Anda di halaman 1dari 7

Lumajang, Kota Cagar Budaya Yang Teraniaya

Secara geografis Lumajang terletak di titik Co 112 derajat 53′ BT dan 7 derajat 54′ - 8 derajat 23′ LS.
Dengan luas wilayah 1. 790, 90 km persegi dan populasi sebanyak 1. 006. 458 jiwa (2010). Sebelah utara
berbatasan dengan Probolinggo, Malang di sebelah barat, timur adalah Jember, dan Samudera Hindia di
sisi selatan. Bentuk keseluruhan wilayah Lumajang serupa bidang trapessium dan segi empat, dengan
vulkan puncak Semeru yang semburannya bisa mencapai nol s/d 25 meter. Berkat semburan gunung
yang sangat agresif ini, Lumajang termasuk wilayah yang rentan sekaligus sangat berharga karena
tanahnya yang luar biasa subur dan potensi tambang yang bikin ngiler para investor dari luar kota
maupun luar negeri. Hal yang tersebut terakhir adalah persoalan lain yang masih menyisakan ‘luka’ bagi
masyarakat pesisi selatan, seperti misalnya Wotgalih, yang masih terus berjuang supaya izin
penambangan PT. Aneka Tambang segera dicabut sebelum desa mereka dilenyapkan tsunami akibat
menghilangnya bukit-bukit pasir yang sebelum tahun 1998 melindungi mereka dari banjir bah tahun
1993 yang menerjang Wotgalih.

Wotgalih adalah satu contoh bagus sebagai wilayah dengan sumber daya alam yang berlimpah, dan
Wotgalih hanya bagian kecil saja dari keseluruhan wilayah Lumajang yang multi potensi. Bahwa
Lumajang atau Lemajang yang memiliki nama kuna Lmah Hyang, menurut hasil penelitian Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Sosial budaya “Panji Warama” Yogyakarta, bahwa melihat kesuburan tanah
dan kawasan yang strategis, maka sejak dahulu kala wilayah Lumajang selalu menjadi idaman penguasa
untuk memilih ibukota pemerintahan di kawasan ini. Hal ini senada dengan pendapat banyak sejarawan
di Lumajang khususnya dan Tapal Kuda umumnya, bahwa Lumajang adalah ibu kota Virabhumi atau
yang kemudian dikenal dengan nama Blambangan menjelang dan pasca kolonial.

Sebagai pusat kota yang masih menyisakan nama kuna “Kutorenon” ( Kuto artinya kota dan Rani/Reno
artinya Ratu ) yang saat ini masuk dalam wilayah kecamatan Sukodono, tentu bukanlah hal kebetulan jika
di kawasan ini terdapat situs Biting atau benteng yang masih bisa kita dapati bekas-bekasnya.
Muhlenfield, seorang sejarawan Belanda yang sekaligus asisten residen di Lumajang sejak 20 September
1920, mencatat dalam laporannya pada Gubernur Jenderal di Batavia, tentang keberadaan sebuah kota
kuno yang dibentengi dengan 6 bastion ( menara pengintai ) berketinggian kurang lebih 8 meter dan
meliputi wilayah seluas 130 hektar. Lebih lanjut kata Muhlenfield, sisa-sisa yang berasal dari abad ke 13
telah ditemukan di situs ini yang telah hancur karena letusan gunung.

sumber: museum situs Biting


sumber: idem
sumber:idem

Karena banyaknya temuan ini maka kolonial menyebut Lumajang sebagai Wilayah Situs. Hal ini
sebagaimana yang tersebut dalam Data Sheet Peta Topografi Loemajang Nomor 58/XLIII-A, terbitan
1925, memuat daftar penemuan sejumlah prasasti dan beberapa bekas candi.
Dalam Sejarah Lumajang ( Kuntowijoyo dkk, Panji Warama, 1996 ) mengabarkan tentang temuan-
temuan peninggalan purbakala di Lumajang dalam jumlah yang sangat banyak dan beragam. Baik berupa
temuan yang bergerak mapun benda yang tidak bergerak. Hal ini berdasarkan makalah yang ditulis oleh
Drs. Abdul Khaliq Nawawi pada tahun 1980 yang berjudul Keadaan Lingkungan Arkeologis Daerah
Lumajang. Pada makalah yang ditulis dalam rangka penentuan hari jadi Lumajang ini, Abdul Khaliq
menyebutkan hasil infentarisasinya terkait jumlah situs yang ditemukan di Lumajang sebanyak 161 buah.
Situs-situs ini belum termasuk temuan-temuan baru yang bermunculan pasca tahun 80-an, misalnya
situs Randu Agung yang baru ditemukan pada tahun 1993.

Dr. Kuntowijoyo,dkk. menulis, bahwa temuan-temuan dalam penelitian arkeologi yang mereka lakukan
di Lumajang ini merupakan data yang SANGAT LANGKA, sehingga menjadi identitas adanya realita,
bahwa Lumajang merupakan wilayah yang dapat dikaitkan dengan data-data arkeologi yang selama ini
banyak tersimpan, baik di dalam negeri atau di luar negeri ( Belanda, India, Inggris, Portugal, dan
Perancis ). Dan saya bisa menambahkan data-data dari penulis Arab dan Persia, salah satunya Kitab Al
Madkhal karya Sayid Alwi bin Thahir yang ditulis ulang oleh Sayid Muhammad Dhial Shahab tahun 1986,
dimana di buku banyak menyebutkan sejarah kuna Jawa dan secara khusus menyebutkan Pelabuhan
Banger Probolinggo yang di masa Klasik masuk dalam teritorial Lamajang.

Dengan semua data yang tak terbantahkan ini, entah di masa kuna hingga era perlawanan mengusir
penjajah, Lumajang selalu menjadi kota yang sangat penting. Mengingat potensi sejarahnya yang luar
biasa, sudah seharusnyalah dan sewajarnyalah jika kota Lumajang dan situs-situs Purbakalanya dijadikan
cagar budaya. Sehingga hal-hal yang logikanya tak perlu terjadi, seperti misalnya ‘pemusnahan’ situs
Biting akibat pembangunan perumnas yang mendapat izin pemda setempat dan didukung oleh BP3
Trowulan, bisa tergugah dan insyaf mengingat nilai-nilai kesejarahan kota Lumajang dan peninggalannya
yang berharga.
Surat Biadab dari BP3 Trowulan.
Kepada Masyarakat Lumajang hingga Blambangan Banyuwangi pada khususnya, dan masyarakat
Indonesia seluruhnya, tolong bantu kami menyuarakan perjuangan menjadikan terutama Situs Biting,
dan situs-situs lainnya sebagai cagar budaya.

Salam Budaya!

Rida Fitria

DIPOSTING OLEH YASIRMASTER  DI 12:49 AM  

Anda mungkin juga menyukai