
dalam bentuk kewajiaban maupun hak, termasuk berbagai kewajiaban desa adat, terutama dalam hubungan dengan
tempat suci (pura).
5. Melakukan upacara pemerasan yang disaksiakan keluarga dan perangkat pemimpin desa atau banjar adat.
Pengangkatan anak baru dipandang sah sesudah dilakauakan upacara pemerasan. Itulah sebabnya anak angkat itu
disebut pula dengan istilah sentana paperasan.
V vvv