Anda di halaman 1dari 32

MODUL 11

NOVASI DAN SUBROGASI SYARIAH


Mata Kuliah: Fikih Muamalah

Dosen Pengampu:
Dr. Dede Abdul Fatah, SHI., M.Si

PRODI KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH


JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
I. Novasi dan Subrogasi Konvensional
A. Pengertian Novasi dan Subrogasi
Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam
perjanjian, sebagai akibat pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atas utang
debitur kepada pihak kreditur. Pembayaran sendiri merupakan setiap pemenuhan
prestasi secara sukarela dan mengakibatkan hapusnya perikatan antara kreditur dan
debitur. Dari pengertian tersebut maka tidak heran pembayaran tidak dapat
dipisahkan dari subrogasi. Karena subrogasi sendiri terjadi sebagai akibat pihak
ketiga melakukan pembayaran atas piutang kreditur. Atau pihak ketiga telah
meminjami debitur sejumlah apa yang menjadi utang, guna dibayarkan kepada
kreditur. Pembayaran tersebut menjadikan pihak ketiga tadi mengambil alih
kedudukan kreditur lama untuk nantinya mendapatkan pembayaran dari debitur.
Pokok subrogasinya adalah terjadi penggantian kreditur. Sedangkan
perjanjian dan isinya tidak berubah. Mengenai skema atau proses terjadinya subrogasi
terdapat beberapa pendapat. Misalnya pendapat bahwa dengan terjadi pembayaran
maka perikatan antara kreditur yang lama menjadi hapus dan kemudian dihidupkan
lagi untuk kepentingan pihak ketiga sebagai kreditur baru. Pendapat ini sama seperti
yang diungkapkan oleh R Subekti sebagai mana dikutip oleh Suharnoko dan Endah
Hartati yang menerangkan bahwa dalam subrogasi, utang piutang yang lama hapus
biarpun hanya satu detik, untuk kemudian dihidupkan lagi bagi kepentingan kreditur
baru.
Pendapat lain, C. Asser mengatakan bahwa hanya perikatan antara kreditur
lama dengan debitur yang hapus, maka kreditur lama tidak dapat lagi menuntut
kepada debitur. Tetapi debitur tetap mempunyai kewajiban untuk membayar utang
kepada pihak ketiga sebagai kreditur baru.
Umumnya, pembayaran dalam arti yuridis menghasilkan suatu keadaan
absolut atau relatif. Keadaan absolut ini dapat tercapai jika kedua belah pihak telah
membayar (memenuhi) kewajiban masing-masing. Seperti halnya dalam jual beli
ketika seorang pembeli telah membayar senilai barang yang dibeli, kemudian penjual
juga telah menyerahkan barangnya, maka perjanjian jual belinya telah selesai.

2
Sedangkan pembayaran dalam subrogasi merupakan pembayaran yang menghasilkan
keadaan relatif, artinya pihak ketiga membayar kreditur dan pihak ketiga ini
menggantikan hak kreditur itu, sehingga ia menjadi kreditur baru. Dengan demikian
perjanjian utang piutang tetap ada, debitur tetap harus membayar utang sesuai dengan
yang dipinjamnya, hanya saja subjek krediturnya berubah.
Keadaan di atas menunjukkan bahwa tujuan subrogasi adalah untuk
memberikan kedudukan yang lebih kuat dan jaminan terhadap pihak yang telah
bersedia membayar utangnya. Seolah-olah subrogasi merupakan pinjaman debitur
kepada pihak ketiga untuk dibayarkan kepada kreditur. Oleh karena itu debitur masih
memiliki kewajiban untuk melakukan pengembalian atas pinjaman tersebut kepada
pihak ketiga. Sehingga pihak ketiga akan merasa aman dengan kondisi tersebut.

B. Unsur-Unsur Subrogasi
Setidaknya ada tiga unsur-unsur subrogasi sebagaimana terkandung dalam pasal 1400
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
1. Perpindahan Hak Kreditur kepada Pihak Ketiga
Penggantian atau perpindahan hak kreditur kepada pihak ketiga merupakan
akibat dari subrogasi. Hak kreditur disini adalah hak-hak yang dimiliki oleh kreditur
terhadap debiturnya. Sedangkan pihak ketiga adalah pihak yang bukan kreditur
maupun debitur. Pihak ketiga memperoleh subrogasi tersebut karena ia membayar
utang debitur. kondisi demikian, bukan berarti setiap pembayaran yang dilakukan
pihak ketiga atas utang debitur dapat dikategorikan peristiwa subrogasi. Karena pada
prinsipnya, pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga tidak menimbulkan
subrogasi atau bahkan tagihan baru. Hanya saja dalam kondisi-kondisi tertentu
Undang-Undang menentukan lain.
2. Pembayaran oleh Pihak Ketiga
Pihak ketiga baru mendapatkan hak-hak subrogasi jika pembayaran yang
dilakukan kepada kreditur atas piutang yang sah dan dapat dilakukan subrogasi.
Kalau debitur ternyata tidak punya utang kepada kreditur, dalam hal sudah dilakukan
pembayaran. Maka tidak terjadi subrogasi, dan pihak ketiga tidak dapat menagih
debitur untuk uang yang telah dibayarkan kepada kreditur.

3
3. Terjadinya Melalui Perjanjian dan Undang-Undang
Unsur terakhir ini sebagaimana tertuang dalam pasal 1402 dan 1403 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Unsur ini akan dijelaskan kemudian pada sub bab
mengenai pembagian subrogasi.

C. Akibat Hukum
Akibat hukum subrogasi yang paling nyata adalah beralihnya hak tuntutan
dan kedudukan kepada pihak ketiga. Sehingga setelah dilakukan subrogasi, debitur
harus membayar utangnya kepada pihak ketiga. Peralihan kedudukan itu, meliputi
segala hak dan tuntutan. Pinjam meminjam uang merupakan suatu perjanjian pokok
yang biasanya diikuti oleh berbagai perikatan lainnya, seperti gadai, fidusia, hipotek
dan hak tanggungan sebagai perjanjian accesoir. Sifat suatu perjanjian accesoir
adalah mengikuti perjanjian pokoknya. Sehingga dengan subrogasi, maka hak
kreditur sebagai pemegang gadai, fidusia, hipotek dan hak tanggungan juga beralih
kepada pihak ketiga sebagai kreditur baru.
Namun demikian perlu juga diperhatikan keabsahan perjanjian pokoknya,
yaitu perjanjian pinjam meminjam uang ataupun perjanjian kredit. Sebab
pembebanan jaminan seperti gadai, fidusia, hipotek dan hak tanggungan adalah
perjanjian yang bersifat accesoir, artinya sah atau tidaknya perjanjian accesoir
tergantung pada keabsahan perjanjian pokoknya. Selain itu perlu diperhatikan, hak
dan tuntutan hanya sebatas apa yang dimiliki oleh kreditur lama. Tidak boleh pihak
ketiga menambah hal-hal diluar yang telah ada. Sebagai mana ditegaskan oleh M.
Yahya Harahap sebagai berikut:
1. Sesuai prinsip peralihan, pihak ketiga dapat menuntut pembatalan perjanjian,
sebab tuntutan pembatalan bukan “hak tambahan” (nevenrechten), tetapi
semata-mata masih tetap merupakan “tuntutan pokok” yang melekat pada
perjanjian. Sepanjang tuntutan masih merupakan tuntutan pokok yang melekat
pada setiap perjanjian, harus dianggap sebagai “akibat peralihan” (akibat
hukum) yang melekat pada subrogasi.
2. Demikian juga keadaanya “meng-anulir perjanjian” karena alasan tidak cakap
(onbekwaam), salah sangka (dwaling), pemaksaan (dwang) dan penipuan

4
(bedrog). Masih merupakan tuntutan pokok yang beralih kepada pihak ketiga
sebagai akibat subrogasi.
3. Tuntutan “ganti rugi” (schadevergoeding) adalah tuntutan pokok yang melekat
pada setiap perjanjian, bukan hak tambahan. Karenanya tuntutan pihak yang
menerima subrogasi atas ganti rugi wajib dipenuhi oleh debitur. Malah hakikat
ganti rugi, bukan saja tuntutan pokok yang beralih kepada pihak ketiga sebagai
akibat subrogasi. Tapi ganti rugi adalah tuntutan yang berdiri sendiri berdasar
kekuatan Undang-Undang yang diberikan oleh Undang-Undang itu sendiri
kepada setiap kreditur terhadap debitur yang melakukan kelalaian.
4. Serupa juga halnya “rente” atau bunga yang telah dibayarkan oleh pihak ketiga,
dengan sendirinya beralih pada pihak ketiga, dan dapat dituntut kepada debitur.
Akan tetapi jika hal itu tidak ada dibayarkan pada waktu subrogasi terjadi, pihak
ketiga tidak berhak menuntut rente dari debitur.
5. Subrogasi hanya mengalihkan hak dan tuntutan sepanjang apa yang dibayarkan
pihak ketiga kepada lreditur. Kalau yang dibayarkan pihak ketiga hanya
sebagian saja dari utang, berarti hak dan tuntutan yang beralih kepada pihak
ketiga hanya sebagian saja. Sebesar apa yang telah dibayarkannya. Sebaliknya,
debiturpun mempunyai hak melawan tagihan yang dilakukan oleh pihak ketiga
dalam subrogasi. Sepanjang perlawanan itu merupakan hak perlawanan yang
melekat pada setiap perjanjian pokok yang dapat dilawankannya kepada kreditur
semula. Dengan demikian segala perlawanan yang dapat dilakukan oleh debitur
terhadap kreditur semula beralih kepada pihak ketiga sebagai akibat hukum dari
subrogasi.

D. Pembagian Subrogasi
1) Subrogasi berdasarkan Perjanjian
Subrogasi berdasarkan perjanjian disebut juga dengan subrogasi kontraktual,
sebagaimana tertuang dalam pasal 1401 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Maksudnya adalah seluruh proses subrogasi merupakan persetujuan antara kreditur
dan pihak ketiga. Sehingga tidak bisa dilakukan secara sepihak. Subrogasi
berdasarkan perjanjian, sebagaimana pasal 1401 menentukan bagaimana subrogasi

5
terjadi hanya ada dua kemungkinan yang limitatif, Artinya tidak ada subrogasi lain
berdasarkan perjanjian selain yang telah diatur pada pasal tersebut.13 Dua
kemungkinan tersebut sebagaimana dijelaskan pada pasal 1401 ayat (1) dan (2)
adalah sebagai berikut.
a. Subrogasi atas inisiatif Kreditur
Pada jenis ini krediturlah yang mengajukan subrogasi kepada pihak ketiga.
Selanjutnya kreditur mendapatkan pembayaran dari pihak ketiga dan dengan tegas
menyatakan bahwa pihak ketiga menggantikan hak-hak kreditur terhadap debitur.
Termasuk di dalamnya adalah gugatan, hak istimewa maupun hipotek yang menjamin
pelunasan debitur. Sehingga,debitur hanya diberitahukan bahwa piutang telah
beralih, dan harus melakukan pembayaran kepada pihak ketiga. Menurut Undang-
Undang, subrogasi ini harus dilakukan secara tegas dan pada saat yang sama, serta
ketentuan tersebut bersifat mutlak harus dipenuhi. Ketentuan tersebut menghindarkan
dari:
1. Subrogasi yang tidak jelas tertulis dalam suatu akta, sehingga adanya
subrogasi harus disimpulkan dari kata-kata.
2. Kreditur lama yang bertindak curang, sehingga terjadi situasi yang
merugikan debitur.
b. Subrogasi atas inisiatif Debitur
Pada subrogasi ini, debiturlah yang bersifat aktif, bahkan kreditur tidak
dilibatkan. Sehingga yang melakukan perjanjian subrogasi adalah pihak ketiga
dengan debitur. kemungkinannya, debitur meminjam uang dari pihak ketiga untuk
melunasi utangnya kepada kreditur. Kemudian menetapkan bahwa pihak ketiga
menggantikan hak-hak kreditur terhadap debitur. Agar subrogasi ini sah maka pinjam
meminjam yang dilakukan oleh debitur dan kreditur harus dinyatakan dalam akta
otentik. Pelunasan tersebut harus ditegaskan merupakan penyebab terjadinya
subrogasi. Agar perjanjian subrogasi sah,setidaknya harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Dalam akta pinjam meminjam antara debitur dengan pihak ketiga harus disebut
bahwa pinjaman itu dilakukan untuk membayar utang debitur kepada kreditur;

6
2. Dalam kwitansi pembayaran kepada kreditur, disebutkan dengan jelas bahwa
pembayaran tersebut berasal dari pinjaman pihak ketiga;
3. Dan perjanjian pinjam meminjam serta kwitansi di atas harus dituangkan ke
dalam akta notaris.
2) Subrogasi berdasarkan Undang-Undang
Pada pasal 1400 terdapat peristiwa-peristiwa dimana ada pembayaran oleh
pihak ketiga atas utang-utang debitur terhadap kreditur yang secara otomatis Undang-
Undang menghendaki terjadinya subrogasi. J. Satrio menjelaskan yang dimaksud
subrogasi berdasarkan Undang-Undang adalah pembayaran oleh pihak ketiga dan
pembayaran tersebut memenuhi unsur-unsur daripada salah satu peristiwa-peristiwa
yang disebut dalam pasal 1402.17 Menurut Vollmar sebagaimana dikutip oleh Tan
Thong Kie menyebutkan bahwa keadaan subrogasi yang digambarkan pada pasal
1402 tidaklah besifat limitatif.18 Setidaknya terdapat empat keadaan yang
menghendaki terjadinya subrogasi berdasarkan Undang-Undang. Sebagaimana
tercantum pada pasal 1402 ayat (1) sampai ayat (4), diantaranya sebagai berikut:
a. Seorang kreditur melunasi utang debitur kepada kreditur lain atas kepentingannya
sendiri, yang sifat utangnya memiliki hak mendahului (voorecht).
b. Pembeli suatu benda tidak bergerak, melunasi utang hipotik penjual yang melekat
pada benda yang dibelinya. Tujuannya agar benda tersebut terlepas dari beban
utang hipotik.
c. Beberapa orang debitur yang berkewajiban melunasi utang kepada seseorang
kreditur, jika salah seorang debitur melakukan pembayaran melunasi utang,
debitur yang membayar tadi dengan sendirinya mengambil alih kedudukan
kreditur terhadap debitur-debitur lainnya.
d. Seoarang ahli waris dengan uangnya sendiri melunasi semua utang yang
tersangkut pada harta warisan. Maka hak dan tuntutan yang melekat pada harta
warisan beralih kepada ahli waris yang telah membayar utang harta warisan
tersebut.

E. Sifat Subrogasi :

7
1. Subrogasi merupakan perjanjian yang bersifat Accesoir,dimana perjanjian
tersebut ikut beralih kepada kreditur baru mengikuti perjanjian pokoknya.
2. Dalam Subrogasi,utang piutang yang lama dihapus,untuk kemudian
dihidupkan lagi bagi kepentingan kreditur baru.
3. Dalam Subrogasi pihak ketiga membayar kepada kreditur,debitur adalah pihak
yang pasif.
4. Subrogasi tidak mutlak harus menggunakan akta,kecuali bagi subrogasi yang
lahir dari perjanjian dimana debitur menerima uang dari pihak ketiga untuk
membayar utang-utangnya kepada kreditur.
5. Dalam Subrogasi pemberitahuan diperlukan tetapi bukan merupakan syarat
bagi berlakunya subrogasi.
6. Subrogasi harus dinyatakan dengan tegas karena tujuan pihak ketiga membayar
kepada Kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama
sehingga pihak ketiga dapat memmperoleh hak penuh atas debitur.
7. Subrogasi harus dilakukan tepat pada waktu pembayaran.

F. Subjek Subrogasi :
1. Pihak berutang atau debitur.
2. Pihak Berpiutang atau kreditur.
3. Pihak Ketiga yaitu pihak yang memberikan pinjaman kepada debitur untuk
membayar utangnya kepada kreditur sekaligus sebagai pengganti kreditur
lama.

G. Objek Subrogasi :
1. Benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
2. Benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

H. Novasi

8
Novasi adalah pembaruan utang yang disertai hapusnya perikatan yang lama.
Kreditor atau debitor baru tidak menggantikann kreditor atau debitor yang lama
karena perikatannya telah hapus kemudian diperbarui dengan perjanjian baru.
Contoh: perjanjian jual- beli diperbarui menjadi perjanjian pinjam- meminjam.
Berdasarkan cara terjadinya, novasi dapat dibedakan menjadi novasi subyektif
pasif,novasi subyektif aktif dan novasi obyektif.
1. Novasi Subyektif Pasif
Pada novasi subyektif pasif terjadi penggantian pada pihak debitur. Disini
yang dimaksud dengan penggantian debitur juga meliputi perubahan komposisi
debitur. Misalnya semula ada tiga orang debitur, lalu terjadi perubahan menjadi hanya
dua orang debitur.
Novasi subyektif pasif terjadi karena :
a. Expromissio yaitu terjadinya pembaruan utang dengan penunjukkan debitur baru
untuk menggantikan debitur lama. Pembaruan utang ini dapat terjadi tanpa
melibatkan debitur lama. Karena inisiatif untuk mencari debitur baru berasal dari
pihak kreditur.
b. Delegasi adalah novasi yang terjadi karena debitur lama menawarkan debitur baru
kepada kreditur. Dalam hal ini debitur baru bersedia untuk membayar dan
menggantikan kedudukan debitur lama.

2. Novasi Subyektif Aktif


Pada novasi subyektif aktif, terjadi penggantian kreditur dari kreditur yang
lama lama kepada kreditur yang baru. Dengan penggantian kreditur tersebut, debitur
dibebaskan dari perikatan dengan kreditur lama.

3. Novasi Obyektif
Novasi obyektif berarti perikatan yang terjadi diantara kreditur dan debitur
digantikan dengan perikatan yang baru. Ini berarti terjadi perubahan pada kausa, yaitu
isi dan maksud perjanjian. Misalnya dari sewa menyewa menjadi jual beli. Namun
apabila perubahan hanya terjadi pada besarnya utang pokok,bunga dan jangka
waktu,maka tidak terjadi novasi.

9
H. Landasan Hukum Novasi dan Subrogasi
Subrogasi diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1400 sampai 1403 yang berbunyi.
Pasal 1400
Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang
membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena
Undang-undang.

Pasal 1401
Perpindahan itu terjadi karena persetujuan :
1. Bila kreditur, dengan menerima pembayaran dan pihak ketiga,
menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam
menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa
dan hipotek-hipoteknya terhadap debitur,subrogasi ini harus
dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan waktu
pembayaran.
2. Bila debitur menjamin sejumlah untuk melunasi utangnya, dan
menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan
mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah, baik
perjanjian pinjaan uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat
dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus
diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang
tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan
bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh
kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.
Pasal 1402
Subrogasi terjadi karena Undang-undang:

10
1. Untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang debitur
kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau
hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi dan pada
kreditur tersebut pertama;
2. Untuk seorang pembeli suatu baran tak bergerak, yang memakai
uang harga barang tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada
siapa barang itu diperikatkan dalam hipotek.
3. Untuk seorang yang terikat untuk melunasi suatu utang bersama-
sama dengan orang lain, atau untuk orang lain dan berkepentingan
untuk membayar utang itu:
4. Untuk seorang ahli waris yang telah membayar utng-utang warisan
dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan
hak istimewa untuk mengadakan pencatatan tetang keadaan harta
peningglan itu.
1403
Subrogasi yang diterapkan dalam pasal-pasal yang lalu terjadi, baik
terhadap orang-orang penanggung utang maupun terhadap para
debitur, subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur
jika ia hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini ia dapat
melaksanakan hak-hakna mengenai apa yang masih harus dibayar
kepadanya, lebih dahulu dari pada orang yang memberina suatu
pembayaran sebagian.
2.3 Praktik Novasi dan Subrogasi di LKK
Prosedur Perjanjian Subrogasi Dalam Praktek Perjanjian
Kredit pada PT. BANK PEMBANGUNAN daerah Bali Cabang Negara
Subrograsi terjadi karena pembayaran yang dilakukan oleh pihak
ketiga kepada kreditor (si berpiutang) baik secara langsung maupun tidak
langsung yaitu melalui debitor (si berutang) yang meminjam uang dari pihak

11
ketiga. Pembayaran adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela dan
mengakibatkan hapusnya perikatan antara kreditor dan debitor. Selanjutnya
pihak ketiga ini menggantikan kedudukan kreditor lama, sebagai kreditor
yang baru terhadap debitor.
Subrograsi yang dilakukan pihak ketiga di sini bukan untuk
membebaskan debitur dari hutang-hutangnya dan kewajibannya, melainkan
pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur lama menjadi kreditur baru
sehingga debitur mempunyai kewajiban untuk membayar hutangnya kepada
pihak ketiga sebagai kreditur baru.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut
KUH Perdata) subrogasi diatur dalam Pasal 1400-Pasal 1403 KUHPerdata.
Dalam isinya, pada Pasal 1400 menjelaskan tentang Subrogasi atau
penggantian hak-hak si berpiutang oleh seorang pihak ketiga, yang
membayar kepada si berpiutang itu, terjadi baik karena perjanjian atau
karena undang-undang. Subrogasi yang terjadi karena perjanjian di atur
dalam Pasal 1401 KUHPerdata, ada dua kemungkinan terjadinya subrogasi
yaitu:
Pertama, Seorang pihak ketiga datang kepada debitur dan
mengutarakan untuk melunasi hutang-hutang debitur. Bila kreditur
menerima pembayaran dari pihak ketiga tersebut, maka menurut hukum
seorang pihak ketiga tersebut menggantikan kedudukan dan hak-hak kreditur
termasuk jaminan-jaminan yang ada misalnya hipotik dan hak tanggungan.
Undang - undang tidak menentukan cara tertentu untuk terjadinya subrogasi
itu sehingga bebas bagi seorang pihak ketiga yang akan membayar kepada
kreditur.
Kedua, Si debitur meminjam uang kepada pihak ketiga. Uang pinjaman
tersebut oleh debitur digunakan untuk membayar hutangnya kepada kreditur.
Agar pihak ketiga yang meminjamkan uang kepada debitur menggantikan
kedudukan dan hak-hak kreditur (subrogasi terjadi), maka:
a) Harus dirumuskan dalam akta notaris.

12
b) Dalam perjanjian pinjam meminjam antara debitur dan seorang pihak
ketiga juga harus dirumuskan bahwa uang pinjaman tersebut digunakan
untuk melunasi hutang Debitur
c) Dan pelunasan kepada krediturnya harus ditegaskan bahwa pelunasan
hutang ini berasal dari pinjaman pihak ketiga ini yang akan
menggantikan hak-hak kreditur
Berdasarkan ketentuan tersebut, Nasabah sebagai pihak peminjam
dana berkewajiban untuk mengembalikan kredit beserta bunganya sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit antara
bank dan nasabah sebagai peminjam dana. Namun dalam kenyataanya salah
satu masalah yang sering terjadi pada BPD Cabang Negara adalah adanya
kredit bermasalah bahkan hingga kredit macet dimana nasabah sebagai
debitur tidak dapat mengembalikan kredit tepat pada waktunya akibat
adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar
kemampuan debitur. Ini dibuktikan dengan adanya pertambahan jumlah
debitur yang mengalami masalah kredit macet pada PT. Bank Pembangunan
Daerah Bali Cabang Negara (Selanjutnya disebut BPD Cabang Negara) dari
tahun 2015 sampai tahun 2017. Dimana di tahun 2015 jumlah nasabah atau
debitur yang mengalami kredit macet dengan persentase 0,8%, tahun 2016
1.02%, dan pada tahun 2017 mencapai 1,62%.
Dalam keadaan debitur tidak dapat melakukan pembayaran
angsuran kredit hingga > 90 hari dimana kredit dengan tunggakan >90 hari
dapat dikatakan kredit bermasalah (Non Performance Loan) dengan
kolektibility kredit Kurang Lancar (KL). Tunggakan debitur akhirnya >120
hari dengan kolektibility kredit Diragukan (D), dimana dalam kolektibility
kredit Diragukan (D) munculnya Hak Klaim Penjaminan Kredit terhadap
fasilitas kredit debitur sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama Penjaminan
Kredit Usaha Rakyat antara pihak ketiga dengan BPD Cabang Negara.
Akibat yang muncul dari klaim penjaminan tersebut berupa
subrogasi, sebagaimana ketentuan yang tercantum pada Perjanjian Kerja
Sama antara BPD Cabang Negara dengan Pihak penjamin (pihak ketiga).

13
Klaim yang telah dibayar oleh Pihak Penjamin kepada BPD Cabang Negara
tidak membebaskan Pihak Terjamin (debitur) dari kewajibannya untuk
melunasi fasilitas kredit dan BPD Cabang Negara tetap melakukan
penagihan terhadap Pihak Terjamin (debitur). Dalam hal pihak ketiga telah
melaksanakan pembayaran klaim kepada BPD Cabang Negara, maka Pihak
Ketiga dalam bentuk recovery,BPD Cabang Negara membantu penyelesaian
piutang subrogasi sampai dengan jumlah yang sama dengan jumlah
pembayaran klaim dari Pihak Ketiga kepada BPD Cabang Negara.
Recoveries tersebut akan dibagi untuk Bank dan Pihak Ketiga secara
proporsional sesuai dengan perjanjian kerja sama di atas.

Akibat Hukum Subrograsi terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian


Kredit
Akibat hukum menurut Syarifin merupakan segala akibat yang
terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum
terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena
kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan
atau dianggap sebagai akibat hukum
Dalam kaitannya dengan subrograsi yang terjadi pada BPD Cabang
Negara, akibat hukum yang terjadi terhadap para pihakpihak menurut I Gusti
Ngurah Bagus Artawan, S.H., yang bertindak sebagai Kepala Cabang pada
PT. Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Negara pada tanggal 25 Mei
pada pukul 13.00 wita, yang bertempat di Kantor PT. Bank Pembangunan
Daerah Bali Cabang Negara. “Dengan adanya subrograsi, maka akan timbul
kreditur baru yaitu pihak ketiga dalam perjanjian kredit, dimana pihak ketiga
tersebut menggantikan kreditur lama (bank) sebagai pihak yang berpiutang
dan berhak untuk mendapat pelunasan dari debitur. Sedangkan kewajiban
dari Pihak Ketiga yakni membantu pelunasan pembayaran utang debitur
kepada pihak bank.
Pelunasan utang debitur yang dilakukan oleh pihak ketiga
menyebabkan timbulnya kreditur baru yang menggantikan kreditur lama,

14
sehingga debitur memiliki kewajiban untuk membayar pelunasan kepada
pihak ketiga atau kreditur baru melalui Bank. Berdasarkan keterangan dari I
Wayan Adi Sanjaya, S.H. yang bertindak sebagai Kasi Penyelamatan Kredit
pada PT. Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Negara, pada tanggal 13
Juni 2018 pukul 10.00 wita, “dalam hal pembayaran utang dalam subrograsi,
debitur tetap membayar pelunasan kredit melalui BPD Cabang Negara, dan
selanjutnya pihak bank yang akan menyalurkan dana tersebut kepada pihak
ketiga atau kreditur baru.” Hal tersebut bukan berarti Bank BPD Cabang
Negara masih memiliki kewenangan untuk mendapat pembayaran,
melainkan Bank BPD Cabang Negara hanya sebagai perantara dalam
pelunasan utang debitur kepada pihak ketiga sesuai perjanjian kerjasama
Bank BPD Cabang Negara dengan Pihak Ketiga.
Terakhir, akibat hukum subrograsi terhadap Bank BPD Cabang
Negara, yakni beralihnya posisi kreditur bank kepada pihak ketiga. Sehingga
pihak Bank BPD Cabang Negara berhak memperoleh pelunasan kredit dari
debitur melalui pembayaran klaim dari pihak ketiga yang menjadi kreditur
baru dan menyebabkan bank tidak berhak lagi memperoleh pelunasan kredit
dari debitur.
Dengan beralihnya pihak yang berpiutang dari kreditur lama kepada
kreditur baru, tidak menyebabkan posisi objek jaminan berpindah kepada
kreditur baru sehingga tidak diperlukan pengajuan roya dalam contoh
jaminan hak tanggungan, hal ini terjadi berdasarkan perjanjian kerjasama
antara bank dan pihak ketiga serta adanya perjanjian kerjasama tersebut juga
menyebabkan pihak debitur tetap membayar pelunasan kredit kepada
kreditur baru melalui bank BPD Cabang Negara.

II. Novasi dan Subrogasi Syariah


A. Subrogasi Syariah
Subrogasi Syariah adalah pergantian hak da’in lama oleh da’in baru karena
piutang da’in lama dilunasi oleh da’in baru bedasarkan prinsip syariah. Sehingga

15
madin diharuskan membayar utangnya kepada da’in baru. Da’in adalah pihak yang
memiliki hak tagih (piutang) sedangkan Madin adalah pihak yang memiliki
kewajiban membayar utang.
Beberapa ketentuan khusus yang perlu diperhatikan dalam subrogasi syariah
antara lain:
a. Biaya subrogasi yang timbul menjadi beban da'in lama dan da'in
baru sesuai
kesepakatan;
b. Bentuk subrogasi yang disertai dengan kompensasi dalam hukum
perdata Indonesia dikenal dengan Cessie;
c. Pengalilian piutang (melalui jual beli) harus memenuhi ketentuan-
ketentuan khusus berikut:
1) Piutang uang (al-dain al-naqdi) hanya boleh dialihkan dengan
barang (sil'ah) sebagai alat bayar (tsaman);
2) Piutang yang akan dialihkan harus jelas jumlah dan
spesifikasinya;
3) Piutang yang dialihkan tidak sedang dijadikan jaminan (al-rahn).
Piutang yang sedang dijadikan jaminan boleh dijual setelah
mendapat izin dari penerima jaminan;
4) Barang (sil'ah) yang dijadikan sebagai alat pembayaran (tsaman)
harus barang yang halal, jelas jenis serta nilainya sesuai kesepakatan;
5) Ketika transaksi pengalihan piutang dilakukan, da'in baru harus
sudah
memiliki sil'ah yang akan dijadikan tsaman, baik dibeli di Bursa
maupun di luar Bursa, baik dibeli sendiri maupun melalui wakil;
6) Pembayaran harga atas pengalihan piutang harus dilakukan secara
tunai; dan
7) Subrogasi hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah
berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
B. Novasi Syariah

16
Novasi adalah akad baru yang menggantikan dan menghapuskan akad yang
lama yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.
Novasi dibagi menjadi 2 yaitu ;
1. Novasi Subjektif Aktif dimana da’in lama diganti dengan da’in baru. Dimana
nanti madin yang berutang kepada da’in lama tetapi tidak berpiutang kepada
da’in baru. Dalam pembaruan utang dengan cara novasi subjektif aktif ini, para
pihaknya juga berbeda atau tidak sama, yaitu adanya da’in baru sehingga
perjanjian accesornya menjadi hapus dan tidak dipertahankan.
2. Novasi Subjektif Pasif adalah madin lama diganti dengan madin baru dan madin
lama dibebaskan dari kewajibannya, atau biasa disebut pengalihan utang dari
satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung
pembayarannya. Karena para pihaknya juga berbeda atau tidak sama, yaitu
adanya da’in baru sehingga perjanjian accesornya menjadi hapus dan tidak
dipertahankan.
3. Da`in adalah pihak yang memiliki hak tagih (piutang).
4. Madin adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk membayar utang.

C. Landasan Hukum Novasi dan Subrogasi Syariah


Novasi Syariah
A. Al – Qur’an

(1) QS. al-Ma`idah (5): 1:

.... ‫ٰﯾَٓﺄ َﯾﱡَﮭﺎ ٱﻟﱠِﺬﯾَﻦ َءاَﻣﻨُٓﻮاْ أ َ ۡوﻓُﻮاْ ِﺑﭑۡﻟﻌُﻘُﻮِۚد‬

"Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ..."


(2) QS. al-Baqarah (2): 282:

ُ‫ﺴّٗﻤﻰ ﻓَﭑۡﻛﺘ ُﺒُﻮ ۚه‬ َ ‫ٰﯾَٓﺄ َﯾﱡَﮭﺎ ٱﻟﱠِﺬﯾَﻦ َءاَﻣﻨُٓﻮاْ ِإذَا ﺗ َﺪَاﯾَﻨﺘ ُﻢ ِﺑﺪَۡﯾٍﻦ ِإﻟَ ٰ ٓﻰ أ ََﺟٖﻞ ﱡﻣ‬
‫ﺐ َﻛَﻤﺎ‬ َ ُ ‫ﺐ أ َن ﯾَۡﻜﺘ‬
ٌ ‫ب َﻛﺎِﺗ‬ َ ‫ﺐ ِﺑﭑۡﻟﻌَۡﺪِۚل َوَﻻ ﯾَۡﺄ‬ ُ ۢ ‫َوۡﻟﯿَۡﻜﺘ ُﺐ ﺑﱠۡﯿﻨَُﻜۡﻢ َﻛﺎِﺗ‬
17
ِ ‫ﻋﻠَۡﯿِﮫ ٱۡﻟَﺤﱡﻖ َوۡﻟﯿَﺘ ﱠ‬
ُ‫ﻖ ٱﱠ`َ َرﺑﱠﮫۥ‬ َ ‫`ُ ﻓَۡﻠﯿَۡﻜﺘ ُۡﺐ َوۡﻟﯿُ ۡﻤِﻠِﻞ ٱﻟﱠِﺬي‬
ۚ ‫ﻋﻠﱠَﻤﮫُ ٱ ﱠ‬
َ
.... ‫ﺷ ٗۡٔﯿۚﺎ‬
َ ُ‫َوَﻻ ﯾَۡﺒَﺨۡﺲ ِﻣۡﻨﮫ‬

"Hai orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya ..."
B. Hadist
Hadis Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

.‫ ﻓَﺈِذَا أ ُﺗِْﺒَﻊ أ ََﺣﺪُُﻛْﻢ َﻋﻠَﻰ َﻣِﻠْﻲٍء ﻓَْﻠﯿَﺘْﺒَْﻊ‬،‫ظْﻠٌﻢ‬ ْ ‫َﻣ‬


ّ ‫ﻄُﻞ اْﻟﻐَِﻨ‬
ُ ِ‫ﻲ‬
"Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan
hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu,
terimalah" (HR. Bukhari).
Ø Hadis Nabi riwayat Al-Tirmidzi:

‫ﺳﻮَل‬ُ ‫ﻲ ِ رﺿﻲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﮫ أ َﱠن َر‬ ّ ‫ف اْﻟُﻤَﺰِﻧ‬


ٍ ‫َﻋْﻦ َﻋْﻤِﺮو ْﺑِﻦ َﻋْﻮ‬
‫ﺼْﻠُﺢ َﺟﺎِﺋٌﺰ ﺑَْﯿَﻦ اْﻟُﻤْﺴِﻠِﻤﯿَﻦ إﱠﻻ‬
‫ اﻟ ﱡ‬: ‫ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗَﺎَل‬X ‫ﱠ‬
ُ ‫ َواْﻟُﻤْﺴِﻠُﻤﻮَن َﻋﻠَﻰ‬.‫ﺻْﻠًﺤﺎ َﺣﱠﺮَم َﺣَﻼًﻻ أ َْو أ ََﺣﱠﻞ َﺣَﺮاًﻣﺎ‬
،‫ﺷُﺮوِطِﮭْﻢ‬ ُ
.ُ‫ﺻﱠﺤَﺤﮫ‬ ‫ َرَواهُ اﻟ ِﺘ ّْﺮِﻣِﺬ ﱡ‬.‫ أ َْو أ ََﺣﱠﻞ َﺣَﺮاًﻣﺎ‬،‫طﺎ َﺣﱠﺮَم َﺣَﻼًﻻ‬
َ ‫ي َو‬ ً ‫ﺷْﺮ‬
َ ‫إﱠﻻ‬

18
"Dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Sulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat)
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali sulh yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan
kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
(H.R. Al-Tirmidzi dan beliau menilainya shahih)
Ø Hadis Nabi riwayat Muslim:

ُ ‫ﺖ ﻗَﺎَل ﻗَﺎَل َر‬


‫ﺳﻮُل ﷲِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬ ُ ‫َﻋْﻦ‬
‫ﻋﺒَﺎدَة َ ْﺑِﻦ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﺼﺎِﻣ‬
‫ﺸِﻌﯿِﺮ‬ ‫ﺸِﻌﯿُﺮ ِﺑﺎﻟ ﱠ‬ ‫ﻀِﺔ َواْﻟﺒُﱡﺮ ِﺑﺎْﻟﺒُِّﺮ َواﻟ ﱠ‬
‫ﻀﺔُ ِﺑﺎْﻟِﻔ ﱠ‬
‫ﺐ َواْﻟِﻔ ﱠ‬ِ ‫ﺐ ِﺑﺎﻟﺬﱠَھ‬ ُ ‫ اﻟﺬﱠَھ‬:
‫ﺴَﻮاٍء ﯾَﺪًا ِﺑﯿٍَﺪ ﻓَﺈِذَا‬
َ ‫ﺳَﻮاًء ِﺑ‬ َ ‫َواﻟﺘ ﱠْﻤُﺮ ِﺑﺎﻟﺘ ﱠْﻤِﺮ َواْﻟِﻤْﻠُﺢ ِﺑﺎْﻟِﻤْﻠﺢِ ِﻣﺜْﻼً ِﺑِﻤﺜٍْﻞ‬
‫ رواه‬.‫ﻒ ِﺷﺌْﺘ ُْﻢ ِإذَا َﻛﺎَن ﯾَﺪًا ِﺑﯿٍَﺪ‬
َ ‫ف ﻓَِﺒﯿﻌُﻮا َﻛْﯿ‬ ْ َ ‫ﺖ َھِﺬِه اﻷ‬
ُ ‫ﺻﻨَﺎ‬ ْ َ‫اْﺧﺘ َﻠَﻔ‬
.‫ﻣﺴﻠﻢ‬
"Dari ‘Ubadah bin al-Shamit RA. Dia berkata, Rasulullah
SAW bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma
dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat
harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya
berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai."
(H.R. Muslim)
C. Ijtihad Ulama
Ø Ijma’ ulama tentang larangan bai’ al-dain bi al-dain:

‫ﻋﻠَﻰ أ َﱠن ﺑَْﯿَﻊ اﻟﺪﱠْﯾِﻦ ِﺑﺎﻟﺪﱠْﯾِﻦ َﻻ ﯾَُﺠْﻮُز‬


َ ‫َوأ َْﺟَﻤﻌُْﻮا‬
"Para ulama telah konsensus bahwa bai’ ad-dain bi ad-dain
itu tidak dibolehkan."
D. Fatwa DSN MUI

19
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 103/DSN-MUI/X/2016
Tentang
Novasi Subjektif Berdasarkan Prinsip Syariah
‫ِﺑْﺴِﻢ ٱﱠ)ِ ٱﻟﱠﺮْﺣَٰﻤِﻦ ٱﻟﱠﺮِﺣﯿِﻢ‬
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI), setelah
Menimbang : a. bahwa masyarakat dan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) memerlukan
penjelasan tentang Novasi Subjektif dari
segi prinsip syariah;
b.bahwa ketentuan hukum mengenai
Novasi Subjektif berdasarkan prinsip
syariah belum diatur dalam fatwa DSN-
MUI;
c. bahwa atas dasar pertimbangan huruf a
dan b, DSN-MUI memandang perlu
menetapkan fatwa tentang Novasi Subjektif
berdasarkan prinsip syariah untuk dijadikan
pedoman.
Subrogasi Syariah
A. Al – Qur’an
QS. al-Ma`idah (5): 1:

... ‫ٰﯾﺄ َﯾﱡَﮭﺎ اﻟﱠﺬﯾَﻦ ءاَﻣﻨﻮا أ َوﻓﻮا ِﺑﺎﻟﻌُﻘﻮِد‬


"Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ..."
QS. al-Baqarah (2): 282:

20
‫ٰﯾَٓﺄ َﯾﱡَﮭﺎ ٱﻟﱠِﺬﯾَﻦ َءاَﻣﻨُٓﻮاْ ِإذَا ﺗ َﺪَاﯾَﻨﺘ ُﻢ ِﺑﺪَۡﯾٍﻦ ِإﻟَ ٰ ٓﻰ‬
‫ﺴّٗﻤﻰ ﻓَﭑۡﻛﺘ ُﺒُﻮ ۚهُ َوۡﻟﯿَۡﻜﺘ ُﺐ ﺑﱠۡﯿﻨَُﻜۡﻢ‬
َ ‫أ ََﺟٖﻞ ﱡﻣ‬
َ ُ ‫ﺐ أ َن ﯾَۡﻜﺘ‬
‫ﺐ‬ ٌ ‫ب َﻛﺎِﺗ‬ َ ‫ﺐ ِﺑﭑۡﻟﻌَۡﺪِۚل َوَﻻ ﯾَۡﺄ‬ ُ ۢ ‫َﻛﺎِﺗ‬
‫`ُ ﻓَۡﻠﯿَۡﻜﺘ ُۡﺐ َوۡﻟﯿُ ۡﻤِﻠِﻞ ٱﻟﱠِﺬي‬
ۚ ‫ﻋﻠﱠَﻤﮫُ ٱ ﱠ‬
َ ‫َﻛَﻤﺎ‬
ِ ‫ﻋﻠَۡﯿِﮫ ٱۡﻟَﺤﱡﻖ َوۡﻟﯿَﺘ ﱠ‬
‫ﻖ ٱﱠ`َ َرﺑﱠﮫۥُ َوَﻻ ﯾَۡﺒَﺨۡﺲ‬ َ
.... ‫ﺷ ٗۡٔﯿۚﺎ‬
َ ُ‫ِﻣۡﻨﮫ‬

"Hai orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya ..."
B. Hadits
Hadis Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

.‫ ﻓَﺈِذَا أ ُﺗِْﺒَﻊ أ ََﺣﺪُُﻛْﻢ َﻋﻠَﻰ َﻣِﻠْﻲٍء ﻓَْﻠﯿَﺘْﺒَْﻊ‬،‫ظْﻠٌﻢ‬ ْ ‫َﻣ‬


ّ ‫ﻄُﻞ اْﻟﻐَِﻨ‬
ُ ِ‫ﻲ‬
Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang
mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara
kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan)
kepada pihak yang mampu, terimalah" (HR. Bukhari).
Hadis Nabi riwayat Al-Tirmidzi:

21
‫ﻲ ِ رﺿﻲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﮫ‬ ّ ‫ف اْﻟُﻤَﺰِﻧ‬
ٍ ‫َﻋْﻦ َﻋْﻤِﺮو ْﺑِﻦ َﻋْﻮ‬
‫ﺼْﻠُﺢ َﺟﺎِﺋٌﺰ‬
‫ اﻟ ﱡ‬: ‫ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗَﺎَل‬X ‫ﺳﻮَل ﱠ‬ُ ‫أ َﱠن َر‬
.‫ﺻْﻠًﺤﺎ َﺣﱠﺮَم َﺣَﻼًﻻ أ َْو أ ََﺣﱠﻞ َﺣَﺮاًﻣﺎ‬
ُ ‫ﺑَْﯿَﻦ اْﻟُﻤْﺴِﻠِﻤﯿَﻦ إﱠﻻ‬
،‫طﺎ َﺣﱠﺮَم َﺣَﻼًﻻ‬ ً ‫ﺷْﺮ‬َ ‫ إﱠﻻ‬،‫ﺷُﺮوِطِﮭْﻢ‬ ُ ‫َواْﻟُﻤْﺴِﻠُﻤﻮَن َﻋﻠَﻰ‬
.ُ‫ﺻﱠﺤَﺤﮫ‬َ ‫ي َو‬‫ َرَواهُ اﻟ ِﺘ ّْﺮِﻣِﺬ ﱡ‬.‫أ َْو أ ََﺣﱠﻞ َﺣَﺮاًﻣﺎ‬
"Dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Sulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah
untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
sulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram." (H.R. Al-Tirmidzi dan beliau
menilainya shahih)

C. Ijtihad
Ijma’ ulama tentang larangan bai' al-dain bi al-dain:

‫ﻋﻠَﻰ أ َﱠن ﺑَْﯿَﻊ اﻟﺪﱠْﯾِﻦ ِﺑﺎﻟﺪﱠْﯾِﻦ َﻻ ﯾَُﺠْﻮُز‬


َ ‫َوأ َْﺟَﻤﻌُْﻮا‬
"Para ulama telah konsensus bahwa bai' ad-dain bi ad-dain
itu tidak dibolehkan."

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 104/DSN-MUI/X/2016
Tentang
Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah
‫ِﺑْﺴِﻢ ٱﱠ^ِ ٱﻟﱠﺮْﺣَٰﻤِﻦ ٱﻟﱠﺮِﺣﯿِﻢ‬

22
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI), setelah
Menimbang : a. bahwa masyarakat dan Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) memerlukan penjelasan
tentang Subrogasi dari segi prinsip syariah;
b. bahwa ketentuan hukum mengenai
Subrogasi berdasarkan prinsip syariah belum
diatur dalam fatwa DSN-MUI;
c. bahwa atas dasar pertimbangan huruf a dan
b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan
fatwa tentang Subrogasi berdasarkan prinsip
syariah untuk dijadikan pedoman.

2.6. Akad-Akad yang digunakan dalam Novasi dan Subrogasi


Syariah
1. Hawalah
Hawalah menurut bahasa berarti memindahkan, mengoperkan
dan atau mengalihkan.
Sedangkan menurut istilah antara lain
a. Menurut ulama hanafiyah hawalah adalah memindahkan
penuntutan atau penagihan dari tanggung pihak yang berutang
kepada tanggungan pihak yang harus membayar hutang.
b. Selain ulama hanafiyah mendefinisikan hawalah sebaai sebuah
akad yang menghendaki pemindahan sutu hutang dari
tanggungan ke tanggungan lain
c. Al jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hawalah
adalah peralihan utang dari tanggung jawab seseorang mejadi
tanggung jawab orang lain.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hawalah adalah
sebuah akad mengalihkan piutang dari pihak debitur (muhil)

23
kepada pihak ketiga ( muhal alaih) yang bersedia menggantikan
posisinya untuk membayar urang tersebut kepada kreditur ( muhal).
Landasan hukum dari hiwalah adalah Firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an(QS. Al-Maidah[5] : 2)
‫ﻻ َءآِّﻣﯿَﻦ‬ٓ َ ‫ي َوَﻻ ٱۡﻟﻘَ ٰ ٓﻠَِﺌﺪَ َو‬ ۡ ۡ ‫ﺷ ٰ ٓﻌَِﺌَﺮ ٱﱠ‹ِ َوَﻻ ٱﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺸۡﮭَﺮ ٱﻟَﺤَﺮاَم َوَﻻ ٱﻟَﮭۡﺪ‬ َ ْ‫ٰ ٓﯾَﺄ َﯾﱡَﮭﺎ ٱﻟﱠِﺬﯾَﻦ َءاَﻣﻨُﻮاْ َﻻ ﺗ ُِﺤﻠﱡﻮا‬
َ ‫ﻄﺎدُو ۚاْ َوَﻻ ﯾَۡﺠِﺮَﻣﻨﱠُﻜۡﻢ‬
‫ﻨَﺎُن‬- ‫ﺷ‬ َ ‫ﺻ‬ۡ ‫ﺿَٰﻮٗﻧۚﺎ َوِإذَا َﺣﻠَۡﻠﺘ ُۡﻢ ﻓَﭑ‬
ۡ ‫ﻀٗﻼ ِّﻣﻦ ﱠر ِﺑِّﮭۡﻢ َوِر‬ۡ َ‫ﺖ ٱۡﻟَﺤَﺮاَم ﯾَۡﺒﺘ َﻐُﻮَن ﻓ‬َ ‫ٱۡﻟﺒَۡﯿ‬
ْ‫ﺻﺪﱡوُﻛۡﻢ َﻋِﻦ ٱۡﻟَﻤۡﺴِﺠِﺪ ٱۡﻟَﺤَﺮاِم أ َن ﺗ َۡﻌﺘ َﺪُو ۘاْ َوﺗ َﻌَﺎَوﻧُﻮاْ َﻋﻠَﻰ ٱۡﻟِﺒِّﺮ َوٱﻟﺘ ﱠۡﻘَﻮ ٰۖى َوَﻻ ﺗ َﻌَﺎَوﻧُﻮا‬ َ ‫ﻗَ ۡﻮٍم أ َن‬
ِ ‫ﺷِﺪﯾﺪُ ٱۡﻟِﻌﻘَﺎ‬
٢‫ب‬ ۖ ‫َﻋﻠَﻰ ٱ ۡ ِﻹۡﺛِﻢ َوٱۡﻟﻌُۡﺪَٰوِۚن َوٱﺗ ﱠﻘُﻮاْ ٱ ﱠ‬
َ َ‹‫‹َ ِإﱠن ٱﱠ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-
bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya,
dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Landasan hukum positif berdasarkan teknis produk perbankan


yan berkaitan dengan hiwalah diatur pada PBI no.9/19.PBI/2007
tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan
danan dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah,
sebagaimana yang telah di ubah dengan PBI No.10/16/PBI/2008.
Pasal 3 PBI dimaksud menyebutkan pemenuhan prinsip syariah
sebaaimana yang dimaksud antara lain dilakukan melalui kegiatan

24
pelayanan jasa dengan mempergunakan antaralain akad kafalah,
hawalah dan sharf.
Menurut fatwa DSN MUI nomer 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang
hiwala rukun-rukun hiwalah adalah
1. muhil ( ‫) اﻟﻤﺤﯿـﻞ‬yakni orang yang berutangdan sekaligus
berpiutang,
2. muhal atau muhtal ( ‫) اﻟﻤﺤﺘـﺎل او اﻟﻤﺤﺎل‬yakni orang berpiutang
kepada muhil,
3. muhal ‘alaih ( ‫) ﻋﻠﯿـﮫ اﻟﻤﺤـﺎل‬yakni orang yang berutang
kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal,
4. muhal bih ( ‫) ﺑـﮫ اﻟﻤﺤـﺎل‬yakni utang muhil kepada muhtal,
5. dan sighat (ijab-qabul).
Selanjutnya mengenai pembagian hawalah dalam berbagai literatur
banyak yang mengutip pendapat ulama hanafiyyah, mereka
membagi dari sisi lain hawalah dan daei segi objek kald. Dari sisi
lain hawalah terbagi menjadi :
a. hawalah muqayyadah adalah pemindahan sebagai ganti dari
pembayaran utang muhal alaih kepada muhil.
b. Hawalah mutlaqah seseorang emindahkan utangnya kepada
orang lain dan tidak mengaitkan itang yang ada pada utang
itu.
Kemudian, ditinjau dari segi objek akad maka hawalah dibagi
menjadi ;
a. Hawalah al-dain yaitu pemindahan yang dilakukan
merupakan untuk membayar utang
b. Hawalah al-haq yaitu apabila yang dipindahkan adalah hak
untuk
untuk utang.

25
D. Skema subrogasi dan novasi syariah

26
27
E. Praktik Novasi dan Subrogasi di LKS
Terkait dengan salah satu produk jasa di bank syariah yaitu
pengalihan hutang (take over) sebagaimana gambaran umum lembaga DSN
MUI yang telah mengeluarkan fatwa tentang transaksi pengalihan hutang
(Take over) yang diatur dalam Fatwa DSN MUI nomor 31 tahun 2002

28
tentang pengalihan hutang. Ketentuan umum dalam fatwa nomor 31 tahun
2002, yang dimaksud dengan pengalihan hutang adalah pemindahan hutang
nasabah dari bank konvensional beralih ke bank syariah. Dalam ketentuan
umum ini dikenal juga al-qardh adalah akad pinjaman dari LKS (Lembaga
Keuangan Syariah) kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada
waktunya dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati.
Yang dimaksud nasabah adalah calon nasabah LKS yang
mempunyai kredit (hutang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional
(LKK) untuk pembelian aset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS.
Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit (hutang) kepada LKK
dan belum lunas pembayaran kreditnya.
Dalam fatwa DSN MUI nomor 31 tahun 2002 tentang pengalihan
hutang, akad yang digunakan utnuk transaksi ini dapat melalui empat
alternatif berikut:
a. Alternatif I
1) LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh
tersebut nasabah melunasi kredit (utang)nya, dengan
demikian aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi
milik nasabah secara penuh.
2) Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan
dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya
kepada LKS.
3) LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi
miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran
secara cicilan.
4) Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-
Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan
Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud
alternatif I ini.

29
b. Alternatif II
1) LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK;
sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara
LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
2) Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud
angka 1 adalah bagian aset yang senilai dengan utang (sisa
cicilan) nasabah kepada LKK.
3) LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi
miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran
secara cicilan.
4) Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan
Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif
II ini.
c. Alternatif III
1) Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan
penuh (atas aset, nasabah
dapat melakukan akad ijarah dengan LKS, sesuai dengan
fatwa DSN MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
2) Apabila dipelukan, LKS dapat menalangi kewajiban
nasabah kepada LKK untuk melunasi kreditnya dengan
menggunakan prinsip prinsip al-qardh sesuai Fatwa DSN-
MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001
3) Akad ijarah sebagaimana dimaksud angka 1 tidak boleh
dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian
talangan sebagaimana dimaksud angka 2.
4) Besar imbalan jasa ijarah sebagaimana dimakasud angka
1 tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah talangan yang
diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan
pada angka 2.
d. Alternatif IV

30
1) LKS memberikan akad qardh kepada nasabah. Dengan
qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang) kepada
LKK. Dengan demikian aset yang dibeli dengan kredit
tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2) Nasabah menjual asetnya kepada LKS, dengan begitu
nasabah melunasi qardh nya kepada LKS dengan uang hasil
penjualan tersebut.
3) LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya itu
kepada nasabah dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-
Tamlik.
4) Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-
qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002
tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula
dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang
sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.
Penetapan ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama
Indonesia pengalihan tentang hutang ini ditetapkan di Jakarta, pada tanggal
15 rabi‟ul akhir 1423 H/ 26 Juni 2002.

31
DAFTAR PUSTAKA

Dr. A. Wangsawidjaja Z., S.H., M.H. Buku Pembiayaan bank Syariah.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Harahap,,M. Yahya 1982. Segi-Segi Hukum Perjanjian,Bandung .
J. Satrio, 1999. Cessie,Subrogative,Novative,Kompensatie dan Percampuran
Utang,Bandung.
Republika Indonesia. Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal
1401.
Suharnoko dan Endah Hartati,2008. Doktrin Subrogasi,Novasi dan
Cessie,Jakarta.

32

Anda mungkin juga menyukai