Anda di halaman 1dari 24

Kerajaan Kediri : Sejarah, Raja, Dan

Peninggalan, Serta Kehidupan Politiknya


Lengkap
Oleh bitarDiposting pada 17/01/2019
Kerajaan Kediri : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Kehidupan
Politiknya Secara Lengkap – Tahukah anda tentang Kerajaan kediri ???
Jika anda belum mengetahuinya anda tepat sekali
mengunjungi gurupendidikan.com. Karena pada kesempatan kali ini akan
membahas tentang sejarah Kerajaan Kediri, raja-raja Kerajaan kediri,
peninggalan Kerajaan kediri, dan kehidupan politik Kerajaan kediri secara
lengkap. Oleh karena itu marilah simak ulasan yang ada dibawah berikut ini.

Rumusan Masalah

1. Dimana letak lokasi Kerajaan Kediri?


2. Apa saja sumber sejarah Kerajaan Kediri?
3. Siapa saja Raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Kediri?

 Siapakah pendiri Kerajaan Kediri?


 Siapakah Raja yang paling terkenal di Kerajaan Kediri?
 Siapakah Raja terakhir yang memerintah di Kerajaan Kediri?

4. Bagaimana aspek kehidupan Kerajaan Kediri?

 Bagaimana kehidupan Kerajaan Kediri di bidang politik?


 Bagaimana kehidupan Kerajaan Kediri di bidang agama?
 Bagaimana kehidupan Kerajaan Kediri di bidang ekonomi?
 Bagaimana kehidupan Kerajaan Kediri di bidang sosial budaya?
 Apa saja hasil budaya dari Kerajaan Kediri?

5. Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Kediri?


Contents
 1 Sejarah Kerajaan Kediri
o 1.1 Raja-Raja Kerajaan Kediri
o 1.2 Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri
o 1.3 Sistem Peradilan Kerajaan Kediri
o 1.4 Hukum Positif dan Budaya Simbolik
o 1.5 Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan Kediri
o 1.6 Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri
o 1.7 Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri
o 1.8 Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri
o 1.9 Kehidupan AGAMA DAN SPIRITUAL Kerajaan Kediri
o 1.10 Kehidupan Sosial Dan Budaya
o 1.11 Karya di Bidang Hukum Tata Negara
o 1.12 Masa Kejayaan Kerajaan Kediri
o 1.13 Masa Runtuhnya Kerajaan Kediri
o 1.14 Posting terkait:

Sejarah Kerajaan Kediri


AWAL MULA
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana
(Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah
sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun
1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota
Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan
Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota
api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga
tahun 1042.

Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir
pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan,
melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua
kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri
adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah


kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra
yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat
bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra
yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama
Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.

Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi
beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat
atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang
sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai
pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama
kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan
Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan
Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan
Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh
Kediri.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan


yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha.
Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun
Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan
kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari
pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang
diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai
Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak


banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja
Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan
Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan
dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa
ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan
Jawa dengan cerita Panji.

Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya
“Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa
Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam
lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata,
bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi
Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad.
Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri,
menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).

Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang
diantaranya berbunyi :
” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake
panaraban”, artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja
Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa
Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab
Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama
Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di
Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini
menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka
memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.

Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi


Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi
Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang
berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus
1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh
raja dari kerajaan sebelah timur.

“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan


istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-
katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja
Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama
Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang
besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.

Raja-Raja Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya
sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah
memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada
masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat
ini.
Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :
1. Sri Jayawarsa
Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti
Sirah Keting (1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan
hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah
berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat
besar perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya.
2. Sri Bameswara
Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di
daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu
lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik
diketahui keadaan pemerintahannya.
3. Prabu Jayabaya
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu
Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan
rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota di
Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga
segala macam tanaman tumbuh menghijau.
Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah
aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan,
sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan
naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga
Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah
Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.
Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi.
Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan
pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang
jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.
Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan
bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan
adil terhadap rakyat.

4. Sri Sarwaswera
Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan
prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya,
Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah
itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.
Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah
moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar
adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang
menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5. Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang
memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja
Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan
sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri
pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya
berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri
Gandra.
6. Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti
Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti
seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi
rendahnya pangkat seseorang dalam istana.

7. Sri Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker
(1182) dan Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun
1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat
pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan
pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji
Semirang.

8. Sri Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti
Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton,
pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222
Masehi.
Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama
masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan
Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana.
Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di
Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang
lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok.
Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk
menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum
Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu
bertemu di dekat Ganter (1222 M).

Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri

Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum


yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan
tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam
hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang
telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini
merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan
Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu
mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang
diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).

Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai


Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini
perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan
merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek.
Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana
terdapat juga Undang-undang Hukum Perdata.
Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk
dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada
zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum
Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum
Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan
Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan suatu
keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.

Sistem Peradilan Kerajaan Kediri

Sistem peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum


dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254).
Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga
kerajaan dapat dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga
kerajaan telah membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir dan batin.
Aparat dan rakyat menghormati hukum atau darma semata-mata demi
terjaganya kepentingan bersama.
Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut
Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara.
Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan demikian:
Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya
denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah
salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau
mengharapkan kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56).
Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa.
Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan,
yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan Sang
Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan
Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan agama.
Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim
Tinggi. Mereka itu dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu dalam
pengadilan adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut
Pamegat atau Sang Pamegat artinya : Sang Pemutus alias Hakim. Baik
Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi. Mula-mula
jumlahnya hanya lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat
Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat
Pamotan.

Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa


adalah agama resmi negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak.
Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua
menjadi tujuh. Keduanya termasuk golongan Kabudan, sehingga ada lima
Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan. Perbandingan itu sudah layak
mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak dengan jumlah
pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat
Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare.

Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai


pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang
Undang-undang (Rassers, 1959:243). Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji
adalah pembantu para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-
daerah. Pangkat Panji masih dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun
1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak
berbeda dengan Para Panji pada zaman Kadiri.
Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara
langsung. Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut kepenting¬an Raja
dan keluarganya, menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan
intervensi terhadap hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja
mempunyai staf hukum yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi
integritas serta kredibilitasnya.

Hukum Positif dan Budaya Simbolik


Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan
terbagi menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif
merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati
bersama. Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua
transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang,
ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara
rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun diatur secara detail.
Di samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya
menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan
program ini, maka diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta.
Tujuannya agar aparat dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja
apabila terjadi pelanggaran maka hukuman dan sangsinya bersifat ghaib
spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya
adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.

Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka
atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha
Candrama. Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya
selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya,
Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.

Tingkat kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang


disusun oleh elit negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat
awam. Keadaan ini disadari oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi
terciptanya susasana yang harmonis, lantas diciptakan nasehat-nasehat
simbolis berbau mistis. Kenyataannya pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya
yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh sebagian besar
masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum positif, maka budaya
simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban sosial.

Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang


angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana.
Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang
membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan keemasan.
Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja,
Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia
Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe
Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh
Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi,
Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program
utama yaitu :

1. Wastra (sandang)
2. Wareg (pangan)
3. Wisma (papan)
4. Wasis (pendidikan)
5. Waras (kesehatan)
6. Waskita (keruhanian), dan
7. Wicaksana (kebijaksanaan).

Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan
bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan
masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan
warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk membawa kebesaran
Nusantara.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan
rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh
kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian
warganya. Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh
kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan
militer bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan
kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat.

Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan Kediri


Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di telusuri dari beberapa prasasti dan
berita asing di antaranya :
1. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan
Panjalu atas Jenggala.
2. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada
masa Jayabaya.
3. Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian hadiah tanah
kepada rakyat desa oleh Jayawarsa.
4. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi
masalah keagamaan , berasal dari raja Bameswara.
5. Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja Jayabaya yang
memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang
bebas dari pajak.
6. Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama
pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan
Tikus Jinada.
7. Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa pemerintahan Kertajaya ,
dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi
istana Katang-Katang.
8. Candi Penataran : Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini
terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar,
pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian
candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari
Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan
sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan
Majapahit sekitar tahun 1415.
9. Candi Gurah : Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur.
Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang
lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah
namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur
kembali.
10. Candi Tondowongso : Situs Tondowongso merupakan situs
temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun
Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare
ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah
Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks
Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan
satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini
diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu
bata setempat.Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang
ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri
awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari
kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri
dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui
peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
11. Arca Buddha Vajrasattva : Arca Buddha Vajrasattva ini berasal
dari zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan
Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
12. Prasasti Galunggung : Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar
160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di
Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak
terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi.
Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain
prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di
bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah
lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo.
Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti.
13. Candi Tuban : Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965
melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan
ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi.
Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa
yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap
angker.Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena
candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan
Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter
dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki
candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas candi
telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.Menurut Pak Suyoto,
jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai
satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan
relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari
legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo
Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki
dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan.
14. Prasasti Panumbangan : Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja
Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan
penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas
daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan
desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang
dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam
prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.
15. Prasasti Talan : Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit,
Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136
Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada
bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala
burung garuda serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan dengan
anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan
memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan
Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun
961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan
sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak
sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas
batu dengan cap kerajaan Narasingha.Raja Jayabhaya mengabulkan
permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap
raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.

Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri


Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya
sastra yang dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut :

 Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk


tentang cara membuat syair yang baik.

 Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi


pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga
menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.

 Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka
sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena
pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke
surga.

 Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna


sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong
dan sakti.

 Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan


Bidadari Harini yang terkenal untuk Begawan Trenawindu.

 Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu


Panuluh.
 Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu
Panuluh.

Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri


Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji
Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri
Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala
dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas
mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara
(1116 – 1135 M) dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri
sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja
Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di
atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun
takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu
berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya
sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan.


Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan,
setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan
pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih
payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran.
Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari
pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga
meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri
Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih
menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk
menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu
kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu)
dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan.
Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi
kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya
dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang
lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan
pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua
negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan
kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri


Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya
memang sangat mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang
beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat
subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan
perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai
Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga
makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.

Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan
naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga
Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah
Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.
Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri
bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri
terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra.
Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup
makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan
tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi.
Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan
kitab Ling-wai-tai-ta.

Untuk menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem pajak.


Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana.
Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija.

Kehidupan AGAMA DAN SPIRITUAL Kerajaan Kediri


Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa (
Airlangga titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat
maju (Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru
kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri
kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di
tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling,
mengurangi makan tidur.

Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu
Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa
meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca
tanda-tanda jaman saat ini.

Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan


material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak
tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan
menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat
kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada
masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya.

Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab


memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam
penyusunan. Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem.
Kitab hukum per Undang-undangan itu disusun sebagai berikut :

Bab I : Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi,


aliansi, konstribusi dan sanksi.
Bab II : Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan
(penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan,
pembalakan, penindasan dan pembunuhan)
Bab III : Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat
sipil.
Bab IV : Astacorah, berisi tentang delapan macam
penyimpangan administrasi kenegaraan.
Bab V : Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang
berkaitan pengadaan barang dan jasa.
Bab VI : Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.
Bab VII : Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan
lembaga pegadaian.
Bab VIII : Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam
Bab IX : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan
barang.
Bab X : Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.
Bab XI : Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
Bab XII : Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.
Bab XIII : Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan.
Bab XIV : Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan
pencemaran nama baik.
Bab XV : Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran
administrasi
Bab XVI : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang
menyebabkan kerugian publik.
Bab XVII : Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan
permusuhan.
Bab XVIII : Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak
Bab XX : Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan
kebohongan publik.
Kehidupan Sosial Dan Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain
sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam
perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas.
Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab
Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu.
Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta
bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat
menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat
leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra
yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah
memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh
Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali
sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk
candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M).
Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain
sebagai berikut.

 Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair


yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
 Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu
Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan
Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota
kerajaannya adalah Dahana.
 Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah
Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka.
Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya
diangkat ke surga.

Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada
zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.
 Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna
sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong
dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
 Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan
Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi.
Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief
Parthayajna dan Kunjarakarna.

Karya di Bidang Hukum Tata Negara

Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu


pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu
Jayawarsa ini juga menjadi patron bagi para pujangga dalam
mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para cendekiawan
yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya.
Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh pujangga kita
dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu
Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang
ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga amat peduli dengan
kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai tanda bahwa beliau juga seorang
humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna.
Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di Kerajaan
Kadiri.

Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama,
kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat
atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan
penasehat utama Prabu Jayawarsa.
Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin
Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya
pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam
kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu
maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang
masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka
berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah
mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan
seorang raja dalam memimpin rakyatnya.

Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin
Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana
menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab
Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara memimpin yang
berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.

Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh


Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh
tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu
Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma
sulaksana,manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad
raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai
puncak peradaban, terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan
kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam karya-karya Kakawin
Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan
Hariwangsa oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan warisan ruhani
bermutu tinggi,

Masa Kejayaan Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja
Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa
Tengah meluas hingga hampir ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu,
pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang
dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika
terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178
M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri
Jayabaya.
Bukan hanya daerah kekuasaannya saja yang besar, melainkan seni sastra
yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian. Dengan demikian, Kerajaan
Kediri semakin disegani pada masa itu.

Masa Runtuhnya Kerajaan Kediri


Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang
juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam
”Pararaton” dan ”Nagarakretagama”. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang
berselisih melawan kaum brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan
Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini
disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum
Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum
Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.

Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat
itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum
Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan
pasukannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan
dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua
pasukan itu bertemu di dekat Genter , sekitar Malang (1222 M). Dalam
pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil
meloloskan diri.

Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan


Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah
Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.

KESIMPULAN
Kerajaan Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang
patut diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri (
sekarang ) ini mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya
yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa
depan atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan raja
Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri telah mampu mengelola
dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik.
Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah
direkonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa
pada zaman kerajaan Kediri telah muncul berbagai sastra dan budaya yang
sangat luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai
Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang
mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami kecukupan dengan
mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan.
Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial
mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung
kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan
dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja
Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang
jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut
tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa
jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M).
Kerincuhan dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan
kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama
yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga
sedang gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan
sebuah kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari.
Namun, keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan
kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti
Isyana. Dengan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan
agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang

Anda mungkin juga menyukai