Anda di halaman 1dari 22

STULOS 7/2 (September 2008) 161-182

IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA


DALAM DEKLARASI UNIVERSAL HAM:
PERSPEKTIF TEOLOGIS-ETIS

Binsar Antoni Hutabarat, M.C.S

PENDAHULUAN
Hak Kebebasan beragama sebagaimana yang dituangkan di dalam
Deklarasi Universal HAM diakui sebagai Deklarasi modern mengenai
kemanusia modern, karena baru dicetuskan pada abad ke-20 M.
Pernyataan ini tidak boleh diartikan bahwa kekristenan sebagai agama
yang hadir jauh sebelum momen pendeklarasian tersebut, tidak memiliki
pengakuan atas hak-hak kemanusiaannya, khususnya tentang kebebasan
beragama.
Dalam sejarah kekristenan tercatat adanya intoleransi agama Kristen
terhadap agama-agama lain. Namun sesungguhnya itu bukanlah bagian
dari kebenaran kristiani. Bahkan jika ditelusuri secara lebih mendalam isi
dari Deklarasi Universal tersebut, sesungguhnya, sangat dipengaruhi
pemikiran kristiani. Itulah sebabnya jika kekristenan mendukung HAM,
itu bukanlah suatu kompromi, melainkan suatu perjuangan nilai yang
didasarkan pada Alkitab. Tulisan ini akan menilai “hak kebebasan
beragama dari sudut pandang Iman Kristen; yang secara khusus
memfokus pada pasal 1 dan 18.

RELIGIUSITAS PEMAHAMAN HAM YANG UNIVERSAL:


PENELUSURAN HISTORIS
Di dalam sejarah agama-agama juga terlihat bahwa semua agama besar di
dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap agama-agama
lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut melekat
kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama
terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti:
politik atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.
162 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat lokal, namun setelah


perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami trauma akibat
perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta perlakuan yang
tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan proteksi HAM
tidak lagi bersifat domestik.1 Perjuangan HAM yang bersifat mendunia
tersebut nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan Piagam PBB
dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan kepercayaannya
akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional tersebut
akhirnya menghasilkan Deklarasi Universal HAM yang lahir tanggal 10
Desember 1948. 2 Dan piagam tersebut oleh majelis PBB ditetapkan
sebagai standar umum untuk semua rakyat dan negara. Dua puluh pasal
pertama deklarasi tersebut memiliki kesamaan dengan Bill Of Rights
Amerika Serikat. 3 Karena itu tidaklah mengherankan jika Deklarasi
Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya
dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati.

Pemikiran John Locke


Deklarasi Universal HAM dapat disebut sebagai ideologi internasional
untuk hak azasi manusia, karena telah dijadikan pedoman pelaksanaan
bagi dunia internasional. Meski implementasinya pada banyak negara
masih sangat memprihatinkan, namun adanya standar untuk penilaian dan
penghargaan kemanusiaan, menjadikan deklarasi tersebut sebagai suatu
prestasi penting. Khususnya, jika deklarasi tersebut dijadikan pedoman
bagi pembuatan Undang-Undang Dasar suatu negara, maka HAM
mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam suatu negara. Dan
sejak diterimanya Deklarasi Universal tersebut oleh Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, deklarasi itu telah banyak
mempengaruhi banyak negara di dunia untuk melaksanakannya, hal

1
lih Scott David, Hak Asasi, hl. 15. Barulah seusai malapetaka perang dunia ke II,
hukum hak asasi manusia Internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas,
kekejaman NAZI terhadap penduduknya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang
usaipun sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup
komitmen untuk melindungi hak asasi manusia,
2
A. Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusi, hl. 85.
3
Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri ( Jakarta:
Obor), hl. 6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 163

tersebut nyata dengan digunakannya deklarasi tersebut dalam penyusunan


dan perbaikan UUD negara-negara yang ada,4 demikian juga yang terjadi
dengan Indonesia, terlebih setelah tumbangnya rejim yang otoriter.
Deklarasi Universal tersebut dalam dunia internasional dibangun di
atas dasar pemahaman bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh
manusia dan melekat pada manusia, sehingga tidak seorangpun berhak
mencabutnya. Hak tersebut dimiliki oleh manusia karena ia terlahir
sebagai manusia,5 secara eksplisit itu dituangkan dalam mukadimah dari
deklarasi tersebut yang berbunyi demikian, “bahwa pengakuan atas
martabat alamiah serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut
dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan,
keadilan dan perdamaian didunia.” 6 Pandangan tersebut berlandaskan
pada hukum kodrat yang dicetuskan oleh John Locke. 7 Karena itu
tidaklah mengherankan jika Rhoda seorang pengamat tentang hak-hak
asasi manusia mengatakan,
“Hak asasi manusia adalah masalah sekuler: hak ini berasal dari
pemikiran manusia tentang hakikat keadilan, bukan keputusan Ilahi.
Meskipun hak asasi manusia dalam prakteknya akan lebih terjamin
kalau didasarkan pada keyakinan agama, dasar keagamaan ini tidak
mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari deklarasi umat manusia
tentang bagaimana mereka seharusnya. Hak asasi manusia bersifat
universal dalam arti harus universal, tanpa memandang apakah
agama-agama besar menerimanya sebagai prinsip. Prinsip-prinsip hak
asasi manusia bukan didasarkan pada agama, melainkan pada
masyarakat sekuler, pada pandangan kaum sekuler tentang hak yang

4
B.S. Mardiatmaja, “Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang Teologi Katolik”
dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, E.Shobirin Nadj dan Naning Mardinah, ed.
(Jakarta: LP3ES, 2000), hl. 73.
5
David Weissbrodt, “Hak-Hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Perspektif
Kesejarahan” dalam Hak-Hak Asasi Manusia, hl. 2. Kita dapat menelusuri asal-usul
hak-hak asasi manusia itu kepada teori-teori filsafat tentang “hukum kodrati” suatu
hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif negara. Menurut teori ini, individu
sebagai manusia membawa dalam dirinya sendiri sejak lahir hak-hak asasi tertentu yang
tidak dapat dihilangkan.
6
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Gramedia, 1996), hl. 261.
7
George Clack, ed., Hak Asasi manusia, terj. (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hl. 4.
“Teori Lock itu mulai dengan suatu keadaan alam pra sosial di mana individu-individu
yang sama memiliki hak-hak kodrati akan kehidupan, kebebasan, dan harta warisan.
Namun karena tiadanya pemerintahan, hak-hak ini sedikit saja nilainya. Hak-hak itu
hampir-hampir mustahil dilindungi dengan cara tindakan individu, dan pertengkaran-
pertengkaran mengenai hak-hak itu sendiri merupakan penyebab konflik yang hebat. Oleh
karena itu, rakyat membentuk masyarakat, dan masyarakat menciptakan pemerintahan
guna memungkinkan mereka sendiri menikmati hak-hak kodrati”
164 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

diperlukan semua orang untuk hidup bermartabat”8


Pandangan Rhoda tersebut lahir untuk menanggapi pandangan yang
menolak universalitas dari HAM juga merupakan penelusuran konsep
modernnya yang memang dipelopori oleh para filsuf, secara khusus oleh
John Locke. Sayangnya, Rhoda tidak menganalisa, darimanakah asalnya
pikiran masyarakat sekular tersebut. Dengan demikian, pikiran Rhoda
yang ingin mengabaikan agama dengan menganggap HAM adalah buah
karya masyarakat sekuler akan mengakibatkan terciptanya jurang antara
Barat dan non Barat.9 Karena bagi orang-orang yang beragama Islam,
Kristen, Hindu dan Kongfucu hukum dan agama memiliki kesatuan yang
dalam; sehingga menganggap HAM hanya sebagai buah pikiran manusia
sekular dan tidak mempertimbangkan aspek agama dalam pembentukkan
prinsip-prinsip HAM, justru akan melahirkan penolakan deklarasi HAM
yang bersifat universal.
Klaim bahwa manusia dilahirkan dalam kebebasan dan memiliki
martabat yang sama, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal
tersebut, yang dipengaruhi oleh pikiran Locke, merupakan sesuatu yang
berasal dari pengaruh Yahudi dan Kristen, yaitu di atas pengakuan
manusia yang diciptakan sebagai “gambar Allah.” Walapun memang
pemahaman, bahwa manusia dikarunia akal serta hati nurani dan harus
bergaul dalam semangat persaudaraan berasal dari pikiran pencerahan.10
Untuk memahami pengaruh kekristenan dan Yahudi dalam
pembentukan hukum kodrat Lock, dapat ditelusuri lewat sejarah
pemikiran Barat, baik di Inggris maupun Amerika, dimana pemikiran
HAM yang modern diperkembangkan. Pengaruh kekristenan terhadap
institusi legal nyata ketika agama Kristen menjadi agama negara pada
waktu pertobatan Konstantinus. Pada waktu itu, undang-undang negara
dipengaruhi oleh pemikiran kekristenan, seperti undang-undang yang
ditetapkan dalam lembaga pernikahan: pernikahan merupakan pernikahan
monogami, heteroseksual dan seumur hidup.
Demikian juga pada masa Reformasi protestan yang mengajak untuk

8
Rhoda E.Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. (Jakarta:
Grafiti, 2000), hl. 19.
9
Ibid., 54.
10
Wolfgang Huber, “Human Rights and Biblical Legal Thought” dalam Religious
Human Rights in Global Perspective: Legal Perspectives, John White Jr. dan Johan
D.Von der Veyner, ed.. (London: Martinus Nijhoff Publisher), hL. 60.
JURNAL TEOLOGI STULOS 165

kembali kepada pemahaman manusia sebagai gambar Allah. Reformasi


mengakui bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama.
Pengakuan itu kemudian melahirkan suatu kesadaran bahwa semua
manusia memiliki kesamaan di hadapan hukum dan negara. Pemahaman
tentang manusia yang memiliki martabat mulia dan kesederajatan
tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap Deklarasi Amerika dan
Perancis. Munculnya dasar lain, selain agama dalam pembentukan sistem
perundang-undangan negara tersebut terjadi setelah terjadi konflik
sektarian yang melahirkan perang berdarah, 11 Namun tidak berarti
nilai-nilai kebenaran Kristen tidak lebih baik dari standar sekular yang
kemudian melahirkan HAM dalam perspektif masyarakat modern, karena
pikiran sekular tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran keagamaan yang
telah mengalami sekularisasi. Tanpa memahami perkembangan tahapan
itu, maka HAM tidak dapat dimengerti dengan baik.12

Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Perancis


Pengaruh pikiran Locke sangat kental pada deklarasi kemerdekaan
Amerika Serikat, karena pernyataannya dianggap sebagai penetapan yang
paling awal dari HAM secara konstitusional,13 maka Locke dianggap
sebagai peletak dasar dari HAM di zaman modern. Sehingga lahirnya
konsep modern tentang HAM tidak dapat dianggap sebagai buah karya
masyarakat sekuler semata-mata (produk Barat), karena pernyataan
deklarasi kemerdekaan negara tersebut sarat dengan pemikiran Kristen,
dan itu ada dalam pikiran John Locke yang adalah seorang pemeluk
agama Kristen dan anggota jemaat dari Church of England. Pengaruh
pikiran John Locke dalam isi deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat
David Weissbrodt menjelaskan sebagai berikut:
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 menyatakan
hak-hak yang tidak dapat dihilangkan dari semua orang untuk hidup,
untuk bebas, dan mencari kebahagiaan. Hak-hak ini diturunkan dari
teori-teori Eropa pada abad ke-18 yang mengatakan bahwa individu
itu pada kodratnya otonom. Begitu masuk ke dalam masyarakat,
otonomi setiap individu bergabung membentuk kedaulatan rakyat.
Maka secara prinsip hak rakyat yang tidak dapat dihilangkan itu telah

11
Huber, Religious Human Rights. hl. 51.
12
Ibid., 52.
13
Gunawan Setiardja, Hak-hak asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hl. 83.
166 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

berubah menjadi hak untuk memerintah diri sendiri (self government)


termasuk hak untuk menentukan dan mengubah pemerintahnya.
Namun masing-masing individu juga masih tetap memiliki beberapa
otonominya yang asli dalam bentuk hak-hak yang bahkan pemerintah
sendiri tidak boleh melanggarnya. Kepercayaan terhadap hak-hak
yang masih dimiliki itu telah menyebabkan masing-masing negara
bagian bersikeras mengenai perlunya tambahan Bill Of Rights kepada
Konstitusi Amerika Serikat tahun 1789.14
Pandangan David Weissbrodt di atas merupakan hasil dari analisis- kritis
dari isi deklarasi kemerdekaan tersebut yang menjelaskan mengenai
alasan mengapa masyarakat membentuk suatu pemerintahan. Secara
eksplisit pengaruh pikiran Locke mengenai hukum kodrat yang terkait
erat dengan pemikiran Kristen dan Yahudi tersebut, seperti yang ditulis
oleh Thomas Jefferson sebagai berikut:
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sudah jelas dengan
sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa penciptanya
telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut;
bahwa di antara hak-hak ini adalah hak untuk hidup bebas dan mengejar
kebahagiaan- bahwa untuk menjamin hak-hak ini, orang-orang
mendirikan pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang
benar berdasarkan persetujuan (kawula) yang diperintahnya. Bahwa
kapan saja suatu bentuk pemerintahan merusak tujuan ini, rakyat
berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya.15
Jelaslah, pengakuan hak azasi tersebut tidak dapat dilepaskan
dengan pengaruh kekristenan, bukan sekular tetapi keagamaan;
sebagaimana tertuang dalam deklarasi kemerdekaan negara Amerika dan
juga Perancis tentang hak-hak manusia dan warga Perancis tahun 1789.16
Naskah deklarasi kemerdekaan Perancis ini diberi judul “Deklarasi Hak
Manusia dan Warga negara” di dalamnya dinyatakan bahwa manusia
memiliki hak yang ‘kodrati’ yang melekat pada manusia dan tak dapat
dicabut. Dalam pasal 1 dari Deklarasi yang tertanggal 26 Agustus 1789,
yang menyatakan bahwa: “Semua manusia terlahir dan tetap selalu dalam
kebebasan dan persamaan hak. Perbedaan kedudukan dalam masyarakat
hanya dapat didasari oleh kemanfaatan manusia.” Kemudian dalam pasal
4 dinyatakan bahwa: “Kebebasan adalah hak untuk melakukan segala

14
Davis, Hak-Hak asasi Manusia, hl. 8.
15
Scott Davidson, Hak-hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Grafiti, 1999), hl. 2.
16
Setiarja, Hak-hak asasi Manusia, hl. 84. “Pasal 2 Deklarasi Perancis menyatakan
bahwa: Tujuan masyarakat politik adalah mempertahankan hak-hak manusia yang alami
dan yang tidak dapat diganggu gugat. Hak-hak ini meliputi kebebasan, milik, keamanan
dan perlawann menentang penindasan” .
JURNAL TEOLOGI STULOS 167

sesuatu yang tidak merugikan orang lain: dengan demikian batas-batas


pelaksanaan hak kodrati setiap manusia hanyalah dibatasi oleh jaminan
pelaksanaan hak kodrati bagi anggota lain masyarakat. Batas-batas
tersebut hanya dapat ditentukan oleh hukum”. 17 Perbedaannya antara
Amerika dan Perancis adalah, jika Amerika Serikat berjuang untuk
merdeka, maka Perancis berjuang menghancurkan sistem pemerintahan
yang absolut dan mendirikan negara demokrasi.18

Magna Charta di Inggris


Sebelum konsep HAM modern ditetapkan secara konstitusional dalam
Deklarasi kenegaraan dua negara abad 17 M, di Eropa sudah banyak
orang berpikir tentang masalah HAM. Hal ini tidak mengherankan karena
pada tahun 1215, di Inggris lahir Piagam Mulia (Magna Charta) hasil
perjuangan kaum bangsawan melawan kekuasaan Raja John. Piagam
tersebut berisi batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang
absolut.19 Piagam Mulia ini menjadi induk bagi perumusan HAM yang
dikenal dengan konsep modern.20 Apabila HAM dipahami sebagai hasil
dari pemikiran masyarakat sekuler semata-mata, maka secara bersamaan
HAM akan dianggap sebagai sesuatu yang dilahirkan oleh budaya Barat
dan tidak harus diterima oleh non Barat. Jadi pemahaman tentang HAM
yang menyeluruh merupakan sesuatu yang amat penting dalam
memahami sifat HAM yang bersifat universal.

Kembali ke Era Yunani kuno


Percakapan dan penghormatan hak azasi manusia juga sudah ada sejak
sebelum Masehi. Pada zaman Yunani kuno, abad kedua sebelum Masehi,
seorang ahli hukum Romawi kuno bernama Cicero mencetuskan
pernyataan yang terkenal sebagai inti HAM demikian: “Manusia adalah

17
Lih Jerome Samuel dan Sidney Peyroles, ed., Dua Abad Perkembangan
Undang-Undang Dasar Perancis (Yogyakarta: Duta Wacana Press, 1991), hl. 1-7.
18
S. Baut Pau, Benny Herman K, ed., Kompilasi Hak Asasi Manusia (Jakarta:
YBHI, 1998), hl. 5.
19
Setiardja, Hak-Hak Asasi., hl. 74.
20
Davidson, Hak-hak Asasi., hl. 2.
168 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

sama dan semua manusia dilahirkan bebas”.21 Tetapi apabila ditarik lebih
jauh lagi keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kesamaan dan
kebebasan sudah ada sejak adanya manusia. Alkitab Perjanjian Lama
melaporkan bahwa manusia diciptakan mulia sebagai gambar Allah
(Kejadian 1:26). Jadi, martabat manusia yang mulia bukan ada dengan
sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang dikaruniai oleh Allah. Tidak
seorang pun berhak mencabut hak-hak manusia kecuali pencipta itu
sendiri. Karena itu semua manusia harus hidup dalam penghormatan
terhadap sesamanya, karena ia diciptakan sederajat adanya.

Konsep Pemikiran Gereja RK Modern


Walaupun pada abad 19 M, gereja Katolik secara organisasi merupakan
pendukung pemerintahan monarkhi dan menolak HAM, sikap gereja itu
bukan didasarkan pada Alkitab, tetapi lebih disebabkan oleh trauma yang
dialami gereja pada waktu revolusi Prancis yang menghukum mati ribuan
imam Katolik karena tidak mau mengucapkan sumpah pada konstitusi.22
Puncak penolakan kebebasan beragama dalam gereja Katolik terjadi pada
tahun 1964 di mana kebebasan beragama dan toleransi dikutuk sebagai
kesesatan.23 Sikap gereja yang melakukan pelanggaran HAM juga nyata
dalam perang-perang salib serta pertikaian antara gereja Katolik dan
aliran Protestan yang dianggap bidat.24 Namun tindakan-tindakan salah
gereja tidak boleh diartikan bahwa Alkitab menyetujui tindakan tersebut.
Karena pada waktu-waktu selanjutnya gereja mendukung penegakan
HAM sebagaimana dikatakan oleh Paus Johanes Paulus II yang memuji
Deklarasi Universal HAM sebagai inspirasi dan sendi yang mendasar dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa. 25 Calvin seorang tokoh reformator
Protestan juga pernah mendapat pujian sebagai pioner kebebasan hati

21
A.M.Fatwa, “Hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama Dan Ketahanan
Nasional” dalam HAM Dan Pluralisme Agama, Anshari Thayib dkk, ed, (Surabaya:
PKSK), hl. 28.
22
Franz Magnis Suseno, “Hak Asasi Manusia Dalam Theologi Katolik
Kontemporer” dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, Shobirin Nadj, Naning Mardinah,
ed., ( Jakarta: Cesda LP3ES), hl. 86.
23
Ibid., 87.
24
Ravitch, Diane dan Thernsrom, Abigail, ed, Demokrasi: Klasik Dan Modern, (
Jakarta: Obor, 2005), hl. 54-71.
25
Davies, Hak Asasi Manusia, hl. 35.
JURNAL TEOLOGI STULOS 169

nurani dan HAM.26

PRINSIP PRINSIP KRISTEN TENTANG HAK AZASI MANUSIA


Dalam bagian ini penulis akan memaparkan pandangan kristiani
mengenai HAM dalam konteks Deklarasi Universal HAM dalam tiga
bagian besar, yaitu: pertama mengenai sumber dari HAM, kedua keadilan
Allah dalam implementasi HAM, ketiga mengenai hak beragama menurut
pandangan Alkitab.

Sumber HAM
Konsep hukum kodrati yang menjadi dasar bagi sumber dari HAM
merupakan sesuatu yang telah diakui sejak lama dalam masyarakat
Kristen. Hanya saja dalam pandangan kristiani, HAM tidak mungkin
dimengerti dengan baik tanpa melihatnya dalam hubungan dengan Allah
pencipta manusia. Jadi dasar dari penerimaan akan manusia yang
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama bergantung pada
pernyataan Allah sendiri. Kejadian 1: 27 menjelaskan bahwa manusia
diciptakan segambar dengan Allah dan manusia berbeda dari ciptaan
lainnya, manusia adalah raja atas dunia yang adalah ciptaan Allah. Dan
kekuasaan manusia sebagai raja itu diberikan oleh Allah, sehingga
manusia adalah wakil Allah dalam dunia ini. Dan Allah menciptakan
manusia laki-laki dan perempuan, keduanya berbeda namun berada dalam
kesederajatan. Dari pernyataan Alkitab tentang martabat manusia yang
mulia dan memiliki kesedarajatan tersebut dapat dipahami bahwa HAM
dalam persfektif Kristiani, pertama, mengakui bahwa martabat manusia
berasal dari Allah dan tak tertanggalkan, karena semua manusia
diciptakan oleh Allah. Kejatuhan manusia dalam dosa juga tidak
menghilangkan gambar Allah meski mengalami kerusakan, tetapi karena
kejatuhan terjadi setelah penciptaan, maka pada hakikatnya semua
manusia adalah sama-sama mulia. Agama apapun yang dipegang
seseorang tidak mengurangi kemuliaannya sebagai manusia, karena
martabat manusia itu tak tertanggalkan. Kedua, Pernyataan bahwa

26
John Witte Jr., “Moderate Religious Liberty In Theology Of John Calvin” dalam
Religious Liberty in Western Thought, Noel B. Reynolds and W. Cole Durham Jr., ed.
(Atlanta: Scholars Press, 1996), hl. 84.
170 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Alkitab menciptakan semua manusia itu sama-sama mulia dapat di


artikan bahwa dalam pergaulan antarsesama manusia tidak boleh terjadi
perbedaan, manusia wajib berprilaku baik terhadap semua manusia.
Ketiga, karena manusia mendapat mandat dari Allah untuk mengelola
alam, dunia ini, maka hal tersebut juga berarti bahwa semua manusia
berkewajiban untuk menjaga implementasi dari hak-hak asasi tersebut.27
Dalam persfektif kristiani HAM tidak berarti suatu kebebasan tanpa
batas dalam arti manusia dapat melakukan apa saja sesuai keinginannya,
karena manusia diperintahkan Allah untuk melakukan perintah Allah atau
hukum-hukum Allah. Tanpa ketaatan pada hukum-hukum Allah manusia
tidak memiliki kebebasan. Mengenai HAM yang terkait dengan kewajiban
ini, Stephen Tong menjelaskan demikian:
Jika kita berbicara tentang hak asasi manusia, maka jangan kita hanya
membicarakan hak tanpa menyinggung tentang kewajiban, maka yang
diperebutkan dan yang diperdebatkan setiap hari justru akan menjadi
sesuatu yng menghantui, sehingga kita tidak mungkin dapat mencapai
suatu keharmonisan.28
Jadi HAM tidak berarti tidak tanpa batas, karena secara bersamaan
berisi kewajiban untuk menjaga hak-hak orang lain, singkatnya, tidak ada
tanggung jawab tanpa ketaatan dan demikian juga tidak ada tanggung
jawab tanpa kebebasan sebagaimana dikatakan oleh Eka Darmaputra
mengutip Douglas Elwood seperti berikut:
Ketika hak dipahami hanya sebagai klaim atas orang lain, dan tidak
juga sebagai tanggung jawab moral dipihak kita, maka perjuangan
HAM telah disalahtafsirkan sebagai tidak lebih dari sebuah pergulatan
kekuasaan, dan dengan demikian istilah HAM lalu menjadi slogan
yang indah untuk suatu perang ideologi atau suatu eufemisme untuk
perjuangan bersenjata. Ia menjadi agitasi yang menyulut permusuhan
ketimbang sebuah advokasi positif dan konstruktif … HAM adalah
nilai-nilai moral universal yang melampaui klaim-klaim partikular
atau parokhial; ia adalah hak-hak moral yang dimiliki oleh setiap
orang semata-mata oleh karena ia adalah manusia, dan ia hanya
terwujud di dalam saling keterkaiatan dengan tanggung jawab moral.
HAM sebagi nilai-nilai moral universal tidak pernah berdiri sendiri,
melainkan selalu terkait dengan hak-hak yang sah dari orang lain dan

27
Lih. John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen (Jakarta:
YKBKasih/OMF, 1984), hl. 210, 11.
28
Stephen Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Momentum,
1999), hl. 7.
JURNAL TEOLOGI STULOS 171

29
kewajiban kita untuk menghormati hak-hak orang lain itu.
Manusia yang memiliki hak-hak yang sama tersebut juga memiliki
kewajiban yang sama pula, yaitu untuk menjaga hak-hak orang lain.
Pandangan kristiani mengenai HAM ini secara nyata tertuang dalam
Deklarasi Perancis tentang Deklarasi Hak Manusia dan Warga negara
yang menjelaskan bahwa kebebasan adalah melakukan segala sesuatu
yang tidak merugikan orang lain. Dan batas-batas pelaksanaan hak
kodrati setiap manusia dibatasi oleh jaminan pelaksanaan hak kodrati.
Dan batas-batas tersebut ditentukan oleh hukum.

Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM.


Sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia dapat hidup dengan menikmati
hak-haknya sebagai manusia, tanpa mendapat halangan dari sesamanya,
karena manusia bergantung total pada Allah, dan Allah memberikan
kemampuan kepada manusia untuk melaksanakan kebebasannya secara
benar. Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, tak seorang pun
manusia dapat menaati hukum Allah secara sempurna.
Pada masa sebelum kerajaan Israel, Allah juga telah memberikan
hak-hak kepada manusia dan Allah sendiri yang menjaga implementasi
hak-hak tersebut dengan memberikan hukum-hukum-Nya yang adil. Pada
waktu Kain membunuh Habel, Allah menghukum Kain, demikian juga
ketika manusia bertambah jahat di mana manusia tidak mentaati Allah,
maka Allah menghukum manusia yang tidak menghormati sesamanya
dengan mengambil hak hidup dari manusia dan hanya menyisakan Nuh
dengan keluarganya. Jadi pada waktu belum ada negara Allah secara
langsung memerintah dunia dengan keadilan-Nya.
Manusia terus bertambah banyak dan ingin membangun
pemerintahan sendiri, kemudian Allah mencerai-beraikan mereka di
menara Babel. Tetapi Allah terus menjaga ciptaan-Nya dengan memilih
Abraham untuk membangun komunitas yang hidup menyembah Allah
dan menghormati sesama manusia sebagai ciptaan Allah. Disini Israel
dijadikan sebagai bangsa. Baru dalam Kejadian 12 ini, Allah membangun
institusi negara. Tetapi negara tidak termasuk dalam ordo penciptaan,
29
Eka Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia (Jakarta: Gunung
Mulia, 2001), hl. 155. Lih juga Douglas G. Elwood, Human Rights: A Christian
Perspective (Quezon City: New Day, 1990), hl.2
172 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

karena institusi negara ada setelah kejatuhan. Dalam perjalanan Israel


sebagai bangsa, Mesir melakukan penjajahan terhadap umat Allah. Dan
dengan kekuasaan-Nya, Allah membebaskan Israel untuk dapat hidup
mulia dengan sesamanya dalam keterikatan pada Allah, karena Allah
adalah Raja Israel.
Dalam pemerintahan Israel Allah yang menetapkan Undang-Undang
Dasarnya, yaitu 10 Hukum; dan raja wajib menjalankan UUD tersebut
dalam pemerintahannya. Apabila raja tidak mentaatinya maka Allah akan
menghukum raja tersebut. Dalam kerajaan Israel tersebut juga ada Nabi
Allah yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintaha Israel, serta
Imam-imam yang menjelaskan mengenai hukum-hukum kerajaan yang
bersumber dari 10 Hukum yang adalah Undang-Undang Dasar Israel.
Tidaklah mengherankan jika pemerintahan Israel disebut oleh ahli-ahli
PL sebagai pemerintahan teokratis yang demokratis.30 Karena pemimpin
Israel adalah Allah, raja dan rakyat kerajaan adalah umat Allah, dan
mereka secara bersama-sama taat kepada Allah yang adalah pemimpin
Israel. Pemerintahan yang teokratis dan demokratis akhirnya lenyap dari
Israel karena kejahatan manusia.
Allah memakai bangsa-bangsa lain untuk menjadi “hakim” atas
umat-Nya. Umat Allah berada dalam penjajahan bangsa yang tidak
mengenal Allah. Namun perlindungan Allah tetap ada pada mereka. Jika
pada mulanya Allah memerintah secara langsung “pemerintahan teokrasi”,
kemudian Allah memakai pemerintahan orang-orang yang tidak
menyembah Allah Israel untuk tetap memelihara umat-Nya. Namun
sebagai negara kerajaan kafir juga harus bertanggung jawab kepada Allah.
Karena kodrat dari negara yang diciptakan Allah adalah untuk
pemeliharaan dunia. Siapapaun yang menjadi raja di dunia ini, raja
tersebut bertanggung jawab kepada Allah.
Salah satu bukti mengenai kedaulatan Allah dalam kerajaan kafir
adalah ketika Allah menolong Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Ketiga
orang tersebut mendapat perlakuan yang tidak adil. Sekelompok orang
yang menginginkan kekuasaan memasukkan aturan yang tidak
berkeadilan dalam pemerintahan Babel, dan yang terkena dampak
langsung dari ketidakadilan tersebut adalah Sadrak, Mesakh dan
Abednego. Tetapi oleh kedaulatan Allah mereka dipelihara ketika

30
Eka Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 145.
JURNAL TEOLOGI STULOS 173

menjadi tawanan di negara Raja Nebukadnezar. Tetapi sebagai alat Tuhan,


Sadrak, Mesakh dan Abednego harus berjuang bagi adanya hukum yang
berkeadilan. Penghormatan terhadap bangsa yang berbeda dan pemeluk
agama yang berbeda tetap terjaga dalam pemerintahan bangsa-bangsa di
luar Israel walaupun tidak sempurna, karena negara tempat di mana Israel
dibuang oleh Allah tetap berada dalam kedaulatan Allah. Negara tersebut
dapat menghargai pluralisme suku dan agama karena kebenaran umum
Allah ada pada semua orang. Kebanaran umam yang ditanamkan Allah
dalam semua manusia ini menjadi alat Allah dalam memelihara dunia.
Bagi orang Kristen negara merupakan alat Allah untuk menahan tindakan
kejahatan manusia, karena itu dalam negara yang dipimpin oleh siapapun,
seorang Kristen harus berusaha untuk berperan agar tugas negara dalam
memenuhi tanggung jawab yang bersumber dari Allah tersebut terpenuhi.
Dalam Perjanjian Baru, Allah tidak lagi membedakan bangsa Israel
dan non Israel. Kerajaan Romawi tempat di mana gereja lahir dan
bertumbuh adalah pemerintahan non Israel. Pada waktu itu masih ada
penghormatan terhadap kebebasan beragama, sebagaimana dilaporkan
Alkitab bahwa murid-murid Tuhan Yesus dapat berkumpul dan beribadah
kepada Allah. Mereka tetap dapat beribadah sesuai dengan agama
mereka.
Pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena gereja yang lahir
dalam agama Yahudi dianggap bidat. Pemerintah yang membutuhkan
dukungan komunitas Yahudi yang besar pada waktu itu berpihak kepada
agama Yahudi, sehingga Kristen dianggap bidat. Warga Yahudi yang
menjadi Kristen pun mendapat perlakuan yang amat diskriminatif dari
pemerintah yang berkuasa. Pelanggaran kebebasan beragama terjadi
karena negara tidak menjalankan wewenangnya dengan baik, yaitu
menciptakan keadilan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Pemerintahan yang adalah alat Allah untuk menegakkan keadilan demi
terjaganya kesejahteraan ciptaan mengingkari tanggung jawabnya, maka
terjadilah pelanggaran HAM. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
keadilan Allah bagi kekristenan merupakan dasar yang penting bagi suatu
negara untuk dapat menjaga implementasi HAM secara maksimal, karena
hukum-hukum Allah adalah adil, karena itu hukum-hukum yang mengatur
kehidupan dalam bernegara harus adil. Apabila negara menegakkan
keadilan Allah maka hubungan antar-sesama manusia akan terpelihara
dengan baik.
174 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Kebebasan Beragama Menurut Alkitab.


Alkitab memerintahkan dalam Keluaran 20:3, “Jangan ada padamu allah
lain di hadapan-Ku”. Dan dalam Perjanjian Baru Yesus mengatakan,
“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Kebenaran
tersebut dinyatakan oleh Yesus karena manusia tidak dapat menyembah
kepada dua tuan (Matius 6:24). Hal itu juga menjelaskan bahwa semua
manusia hidup di hadapan Allah, sehingga semua manusia harus
menyembah Allah, jadi pada hakikatnya semua manusia beragama,
karena itu dapt disimpulkan semua kehidupan manusia adalah agama.31
Jika hidup manusia adalah agama, maka kebebasan beragama berarti
juga kebebasan untuk memilih siapa yang ingin disembah dan yang tidak
ingin disembah oleh seseorang, mengenai hal ini Stephen Tong
menjelaskan seperti berikut:
Tuhan menghormati hak asasi manusia, bahkan Ia terkadang
menghargai hak manusia untuk melawan Tuhan. Manusia diberikan
hak kebebasan oleh Tuhan termasuk kemungkinan untuk melawan
Tuhan. Itu adalah hak yang diberikan oleh Tuhan… Disini kita dapat
melihat bahwa Tuhan bukan diktator, dan Ia tidak menindas semua
yang melawanNya. Tetapi waktu kita memakai hak asasi manusia
untuk melawan Tuhan, maka itu berarti kita sedang membunuh hak
asasi kita sendiri, karena hak asasi kita hanya dapat terjamin di dalam
tangan Tuhan saja.32
Dengan demikian jelaslah kebebasan beragama juga berarti hak
untuk melepaskan keyakinan agamanya atau berganti agama sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM yang berbunyi
demikian: “Hak kebebasan beragama adalah kemerdekaan untuk
memeluk agamanya yang didasarkan atas kehendak bebas manusia
(sesuai dengan keinginan hati nuraninya), tidak seorang pun dapat
dipaksa untuk menyembah apa yang dia ingin sembah atau apa yang ia
tidak ingin menyembahnya,”33 sebagaimana yang juga dinyatakan dalam
Vatikan II tahun 1965. Kebebasan beragama merupakan hak yang
didasarkan pada martabat manusia yang dinyatakan oleh firman Allah.34
Negara tidak dapat merampas hak kebebasan beragama, karena hak ini

31
Bdk. Sidney Greidanus, Human Rights in Biblical Perspective, hl. 28-31.
32
Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia, hl. 33.
33
Tierney, Brian, Religious Right, hl. 242.
34
Tad Stahnke, J. Paul Martin, Religion and Human Rights: Basic Document (New
York: Columbia University, 1998), hl. 205-19.
JURNAL TEOLOGI STULOS 175

diberikan oleh Tuhan. Sebaliknya negara wajib menjaga implementasi


dari hak-hak tersebut.
Selanjutnya kebebasan beragama tersebut juga berarti kemerdekaan
berkumpul karena aktivitas agama bersifat komunal. Namun dalam hal
pengimplementasian hak tersebut juga adalah hak untuk menyendiri,
karena hak tersebut juga berarti hak untuk tidak memeluk agama-agama
yang ada, misalnya agama resmi versi Departemen Agama RI. Karena
hidup itu agama, maka manusia yang menolak untuk memeluk agama
yang ditawarkan kepadanya, akan tetap beragama, entah itu berupa
penyembahan diri sendiri atau yang lainnya, hal itu juga merupakan
agama, bahkan Marxisme pun dapat disebut sebagai “agama.” Karena
hak kebebasan beragama adalah hak dari Allah, karena itu aktivitas
agama merupakan sesuatu yang tidak boleh dibelenggu. Namun karena
kebebasan beragama tidak tanpa batas, maka kebebasan beragama secara
bersamaan juga merupakan kewajiban untuk umat beragama lain dapat
melaksanakan kebebasan beragamanya.
Pemahaman bahwa HAM secara bersamaan juga merupakan
kewajiban untuk menjaga hak-hak orang lain dapat terpenuhi, secara
tegas dinyatakan dalam Matius 7:12, yang berbunyi demikian: “Segala
sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Pernyataan tersebut juga
dinyatakan dalam Lukas 6:31. Ayat tersebut biasa disebut sebagai “The
Golden Rule”, pesan ayat tersebut dalam bentuk yang negative juga ada
dalam kitab rabi orang Yahudi, demikian juga agama Budha, Hindu dan
Kongfucu. 35 Golden Rule merupakan kewajiban setiap manusia yang
berharap diperlakukan sama dengan apa yang dikehendakinya. Dalam
hubungan dengan kebebasan beragama, hukum tersebut mewajibkan
setiap orang untuk menjaga hak kebebasan beragama orang lain. Dan
apabila semua orang berusaha untuk mengusahakan hak-hak kebebasan
beragama orang lain terpenuhi, maka pastilah semua manusia akan
terlindungi hak-haknya.
Hak Kebebasan Beragama dalam pandangan Martin Luther, seorang
tokoh Reformasi, secara bersamaan juga merupakan hak setiap orang
untuk menafsirkan Alkitab dengan cara mereka sendiri sesuai dengan hati
nuraninya. Pada waktu itu tidak setiap orang boleh membaca Alkitab dan
35
Kenneth Barker, ed., The NIV Study Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1985), hl.
1452.
176 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

menafsirkannya, dan tidak setiap orang boleh tidak setuju dengan


penafsiran dari pemimpin-pemimpin gereja. 36 Sehingga bidat dalam
sejarah kekristenan mendapatkan hambatan yang besar dari gereja dengan
memakai tangan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan
dengan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani. Jadi Gereja
pernah tidak taat kepada Alkitab dengan menindas bidat dengan memakai
tangan negara. Mengenai penyimpangan dalam Gereja tersebut Kuyper
menjelaskan demikian:
Kewajiban pemerintah untuk menyingkirkan setiap bentuk agama
yang salah dan penyembahan berhala bukan penemuan Calvinisme
(apa kata Alkitab), tetapi berasal jauh dari Konstantin Agung, dan
merupakan reaksi terhadap penganiayaan- penganiayaan mengerikan
yang dilakukan oleh para Kaisar kafir pendahulunya terhadap sekte
Nazaret. Sejak hari itu, sistem ini telah dipertahankan oleh semua
teolog Katolik Roma dan diterapkan oleh semua raja dan pangeran
Kristen. Pada masa Luther dan Calvin, ada keyakinan universal bahwa
sistem itu adalah sistem yang benar. Sementara itu orang-orang
Calvinis pada jaman Reformasi menyerahkan korban-korban mereka,
yang jumlahnya mungkin puluhan ribu, ke tiang gantungan dan tiang
pembakaran (korban pihak Lutheran dan Katolik Roma hampir-hampir
tidak layak dihitung), sejarah telah bersalah dalam hal ketidakadilan
yang besar dalam hal menuding eksekusi hukuman bakar hidup-hidup
atas Servetus sebagai crimen nefandum (kejahatan yang keji).37
Penganiayaan terhadap bidat merupakan sesuatu yang bertentangan
dengan pengajaran Kristen yang Alkitabiah dan secara bersamaan
merupakan pelanggaran terhadap kebebasan hati nurani, hal ini
dituangkan dalam deklarasi tahun 1649 dinyatakan, bahwa
“penganiayaan karena iman adalah pembunuhan spiritual, pembunuhan
terhadap jiwa, suatu kemarahan yang diarahkan terhadap Allah sendiri,
dosa yang paling mengerikan,” 38 Selama bidat-bidat Kristen atau
bidat-bidat agama lain tetap hidup mentaati undang-undang yang berlaku,
maka keberadaan mereka tidak boleh dihalangi oleh siapapun, termasuk
kelompok Kristen itu sendiri, maupun dengan menggunakan kekuasaan
pemerintah.

36
Ozment, Steven, “Martin Luther on Religious Liberty.” Dalam Religious Liberty
in Western Thoght, Noel B.Reynolds and W.Cole Durham Jr, ed. (Georgia: Scholars
Press, 1996), hl. 75-82.
37
Kuyper, Lecturer on Calvinism, hL. 114.
38
Ibid., 117.
JURNAL TEOLOGI STULOS 177

PENILAIAN KRISTEN ATAS PENGAKUAN HAK KEBEBASAN


BERAGAMA DALAM PASAL 18
Dalam perspektif kristiani, HAM sebagaimana tertuang dalam Deklarasi
Universal HAM Tahun 1948 merupakan sesuatu yang telah lama diakui.
Pernyataan bahwa semua manusia memiliki martabat dan hak-hak yang
sama (pasal 1-2), pengakuan akan hak-hak sipil (pasal 3-21), dan hak-hak
ekonomi, sosial dan kebudayaan (pasal 22-27) serta pasal-pasal penutup
(pasal 28-30) yang menetapkan bahwa setiap orang berhak atas ketertiban
sosial dan internasional dengan menjalankan kewajibannya dalam
masyarakat, adalah sesuatu yang telah lama dinyatakan oleh Alkitab.
Hak Kebebasan Beragama dalam Deklarasi Universal HAM
merupakan hak yang harus dihormati oleh semua manusia, hal tersebut
dinyatakan secara tegas dalam Deklarasi Universal HAM dalam pasal 1
dan 18 yang berbunyi:
Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat
dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul
dalam semangat persaudaraan (pasal 1). Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini meliputi
kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan
secara pribadi, atau bersama-sama dengan orang-orang lain dan secara
terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya
dalam pengajaran, praktek, ibadah dan kataatan (pasal 18).39
Pengakuan kebebasan beragama secara internasional nyata dengan
adanya pengakuan kebebasan beragama dalam “The Peace of
Westphalia” tahun 1648 yang mengakhiri peperangan 30 tahun. Pada
waktu itu ada perlindungan bagi orang-orang Protestan dalam negara
Katolik, demikian juga orang-orang Katolik dalam negara Protestan.
Westphalia pada waktu itu mulai memberikan kebebasan beragama.40
Pemisahan total antara agama dan negara yang merupakan kelahiran
negara sekuler dipelopori oleh pengakuan “Peace of Westphalia” dan
pengakuan ini jugalah yang mempengaruhi lahirnya negara sekuler
Amerika Serikat yang menghargai kebebasan beragama.
Dokumen Peace of Westphalia juga dianggap sebagai karya manusia
modern. Sehingga pangakuan kebebasan beragama juga dianggap produk

39
James.W Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), hl. 262-65.
40
Leonard.M. Hammer, The InternationalHuman Rights to Freedom of Conscience
(Dartmouth: Ashgate, 2001), hl.14-5.
178 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

masyarakat sekuler. Mengenai kesepakatan Peace of Westphalia, Thamrin


Amal Tomagola menjelaskan seperti berikut:
Kesepakatan itu sendiri sebenarnya merupakan anak kandung dari
proses Renaissance yang telah bergulir sejak abad 13 di sana. Proses
ini secara signifikan mempreteli kekuasaan gereja dan memunculkan
negara sekuler. Negara sekuler ini selain mengharuskan pemisahan
agama dari negara, ia juga didirikan berlandaskan asumsi bahwa
individualisme telah menjadi kenyataan dan berperan nyata sebagai
pilar-pilar negara. Dicanangkannya individu-individu yang mandiri ini
secara asertif mampu melepaskan diri baik dari ikatan dan tekanan
kolektiva suku maupun agama (umat).41
Pandangan Thamrin Amal Tomagola nampak sejalan dengan Rhoda
yang menganggap bahwa HAM, secara khusus kebebasan beragama
merupakan karya masyarakat sekuler. Sebagaimana Rhoda yang tidak
mencoba melihat perkembangan pemikiran Barat yang dipengaruhi oleh
kekristenan dan Yahudi, demikian juga Thamrin tidak melihat bahwa
perkembangan pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya kesepakatan
“Peace of Westphalia,” yaitu pengaruh kekristenan dan Yahudi yang
mempengaruhi pemikiran Barat. Penafsiran HAM sering dianggap
merupakan produk sekuler pada saat ini juga karena teolog-teolog Kristen
kurang memaparkan bahwa HAM dipengaruhi oleh kekristenan karena
dorongan untuk menjelaskan HAM dari sudut pandang kekristenan baru
mulai sekitar tahun 1970.42
Pengakuan hak kebebasan beragama sesungguhnya tidak boleh
dianggap sebagai karya manusia sekuler semata-mata, dan dokumen
“Peace of Westphalia” bukan semata-mata lahir oleh pemikiran
Renaissance, tetapi juga karena lahirnya Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat yang memiliki pengaruh terhadap dimasukkannya
kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM yang dianggap
dilatarbelakangi oleh pikiran John Locke, seorang filsuif jaman modern
yang juga yang adalah seorang Kristen.43 Pernyataan Hak Kebebasan
Beragama yang dituangkan dalam Deklarasi Amerika Serikat dilindungi
oleh negara yang memisahkan antara agama dan negara (negara sekuler)

41
Tamrin Amal Tomagola, Komunalisme Berbaju Nasionalisme, makalah seminar
mengenang 100 tahun Dr. Yohanes Leimena. Jakarta, Balai Pustaka, 24 September 2005.
42
Huber, Religious Human Rights., hl. 47.
43
Lih. W.Cole Durham, “Perspectives on Religious Liberty: A Comparative
Framework” dalam Religious Human Rights in Global Perspectives, Legal Perspectives,
ed by White John and John D. Von der Veyner (London: Martinus Nijhoff Pub, 1966), hl.
3-12.
JURNAL TEOLOGI STULOS 179

dan konsep tersebut dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam
tulisannya yang berjudul “A Letter Concerning Toleration” yang dia tulis
ketika berada dalam pengasingan di Belanda tahun 1965.44 Mengenai
pemisahan antara agama dan negara, Locke menjelaskan sebagai berikut:
Kekuasaan sipil akan sama di mana saja: di tangan seorang raja
Kristen, kekuasaan itu tidak boleh memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada gereja, dibanding dengan seorang kafir… Dari
mana pun asalnya kekuasaan tersebut, karena bersifat gerejawi,
kekuasaan tersebut harus terbatas dalam batas-batas gereja, dan
dengan cara apa pun tidak boleh diperluas ke urusan-urusan sipil;
karena gereja itu dalam dirinya sendiri adalah mutlak terpisah dan
berbeda dari masyarakat. Batas-batas di kedua belah pihak adalah
tetap dan tak dapat digoyahkan.45
Hak kebebasan beragama merupakan pengakuan yang tertua secara
internasional dari elemen-elemen HAM lainnya, namun ternyata
penegakkan kebebasan beragama justru merupakan yang paling lambat
dari pada hak-hak lainnya, ini bisa terjadi karena agama sering kali
dimanipulasi untuk kepentingan politik. 46 Faktanya, hampir semua
masyarakat penganut agama mayoritas di sebuah negara pernah
melakukan kekerasan terhadap masyarakat penganut agama lain
(minoritas). Penguasa di negara yang menjadikan Kristen sebagai agama
negara juga didapati melakukan kekerasan atau penghukuman terhadap
warga yang dinilai menganut ajaran sesat (bidat) dengan sangat kejam.
Tindakan intoleran itu dilakukan oleh penganut agama Islam terhadap
agama-agama lain. Dalam dunia Islam terjadi pembatasan peran sosial
secara spesipik bagi penganut agama di luar Islam. Kekerasan terhadap
penganut agama lain juga dilakukan oleh agama Kongfucu di Cina. Di
Jepang, Buddha sebagai agama negara juga tidak bersikap toleran dengan
agama-agama lain. 47 Jika melihat kekerasan yang mengatasnamakan
agama tampak bahwa ada faktor lain yang menyertakan kekerasan agama
sebagaimana dikatakan oleh Thomas Santoso:
Fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan kekerasan
apabila berhubungan dengan faktor lain, misal kepentingan dan
penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalaharahkan
44
John Locke, “A Letter Concerning Toleration” dalam. Demokrasi Klasik dan
Modern, Revitch, Diane & Thernstrom, Abigail, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005), hl. 55.
45
Ibid., hl. 61-63.
46
Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, ( Jakarta: Pustaka Utan Kayu,
2002), hl.6.
47
Leonard M Hammer, The International Human Right, hl. 8-12.
180 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama
propetis (nabi), seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan
kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Dari sisi internal,
agama profetis cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin
tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena pemahaman
agama atau bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu
alasan yang mendasari kekerasan politik agama.48
Penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap agama-agama
tertentu dilakukan untuk melestarikan kekuasaan oknum yang berkuasa.
Agama-agama nasibnya ditentukan oleh kekuasaan, maka ketika
agama-agama tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah, agama-agama melakukan tindakan yang inkonstitusional
untuk mendapatkan akses tersebut, terjadilah tindakan kekerasan antar-
agama.
Perlindungan Hak Kebebasan Beragama yang telah diakui secara
internasional jauh lebih awal dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam
implementasinya ternyata menjadi sesuatu yang paling sulit, apalagi
dengan adanya perbedaan pandangan mengenai Hak Kebebasan
Beragama (paham universal dan relativisme HAM), baik yang berasal
dari negara atau kelompok agama tertentu. Namun demikian usaha untuk
menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami perkembangan. Hal
ini terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948, kemudian
dibuat suatu covenant on human rights tahun 1966. Kemudian pada tahun
1981 ada hal yang lebih menggembirakan yaitu adanya “Declaration on
the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on
Religion or Belief” Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat
menunjukan bahwa pelanggaran hak kebebasan beragama masih terus
berlangsung dan perlu penanganan terus-menerus secara lebih serius.
Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya deklarasi tersebut
menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kerinduan miliaran
manusia di bumi ini, dan harus terus diperjuangkan.

KESIMPULAN
Hak Kebebasan Beragama sebagaimana dituangkan dalam deklarasi
universal HAM adalah sesuatu yang telah diakui oleh Alkitab, jauh
sebelum deklarasi HAM itu di kumandangkan. Umat Kristiani bukan

48
Thomas Santoso, Kekerasan, hl. 6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 181

hanya tidak memiliki keberatan terhadap pasal 1 dan 18 dari Deklarasi


Universal HAM tentang kebebasan beragama, tetapi mengakuinya
sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan dan tidak bisa dirampas oleh
manusia dengan cara apapun.
Pengakuan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani juga
mempunyai cakupan yang lebih luas dari Deklarasi Universal HAM,
karena kekristenan bukan saja mengakui setiap individu mempunyai hak
untuk memilih agama dan kepercayaan, di mana ada perbedaan antara
agama dan kepercayaan, tetapi dalam perspektif Kristen semua manusia
beragama, karena hidup itu sendiri adalah agama, maka tidak seoranpun
yang tidak beragama. Semua manusia berhak berdasarkan kedaulatan
individunya sendiri untuk memilih agama maupun melepaskannya tanpa
boleh dihalangi oleh negara. Sebaliknya negara harus menjamin kebebasan
individu untuk dapat menikmati hak-hak nya, tanpa mengganggu hak-hak
orang lain.
182 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Anda mungkin juga menyukai