Rumusan Masalah
Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir
pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan,
melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua
kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri
adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi
beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat
atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang
sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai
pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama
kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan
Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan
Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan
Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh
Kediri.
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya
“Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa
Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam
lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata,
bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi
Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad.
Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri,
menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).
Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang
diantaranya berbunyi :
” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake
panaraban”, artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja
Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa
Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab
Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama
Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di
Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini
menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka
memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.
4. Sri Sarwaswera
Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan
prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya,
Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah
itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.
Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah
moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar
adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang
menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5. Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang
memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja
Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan
sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri
pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya
berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri
Gandra.
6. Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti
Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti
seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi
rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
7. Sri Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker
(1182) dan Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun
1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat
pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan
pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji
Semirang.
8. Sri Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti
Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton,
pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222
Masehi.
Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama
masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan
Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana.
Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di
Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang
lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok.
Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk
menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum
Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu
bertemu di dekat Ganter (1222 M).
Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka
atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha
Candrama. Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya
selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya,
Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.
1. Wastra (sandang)
2. Wareg (pangan)
3. Wisma (papan)
4. Wasis (pendidikan)
5. Waras (kesehatan)
6. Waskita (keruhanian), dan
7. Wicaksana (kebijaksanaan).
Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan
bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan
masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan
warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk membawa kebesaran
Nusantara.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan
rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh
kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian
warganya. Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh
kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan
militer bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan
kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat.
Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka
sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena
pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke
surga.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri
sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja
Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di
atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun
takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu
berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya
sebagai berikut.
Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan
naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga
Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah
Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.
Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri
bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri
terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra.
Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup
makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan
tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi.
Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan
kitab Ling-wai-tai-ta.
Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu
Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa
meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca
tanda-tanda jaman saat ini.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra
yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah
memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh
Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali
sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk
candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M).
Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain
sebagai berikut.
Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada
zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna
sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong
dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan
Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi.
Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief
Parthayajna dan Kunjarakarna.
Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama,
kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat
atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan
penasehat utama Prabu Jayawarsa.
Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin
Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya
pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam
kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu
maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang
masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka
berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah
mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan
seorang raja dalam memimpin rakyatnya.
Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin
Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana
menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab
Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara memimpin yang
berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.
Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat
itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum
Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan
pasukannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan
dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua
pasukan itu bertemu di dekat Genter , sekitar Malang (1222 M). Dalam
pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil
meloloskan diri.
KESIMPULAN
Kerajaan Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang
patut diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri (
sekarang ) ini mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya
yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa
depan atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan raja
Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri telah mampu mengelola
dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik.
Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah
direkonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa
pada zaman kerajaan Kediri telah muncul berbagai sastra dan budaya yang
sangat luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai
Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang
mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami kecukupan dengan
mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan.
Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial
mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung
kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan
dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja
Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang
jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut
tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa
jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M).
Kerincuhan dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan
kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama
yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga
sedang gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan
sebuah kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari.
Namun, keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan
kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti
Isyana. Dengan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan
agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang