PENDAHULUAN
Hak Kebebasan beragama sebagaimana yang dituangkan di dalam
Deklarasi Universal HAM diakui sebagai Deklarasi modern mengenai
kemanusia modern, karena baru dicetuskan pada abad ke-20 M.
Pernyataan ini tidak boleh diartikan bahwa kekristenan sebagai agama
yang hadir jauh sebelum momen pendeklarasian tersebut, tidak memiliki
pengakuan atas hak-hak kemanusiaannya, khususnya tentang kebebasan
beragama.
Dalam sejarah kekristenan tercatat adanya intoleransi agama Kristen
terhadap agama-agama lain. Namun sesungguhnya itu bukanlah bagian
dari kebenaran kristiani. Bahkan jika ditelusuri secara lebih mendalam isi
dari Deklarasi Universal tersebut, sesungguhnya, sangat dipengaruhi
pemikiran kristiani. Itulah sebabnya jika kekristenan mendukung HAM,
itu bukanlah suatu kompromi, melainkan suatu perjuangan nilai yang
didasarkan pada Alkitab. Tulisan ini akan menilai “hak kebebasan
beragama dari sudut pandang Iman Kristen; yang secara khusus
memfokus pada pasal 1 dan 18.
1
lih Scott David, Hak Asasi, hl. 15. Barulah seusai malapetaka perang dunia ke II,
hukum hak asasi manusia Internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas,
kekejaman NAZI terhadap penduduknya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang
usaipun sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup
komitmen untuk melindungi hak asasi manusia,
2
A. Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusi, hl. 85.
3
Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri ( Jakarta:
Obor), hl. 6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 163
4
B.S. Mardiatmaja, “Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang Teologi Katolik”
dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, E.Shobirin Nadj dan Naning Mardinah, ed.
(Jakarta: LP3ES, 2000), hl. 73.
5
David Weissbrodt, “Hak-Hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Perspektif
Kesejarahan” dalam Hak-Hak Asasi Manusia, hl. 2. Kita dapat menelusuri asal-usul
hak-hak asasi manusia itu kepada teori-teori filsafat tentang “hukum kodrati” suatu
hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif negara. Menurut teori ini, individu
sebagai manusia membawa dalam dirinya sendiri sejak lahir hak-hak asasi tertentu yang
tidak dapat dihilangkan.
6
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Gramedia, 1996), hl. 261.
7
George Clack, ed., Hak Asasi manusia, terj. (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hl. 4.
“Teori Lock itu mulai dengan suatu keadaan alam pra sosial di mana individu-individu
yang sama memiliki hak-hak kodrati akan kehidupan, kebebasan, dan harta warisan.
Namun karena tiadanya pemerintahan, hak-hak ini sedikit saja nilainya. Hak-hak itu
hampir-hampir mustahil dilindungi dengan cara tindakan individu, dan pertengkaran-
pertengkaran mengenai hak-hak itu sendiri merupakan penyebab konflik yang hebat. Oleh
karena itu, rakyat membentuk masyarakat, dan masyarakat menciptakan pemerintahan
guna memungkinkan mereka sendiri menikmati hak-hak kodrati”
164 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA
8
Rhoda E.Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. (Jakarta:
Grafiti, 2000), hl. 19.
9
Ibid., 54.
10
Wolfgang Huber, “Human Rights and Biblical Legal Thought” dalam Religious
Human Rights in Global Perspective: Legal Perspectives, John White Jr. dan Johan
D.Von der Veyner, ed.. (London: Martinus Nijhoff Publisher), hL. 60.
JURNAL TEOLOGI STULOS 165
11
Huber, Religious Human Rights. hl. 51.
12
Ibid., 52.
13
Gunawan Setiardja, Hak-hak asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hl. 83.
166 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA
14
Davis, Hak-Hak asasi Manusia, hl. 8.
15
Scott Davidson, Hak-hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Grafiti, 1999), hl. 2.
16
Setiarja, Hak-hak asasi Manusia, hl. 84. “Pasal 2 Deklarasi Perancis menyatakan
bahwa: Tujuan masyarakat politik adalah mempertahankan hak-hak manusia yang alami
dan yang tidak dapat diganggu gugat. Hak-hak ini meliputi kebebasan, milik, keamanan
dan perlawann menentang penindasan” .
JURNAL TEOLOGI STULOS 167
17
Lih Jerome Samuel dan Sidney Peyroles, ed., Dua Abad Perkembangan
Undang-Undang Dasar Perancis (Yogyakarta: Duta Wacana Press, 1991), hl. 1-7.
18
S. Baut Pau, Benny Herman K, ed., Kompilasi Hak Asasi Manusia (Jakarta:
YBHI, 1998), hl. 5.
19
Setiardja, Hak-Hak Asasi., hl. 74.
20
Davidson, Hak-hak Asasi., hl. 2.
168 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA
sama dan semua manusia dilahirkan bebas”.21 Tetapi apabila ditarik lebih
jauh lagi keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kesamaan dan
kebebasan sudah ada sejak adanya manusia. Alkitab Perjanjian Lama
melaporkan bahwa manusia diciptakan mulia sebagai gambar Allah
(Kejadian 1:26). Jadi, martabat manusia yang mulia bukan ada dengan
sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang dikaruniai oleh Allah. Tidak
seorang pun berhak mencabut hak-hak manusia kecuali pencipta itu
sendiri. Karena itu semua manusia harus hidup dalam penghormatan
terhadap sesamanya, karena ia diciptakan sederajat adanya.
21
A.M.Fatwa, “Hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama Dan Ketahanan
Nasional” dalam HAM Dan Pluralisme Agama, Anshari Thayib dkk, ed, (Surabaya:
PKSK), hl. 28.
22
Franz Magnis Suseno, “Hak Asasi Manusia Dalam Theologi Katolik
Kontemporer” dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, Shobirin Nadj, Naning Mardinah,
ed., ( Jakarta: Cesda LP3ES), hl. 86.
23
Ibid., 87.
24
Ravitch, Diane dan Thernsrom, Abigail, ed, Demokrasi: Klasik Dan Modern, (
Jakarta: Obor, 2005), hl. 54-71.
25
Davies, Hak Asasi Manusia, hl. 35.
JURNAL TEOLOGI STULOS 169
Sumber HAM
Konsep hukum kodrati yang menjadi dasar bagi sumber dari HAM
merupakan sesuatu yang telah diakui sejak lama dalam masyarakat
Kristen. Hanya saja dalam pandangan kristiani, HAM tidak mungkin
dimengerti dengan baik tanpa melihatnya dalam hubungan dengan Allah
pencipta manusia. Jadi dasar dari penerimaan akan manusia yang
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama bergantung pada
pernyataan Allah sendiri. Kejadian 1: 27 menjelaskan bahwa manusia
diciptakan segambar dengan Allah dan manusia berbeda dari ciptaan
lainnya, manusia adalah raja atas dunia yang adalah ciptaan Allah. Dan
kekuasaan manusia sebagai raja itu diberikan oleh Allah, sehingga
manusia adalah wakil Allah dalam dunia ini. Dan Allah menciptakan
manusia laki-laki dan perempuan, keduanya berbeda namun berada dalam
kesederajatan. Dari pernyataan Alkitab tentang martabat manusia yang
mulia dan memiliki kesedarajatan tersebut dapat dipahami bahwa HAM
dalam persfektif Kristiani, pertama, mengakui bahwa martabat manusia
berasal dari Allah dan tak tertanggalkan, karena semua manusia
diciptakan oleh Allah. Kejatuhan manusia dalam dosa juga tidak
menghilangkan gambar Allah meski mengalami kerusakan, tetapi karena
kejatuhan terjadi setelah penciptaan, maka pada hakikatnya semua
manusia adalah sama-sama mulia. Agama apapun yang dipegang
seseorang tidak mengurangi kemuliaannya sebagai manusia, karena
martabat manusia itu tak tertanggalkan. Kedua, Pernyataan bahwa
26
John Witte Jr., “Moderate Religious Liberty In Theology Of John Calvin” dalam
Religious Liberty in Western Thought, Noel B. Reynolds and W. Cole Durham Jr., ed.
(Atlanta: Scholars Press, 1996), hl. 84.
170 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA
27
Lih. John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen (Jakarta:
YKBKasih/OMF, 1984), hl. 210, 11.
28
Stephen Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Momentum,
1999), hl. 7.
JURNAL TEOLOGI STULOS 171
29
kewajiban kita untuk menghormati hak-hak orang lain itu.
Manusia yang memiliki hak-hak yang sama tersebut juga memiliki
kewajiban yang sama pula, yaitu untuk menjaga hak-hak orang lain.
Pandangan kristiani mengenai HAM ini secara nyata tertuang dalam
Deklarasi Perancis tentang Deklarasi Hak Manusia dan Warga negara
yang menjelaskan bahwa kebebasan adalah melakukan segala sesuatu
yang tidak merugikan orang lain. Dan batas-batas pelaksanaan hak
kodrati setiap manusia dibatasi oleh jaminan pelaksanaan hak kodrati.
Dan batas-batas tersebut ditentukan oleh hukum.
30
Eka Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 145.
JURNAL TEOLOGI STULOS 173
31
Bdk. Sidney Greidanus, Human Rights in Biblical Perspective, hl. 28-31.
32
Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia, hl. 33.
33
Tierney, Brian, Religious Right, hl. 242.
34
Tad Stahnke, J. Paul Martin, Religion and Human Rights: Basic Document (New
York: Columbia University, 1998), hl. 205-19.
JURNAL TEOLOGI STULOS 175
36
Ozment, Steven, “Martin Luther on Religious Liberty.” Dalam Religious Liberty
in Western Thoght, Noel B.Reynolds and W.Cole Durham Jr, ed. (Georgia: Scholars
Press, 1996), hl. 75-82.
37
Kuyper, Lecturer on Calvinism, hL. 114.
38
Ibid., 117.
JURNAL TEOLOGI STULOS 177
39
James.W Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), hl. 262-65.
40
Leonard.M. Hammer, The InternationalHuman Rights to Freedom of Conscience
(Dartmouth: Ashgate, 2001), hl.14-5.
178 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA
41
Tamrin Amal Tomagola, Komunalisme Berbaju Nasionalisme, makalah seminar
mengenang 100 tahun Dr. Yohanes Leimena. Jakarta, Balai Pustaka, 24 September 2005.
42
Huber, Religious Human Rights., hl. 47.
43
Lih. W.Cole Durham, “Perspectives on Religious Liberty: A Comparative
Framework” dalam Religious Human Rights in Global Perspectives, Legal Perspectives,
ed by White John and John D. Von der Veyner (London: Martinus Nijhoff Pub, 1966), hl.
3-12.
JURNAL TEOLOGI STULOS 179
dan konsep tersebut dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam
tulisannya yang berjudul “A Letter Concerning Toleration” yang dia tulis
ketika berada dalam pengasingan di Belanda tahun 1965.44 Mengenai
pemisahan antara agama dan negara, Locke menjelaskan sebagai berikut:
Kekuasaan sipil akan sama di mana saja: di tangan seorang raja
Kristen, kekuasaan itu tidak boleh memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada gereja, dibanding dengan seorang kafir… Dari
mana pun asalnya kekuasaan tersebut, karena bersifat gerejawi,
kekuasaan tersebut harus terbatas dalam batas-batas gereja, dan
dengan cara apa pun tidak boleh diperluas ke urusan-urusan sipil;
karena gereja itu dalam dirinya sendiri adalah mutlak terpisah dan
berbeda dari masyarakat. Batas-batas di kedua belah pihak adalah
tetap dan tak dapat digoyahkan.45
Hak kebebasan beragama merupakan pengakuan yang tertua secara
internasional dari elemen-elemen HAM lainnya, namun ternyata
penegakkan kebebasan beragama justru merupakan yang paling lambat
dari pada hak-hak lainnya, ini bisa terjadi karena agama sering kali
dimanipulasi untuk kepentingan politik. 46 Faktanya, hampir semua
masyarakat penganut agama mayoritas di sebuah negara pernah
melakukan kekerasan terhadap masyarakat penganut agama lain
(minoritas). Penguasa di negara yang menjadikan Kristen sebagai agama
negara juga didapati melakukan kekerasan atau penghukuman terhadap
warga yang dinilai menganut ajaran sesat (bidat) dengan sangat kejam.
Tindakan intoleran itu dilakukan oleh penganut agama Islam terhadap
agama-agama lain. Dalam dunia Islam terjadi pembatasan peran sosial
secara spesipik bagi penganut agama di luar Islam. Kekerasan terhadap
penganut agama lain juga dilakukan oleh agama Kongfucu di Cina. Di
Jepang, Buddha sebagai agama negara juga tidak bersikap toleran dengan
agama-agama lain. 47 Jika melihat kekerasan yang mengatasnamakan
agama tampak bahwa ada faktor lain yang menyertakan kekerasan agama
sebagaimana dikatakan oleh Thomas Santoso:
Fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan kekerasan
apabila berhubungan dengan faktor lain, misal kepentingan dan
penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalaharahkan
44
John Locke, “A Letter Concerning Toleration” dalam. Demokrasi Klasik dan
Modern, Revitch, Diane & Thernstrom, Abigail, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005), hl. 55.
45
Ibid., hl. 61-63.
46
Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, ( Jakarta: Pustaka Utan Kayu,
2002), hl.6.
47
Leonard M Hammer, The International Human Right, hl. 8-12.
180 IMAN KRISTEN DAN KEBEBASAN BERAGAMA
baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama
propetis (nabi), seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan
kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Dari sisi internal,
agama profetis cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin
tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena pemahaman
agama atau bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu
alasan yang mendasari kekerasan politik agama.48
Penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap agama-agama
tertentu dilakukan untuk melestarikan kekuasaan oknum yang berkuasa.
Agama-agama nasibnya ditentukan oleh kekuasaan, maka ketika
agama-agama tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah, agama-agama melakukan tindakan yang inkonstitusional
untuk mendapatkan akses tersebut, terjadilah tindakan kekerasan antar-
agama.
Perlindungan Hak Kebebasan Beragama yang telah diakui secara
internasional jauh lebih awal dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam
implementasinya ternyata menjadi sesuatu yang paling sulit, apalagi
dengan adanya perbedaan pandangan mengenai Hak Kebebasan
Beragama (paham universal dan relativisme HAM), baik yang berasal
dari negara atau kelompok agama tertentu. Namun demikian usaha untuk
menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami perkembangan. Hal
ini terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948, kemudian
dibuat suatu covenant on human rights tahun 1966. Kemudian pada tahun
1981 ada hal yang lebih menggembirakan yaitu adanya “Declaration on
the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on
Religion or Belief” Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat
menunjukan bahwa pelanggaran hak kebebasan beragama masih terus
berlangsung dan perlu penanganan terus-menerus secara lebih serius.
Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya deklarasi tersebut
menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kerinduan miliaran
manusia di bumi ini, dan harus terus diperjuangkan.
KESIMPULAN
Hak Kebebasan Beragama sebagaimana dituangkan dalam deklarasi
universal HAM adalah sesuatu yang telah diakui oleh Alkitab, jauh
sebelum deklarasi HAM itu di kumandangkan. Umat Kristiani bukan
48
Thomas Santoso, Kekerasan, hl. 6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 181