Anda di halaman 1dari 5

Runtuhnya Majapahit

SIRNA HILANG KERTANING BUMI

Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa bangsa Jawa dahulu kala memiliki tradisi kalender yang
biasa disebut perhitungan kalender candra sengkala. Perhitungan itu berupa kata symbol yang bernilai
angka tetap. Kalender inilah yang banyak berjasa menjelaskan berbagai peristiwa sejarah nusantara.

Kali ini saya ingin mengungkapkan sebuah perhitungan Candra Sengkala yang menjelaskan kejatuhan
kerajaan Majapahit, yaitu sengkala yang berbunyi, Sirna Hilang Kertaning Bumi. Sirna bermakna nol atau
kosong, Hilang berarti nol, Kertaning berarti empat, Bumi bermakna satu. Maka dapat kita lihat ada
angka 0041. Untuk membacanya kita harus membacanya dengan terbalik: 1400.Bila kita ingin
mengetahui artinya dalam tahun masehi, maka kita harus menambahnya dengan angka 78. Sehingga
kita mendapatkan angka 1478. Tahun 1478 merupakan puncak dari kejatuhan imperium Majapahit.

Sengkala berasal dari kata “saka kala” (tahun saka) yang diberi imbuhan - an kemudian menjadi
sengkalan. Sengkalan didefinisikan sebagai angka tahun yang dilambangkan dengan kalimat, gambar,
atau ornamen tertentu. Bangsa barat menyebutnya sebagai kronogram. Penyebutan angka tahun
mengunakan kalimat dimaksudkannya agar para generasi penerus mudah mengingat peristiwa yang
telah terjadi pada tahun yang dimaksud. Jadi, sengkalan punya dua maksud : angka tahun, dan peristiwa
apa yang terjadi tahun itu. suatu cara yang sangat cerdas warisan leluhur.

Karena tahun Caka/Syaka/Saka menggunakan garis edar Matahari sebagai refererensi, maka suka
disebut surya sengkala. Kalau tahun Jawa atau tahun Hijriyah, maka suka disebut candrasengkala karena
menggunakan garis edar Bulan sebagai referensi (candra = Bulan). Para leluhur sudah menyusun aturan
sedemikian rupa untuk menjadi pedoman bagaimana membuat suryasengkala. Karena sengkalan
menggunakan kalimat sebagai angka, maka kata-kata tertentu punya “watak bilangan” atau “watak
kata-kata” masing masing. Berikut adalah aturannya (diterjemahkan dari bahasa Kawi atau Jawa).

• Angka 1 : benda yang jumlahnya hanya satu, benda yang berbentuk bulat, manusia.

• Angka 2 : benda yang jumlahnya ada dua, misalnya tangan, mata, telinga.

• Angka 3 : api atau benda berapi.

• Angka 4 : air dan kata-kata yang artinya “membuat”.


• Angka 5 : angin, raksasa, panah.

• Angka 6 : rasa, serangga, kata-kata yang artinya “bergerak”.

• Angka 7 : pendeta, gunung, kuda).

• Angka 8 : gajah, binatang melata, brahmana.

• Angka 9 : dewa, benda yang berlubang.

• Angka 0 : hilang, tinggi, langit, kata-kata yang artinya “tidak ada”.

Aturan lainnya adalah bahwa sengkalan punya sandi, yaitu kata terakhir di kalimat sengkalan menjadi
angka urutan pertama, sedangkan kata pertama di kalimat sengkalan menjadi angka urutan terakhir
pada tahun sengkalan.

Mari kita analisis “Sirna Ilang Kertaning Bumi”. Bila dilihat watak kata-kata dan watak bilangannya, maka
“sirna” = hilang = angka 0, “ilang = hilang” angka 0, “kertaning/kerta ning” = dibuat = pekerjaan
membuat = angka 4, “bumi/bhumi” = bumi = angka 1. Analisis sengkalan ini harus didampingi buku buku
kamus Jawa Kuno (Kawi) susunan Poerwadarminta, Wojowasito, atau Purwadi. Suryasengkala “Sirna
Ilang Kertaning Bumi” = 0041, ingat aturan sandi sengkalan, maka tahun yang dimaksud dengan “Sirna
Ilang Kertaning Bumi” adalah 1400 Caka atau 1478 M. Sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi”
dimaksudkan pengarang Babad tanah Jawi untuk menggambarkan runtuhnya/hilangnya Kerajaan
Majapahit pada tahun 1400 Caka atau 1478 M.

Ada yang menarik di sini : “Kertaning Bumi” Kerta/Karta = dibuat/dijadikan. Misalnya : Jayakarta = dibuat
jaya/berhasil, Yogyakarta = dibuat baik (seyogyanya = sebaiknya). Maka, “kertaning Bumi” terbuka untuk
ditafsirkan “dibuat (oleh) Bumi” atau “dibuat (di) Bumi”. Kata “ning” dalam bahasa Kawi bisa banyak
punya arti sebagai kata depan atau kata pembuat kata kerja.

Apakah “Sirna Ilang Kertaning Bumi” bisa ditafsirkan “Hilang Musnah Dibuat Bumi” ? kita bisa
menduganya : bencana dari Bumi. Kaitkan ke Babad Pararaton, bencana itu adalah Pagunung Anyar alias
erupsi gununglumpur. Kronik sejarah macam Babad Tanah Jawi, Babad Pararaton, Kunci sandi
Sengkalan, dan geologi Delta Brantas kini dan dulu cukup kuat menunjuk bahwa bencana alam adalah
faktor penting yang harus ditelusuri dalam Sandhyakala ning Majapahit - Senja Kala di Majapahit.
Majapahit runtuh disebabkan banyak faktor salah satunya adalah situasi politik di tanah Jawa pada saat
itu dan sirnanya semangat maritime di kalangan para pembesar (para adipati) yang berada dibawah
naungan Majapahit. Arus yang datang dari luar selalu membawa perubahan sekaligus kepentingan yang
termasuk di dalamnya adalah kepentingan niaga. Secara makna kalimat, Sirna Hilang Kertaning Bumi
berarti sirna dan hilangnya kejayaan bumi. Ungkapan kalender tradisional ini, selain menjelaskan 1400
saka, juga memiliki keterangan sejarah. Ada keserasian antara makna waktu dengan histories kejatuhan
Majapahit.

Disinilah bedanya tradisi kalender Candra Sengkala dengan tradisi kalender lain. Memang setiap tradisi
penanggalan berbeda dan masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Hanya Candra Sengkala,
saya lihat cukup menarik dan tidak patut kita lupakan begitu saja. Meskipun jaman sekarang sudah tidak
digunakan lagi, tetapi minimal ada sebuah kesadaran dalam diri masyarakat nusantara bahwa Candra
Sengkala merupakan refleksi dari tingginya peradaban masyarakat Jawa ratusan tahun silam. Tidak ada
alasan untuk meremehkan masyarakat tradisional. Para leluhur kita jugalah yang merintis tata cara
hidup yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, semisal gotong royong.

Terbukti benar, sejak tahun Sirna Hilang Kertaning Bumi (1400 saka), kejayaan bangsa kita mulai luntur.
Bangsa asing mulai mendominasi dan menguasai segala aspek. Sumberdaya alam kita dikuras dengan
sedemikian rupa hingga menjadikan bangsa nusantara menjadi terjajah. Saat ini pun bangsa kita belum
menjadi bangsa yang jaya sebagaimana kejayaan Majapahit. Kejayaan benar-benar sirna di bumi
nusantara. Untuk kembali merebut kejayaan yang sirna itu, kita perlu kerja keras dan berusaha
semaksimal mungkin bangkit dari kemunduran ini. Kita berdayakan potensi yang ada, memanfaatkan
peluang pembangunan yang mengarah pada kemajuan dan meningkatkan aspek penguat sumberdaya
manusia. Saya memandang, Indonesia baru bangkit berjaya jikalau muncul kembali trah Majapahit

Untuk memastikan hal ini memang tidak gampang.

Maka dari itu, semangatnya yang kita ambil. Majapahit tidak hanya kuat dalam hal sarana prasarana.
Selain armada perangnya tangguh, Majapahit juga memiliki sarana dagang dan system pemerintahan
yang kuat menopang kelangsungan pembangunan. Kalau di kemudian hari bangsa kita telah menjadi
kuat, maka senantiasa waspada terhadap terulangnya sirna hilang kertaning bumi. Sebaliknya, kita mesti
pertahankan gemah ripah loh jinawi; tata tentrem kerta raharja

ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden
Wijaya yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena
pemberontakan Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-
1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya
(dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap
Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.

Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya
Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah
bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisirKerajaan Majapahit yang
pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh
besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14,
kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah.

Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada
tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.

Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa
menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa
yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit.

Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota.
Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden
Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhumi. Ia menghancurkan Majapahit
karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya.

Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara
dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-
raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari,
digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam. Ironisnya, pertikaian keluarga dan
dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari
bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning
bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu
tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”.
Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre
Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.

Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya,
yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579,
juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram,
disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak
Hindunya dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan
lamanya.

(TAMAT)

Anda mungkin juga menyukai