Anda di halaman 1dari 11

Dalam Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang No.

23 Tahun 2014 Tentang


Pemerintahan Daerah, dijelaskan bahwa otonomi daerah merupakan hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daerah bertujuan untuk mengembangkan suatu daerah, serta isi di dalam
daerah tersebut. Dengan adanya penerapan otonomi daerah, diharapkan dapat
memperbaiki kesejahteraan masyarakat pada daerah tersebut.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi otonomi daerah, seperti dikutip dari
makalah "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Otonomi Daerah".

1. Faktor/Latar belakang otonomi daerah


• Faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik
sentralisme di masa lalu.

• Faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap


kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi
sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.

2. Faktor Pendukung Terselenggaranya Otonomi Daerah


• Kemampuan Sumber Daya Manusia

• Kemampuan Keuangan/Ekonomi

3. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi kebijakan Otonomi daerah


Menurut Rondinelli dan Cheema, ada empat faktor yang dipandang dapat
mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi bebas, yaitu:

• Environmental conditions;

• Interofrganizational relationship;
• Available resources; and

• Characteristic of implementing agencies.

Signifikansi hubungan pengaruh antara variabel yang satu dengan yang lain dalam
mempengaruhi pelaksananaan otonomi daerah sangat bervariasi dalam situasi yang
satu dengan yang lain.

4. Faktor Keberhasilan Otonomi Daerah


• Kemampuan struktural organisasi

• Kemampuan aparatur pemerintah daerah

• Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

• Kemampuan keuangan daerah. 

Pada bagian selanjutnya, yang merupakan intisari buku ini, penulis berusaha
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan otonomi
Daerah. Faktor-faktor tersebut sekaligus sebagai faktor yang sangat menentukan
prospek otonomi Daerah untuk masa yang akan datang.
Faktor pertama yang menentukan prospek otonomi Daerah adalah faktor manusia
sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan otonomi
Daerah. Faktor manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral maupun
kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur Pemerintah Daerah yang terdiri dari
Kepala Daerah dan DPRD, aparatur Daerah maupun masyarakat Daerah yang
merupakan lingkungan tempat aktivitas pemerintahan Daerah diselenggarakan.
Faktor kedua adalah faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan Daerah. Salah-satu ciri dari Daerah
Otonom adalah terletak pada kemampuan self supportingnya dalam bidang
keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan
pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
Sumber keuangan Daerah yang asli, misalnya pajak dan retribusi Daerah, hasil
perusahaan Daerah dan Dinas Daerah, serta hasil Daerah lainnya yang sah,
haruslah mampu memberikan kontribusinya bagi keuangan Daerah.
Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan Daerah. Peralatan yang ada haruslah
cukup dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi
penggunaannya. Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang akan sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan
organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan Daerah
tidak dapat dilakukan dengan baik, efisien, dan efektif. Oleh sebab itu perhatian
yang sungguh-sungguh terhadap masalah ini dituntut dari para penyelenggara
pemerintahan Daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor
tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya otonomi Daerah
masih menunjukkan sosoknya yang kurang menggembirakan. Oleh sebab itu
apabila kita berkeinginan untuk merealisasi cita-cita otonomi Daerah maka
pembenahan dan perhatian yang sungguh-sungguh perlu diberikan kepada empat
faktor di atas.

Peristiwa yang bisa dirasakan di Aceh yaitu banyak SKPD yang tidak mengelola
aset daerah dengan baik karena dipindahtangankan oleh orang yang tidak
bertanggungjawab dengan tidak memenuhi aspek administrasi bahkan aset tersebut
dijadikan untuk mencari keuntungan pribadi yang jelas merugikan negara. Aset
daerah harus dikelola dengan manajemen aset yang baik, berikut tahapan dari
siklus manajemen aset :

Perencanaan Aset

Pengadaan Aset

Penggunaan/Pemanfaatan Aset

Pengamanan, Pemeliharaan dan Rehabilitasi

Penghapusan dan pemindahtanganan Aset

-ADVERTISEMENT-

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Faktor yang


Memengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/lina41370/61b0cfa675ead607116230c2/faktor-yang-
memengaruhi-pelaksanaan-otonomi-daerah

http:xpresipena.blogspot.com/2011/03/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-
otonomi.html?m=1
https://amp.kompas.com/skola/read/2022/06/06/180000669/ faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-otonomi

sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:


1. Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas
dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan
ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan
tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur
dan
mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran
saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan
untuk
berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan
dan
kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan
dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain
berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal
yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan,
faktor peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia
adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah
karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai
pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua,
keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor
penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk
dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga,
peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar
kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah
dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
 Lasiyo, dkk. (2021). Pendidikan Kewarganegaraan. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka.
 http://repo.unand.ac.id/1318/1/FAKULTAS_EKONOMI.pdf
 http://xpresipena.blogspot.com/2011/03/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-otonomi.html

Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam


pelaksanaan otonomi
daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor
yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai
pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar
mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau dengan
kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat
berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan
apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula.

Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat
mendukung
pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah
mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam
kehidupan
suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan
suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara
tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah
akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan
segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.

Faktor ketiza ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan
daerah,
sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi
rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka
yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang
baik untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran
yang baik pula.

Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan
untuk
memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang
baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya,
seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain.
Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada
kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang
menggunakannya.

Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam
struktur organisasi
yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan
wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan
dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.
Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan
yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen
pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan,
khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer
daerah.
FAKTOR PENGHAMBAT

Komitmen Politik: Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat selama
ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi.

Masih Terpaku pada Sentralisai: Daerah masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap pusat,
sehingga mematikan kreativitas masyarakat dan perangkat pemerintahan di daerah.

Kesenjangan Antardaerah: Kesenjangan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, serta intra
struktur ekonomi.

Ketimpangan Sumber Daya Alam: Daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam tetapi
populasi penduduknya tinggi akan terengah-engah dalam melaksanakan otonomi.

Benturan Kepentingan: Adanya perbedaan kepentingan yang sangat melekat pada berbagai pihak
yang menghambat proses otonomi daerah, seperti benturan keinginan pimpinan daerah dengan
kepentingan partai politik.

Keinginan Politik atau Political Will: Keinginan politik yang tidak seragam dari pemerintah daerah
untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat dan daerah.

Perubahan perilaku elit lokal: elit lokal mengalami perubahan perilaku dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah karena pengaruh kekuasaan yang dimilikinya.  

Referensi

Haris, Syamsuddin. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press

Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali
Press Sudantoko, Djoko. 2003. Dilema Otonomi Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Faktor Keberhasilan dan Penghambat Otonomi
Daerah", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/02/16/01450011/faktor-
keberhasilan-dan-penghambat-otonomi-daerah.
Penulis : Monica Ayu Caesar Isabela
Editor : Nibras Nada Nailufar

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Adanya Ketimpangan Sumber Daya Alam

Salah satu faktor keberhasilan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah
dalam memenuhi kebutuhan keuangan secara mandiri. 

Adapun, salah satu contoh ‘penghasilan’ yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber keuangan
utama suatu daerah adalah hasil pemanfaatan dari sumber daya alam. 

Sebagaimana telah masyarakat ketahui bersama bahwa setiap daerah memiliki kekayaan alam
yang berbeda sehingga jumlah pendapatan tiap-tiap daerah pun juga ikut berbeda-beda.  

Bahkan beberapa daerah otonom juga masih mengandalkan bantuan keuangan dari pemerintah
pusat untuk memenuhi hajat hidup masyarakat setempat.

Dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum tentu bisa
mengatasi masalah ketimpangan ekonomi yang diderita oleh penduduk Indonesia. 

2. Adanya Ketimpangan Kualitas Sumber Daya Manusia

Tidak semua daerah di Indonesia memiliki kualitas SDM yang sama. Di satu sisi, ada daerah
yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang berkualitas, sedangkan di sisi lain, ada pula
daerah di Indonesia yang mengalami keterbelakangan pola pikir dan memiliki kualitas SDM
yang terbilang minim.

Selama persebaran kualitas SDM nya belum merata, maka kualitas pembangunan daerah juga
akan tetap mengalami ketimpangan dan dapat menghambat kelancaran penyelenggaraan otonomi
daerah.

Tak jarang, beberapa daerah otonom juga kerap membutuhkan kontribusi SDM dari pemerintah
pusat maupun dari daerah otonom tetangga yang lebih maju dari daerah otonom mereka sendiri.

3. Masih Adanya Kebiasaan Sentralisasi 

Semenjak adanya sistem otonomi daerah, Indonesia telah menjadi sebuah negara kesatuan yang
menganut nilai desentralisasi. Oleh karena itu, kelancaran penyelenggaraan otonomi daerah akan
menjadi urusan mutlak daerah otonom tanpa perlu campur tangan dari pemerintah pusat.

Namun sayangnya, pemerintah pusat masih usil mencampuri urusan rumah tangga suatu daerah
sehingga penduduk di daerah tersebut akan cenderung kurang mandiri, kreatif, dan inovatif. 

Adapun contoh kebiasaan sentralisasi yang lain adalah, adanya sebuah ‘konflik’ antara
pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi suatu masalah atau kewenangan tertentu.

Selama pemerintah pusat masih mencampuri urusan pribadi pemerintah daerah, maka standar
keberhasilan otonomi daerah juga akan bermasalah. 
Selain itu, kebiasaan sentralisasi ini juga bertentangan dengan makna dari otonomi daerah itu
sendiri yakni, wewenang suatu daerah otonom untuk mengelola, mengatur, dan mengurus urusan
rumah tangganya sendiri (pemerintah maupun kepentingan masyarakat) sesuai dengan peraturan
maupun undang-undang yang berlaku.

Otonomi daerah akan bisa dikatakan berhasil jika daerah otonom yang bersangkutan memiliki
kemampuan diri untuk berkembang secara mandiri.

Sumber:

Hardian, Yudi. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Derajat Otonomi Fiskal
Daerah  Sumatera Barat Periode 1993-2008. Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas.

Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam http://bahanajar.ut.ac.id

B. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI

 
Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan
yang dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma
birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis
dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi
yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,
standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah
pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang
manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam
menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang
kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan
harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di
daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang
sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan
kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta
mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992)
atau reinventing government, 1992, 1997).
 

C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT

 
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah
cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan
masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan
masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama,
perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi.
UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi
menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang
kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era
reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas
wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya
melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang
bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur
mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.
 

D. KESALAHAN STRATEGI

 
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah
daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan
sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.
Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang
memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang
dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan
kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai
sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan
otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat
lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas
lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada
enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni
persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.

Anda mungkin juga menyukai