Anda di halaman 1dari 3

The formal exsistence of a legal system

Hal. 368
No. List : 31

Nama : Bayu Nurhadi


Nim : 2108018033
Jumlah kata : 934

A. Konsep Teori H.L.A Hart The formal exsistence of a legal system


Inti dari pemikiran Hart ialah terletak pada Sistem Hukum. Hart
membangun sistem hukum yang memungkinkan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum pula. Kerena itu, Hart berpendapat bahwa hukum pertama-tama
harus dipahami sebagai sistem peraturan. Dalam kaitan dengan ini Hart
membedakan peraturan menjadi dua macam yakni Primery Rules dan Secondary
Rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai Primery Rules
dan Secondary Rules merupakan jantung dari sistem hukum. Primery rules lebih
menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal
ini akan ditemukan dalam sebuah bentuk dari hukum (Formal of law). Secondary
Rules merupakan fokus lain di samping Primery rules untuk masuk ke dalam
uraian pemikiran Hart tentang teori Sistem hukumnya.

B. Diskursus Teori H.L.A Hart dan Kontekstual Teori


Pandangan terkait teori hart mengenai The formal exsistence of a legal
system bahwa Primery rules dan Secondary Rules merupakan esensi dari hukum.
Primery rules merupakan aturan-aturan yang menimpakan Obligation atau
kewajiban yang mana aturan tersebut merupakan standar dari sebuah sistem
hukum. Dalam hal ini Primery rules tidak lain adalah aturan tertulis seperti
undang-undang. Singkatnya Primery rules menimpakan kewajiban terhadap orang
untuk hidup dalam sebuah sistem hukum. Selain Primery rules system hukum
juga memiliki bentuk aturan lain yaitu Secondary Rules. Secondary Rules
merupakan landasan dari Primery rules. Hart membagi Secondary Rules kedalam
tiga jenis, yaitu Rule Of Recognition (aturan pengakuan), Rule Of Change (aturan
perubahan) dan Rule Of Adjudication (aturan pemutusan). Ketiga jenis aturan
dalam Secondary Rules tesebut merupakan syarat adanya sebuah sistem hukum.
Karena tanpa adanya Secondary Rules tidak akan ada sistem hukum sebagaimana
kita jumpai dalam perkembangan kondisi saat ini.
Salah satu contoh dalam isu hukum terkait tuntutan mati bagi terdakwa
Tindak Pidana Korupsi Heru Hidayat dalam perkara dugaan tindak pidana dalam
pengelolaan keuangan dana Investasi oleh PT. ASABRI pada beberapa
perusahaan periode tahun 2012 s/d 2019. Bahwasanya untuk hukuman mati
sendiri telah di atur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pada ayat 2 yang menyebutkan bahwa: “ Dalam hal Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan.” Keadaan tertentu dalam ketentuan yang dimaksud
adalah sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai
dengan undang-undang yang belaku pada waktu bencana alam nasional, sebagai
penanggulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu Negara dalam keadaan
krisis ekonomi dan moneter. Hal tersebut terdapat pada penjelasan dari Pasal 2
ayat (2). Namun di sisi lain terkait kasus korupsi yang dilakukan Juliari Batubara
yang menerima suap sebesar Rp.32.000.000.000,- (tiga puluh dua milyar) dari
para pengusaha atau vendor yang menggarap proyek pengadaan Bansos untuk
penanganan Covid-19 hanya dituntut 11 tahun penjara dan denda
Rp.500.000.000,-. (lima ratus juta).
Dalam isu hukum di atas dapat diterapkan Secondary Rules seperti apa
yang menjadi pandangan oleh Hart. Dimana perbedaan tuntutan terhadap 2 (dua)
terdakwa dengan perkara tindak pidana korupi diatas patut dipertanyakan apakah
kemudian perkara tindak pidana korupsi Heru Hidayat dalam perkara dugaan
tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dana Investasi oleh PT.
ASABRI yang dilaksanakan jauh sebelum Indonesia mengalami serangan bahaya
kesehatan yang mana dalam hal ini tidak memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (2)
tersebut, di bandingkan perkara tindak pidana korupsi Juliari Batubara yang
sangat jelas dilaksanakan dan lebih memenuhi syarat dari Pasal 2 ayat (2) dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kelemahan dalam menerapkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang merupakan syarat atau landasan dalam penjatuhan
hukuman mati bagi terpidana tindak pidana korupsi dimana telah dalam proses
penuntutan yang dialami oleh terdakwa Heru Hidayat dapat dilakukan Rule Of
Adjudication (aturan pemutusan) sejauh pemberi putusan dalam hal ini Majelis
Hakim mempertimbangan syarat-syarat hukuman mati yang terdapat pada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa terdakwa Heru
Hidayat dianggap tidak memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (2) tersebut.

C. Pandangan Penulis terhadap The Formal Exsistence Of A Legal System


Menurut pandangan penulis bahwa dalam konsep teori Hart itu sendiri
hukum merupakan sistem aturan-aturan bukan perintah yang berdaulat. Dimana
hukum harus konkrit, norma-norma harus tertulis sehingga hukum dianggap eksis.
Ketika aturan diangggap sudah tidak relevan pada saat ini maka ada 3 langkah
yang dapat dilakukan berdasarkan teori Hart dalam Sistem Hukum untuk menjaga
eksistensi hukum dalam sistem hukum di Indonesia yaitu Of Recognition (aturan
pengakuan), Rule Of Change (aturan perubahan) dan Rule Of Adjudication (aturan
pemutusan). Ketika ada norma sosial yang belum diatur namun ditaati oleh
masyarakat luas dapat diatasi Of Recognition (aturan pengakuan)dengan kata lain
Of Recognition (aturan pengakuan) validasi hukum yang berlaku dalam sebuah
masyarakat. Dengan kondisi yang terus berubah maka aturan yang sudah tidak
relevan dapat di atasi dengan Rule Of Change (aturan perubahan). Rule Of Change
(aturan perubahan) memberikan wewenang bagi orang yang memiliki
kewenangan untuk melakukan perubahan atau melakukan penghapusan aturan
lama. Rule Of Adjudication (aturan pemutusan) Hadirnya pengadilan merupakan
jalan untuk mengatasi kebuntuan berkaitan dengan kontroversi yang terjadi dalam
Primery Rules seperti yang penulis jabarkan di salah satu contoh isu hukum diatas
dengan langkah yang dapat dilakukan menggunakan teori Hart. Secondary Rules
berfungsi memberi kekuasaan kepada orang atau lembaga untuk menilai dan
menetapkan apakah peraturan telah dilanggar atau tidak. Sehingga dalam hal ini
padangan penulis terkait The formal exsistence of a legal system yang
dikemukakan oleh Hart relevan atau sesuai dengan kebutuhan atas perkembangan
hukum dalam masyarakat dengan “memberikan jalan” yang dapat di ambil dalam
mengatasi kelemahan dan kekurangan keberadaan hukum tertulis dalam sistem
hukum itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai