Anda di halaman 1dari 35

“ Desain Penelitian ”

disusun guna memenuhi tugas mata kuliah metodologi penelitian

Oleh:
NURUL RINDAWATI
120210102080
KELAS A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
DESAIN PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Penelitian tindakan merupakan proses yang dinamis yang di dalamnya


terdapat empat momen, yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi dalam
bentuk spiral. Peningkatan pemahaman, pertama-tama akan muncul sebagai dasar
pemikiran bagi prakteknya. Dasar pemikiran itu selanjutnya dikembangkan
melalui pengujian dalam praktek. Setiap proposisi dalam dasar pemikiran dapat
dicocokan dengan prakteknya dan dengan bagian lain dari dasar pemikiran
tersebut. Dalam jangka panjang, proposisi tersebut akan berkembang menjadi
preskriptif kritis tentang praktek dan tentang bidang yang terkait itu sendiri, dan
menjadi teori kritis yang mencakup pertimbangan tentang masalah-masalah
seperti bagaimana siswa belajar, bagaimana makna diciptakan bagi siswa terhadap
sistem penyampaian pesan sekolah terkait (Suwarsih Madya, 1994).

Beberapa model atau desain penelitian yang digunakan ketika peneliti


melakukan PTK, yaitu:

1. Model Kurt Lewin


Model Kurt Lewin dijadikan sebagai acuan atau dasar dari adanya
penelitian tindakan khususnya PTK karena dialah yang pertama kali
memperkenalkan penelitian tindakan (action research). Konsep pokok
penelitian tindakan menurut Kurt Lewin terdiri dari empat komponen yaitu:
(a) perencanaan (planning), (b) tindakan (acting), (c) pengamatan
(observing), dan (d) refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen
tersebut dipandang sebagai siklus yang dapat digambarkan pada diagram
berikut:
Gambar 1: Model PTK Kurt Lewin
Berdasarkan gambar di atas bahwa model Kurt Lewin, langkah
pertama yang dilakukan adalah:
1. Perencanaan
Merancang penelitian tindakan yang akan dilakukan. Kalau
pelaksanaannya di kelas berarti rencana/perencanaan tersebut disesuaikan
dengan objek dan masalah yang ditingkatkan. Pada tahap ini kegiatan yang
harus dilakukan adalah membuat RPP, mempersiapkan fasilitas dari sarana
pendukung yang diperlukan dikelas, mempersiapkan instrument untuk merekam
dan menganalisis data mengenai proses dan hasil tindakan.
2. Tindakan
Melakukan intervensi sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Tindakan dilaksnakan dengan hati-hati dan teliti agar dicapai peningkatan yang
baik. Pada tahap ini peneliti melakukan tindakan-tindakan yang telah
dirumuskan dalam RPP, dalam situasi yang actual, yang meliputi kegiatan awal,
inti dan penutup.
3. Pengamatan
Mengamati dampak tindakan yang dilakukan. Apakah rencana dan
tindakannya berhasil atau tidak. Artinya apakah ketika proses ada
peningkatan atau tidak (peningkatan motivasi/semangat, peran, dan hasil).
Pada tahap ini yang harus dilaksanakan adalah mengamati perilaku siswa siswi
yang sedang mengikuti kegiatan pembelajaran, memantau kegiatan diskusi atau
kerja sama antar kelompok, mengamati pemahaman tiap tiap siswa dalam
penguasaan materi pembelajaran, yang telah dirancang sesuai dengan PTK.
4. Refleksi
Membuka dan membahas kembali terhadap apa yang telah dilakukan.
Refleksi di sini untuk mengetahui kekurangan, kelemahan dan ketidakberhasilan
tindakan yang telah dilakukan kemudian menyusun rekomendasi dan saran-
saran untuk melangkah pada siklus berikutnya jika belum tuntas. Pada tahap ini
yang harus dilakukan adalah mencatat hasil observasi, mengevaluasi hasil
observasi, menganalisis hasil pembelajaran, mencatat kelemahan-kelemahan
untuk dijadikan bahan penyusunan rancangan siklus berikutnya sampai tujuan
PTK tercapai.

2. Model Kemmis dan McTaggart


Desain penelitian Kemmis merupakan pengembangan dari konsep dasar
yang diperkenalkan Kurt Lewin. Desain penelitian Kemmis dikenal dengan
model spiral. Hal ini karena dalam perencanaan, Kemmis menggunakan
sistem spiral refleksi diri, yang dimulai dengan rencana, tindakan,
pengamatan, refleksi dan perencanaan kembali merupakan dasar untuk suatu
ancang-ancang pemecahan masalah. Perbedaan antara desain penelitian Kemmis
dan Kurt lewin adalah Kemmis menyatukan komponen acting (tindakan) dan
observing (pengamatan). Disatukannya kedua komponen tersebut disebabkan
oleh adanya kenyataan bahwa antara implementasi acting dan observing
merupakan dua kegiatan yang tidak terpisahkan. Menurut Kemmis, dalam
penelitian tindakan kelas dua kegiatan tersebut haruslah dilakukan dalam
satu kesatuan waktu, begitu berlangsungnya satu tindakan begitu pula
observasi juga dilakukan. Didalam desain penelitian Kemmis dikenal sistem
siklus. Artinya dalam satu siklus terdapat suatu putaran kegiatan yang terdiri
dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Ketika siklus satu
hampir berakhir, namun peneliti masih menemukan kekurangan ketika
dilakukan refleksi, peneliti bisa melanjutkan pada siklus kedua. Siklus kedua
dengan masalah yang sama, namun dengan teknik yang berbeda.

Gambar 2: Model PTK Kemmis dan MCTaggart

3. Model John Elliott


Model John Elliot ini lebih rinci jika dibandingkan dengan model Kurt
Lewin dan model Kemmis & McTaggart karena di dalam setiap siklus terdiri
dari beberapa tindakan, yaitu antara tiga sampai lima tindakan. Sementara
itu, setiap tindakan terdiri dari beberapa langkah yang terealisasi dalam
bentuk kegiatan belajar-mengajar. Penjelasan tahapan PTK John Elliot adalah
sebagai berikut:
a.       Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk melihat
dan menemukan masalah-masalah apa saja yang terjadi di sekolah. Lebih
khususnya lagi dalam proses pembelajaran di kelas. Identifikasi masalah ini
sangat penting posisinya karena tahapan ini merupakan pondasi awal atau acuan
awal kegiatan penelitian kedepannya.
b.      Penyelidikan
Penyelidikan dimaksudkan sebagai kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang masalah yang ditemukan oleh seorang peneliti di sekolah.
Berdasarkan hasil penyelidikan dapat dilakukan pemfokusan masalah yang
kemudian dirumuskan menjadi masalah penelitian. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut maka dapat ditetapkan tujuan penelitian.
c.       Rencana Umum
Rencana umum merupakan seperangkat rencana awal tentang kegiatan
yang akan dilakukan oleh seorang peneliti untuk menjawab masalah penelitian
yang ditemukan dikelas atau di sekolah. Pada tahapan ini, seorang peneliti akan
memberikan perlakuan kepada sampel agar bisa terlihat perubahan prilaku
sesuai yang diharapkan oleh peneliti. Dalam model PTK dari John Elliot,
terdapat beberapa langkah tindakan yang direncanakan oleh peneliti. Bagian
inilah yang membedakan model PTK John Elliot dengan model-model PTK
yang lainnya.
d.      Implementasi Langkah Tindakan 1
Pada tahap ini, seorang peneliti akan menerapkan atau melakukan
perlakuan pada kelas sampel dengan tujuan meningkatkan, merubah atau
memperbaiki masalah-masalah penelitian yang ditemukan oleh peneliti dikelas.
Tentunya dalam tahap ini, seorang peneliti akan melakukan perlakuannya
didasarkan pada langkah-langkah tindakan yang direncanakan pada tahap
rencana umum.
e.       Memonitor Implementasi
Tahap ini bagi seorang peneliti akan melihat dan memantau hasil
pemberian perilaku pada kelas sampel. Peneliti akan mendata dan mencatat
hasil-hasil dari implementasi pada tahap selanjutnya. Apakah menunjukkan
hasil peningkatan (positif) ataupun malah menunjukkan peningkatan yang
sebaliknya (negatif). Sudah benarkah atau belum implementasi yang diterapkan
oleh peneliti.
f.       Penyelidikan
Pada tahapan ini, peneliti akan berusaha untuk mengungkap dan
menjelaskan tentang kegagalan-kegagalan pengaruh. Faktor-faktor apa aja yang
bisa menyebabkan hal tersebut gagal. Tentunya seorang peneliti akan belajar
dari kegagalan dan ketidakberhasilan implementasi pada tahapan sebelumnya.
g.      Merevisi Ide Umum
Pada tahap ini, peneliti berbekal dari data-data yang sudah didapat pada
tahap-tahap sebelumnya akan kembali membuat rencana penelitian. Tentunya
tahapan ini hanya akan dilakukan jika implementasi telah mengalami kegagalan
dan tidak memenuhi harapan serta tujuan penelitian dari peneliti. Makanya
dianggap perlu untuk melakukan siklus kedua yang diawali dengan merevisi
rencana awal.

Gambar 3: Model PTK John Elliott


4. Model McKernan
Dari model PTK oleh McKernan, dia lebih menekankan model
penelitian dengan “proses waktu”, dalam arti bahwa dalam penelitian tindakan
yang penting janganlah dilakukan dengan terlalu kaku dalam soal waktu. Hal ini
mencakup menentukan fokus permasalahan, penyelesaian masalah yang
rasional, dan kepemilikian penelitian yang demokratis. Yang perrlu
diperhatikan dari model ini adalah bahwa pada setiap daur tindakan yang
ada selalu dievaluasi untuk melihat hasil tindakan, apakah tujuan dan
permasalahan penelitian dapat tercapai. Jika tindakan yang diberikan sudah
dapat memecahkan masalah maka penelitian dapat diakhiri, jika tidak maka
dilanjutkan ke daur berikutnya. Siklus model McKernan dapat dilihat seperti
berikut:

Gambar 4: Model PTK McKernan


5. Model Hopkins (Dave Ebbutt)
Berpatokan pada desain-desain model PTK para ahli pendahulunya,
selanjutnya Hopkins (1993) menyusun desain yang dikenal Model Ebbutt
(Hopkins, 1993). Model ini menunjukkan bentuk alur kegiatan penelitian
dimulai dari pemikiran awal penelitian yang selanjutnya dikenal dengan
reconnaissance. Bagian ini, Ebbutt berpendapat yang berbeda dengan penafsiran
Elliott mengenai reconnaissancenya Kemmis, yang seakan-akan hanya berkaitan
dengan penemuan fakta saja. Padahal menurutnya reconnaisance mencakup
kegiatan-kegiatan diskusi, negoisasi, menyelidiki kesempatan, mengakses
kemungkinan dan kendala atau dengan singkat mencakup keseluruhan analisis.
Menurut Ebbutt, cara yang tepat untuk memahami proses penelitian
tindakan adalah dengan memikirkannya sebagai suatu seri dari siklus yang
berturut-turut, dengan setiap siklus mencakup kemungkinan masukan balik
informasi di dalam dan diantara siklus.
Berdasarkan model-model Penelitian Tindakan Kelas dari Kurt Lewin,
Kemmis & McTaggart, Hopkins menyusun desain sendiri dengan skema
sebagai berikut:
Gambar 5: Model PTK Hopkins (Dave Ebbutt)

6. Model Cohen dkk.


Model Cohen dikembangkan oleh beberapa ahli penelitian yaitu (1)
Cohen dan Manion (1980), Taba dan Noel (1982), serta Winter (1989). Berikut
ini beberapa langkah yang hendaknya diikuti dalam melakukan PTK (disarikan
dari Marzuki: 1997 dalam Sukayat: 2008).
a) Mengidentifikasi dan merumuskan masalah
Mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dianggap penting dan
kritis yang harus segera dicarikan penyelesaian dalam pembelajaran
seharihari, antara lain meliputi ruang lingkup masalah, identifikasi masalah
dan perumusan masalah.
 Ruang lingkup masalah
Di bidang pendidikan, PTK telah digunakan untuk pengembangan
kurikulum dan program perbaikan sekolah. Contoh PTK dalam pembelajaran
berkaitan dengan:
1) Metode/strategi pembelajaran.
2) Media pembelajaran.
 Identifikasi masalah
Masalah yang akan diteliti memang ada dan sering muncul selama
proses pembelajaran sehari-hari sehingga perlu dicarikan penyelesaian. Ada
beberapa kriteria dalam menentukan masalah yaitu:
1) Masalahnya memang penting dan sekaligus signifikan dilihat dari segi
pengembangan kelas dan sekolah;
2) Masalah hendaknya dalam jangkauan penanganan;
3) Pernyataan masalahnya harus mengungkap beberapa dimensi fundamental
mengenai penyebab dan faktor, sehingga pemecahannya dapat dilakukan
berdasar hal-hal fundamental ini dari pada berdasarkan fenomena dangkal.
 Perumusan Masalah
Pada intinya, rumusan masalah seharusnya mengandung deskripsi
tentang kenyataan yang ada dan keadaan yang diinginkan. Dalam merumuskan
masalah PTK, ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai acuan yang
disarikan dari Suyanto (1997) Beberapa petunjuk tersebut antara lain:
1) Masalah hendaknya dirumuskan secara jelas, dalam arti tidak mempunyai
makna ganda dan pada umumnya dapat dituangkan dalam kalimat tanya;
2) Rumusan masalah hendaknya menunjukkan jenis tindakan yang akan
dilakukan dan hubungannya dengan variabel lain;
3) Rumusan masalah hendaknya dapat diuji secara empirik, artinya dengan
rumusan masalah itu memungkinkan dikumpulkannya data untuk
menjawab pertanyaan tersebut.

b) Analisis masalah
Analisis masalah perlu dilakukan untuk mengetahui dimensi-dimensi
problem yang ada untuk mengidentifikasi aspek-aspek pentingnya sehingga
dapat memberikan penekanan tindakan.

c) Merumuskan hipotesis tindakan


Hipotesis dalam PTK bukan hipotesis perbedaan atau hubungan,
melainkan hipotesis tindakan. Rumusan hipotesis tindakan memuat jawaban
sementara terhadap persoalan yang diajukan dalam PTK. Jawaban itu masih
bersifat teoritik dan dianggap benar sebelum terbukti salah melalui pembuktian
dengan menggunakan data dari PTK.

d) Membuat rencana tindakan dan pemantauan


Rencana tindakan memuat informasi-informasi tentang hal-hal sebagai
berikut:
1) Apa yang diperlukan untuk menentukan kemungkinan pemecahan masalah
yang telah dirumuskan;
2) Alat-alat dan teknik yang diperlukan untuk mengumpulkan data;
3) Rencana pencatatan data dan pengolahannya;
4) Rencana untuk melaksanakan tindakan dan evaluasi hasil.
e) Pelaksanaan tindakan dan pencatatan
Pelaksanaan tindakan yang telah direncanakan hendaknya cukup
fleksibel untuk mencapai perbaikan yang diinginkan. Dalam hal ini jika sesuatu
terjadi dan memerlukan perubahan karena tuntutan situasi (pada saat
pelaksanaan tindakan), maka peneliti hendaknya siap melakukan perubahan asal
perubahan tersebut mendukung tercapainya tujuan PTK. Pada saat pelaksanaan
tindakan berarti pengumpulan data mulai dilakukan. Data yang dikumpulkan
mencakup semua yang dilakukan oleh tim peneliti yang terkait dalam PTK,
antara lain melalui angket, catatan lapangan, wawancara, rekaman video, foto,
dan slide.

f) Mengolah dan menafsirkan data


Isi semua catatan hendaknya dilihat dan dijadikan landasan untuk
refleksi. Dalam hal ini peneliti harus membandingkan isi catatan yang dilakukan
tim untuk menentukan hasil temuan. Semua yang terjadi baik yang direncanakan
maupun yang tidak direncanakan perlu dianalisis untuk menentukan apakah ada
perubahan yang signifikan ke arah perbaikan.

g) Pelaporan hasil
Hasil dari analisis data dilaporkan secara lengkap tentang pelaksanaan
tindakan yang telah direncanakan maupun perubahan yang mungkin terjadi.
DESAIN PENELITIAN EKSPERIMEN

A. Pra-eksperimental
Disebut pra-experimental karena desain ini belum merupakan desain sungguh
sungguh. Masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap
terbentuknya variabel dependen. Hasil eksperimen yang merupakan variabel
dependen itu ukan semata-mata dipengaruhi oleh variabel independen. Hal ini
dikarenakan tidak adanya variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara random.
Desain penelitian pra-eksperimental ini adalah sebagai berikut,

1. The One-Shot Case Study


Dalam desain ini satu kelompok dikenakan perlakuan tertentu (variabel bebas),
kemudian dilakukan pengukuran terhadap variabel terikatnya. Misalnya pengaruh
metode X (variabel bebas) terhadap hasil belajar (variabel terikat) di kelas
A.untuk menunjukan bahwa metode tersebut efektif.

Dengan X adalah kelompok yang akan diberi stimulus dalam eksperimen dan O
adalah kejadian pengukuran atau pengamatan. Bagan tersebut dapat dibaca
sebagai berikut: terdapat suatu kelompok yang diberi perlakuan, dan
selanjutnya diobservasi hasilnya. Contoh: Pengaruh penggunaan Komputer dan
LCD (X) terhadap hasil belajar siswa (O).

Uji statistik atau pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Menghitung mean (rata-rata) hasil postes lalu dibandingkan dengan
standar yang diinginkan.
b. Membandingkan dengan rata-rata test sebelum perlakukan dengan rumus:

Keterangan:
T = harga t
X1 = rata-rata kelompok sebelum perlakuan
X1 = rata-rata kelompok setelah perlakuan
SX1= Standar Deviasi sebelum perlakuan
SX2 = Standar Deviasi setelah perlakuan

2. The One-Group Pretest-Posttest Design


Dalam rancangan ini digunakan satu kelompok subjek yang terlebih dahulu diberi
pre tes, lalu dikenakan perlakuan, lalu dilakukan pengukuran untuk kedua kalinya
(posttest)

Perbedaan dengan desain pertama adalah, untuk the one group pretest-
posttest design, terdapat pretest sebelum diberi perlakuan, hasil perlakuan
dapat diketahui dengan lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan
keadaan sebelum diberi perlakuan.
Uji statistik atau pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan:
a. Menghitung gain (perolehan), lalu dibandingkan dengan standar yang
diinginkan
b. Belajar tuntas

3. The Static- Group Comparison


Penelitian jenis ini menggunakan satu group yang dibagi menjadi dua, yang
satu memperoleh stimulus eksperimen (yang diberi perlakuan) dan yang lain
tidak mendapatkan stimulus apapun sebagai alat kontrol. Masalah yang akan
muncul dalam desain ini adalah meyangkut resiko penyeleksian terhadap subjek
yang akan diteliti. Oleh karena itu, grup tersebut harus dipilih secara acak.

Uji statistik yang dapat digunakan adalah uji t. Dengan menempatkan masing-
masing kelompok secara random, peneliti menyatakan bahwa kedua kelompok
tersebut pada awal penelitian setara atau homogen. Dengan cara itu, beberapa
faktor pengganggu dapat dikontrol meskipun tidak dapat diperhitungkan efeknya,
di antaranya:
a. Histori
b. Kematangan (maturation)
c. Testing
d. Instrumentasi
Rancangan ini terutama bermanfaat apabila pretest tidak dapat dilakukan karena
mahal, dll. juga sangat berguna kalau anonymity perlu dipertahankan, atau kalau
diperkirakan pretsest dengan perlakuan (treatment) variabel X dapat diabaikan.

B. Desain Eksperimental yang Sebenarnya (True Experimental)


Disebut sebagai true experimental karena dalam desain ini peneliti dapat
mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Jadi,
validitas internal (kualitas pelaksnaaan rancangan penelitian) menjadi tinggi.
Sejalan dengan hal tersebut, tujuan dari true experiments menurut Suryabrata
(2011 : 88) adalah untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab
akibat dengan cara mengenakan perlakuan dan membandingkan hasilnya
dengan grup kontrol yang tidak diberi perlakuan. True experiments ini
mempunyai c iri utama yaitu sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun
sebagai kelompok kontrol diambil secara random dari populasi tertentu. Atau
dengan kata lain dalam true experiments pasti ada kelompok kontrol dan
pengambilan sampel secara random. Adapun desain penelitian dari true
eksperimental adalah sebagai berikut,
1. Rendomized Pretest-Posttest Control Group Design
Dalam rancangan ini digunakan dua kelompok subjek. Satu kelompok diberi
perlakuan tertentu (eksperimen), sementara yang satunya lagi dijadikan sebagai
kelompok kontrol. Pada kedua kelompok tersebut diberikan pretest, setelah
dikenakan perlakuan (perlakuan tertentu atau eksperimen dan perlakuan kontrol)
dilakukan pengukuran (post-test) atau perolehan (gain).

Uji statistik yang dapat digunakan adalah uji t. Design tersebut dapat diperluas,
apabila peneliti memiliki kelompok perlakuan lebih dari satu, misalnya, mau
membandingkan dua metode A dan B.

Uji statistik yang dapat digunakan adalah anova.

2. Posttest-Only Control Group Design


Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang masing-masing dipilih secara
random (R). Grup pertama diberi perlakuan (X) dan grup yang lain tidak. Bagan
penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pengaruh adanya perlakuan adalah (O1:O 2). Dalam penelitian, pengaruh


perlakuan dianalisis dengan uji beda menggunakan statistik t-test. Jika ada
perbedaan yang signifikan antara grup eksperimen dan grup kontrol maka
perlakuan yang diberikan berpengaruh secara signifikan.

3. Rendomized Solomon Four-Group Design


Rancangan ini bertujuan untuk mengatasi kelemahan validitas eksternal yang ada
pada Rendomized Control Group Pretest-Posttest Design. Apabila pretest
mungkin dianggap dapat mempengaruhi subyek sehingga lebih sensitif terhadap
perlakuan (X) dan mereka melakukan respon yang berbeda dari subyek yang tidak
mengalami pretes, maka validitas eksternal dapat terganggu. Dengan demikian
orang tidak akan dapat melakukan generalisasi kepada populasi. Demikian pula
apabila ada interaksi antara pretes dengan perlakukan (X). Rancangan ini dapat
mengatasi masalah ini karena pada perlakukan ini ditambahkan dua kelompok
lagi, yaitu kelompok yang tidak diberikan pretes.

Perbedaan antara skor rata-rata (mean score) pada T1 dan T2 mencerminkan efek
berbagai variabel dan kombinasinya, seperti pretes (T1), variabel bebas
(X),history (H), dan maturasi (M).Untuk mendapatkan efek X: kurangkan 4D dari
3D Untuk mendapatkan efek pretes: kurangkan 4D dari 2D Untuk mendapatkan
efek interaksi antara pretes dengan X: tambahkan 2D dan 3D, lalu kurangi jumlah
ini dengan 1D. Rancangan ini mensyaratkan bahwa subyek ditempatkan secara
random ke dalam empat kelompok, sehingga memungkin peneliti membuat
asumsi bahwa skor pretes untuk kelompok 3 dan 4 (jika mereka mengambil pretes
akan sama hasilnya dengan hasil yang dicapai kelompok 1 dan 2). Akan tetapi
karena kelompok 3 dan 4 tidak diberi pretes maka tidak akan terjadi interaksi
antara pretes dengan perlakuan X yang direfleksikan pada skor T1. Rancangan ini
memungkinkan pula untuk mengontrol dan mengukur: efek utama pretes dan efek
interaksi antara pretes dengan perlakuan. Selanjutnya efek kombinasi antara
histori dan maturasi dapat diukur apabila rata-rata kelompok 4 pada T2
dibandingkan dengan rata-rata pada T1. Sebenarnya rancangan ini merupakan
penggabungan dari dua jenis eksperimen menjadi satu, yaitu yang satu dengan
eksperimen yang lainnya tanpa pretes.

4. Desain Faktorial (Factorial Designs)


Desain faktorial yang paling sederhana adalah yang menggunakan dua faktor dan
masing-masing faktor menggunakan dua katagori. Rancangan untuk
penelitian ini digambarkan sebagai factorial 2 x 2. Misalnya, seseorang yang
ingin meneliti hasil belajar mahasiswa/siswa pada materi tertentu melalui dua
macam cara belajar yang menggunakan struktur belajar (berantai dan diskriminasi
ganda) dan lamanya pembelajaran (90 menit dan 60 menit) secara serempak.
Struktur belajar dilambangkan dengan X 1 dan lamanya pembelajaran
dilambangkan dengan X2.
Keterangan:
a. Secara random masing-masing kelompok subyek ditempatkan ke dalam
salah satu dari keempat macam kombinasi ekperimental. Kelompok I diberi
pembelajaran dengan struktur belajar berantai selama 90 menit dan kelompok II
selama 60 menit. Kelompok III diberi pembelajaran dengan struktur belajar
diskriminasi gandai selama 90 menit dan kelompok IV selama 60 menit.
b. Setelah proses pembelajaran dilaksanakan, hasil belajar masing-masing
subyek diukur, selanjutnya rata-rata masing-masing kelompok dihitung. Dalam
contoh di atas rata-rata kelompok I adalah 60, kelompok II 58, kelompok III 80,
dan kelompok IV 84.
c. Selain rata-rata hasil belajar, dihitung pula rata-rata yang dikenai
perlakuan. Rata-rata yang diberi struktur belajar berantai 59 dan struktur belajar
diskriminasi ganda 82, sementara rata-rata yang mengikuti pembelajaran selama
90 menit adalah 70 dan yang 60 menit 71.

Beberapa pertanyaan yang dapat dijelaskan melalui rancangan penelitian ini di


antaranya:
a. Berapakah efek utama cara penyajian (X1) terhadap hasil belajar? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, bandingkanlah antara penyajian dengan struktur
belajar berantai (59) dengan diskriminasi ganda (82).
b. Bagaimanakah efek utama lamnaya penyajian (X2) terhadap hasil belajar
mahasiswa? Untuk menjawab ini, bandingkanlah antara mahasiswa yang diajar
selama 90 menit (70) dan 60 menit (71). Hal tersebut menunjukan bahwa lama
belajar tidak menimbulkan efek yang berbeda.
c. Bagaimanakah efek lama penyajian (X1) pada kelompok yang mendapat
penyajian selama 90 menit? Bandingkan antara kelompok I (60) dan III (80).
d. Bagaimanakah efek lama penyajian (X1) pada kelompok yang mendapat
penyajian selama 60 menit? Bandingkan antara kelompok II (58) dan IV (84).
e. Bagaimanakah efek cara belajar pada kelompok yang mendapat cara
belajar dengan struktur belajar berantai? Bandingkan antara kelompok I (60) dan
II (58).
f. Bagaimanakah efek cara belajar pada kelompok yang mendapat cara
belajar dengan struktur diskriminasi ganda? Bandingkan antara kelompok III (80)
dan IV (84).
g. Adakah efek interaksi antara cara penyajian (berantai atau diskriminasi)
dan lamanya penyajian? Bandingkan antara kelompok I dengan II dan Kelompok
III dengan IV (yang diajar selama 90 menit dan 60 menit). Apabila perbedaannya
cukup besar, berarti terdapatinteraksi atau sebaliknya. Pada contoh di atas
menunjukan bahwa interaksi yang terjadi kurang begitu berarti.

C. Desain Eksperimental Semu (Quasi-Experimental Design)


Quasiexperiments disebut juga dengan eksperimen pura-pura. Bentuk desain
ini merupakan pengembangan dari trueexperimental design yang sulit
dilaksanakan. Desain ini mempunyai variabel kontrol tetapi tidak digunakan
sepenuhnya untuk mengontrol variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen. Desain digunakan jika peneliti dapat melakukan kontrol atas
berbagai variabel yang berpengaruh, tetapi tidak cukup untuk melakukan
eksperimen yang sesungguhnya. Dalam eksperimen ini, jika menggunakan
random tidak diperhatikan aspek kesetaraan maupun grup kontrol. Bentuk-
bentuk quasiexperiments antara lain:

1. Time Series Design


Ciri desain ini adalah grup yang digunakan tidak dapat dipilih secara
random. Sebelum diberi perlakuan, grup diberi pretest sampai empat kali,
dengan maksud untuk mengetahui kestabilan dan kejelasan keadaan grup
sebelum diberi perlakuan. Jika hasil pretest selama empat kali ternyata
nilainya berbeda-beda, berarti grup tersebut dalam kondisi tidak stabil dan
tidak konsisten. Setelah kondisi tidak labil maka perlakuan dapat mulai
diberikan.

2. Nonequivalent Control Group Design


Desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control group design, tetapi
pada desain ini group eksperimen maupun group kontrol tidak dipilih secara
random.

DESAIN PENELITIAN PENGEMBANGAN

Pengertian
Menurut Sugiyono (2009: 407), metode penelitian dan pengembangan
adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu,
dan menguji keektifan produk tersebut. Untuk dapat menghasilkan produk tertentu
digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan (digunakan metode survey
atau kualitatif) dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat
berfungsi di masyarakat luas, maka diperlukan penelitian untuk menguji keektifan
produk tersebut (digunakan metode eksperimen). Lebih lanjut Borg and Gall
(dalam Sugiyono. 2009: 11) menyatakan bahwa untuk penelitian analisis
kebutuhan sehingga mampu dihasilkan produk yang bersifat hipotetik sering
digunakan metode penelitian dasar (basic research).
Selanjutnya untuk menguji produk yang masih bersifat hipotetik tersebut,
digunakan eksperimen atau action research. Setelah produk teruji, maka dapat
diaplikasikan. Proses pengujian produk dengan eksperimen tersebut dinamakan
penelitian terapan (applied research). Penelitian dan pengembangan bertujuan
untuk menemukan, mengembangkan dan memvalidasi suatu produk.Jadi
penelitian dan pengembangan bersifat longitudinal (bertahap bisa multy years).
Penelitian Hibah Bersaing (didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi),
adalah penelitian yang menghasilkan produk, sehingga metode yang digunakan
adalah metode penelitian dan pengembangan.
Produk yang ditemukan bisa berupa model, pola, prosedur, sistem. Dalam
bidang pendidikan, produk-produk yang dihasilkan melalui penelitian R&D
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pendidikan, yaitu lulusan yang
jumlahnya banyak, berkualitas, dan relevan dengan kebutuhan. Produk-produk
pendidikan yang dihasilkan dapat berupa kurikulum yang spesifik untuk
keperluan pendidikan tertentu, metode mengajar, media pendidikan, buku ajar,
modul, kompetensi tenaga kependidikan, sistem evaluasi, model uji kompetensi,
penataan ruang kelas untuk model pembelajar tertentu, model unit produksi,
model manajemen, sistem pembinaan pegawai, sistem penggajian dan lain-lain
(Sugiyono. 2009: 412). Sukmadinata (2008:190), mengemukakan penelitian dan
pengembangan merupakan pendekatan penelitian untuk menghasilkan produk
baru atau menyempurnakan produk yang telah ada. Produk yangdihasilkan bisa
berbentuk software, ataupun hardware seperti buku, modul, paket, program
pembelajaran ataupun alat bantu belajar. Penelitian dan pengembangan berbeda
dengan penelitian biasa yang hanya menghasilkan saran-saran bagi perbaikan,
penelitian dan pengembangan menghasilkan produk yang langsung bisa
digunakan.

Tujuan
1. Menghasilkan rancangan produk digunakan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran, dilakukan melalui uji-ahli.
2. Menguji keefektifan produk sebagai fungsi validasi, dilakukan melalui uji
coba terbatas, pada target di mana produk akan digunakan untuk
pembelajaran.
3. Menguji efisiensi, kemenarikan, dan kemudahan produk, di ujicoba
lapangan, pada target yang lebih luas dimana produk akan digunakan untuk
pembelajaran.

Langkah-langkah
Borg & Gall (1983: 775) mengembangkan 10 tahapan dalam
mengembangkan model, yaitu:
1) Research and information collecting, termasuk dalam langkah ini antara lain
studi literatur yang berkaitan denganpermasalahan yang dikaji, pengukuran
kebutuhan, penelitian dalam skala kecil, dan persiapan untuk merumuskan
kerangka kerja penelitian;
2) Planning, termasuk dalam langkah ini menyusun rencana penelitian yang
meliputi merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan
permasalahan, menentukan tujuan yang akan dicapai pada setiap tahapan,
desain atau langkah-langkah penelitian dan jika mungkin/diperlukan
melaksanakan studi kelayakan secara terbatas;
3) Develop preliminary form of product, yaitu mengembangkan bentuk
permulaan dari produk yang akan dihasilkan. Termasuk dalam langkah ini
adalah persiapan komponen pendukung, menyiapkan pedoman dan buku
petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung.
Contoh pengembangan bahan pembelajaran, proses pembelajaran dan
instrumen evaluasi;
4) Preliminary field testing, yaitu melakukan ujicoba lapangan awal dalam
skala terbatas, dengan melibatkan 1 sampai dengan 3 sekolah, dengan jumlah
6-12 subyek. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan
dengan cara wawancara, observasi atau angket;
5) Main product revision, yaitu melakukan perbaikan terhadap produk awal
yang dihasilkan berdasarkan hasil ujicoba awal. Perbaikan ini sangat mungkin
dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam
ujicoba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap
diuji coba lebih luas.
6) Main field testing, biasanya disebut ujicoba utama yang melibatkan khalayak
lebih luas, yaitu 5 sampai 15 sekolah, dengan jumlah subyek 30 sampai
dengan 100 orang. Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif, terutama
dilakukan terhadap kinerja sebelum dan sesudah penerapan ujicoba. Hasil
yang diperoleh dari ujicoba ini dalam bentuk evaluasi terhadap pencapaian
hasil ujicoba (desain model) yang dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Dengan demikian pada umumnya langkah ini menggunakan rancangan
penelitian eksperimen;
7) Operational product revision, yaitu melakukan perbaikan/penyempurnaan
terhadap hasil ujicoba lebih luas, sehingga produk yang dikembangkan sudah
merupakan desain model operasional yang siap divalidasi;
8) Operational field testing, yaitu langkah uji validasi terhadap model
operasional yang telah dihasilkan. Dilaksanakan pada 10 sampai dengan 30
sekolah melibatkan 40 samapi dengan 200 subyek. Pengujian dilakukan
melalui angket, wawancara, dan observasi dan analisis hasilnya. Tujuan
langkah ini adalah untuk menentukan apakah suatu model yang
dikembangkan benar-benar siap dipakai di sekolah tanpa harus dilakukan
pengarahan atau pendampingan oleh peneliti/pengembang model;
9) Final product revision, yaitu melakukan perbaikan akhir terhadap model yang
dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final);
10) Dissemination and implementation, yaitu langkah menyebarluaskan
produk/model yang dikembangkan kepada khalayak/masyarakat luas,
terutama dalam kancah pendidikan. Langkah pokok dalam fase ini adalah
mengkomunikasikan dan mensosialisasikan temuan/model, baik dalam
bentuk seminar hasil penelitian, publikasi pada jurnal, maupun pemaparan
kepada skakeholders yang terkait dengan temuan penelitian.

Penyusunan model dan pengembangannya juga dikemukakan oleh Hoge,


Tondora, & Marrelli (2005: 533-561). Ada 7 langkah yang harus dilalui, dimana
setiap langkah memiliki hubungan keterkaitan antara satu dan lainnya, langkah
tersebut adalah:
1) Menetapkan tujuan (Defining the Obyectives), termasuk dalam langkah
ini adalah tujuan penyusunan model, alat untuk menganalisa model, siapa
yang akan mengaplikasikan model, dan apakah model tersebut cocok
untuk dilaksanakan saat ini;
2) Mencari dukungan sponsor (Obtain the Support of a Sponsor), kegiatan
ini menyangkut masalah pendanaan dalam rangka penyusunan model,
selain itu juga mencari orang-orang yang akan terlibat dalam penyusunan
dan pengembangan model;
3) Mengembangkan dan mengimplementasikan komunikasi dan rencana
pendidikan (Develop and Implement a Communication and Education
Plan), tahap ini adalah mengembangkan komunikasi dengan berbagai
pihak yang akan terlibat dalam penyusunan dan juga merencanakan
pengetahuan tentang model melalui studi teori dan studi model yang telah
dikembangkan;
4) Perencanaan metode (Plan the Methodology), yaitu menyusun metode
yang akan digunakan untuk menyusun model;
5) Mengidentifikasikan model dan menyusun model (Identify the model and
Create the Model), hal ini mencakup pengumpulan data yang diperlukan
dalam penyusunan model dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan
unsur, prosedur dan tujuan akhir dari penyusunan model;
6) Mengaplikasikan model (Apply the Model), tujuan dalam tahapan ini
adalah menguji model yang sudah disusun, apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan;
7) Evaluasi dan memperbaiki model (Evaluate and Uptodate the Model),
dari hasil pengaplikasian model perlu dinilai apakah model yang sudah
dikembangkan bisa diaplikasikan, dan mungkin perlu ada penambahan
dan pengurangan agar model lebih baik, dan jika sudah diidentikasi
kekurangan dan kelebihannya, maka model perlu diperbaiki sebagai
produk akhir.
Sedangkan menurut Draganidis, Fotis dan Gregoris Mentzas (2006: 51-64)
pengembangan model memiliki 9 langkah yaitu:
1) Membentuk tim penyusun model (Creation of Model Sistems Team
(CST), terdiri dari orang-orang yang akan mendalami bagaimana
dalamnya suatu pekerjaan yang ada dalam model tersebut, biasanya terdiri
dari eksekutif, manajer, dan pemilik dan mereka bertanggungjawab secara
keseluruhan;
2) Identifikasi metrik kinerja dan memvalidasi sampel (Identification of
performance Metrics and Validation Sample), menentukan skala untuk
menentukan tingkat superior, menengah dan terbatas untuk pekerjaan
dalam model;
3) Mengembangkan daftar kebutuhan tentatif (Development of Tentative
Needs List), CST mengembangkan daftar kompetensi awal yang akan
digunakan sebagai dasar membentuk model, pengembangan daftar
kebutuhan akan sukses dengan mempertimbangkan organisasi lain yang
sudah membuat dan dipadukan sencana strategi organisasi;
4) Menentukan kompetensi dan indikator perilaku (Definition of Models and
Process Indicators), tahap ini mengumpulkan informasi tentang
komponen model yang dibutuhkan untuk menyusun model dengan diskusi
kelompok, survey lapangan;
5) Mengembangkan inisial model (Development of an Initial Model), CST
mengembangkan initial kebutuhan model berdasarkan data yang telah
dikumpulkan dan telah dianalisa secara kuantitatif dan analisa isi sesuai
dengan topik interview dan hasil diskusi kelompok;
6) Mengadakan pengecekan pada initial model (Cross-Check of Initial
Model), sangat perlu untuk mengadakan cek ulang dengan mewawancarai
pelaksana atau membuat tambahan kelompok diskusi dengan orang yang
tidak terlibat pada model yang telah dilaksanakan sebelumnya;
7) Pensortiran model (Model Refinement), dengan menggunakan analisa
yang sama yang telah digunakan pada tahap pengembangan inisial model
untuk menyeleksi model;
8) Validasi model (Validation of the Model), mulai melaksanakan validasi
model yang telah dikembangkan untuk mendapat pengukuhan;
9) Menyempurnakan model (Finalize the Model), menyingkirkan sejumlah
komponen dan proses yang tidak ada hubungannya dengan tujuan model.

Model
1. Model Pengembangan Perangkat menurut Kemp
Menurut Kemp (dalam, Trianto, 2007: 53) Pengembangan perangkat
merupakan suatu lingkaran yang kontinum. Tiap-tiap langkah
pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas revisi.
Pengembangan perangkat ini dimulai dari titik manapun sesuai di dalam
siklus tersebut. Pengembangan perangkat model Kemp memberi
kesempatan kepada para pengembang untuk dapat memulai dari
komponen manapun. Namun karena kurikulum yang berlaku secara
nasional di Indonesia dan berorientasi pada tujuan, maka seyogyanya
proses pengembangan itu dimulai dari tujuan.
Model pengembangan sistem pembelajaran ini memuat pengembangan
perangkat pembelajaran. Terdapat sepuluh unsur rencana perancangan
pembelajaran. Kesepuluh unsur tersebut adalah:
1) Identifikasi masalah pembelajaran, tujuan dari tahapan ini adalah
mengidentifikasi antara tujuan menurut kurikulum yang berlaku
dengan fakta yang terjadi di lapangan baik yang menyangkut model,
pendekatan, metode, teknik maupun strategi yang digunakan guru.
2) Analisis Siswa, analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkah laku
awal dan karateristik siswa yang meliputi ciri, kemampuan dan
pengalaan baik individu maupun kelompok.
3) Analisis Tugas, analisis ini adalah kumpulan prosedur untuk
menentukan isi suatu pengajaran, analisis konsep, analisis pemrosesan
informasi, dan analisis prosedural yang digunakan untuk
memudahkan pemahaman dan penguasaan tentang tugas-tugas belajar
dan tujuan pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk Rencana
Program Pembelajaran (RPP) dan lembar kegiatan siswa (LKS)
4) Merumuskan Indikator,  Analisis ini berfungsi sebagai (a) alat untuk
mendesain kegiatan pembelajaran, (b) kerangka kerja dalam
merencanakan mengevaluasi hasil belajar siswa, dan (c) panduan
siswa dalam belajar.
5) Penyusunan Instrumen Evaluasi,  Bertujuan untuk  menilai hasil
belajar, kriteria  penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan
patokan, hal ini dimaksudkan untuk mengukur ketuntasan pencapaian
kompetensi dasar yang telah dirumuskan.
6) Strategi Pembelajaran,  Pada tahap  ini pemilihan strategi belajar
mengajar yang sesuai dengan tujuan. Kegiatan ini meliputi: pemilihan
model, pendekatan, metode, pemilihan format, yang dipandang
mampu memberikan  pengalaman yang berguna untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
7) Pemilihan media atau sumber belajar,  Keberhasilan pembelajaran
sangat tergantung pada penggunaan sumber pembelajaran atau media
yang dipilih, jika sumber-sumber pembelajaran dipilih dan disiapkan
dengan hati-hati, maka dapat memenuhi tujuan pembelajaran.
8) Merinci pelayanan penunjang yang diperlukan untuk
mengembangkan dan melaksanakan dan melaksanakan semua
kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.
10) Menyiapkan evaluasi hasil belajar dan hasil program.
11) Melakukan kegiatan revisi perangkat pembelajaran, setiap langkah
rancangan pembelajaran selalu dihubungkan dengan revisi. Kegiatan
ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dan memperbaiki rancangan
yang dibuat.

2. Model Pengembangan Pembelajaran Menurut Dick & Carey


Perancangan pengajaran menurut sistem pendekatan model Dick &
Cerey, yang dikembangkan oleh Walter Dick & Lou Carey (dalam,
Trianto, 2007: 61). Model pengembangan ini ada kemiripan dengan model
yang dikembangkan Kemp, tetapi ditambah dengan komponen
melaksanakan analisis pembelajaran, terdapat beberapa komponen yang
akan dilewati di dalam proses pengembangan dan perencanaan tersebut.
Dari model di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Identifikasi Tujuan (Identity Instruyctional Goals). Tahap awal
model ini adalah menentukan apa yang diinginkan agar siswan
dapat melakukannya ketika mereka telah menyelesaikan program
pengajaran. Definisi tujuan pengajaran mungkin mengacu pada
kurikulum tertentu atau mungkin juga berasal dari daftar tujuan
sebagai hasil need assesment.,  atau dari pengalaman praktek
dengan kesulitan belajar siswa di dalam kelas.
2) Melakukan Analisis Instruksional (Conducting a goal Analysis).
Setelah mengidentifikasi tujuan pembelajaran, maka akan
ditentukan apa tipe belajar yang dibutuhkan siswa. Tujuan yang
dianalisis untuk mengidentifikasi keterampilan yang lebih khusus
lagi yang harus dipelajari. Analisis ini akan menghasilkan carta atau
diagram tentang keterampilan-keterampilan/ konsep dan
menunjukkan keterkaitan antara keterampilan konsep tersebut.
3) Mengidentifikasi Tingkah Laku Awal/ Karakteristik Siswa (Identity
Entry Behaviours, Characteristic) Ketika melakukan analisis
terhadap keterampilan-keterampilan yang perlu dilatihkan dan
tahapan prosedur yang perlu dilewati, juga harus dipertimbangkan
keterampilan apa yang telah dimiliki siswa saat mulai mengikuti
pengajaran. Yang penting juga untuk diidentifikasi adalah
karakteristik khusus siswa yang mungkin ada hubungannya dengan
rancangan aktivitas-aktivitas pengajaran
4) Merumuskan Tujuan Kinerja (Write Performance Objectives)
Berdasarkan analisis instruksional dan pernyataan tentang tingkah
laku awal siswa, selanjutnya akan dirumuskan pernyataan khusus
tentang apa yang harus dilakukan siswa setelah menyelesaikan
pembelajaran.
5) Pengembangan Tes Acuan Patokan (developing criterian-referenced
test items). Pengembangan Tes Acuan Patokan didasarkan pada
tujuan yang telah dirumuskan, pengebangan butir assesmen untuk
mengukur kemampuan siswa seperti yang diperkirakan dalam
tujuan
6) Pengembangan strategi Pengajaran (develop instructional strategy).
Informasi dari lima tahap sebelumnya, maka selanjutnya akan
mengidentifikasi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan akhir.
Strategi akan meliputi aktivitas preinstruksional, penyampaian
informasi, praktek dan balikan, testing, yang dilakukan lewat
aktivitas.
7) Pengembangan atau Memilih Pengajaran (develop and select
instructional materials). Tahap ini akan digunakan strategi
pengajaran untuk menghasilkan pengajaran yang meliputi petunjuk
untuk siswa, bahan pelajaran, tes dan panduan guru.
8) Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Formatif (design and
conduct formative evaluation). Evaluasi dilakukan untuk
mengumpulkan data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi
bagaimana meningkatkan pengajaran.
9) Menulis Perangkat (design and conduct summative evaluation).
Hasil-hasil pada tahap di atas dijadikan dasar untuk menulis
perangkat yang dibutuhkan. Hasil perangkat selanjutnya divalidasi
dan diujicobakan di kelas/ diimplementasikan di kelas.
10) Revisi Pengajaran (instructional revitions). Tahap ini mengulangi
siklus pengembangan perangkat pengajaran. Data dari evaluasi
sumatif yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya diringkas dan
dianalisis serta diinterpretasikan untuk diidentifikasi kesulitan yang
dialami oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Begitu
pula masukan dari hasil implementasi dari pakar/validator.
3. Model Pengembangan 4-D
Model pengembangan 4-D (Four D) merupakan model pengembangan
perangkat pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S. Thagarajan,
Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4D
terdiri atas 4 tahap utama yaitu: (1) Define (Pembatasan), (2) Design
(Perancangan), (3) Develop (Pengembangan) dan Disseminate
(Penyebaran), atau diadaptasi Model 4-P, yaitu Pendefinisian,
Perancangan,
Secara garis besar keempat tahap tersebut sebagai berikut (Trianto,
2007 : 65 – 68).
1) Tahap Pendefinisian (define). Tujuan tahap ini adalah menentapkan
dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran di awali dengan
analisis tujuan dari batasan materi yang dikembangkan
perangkatnya. Tahap ini meliputi 5 langkah pokok, yaitu: (a)
Analisis ujung depan, (b) Analisis siswa, (c) Analisis tugas. (d)
Analisis konsep, dan (e) Perumusan tujuan pembelajaran.
2) Tahap Perencanaan (Design ). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan
prototipe perangkat pembelajaran. Tahap ini terdiri dari empat
langkah yaitu, (a) Penyusunan tes acuan patokan, merupakan
langkah awal yang menghubungkan antara tahap define dan tahap
design. Tes disusun berdasarkan hasil perumusan Tujuan
Pembelajaran Khusus (Kompetensi Dasar dalam kurikukum KTSP).
Tes ini merupakan suatu alat mengukur terjadinya perubahan
tingkah laku pada diri siswa setelah kegiatan belajar mengajar, (b)
Pemilihan media yang sesuai tujuan, untuk menyampaikan materi
pelajaran, (c) Pemilihan format. Di dalam pemilihan format ini
misalnya dapat dilakukan dengan mengkaji format-format perangkat
yang sudah ada dan yang dikembangkan di negara-negara yang
lebih maju.
3) Tahap Pengembangan (Develop). Tujuan tahap ini adalah untuk
menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi
berdasarkan masukan dari pakar. Tahap ini meliputi: (a) validasi
perangkat oleh para pakar diikuti dengan revisi, (b) simulasi yaitu
kegiatan mengoperasionalkan rencana pengajaran, dan (c) uji coba
terbatas dengan siswa yang sesungguhnya. Hasil tahap (b) dan (c)
digunakan sebagai dasar revisi. Langkah berikutnya adalah uji coba
lebih lanjut dengan siswa yang sesuai dengan kelas sesungguhnya.
4) Tahap penyebaran (Disseminate). Pada tahap ini merupakan tahap
penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang
lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, oleh guru yang
lain. Tujuan lain adalah untuk menguji efektivitas penggunaan
perangkat di dalam KBM.

4. Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)


Secara garis besar, model pengembangan PPSI mengikuti pola dan
siklus pengembangan yang mencakup:
(1) perumusan tujuan
(2) pengembangan alat evaluasi
(3) kegiatan belajar
(4) pengembangan program kegiatan
(5) pelaksanaan pengembangan
Sesuai bagan di atas, perumusan tujuan menjadi dasar bagi
penentuan alat evaluasi pembelajaran dan rumusan kegiatan belajar.
Rumusan kegiatan belajar lebih lanjut menjadi dasar pengembangan
program kegiatan, yang selanjutnya adalah pelaksanaan pengembangan.
Hasil pelaksanaan tentunya dievaluasi, dan selanjutnya hasil evaluasi
digunakan untuk merevisi pengembangan program kegiatan, rumusan
kegiatan belajar, dan alat  evaluasi.

5. Constructivist Instructional Design (C-ID)


C-ID adalah suatu model pengembangan pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivistik dengan pola kerja R2D2 (Reflective,
Recursive, Design, andDevelopment). Struktur model C-ID itu terdiri dari
4 tahap, yakni:
(1) difine,
(2) design,
(3) development, dan
(4) dissemination.
Pengembangan model pembelajaran yang berpijak pada pandangan
konstruktivisme berbeda dengan pandangan behaviorisme (misalnya
model Dick dan Carey). Model pengembangan pembelajaran yang
konstruktivis memiliki beberapa karakteristik, diantaranya:
(1) proses pengembangan pembelajaran bersifat recursive, non-linier,
dan tidak ada kepastian(chaos)
(2) desain bersifat reflektif dan kolaboratif
(3) tujuan muncul dari pekerjaan desain dan pengembangan
(4) pembelajaran menekankan pada belajar dalam konteks yang
bermakna
(5) evaluasi formatif menentukan
(6) data subyektif lebih bernilai.
DAFTAR PUSTAKA

Alsa, Asmadi. (2004) Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dalam Penelitian


Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Arikunto, S. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Ary, D., Jacob, L.C. and Razavieh, A. (1985). Introduction to Research in
Education. 3rd Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Fred N. Kerlinger. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Gay, L.R. (1983). Educational Research Competencies for Analsis & Application.
2nd Edition. Ohio: A Bell & Howell Company.
Hadi, Sutrisno. (1985) Metodologi Research Jilid 4. Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Latipun. (2002) Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.
Ross, S.M., & Morrison , G.R. (2003). Experimental Research
Methods. Ln D. Jonassen (Ed.) Handbook of Research for Educational
Communications and Technology. (2ndEd.). (pp 1021-1043). Mahwah Nj:
Lawrence Erlbaum Associates.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sukardi. (2011). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan
Praktiknya.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suryabrata, Sumadi. (2011). Metode Penelitian. Jakarta: PT RajaGravindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai