Anda di halaman 1dari 10

KONSEP MEDIS

1. Devinisi
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit tidak menular sebagai penyebab
kematian nomor satu setiap tahunya. Gagal jantung adalah fase kronis yang dapat
menyebabkan kerusakan fungsional jantung akibat banyaknya gejala. Banyaknya gejala
yang dialami oleh pasien gagal jantung mempengaruhi kesehatanya. (Purnamawati dkk,
2018)

Gagal jantung (hearth failure) adalah sindrome klinis (sekumpulan tanda dan
gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung dapat disebabkan
oleh gangguan yang mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel
(disfungsi diastolik) dan/atau kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik). (Novita,
2017).

Gagal jantung adalah suatu keadaan yang serius, dimana jumlah darah yang
dipompa oleh jantung setiap menitnya (cardiac output, curah jantung) tidak mampu
memenuhi kebuthan normal tubuh akan oksigen dan zat-zat makanan (Koes Irianto,
2014)

2. Etiologi
Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Koes Irianto,
2014), yaitu:

1) Disfungsi miokard (kegagalan lapisan miokardialjatung)


2) Beban tekanan berlebihan-pembebanan sistolik (systolic overload)
3) Beban volume berlebihan-pembebanan diastolic (diastolic overload)
4) Peningkatan kebutuhan metabolic-peningkatan kebutuhan yang berlebihan
(demand overload)
5) Gangguan pengisian (hambatan input)
6) Kelainan otot jantung
7) Aterosklerosis koroner
8) Hipertensi sistemik / pulmonal
9) Peradangan dan penyakit miokardium
10) Penyakit jantung
11) Faktor sistemik
3. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala untuk gagal jantung sendiri terbagi atas 2 (Koes Irianto, 2014), yaitu :

a. CHF Kronik
Meliputi: anoreksia, nokturia, edema perifer, hiperpigmentasi ekstremitas
bawah, kelemahan, heaptomegali, ascites, dyspnea, intoleransi aktivitas barat,
kulit kehitaman.
b. CHF Akut
Meliputi: ansietas, peningkatan berat badan, restletness, nafas pendek,
bunyi krekels, fatigue, takikardi, penurunan resistensi vaskuler, distensi vena
jugularis, dyspnea, orthopnea, batuk, batuk darah, wheezing bronchial, sianosis,
denyut nadi lemah dan tidak teraba, penurunan urin noutput, delirium, sakit
kepala.
4. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung.
Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena
gangguan kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit,
abnormalitas fungsi miosit atau fibrosit, serta akibat pressure overload yang
menyebabkan resistensi atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi
berkurang. Sementara itu, disfungsi sistolik terjadi akibat gangguan relaksasi
miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel
kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering disfungsi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi. Disfungsi sistolik lebih sering
terjadi yaitu pada 2/3 pasien gagal jantung. Namun ada juga yang menunjukan
disfungsi sistolik maupun diastolik. (Yasmin D.K., FK UI)
Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri
yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral.
Vasokonteriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan
darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui
hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan
hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga
terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung
adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk
menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan kontraktilitas miokard
(Kabo & Karsim, 2002).
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi
venterikel dan peningkatan volume curah jantung pada akhir diastolik dan terjadi
peningkatan laju tekanan darah pada atrium kanan. Peningkatan ini sebaliknya
memantau aliran darah dari vena kava yang diketahui dengan peningkatan vena
jugularis, dengan kata lain apabila terjadi dekompensasi venterikel kanan maka
kondisi pasien dapat ditandai adanya edema tungkai kaki dan distensi vena jugularis
pada leher.
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih
dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan
sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika
edema mengumpul di dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan
pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada
jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada
kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh
kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga darah
terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke
intestisial (Syarifuddin, 2001).
5. Pathway

Disfungsi Miokard Beban tekanan Beban sistolik


(AMI) Miokarditis berlebihan berlebihan

Beban systole  Preload 


Kontraktilitas 

Kontraktilitas 

COP 

Beban jantung meningkat

GJ

Gagal pompa ventrikel kiri

Forward Failure Backward Failure

LVED
Suplai darah Renal flow 
jar.  Tek. Vena pulmonalis 
RAA 
Metab.anaerob. Tek. kapiler paru 
Aldosteron 
Asam laktat
Edema Paru
ADH
Asidosis metabolik
Ronkhi basah
Retensi Na + H2O
Fatigue Sesak
Volume cairan ektrasel

Intoleransi Bersihan jalan nafas


aktivitas Kelebihan tidak efektif
Volume
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Elektrokardiogram (EKG)
Hipertropi artial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,
takikardi, fibrilaris atrial.
2) Uji stres
Merupakan pemeriksaan non infasif yang bertujuan untuk menentukan
kemungkinan iskemia atau infark yan terjadi sebelunya.
3) Ekokardografi
 Ekokardohrafi model M ( berguna untuk mgnevaluasi volume balik dan kelainan
ragional, model M paling serin dipakai dan di tayangkan bersama EKG )
 Ekokardiografi dua dimensi( CT-SCAN)
 Ekokardiografi dopller (memberikan pencitraan dan pendekatan transsesofagial
terhadap jantung)
4) Kateterisasi jantung
Tekanan upnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
5) Radiografi dada
Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi ata
hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah upnormal.
6) Elektolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal terapi
biuretik.
7) Oksimetri nadi
Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut
menjadi kronis.
8) Analisa gas darah ( AGD )
Gagal ventrikel kiri dtandai dengan alkaliosis repiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan penngkatan PCO2 (akhir)
9) Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN dan retinin
merupakan indikasi gagal ginjal
10) Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktivitas tiroid menujukan hiperaktivitas tiroid sebagai pre pencetus
gagal jantung

7. Komplikasi
Komplikasi dari gagal jantung berhubungan dengan keparahan gagal jantung dan
etiologi yang mendasari, parahnya pengurangan curah jantung dapat menyebabkan :
a. Edema paru akut terjadi akibat gagal jantung kiri.
b. Syok Kardiogemik : Stadium dari gagal jantung kiri, kongestif akibat dari
penurunan curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat keorgan vital
(jantung dan otak)
c. Episode trombolitik : Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan gangguan
sirkulasi dengan aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh darah.
d. Efusi perikardial dan tamponade jantung : Masuknya cairan ke kantung
perikardium, cairan dapat meregangkan perikardium sampai ukuran maksimal.
COP menurun dan aliran balik vena kejantung menjadi tamponade jantung.
Kemudian komplikasi yang menyertai gagal jantung dapat menyebabkan
kemunduran ginjal, mikrosis hati, iskemia usus, dan ekstremitas gangren. Komplikasi
bisa juga berkembang sebagai akibat terapi, kelainan cairan dan elektrolit yang lazim
pada penderita denga dosis besar diuretik dan toksisitas digitalis bisa menimbulkan gejala
yang berkisar dari toleransi gastro-intestinalis sampai aritmia yang mengancam nyawa.
(Donges Mariyan E. Dkk,2011).
8. Penatalaksanaan
A) Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Gagal Jantung Kongestif bertujuan
untuk:
a. Mengurangi beban kerja jantung
1) Melalui pembatasan aktivitas fisik yang ketat tanpa menimbulkan kelemahan
otot-otot rangka.
b. Mengurangi beban awal
1) Pembatasan garam.
2) Pemberian diuretik oral.
c. Meningkatkan kontraktilitas
1) Dengan pemberian obat inotropik.
d. Mengurangi beban akhir
Pemberian vasodilator seperti hidralazine dan nitrat yang menimbulkan dilatasi
anyaman vaskular melalui 2 cara yaitu :
1) Dilatasi langsung otot polos pembuluh darah.
2) Menghambat enzim konversi angiotensin.
B) Penatalaksaan gagal jantung dibagi atas :
1. Terapi non farmakologi
Terapi nonfarmakologi antara lain perubahan gaya hidup, monitoring dan kontrol faktor
resiko.
2. Terapi farmakologi
Terapi yang dapat diberikan antara lain : Golongan biuretik, Angiotensi, converting,
enzime inhibitor (ACEI), beta bloker , Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), glikosida
jantung, fasodilator, agonis beta, serta bipiridin.
(Wijaya Saferi A ddk, 2013)

9. Prognosis
Prognosis gagal jantung masih tergolong buruk dan sangat terkait dengan laju
kematian yang lebih tinggi dibandingkan laju kematian sebagian kanker yang umum
ditemukan (misalnya,kanker payudara ,kanker rahim, kanker kandung kemih, dan kanker
prostat). Data studi klasik Framingham menunjukkan bahwa median kesintasan pada pria
dan wanita dengan gagal jantung masing-masing adalah 1,7 tahun dan 3,2 tahun.
Sementara itu, tak lebih dari 25% pria dan 38% wanita yang mampu bertahan hidup
dalam kurun 5 waktu pasca diagnosis gagal jantung.
Di sisi lain, analisis terhadap data dari 1075 individu dalam kurun waktu 50 tahun
pada studi Framingham menemukan bahwa terdapat penurunan laju kematian sebesar 10-
11% per dekade yang mengisyaratkan perbaikan dalam tata laksana gagal jantung.
Namun, data semacam ini diambil dari studi ketat yang mungkin tidak representatif
terhadap prognosis gagal jantung di populasi yang lebih besar. Gagal jantung di
komunitas masih menunjukkan prognosis yang sangat buruk dan menyebabkan kematian
pada 60% pria dan 40% wanita dalam kurun waktu 5 tahun sejak diagnosis.
Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Gagal Jantung
Beragam faktor telah diketahui dapat meningkatkan mortalitas dan berkaitan
dengan prognosis buruk pada pasien dengan gagal jantung. Ini mencakup variabel
demografik (usia, etnis, jenis kelamin), etiologi gagal jantung (penyakit jantung koroner,
kardiomiopati dilatasi, penyakit jantung katup, alkohol), komorbiditas (diabetes melitus,
hipertensi sistemik,, insufisiensi renal), kadar biomarker gagal jantung (ANP, BNP,
NTproBNP, troponin, hematokrit), serta parameter hemodinamik (fraksi ejeksi ventrikel,
tekanan baji kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonal). Namun, belum ada satu variabel
prognostik yang paling menentukan luaran buruk pada pasien dengan gagal jantung.
Model Prognosis
Untuk mengatasi kesulitan ini, sejumlah model prognosis menggunakan skor yang
dikembangkan dari data populasi gagal jantung telah mulai dipelajari. Salah satu model
prognosis semacam ini adalah The Seattle Heart Failure Model (SHFM) yang didapat
dari analisis retrospektif prediktor kesintasan pada pasien gagal jantung dari uji klinis.
Model ini memberikan estimasi kesintasan pada tahun pertama, kedua, dan ketiga pasca
diagnosis dengan menggunakan data klinis, farmakologis, alat, dan laboratorium. Namun,
model prognosis ini tak luput dari kritik yang banyak menitikberatkan pada estimasi
kesintasan yang melenceng jauh ketika model prognosis diterapkan pada subpopulasi
spesifik pasien gagal jantung.
Prognosis pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatik lebih
baik daripada pasien disfungsi ventrikel kiri yang simptomatik. Prognosis pasien dengan
gagal jantung bergantung dari derajat keparahan, umur, dan jenis kelamin, dengan
prognosis yang lebih buruk pada pasien laki-laki. Sebagai tambahan, beberapa indikasi
prognosik yang diasosiasikan dengan prognosis sampingan, meliputi kelas NYHA, fraksi
ejeksi ventrikel kiri, serta status neurohumoral. Morbiditas dan mortalitas pada seluruh
tingkatan gagal jantung kronik simptomatik cukup tinggi, dengan 20-30% mortalitas tiap
tahunnya pada gagal jantung ringan dan sedang dan lebih dari 50% mortalitas tiap
tahunnya pada gagal jantung yang berat. Data prognostik ini merujuk kepada pasien
dengan gagal jantung sistolik.(Ponikowski dkk.2016)
Beberapa prediktor luaran buruk pada gagal jantung kronik:

a) Kelas fungsional NYHA yang tinggi


b) Fraksi ejeksi ventrikel kiri yang menurun
c) Rendahnya konsumsi oksigen maksimal pada olahraga maksimal (% nilai
prediksi)
d) S3
e) Peningkatan tekanan perfusi kapiler paru
f) Penurunan indeks jantung
g) Diabetes mellitus
h) Penurunan konsentrasi natrium
i) Peningkatan katekolamin plasma dan kontraksi peptida natriuretik.

Anda mungkin juga menyukai