Anda di halaman 1dari 22

STRATEGI COPING PADA WANITA KARIER YANG MEMILIKI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan ke Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Politik Universitas Abdurrab


sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

RAHMAT SUGANDA
1873201047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2022
Strategi Coping Pada Wanita Karier yang Memiliki Anak Berkebutuhan

Khusus

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan ke Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Politik Universitas Abdurrab

Sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk

Mendapatkan gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

RAHMAT SUGANDA
NIM: 1873201047

Dipersetujui oleh:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Auliya Syaf, M. Psi., Psikolog Muhammad Fadhli, M.A


NIDN. 1030048320 NIDN. 1024059201
STRATEGI COPING PADA WANITA KARIER YANG MEMILIKI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS

Rahmat Suganda, Auliya Syaf, dan Muhammad Fadhli


Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Politik
Universitas Abdurrab Pekanbaru
rahmat.suganda@student.univrab.ac.id, auliya.syaf@univrab.ac.id,
muhammad.fadhli@univrab.ac.id

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara wanita karier yang
memiliki anak berkebutuhan khusus menyikapi permasalahan dan melihat bagaimana
bentuk strategi coping yang dilakukan subjek, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif deangan pendekatan fenomenologi dan menggunakan teknik purporsive
sampling dengan menggali informasi secara langsung kepada subjek yang
bersangkutan adalah subjek PS dan subjek LL dan bekerja di instansi pendidikan
yang telah memenuhi kriteria pada penelitian ini.Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur.Hasil penelitian ini
menemukan bahwa wanita karier yang memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki
berbagai macam strategi coping yang digunakan untuk menghadapi stress yang
ditimbulkan dikarenakan memiliki anak berkebutuhan khusus. Kepada ibu yang
memiliki anak berkebutuhan khusus dan sebagai wanita karier di harapkan mampu
menggunakan strategi coping yang baik sehingga dapat mengatasi stress yang
dihadapi. Terkait strategi coping yang dapat digunakan adalah problem focused
coping dan emotion focused coping.
Kata Kunci: Strategi Coping, Wanita Karier, Anak Berkebutuhan Khusus
COPING STRATEGIES FOR CAREER WOMEN WHO HAVE CHILDREN
WITH SPECIAL NEEDS

Rahmat Suganda, Auliya Syaf, and Muhammad Fadhli


Faculty of Psychology and Socio-Political Science
Abdurrab University Pekanbaru
rahmat.suganda@student.univrab.ac.id, auliya.syaf@univrab.ac.id,
muhammad.fadhli@univrab.ac.id
Abstract

This study was conducted to find out how career women who have children with
special needs respond to problems and see how the form of coping strategies is
carried out by the subject, this study uses a qualitative method with a
phenomenological approach and uses a purporsive sampling technique by digging up
information directly to the subject concerned is the subject. PS and LL subjects and
work in educational institutions that have met the criteria in this study. The data
collection technique in this study used a semi-structured interview method. The
results of this study found that career women who have children with special needs
have various coping strategies that are used to face stress caused by having children
with special needs. Mothers who have children with special needs and as career
women are expected to be able to use good coping strategies so that they can
overcome the stress they face. Related coping strategies that can be used are problem
focused coping and emotion focused coping.
Keywords: Coping Strategies, Career Women, Children with Special Needs
PENDAHULUAN
Wanita termasuk kedalam makhluk istimewa dari golongan manusia yang

diciptakan oleh Allah SWT untuk dijadikan pasangan kepada kaum laki-laki

(Basiron, 2006).Menurut Beneria (2015) Wanita diklasifikasikan dengan dua

peran, yaitu peran reproduktif dan peran produktif.Peran reproduktif meliputi

reproduksi biologis (melahirkan), sedangkan peran produktif mencakup kegiatan

kerja yang menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis (aktif secara ekonomi),

dan biasa disebut sebagai wanita karir.

Wanita karier menurut Anoraga (2006) adalah wanita yang menjalani

keberhasilan dan kesuksesan pada kerjanya, ia juga mengatakan lagi bahwa yang

dimaksud dengan karier adalah wanita yang memiliki pekerjaan apa saja yang

penting mendapatkan kesuksesan dalam hidupannya dengan tidak mengurangi

kedudukan sebagai wanita. Duxbury dan Higgins (2010) mengatakan bahwa

wanita karier mendapatkan tanggung jawab dalam dirinya, meliputikomitmen

terhadap kerja dan memberikan perhatian pada keluarga sebagai istri dan ibu.

Terlebih lagi jika ia mengharapkan anak yang di lahirkannya tidak hanya

sekedar pintar dan sukses seperti ibunya yang berkarier bagus, tetapi juga

mengharapkan agar anaknya menjadi anak shaleh atau shalehah (Dahar, 2011).

Tetapi tidak semua anak terlahir dengan pewarisan sifat ibu atau ayahnya,

karena beberapa dari mereka ada yang mendapat hambatan seperti gangguan

keterlambatan, sehingga diperlukannya penanganan yang khusus, anak dengan

perkembangan tidak normal dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK)

(Setyaningrum 2010)

3
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan pengasuhan

khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak,

yang dikenal juga dengan istilah disabilitas, untuk memahami anak berkebutuhan

khusus ini juga bisa dilihat dari beberapa konteks, ada yang bersifat biologis,

psikologis, dan sosio-kultural (Desningrum, 2007).

Mangunsong (2011) mengatakan kebutuhan khusus yang dimiliki anak juga

berdampak pada karier orang tua khususnya seorang ibu yang sudah bekerja

sebelum ia memiliki anak tersebut. Beban tersebut mengakibatkan emosional

dimana ibu dengan anak berkebutuhan khusus dituntut menghadapi peran berbeda

dari ibu yang lain yang bisa di sebut dengan stress (Faradina, 2017).

Stress adalah suatu kondisi yang ditandai dengan reaksi emosional, fisik,

kognitif, dan perilaku terhadap suatu peristiwa yang dianggap mengancam atau

menantang individu Ciccarelli (2014). Menurut Gibson (2009) stres adalah suatu

respon penyesuaian yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses

psikologis yang terjadi sebagai akibat dari setiap tindakan dari lingkungan, situasi,

atau peristiwa sekitarnya yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik yang

berlebihan pada individu.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miranda (2013) menyatakan bahwa

seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami stress, tetapi

mereka berusaha mengatasi stress yang dialaminya itu dengan cara strategi

coping. Menurut Coon (2010), strategi coping adalah jenis aplikasi yang

dilakukan dengan tujuan pengurangan stress serta dapat meningkatkan

keterampilan coping dengan cara berfikir dan berperilaku. Strategi coping adalah

4
perbuatan yang bisa digunakan semua orang untuk menoleransi, menguasai, serta

mengurangi efek stress, dan itu dapat mencakup strategi perilaku dan psikologis

(Cicarelli, 2015).

Menurut Bawalsah (2016) strategicopingadalah usaha yang dilakukan

untuk memecahkan situasi stress. Strategi coping juga dikatakan sebagai upaya

mengatasi stress dari internal ataupun eksternal (Yusri & Farida, 2019). Pitasari

dan Cahyono (2014) juga mengatakan strategicoping sebagai segala usaha pada

tindakan untuk mengelola, mengurangi, meminimalisir tuntutan atau konflik baik

secara internal ataupun eksternal.

Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan strategi coping untuk

menghadapi stress dibedakan menjadi dua, yaitu: problem-focus coping dan

emotion-focused coping. Problem-focused coping atau berfokus pada masalah

merupakan upaya untuk mengurangi stress dengan mempelajari metode atau

teknik baru yang dapat digunakan untuk mengubah situasi, atau topik

permasalahan, sedangkan emotion-focused coping atau berfokus pada emosi

merupakan upaya untuk mengendalikan respon emosional terhadap situasi yang

sangat menegangkan.

Strategi coping stress ini dapat mencakup stress perilaku dan psikologis

pada individu Ciccarelli (2014). Akibatnya, strategi coping stress yang baik akan

menguntungkan diri sendiri dan dapat mengurangi stress yang sedang

berlangsung maupun yang akan terjadi.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wardani

(2009) mengatakan, banyak subjek penelitian yang dilakukan olehnya lebih

5
cenderung menggunakan problem focused coping, dalam hal ini peneliti

memberikan kesimpulan pada hasil penelitiannya yaitu dampak positif dari

perilaku coping yang dilakukan oleh subjek miliknya yaitu subjek mampu

menerima keadaan anaknya yang berkebutuhan khusus, dan juga membuat

keadaan subjeknya menjadi motivator untuk lebih giat bekerja karena subjek tau

biaya sang anak yang tidak sedikit.

Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat gambaran strategi coping

stress dengan mengangkat judul “Strategi Coping Stress pada Wanita Karier

yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus”.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Teknik yang digunakan adalah teknik

purposive sampling, yaitu menentukan responden berdasarkan

kriteria tertentu. Adapun jumlah responden dalam penelitian ini

berjumlah dua orang dengan nama inisial PS dan LL dengan

karakteristik : Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan kriteria

gangguan emosi, perilaku, dan intelektual, usia anaknya yang berkebutuhan

khusus maksimal 15 tahun, dan tinggal bersama anaknya yang berkebutuhan

khusus. Yang bersedia menceritakan pengelaman terkait tentang

strategi coping pada wanita karier yang memiliki anak berkebutuhan

khusus.

HASIL PENELITIAN

6
Analisi hasil penelitian didapat dengan mengelompokan temuan dari

pengalaman kedua subjek penelitian terkait proses strategi coping

1. Subjek PS

a. Penerimaan

“Saya akan terima walaupun dibilang gini kata dokter, apa


boleh buat gan” (W1.P1. 164-165)

“Tidak lagi, eee saya uda enjoy menerima apa adanya anak
saya ini apapun ini adalah anak saya tidak perlu lagi stress
kita hadapilah sepahit apapun apalagi perubahan dari tahap
anak-anak ke remaja kompleksitasnya sulit memang, tapi lebih
sulit kalau uda remaja di banding anak-anak” (W1.P1. 435-
440)

“Iyaa, tapi belajarlah aku gan menerima dia. Biarlah tuhan,


mungkin inilah kau berikan untuk ku” (W2.P1. 167-169)

“Namanya anak pertama gak mau kita menerima ini yakan


seperti ini keadaan dia, jadi apa lah gan usia tiga tahun
empat tahun sampai eee makanya empat tahun itu full ke
dokter supaya dia normal kubuat” (W2.P1. 364-369)

“……tetap aku terima dia gan anak yang berkebutuhan khusus


ini, yang autis hiperaktif itu kata dokter itu sama
aku……” (W2.P1. 477-479)

“Yaa mau tidak mau harus siap, sebab dia ada di hidup ku
mau tidak mau, tidak ada alasan untuk tidak siap, siapa lagi
yang perduli dengan dia, siapa lagi yang meee karena malu
dia dialah maluku juga, karena dia dia jiwa ku gan” (W2.P1.
730-735)

“Iya seharusnya kalau dokter uda tau itu tapi gimana lah
uda garis tangan ku itu, memang anak anugrah katanya anak
titipan tuhan kan ya di pelihara lah dia sebaik
mungkin”(W2.P1. 884-889)

“memang uda kenyataan bagaimana mungkin kita menghindari


kenyataan ini kan enggak, ya hadapi lah, berilah dia makan,
minum, kasih sayang, pakaiannya, mandikan apa segala macam”
(W2.P1. 896-900)

7
b. Keaktifan Diri

“Saya berusaha tegar, bayangkan lah saya di greja aktif”


(W1.P1.454-455)

“Berbagi yaa, bahkan di organisasi margapun saya aktif


bendahara saya di situ. Kalau memang uda stress gak mungkin,
tapi dia tau ohh mama nya ini karier, wanita karier”
(W1.P1. 457-460)

c. Perencanaan (Pleanning)

“Saya akan lebih proteksi lagi dengan dia……” (W2.P1.


684)

“Iyaaa iyaa, jadi uda ku siapkan lah parasetamol di rumah,


anti biotik di rumah, air hangat segala macam, semuanya uda
ku siapkan, karena kan gak tau kapan dia demam” (W2.P1.
224-227)

“Ya kita siapkan aja pakaiannya yakan, soptekx nya semuanya


kita persiapkan, karena kan normal pun dia manusia itu ya
seperti itu ya sama aja kan, Cuma perilakunya yang berbeda,
ya kita siapkan juga eee bagaimana dia walaupun dia tidak
tau apa-apa ya biarlah kita yang memproteksi diri dia,
lindungi dia, membuat dia lebih nyaman, kalau memang nanti
rasa sakit ada saya beli lah minumannya kan” (W2.P1.756-
765)

Pernyataan di atas terhadap subjek PS menunjukkan bahwa

subjek PS telah melakukan penerimaan dengan kondisi anaknya yang

berkebutuhan khusus, subjek PS juga melakukan keaktifan diri di

luar rumah untuk mengurangi stress yang akan terjadi dengan

kondisi subjek PS yang bekerja dan memeiliki anak berkebutuhan

khusus, subjek PS juga melakukan perencanaan untuk anaknya yang

berkebutuhan khusus sejak anaknya mengalami step saat balita

hingga mempersiapkan masa remaja putrinya yang berkebutuhan khusus

tersebut.

8
Analisis hasil penelitian dilakukan dengan mengelompokkan kedalam

beberapa tema yang disusun dengan mengacu pada aspek-aspek strategi coping

menurut Lazarus dan Folkman, 1984 yaitu:

Problem Focused Coping

a. Planful Problem-Solving

Dapat diketahui bahwa subjek PS selalu berusaha untuk

memeriksakan anaknya ke berbagai rumah sakit dan berbagai dokter

spesialis dengan harapan agar subjek PS mendapatkan pernyataan

yang berbeda dari dokter-dokter yang di kunjungi, namun

kenyataannya tidak sesuai harapan, justru semua rumah sakit dan

dokter yang subjek PS kunjungi memberikan pernyataan yang sama

terhadap anaknya bahwa anaknya mengalami autis.

b. Confrontative Coping

Dalam hal ini berkenaan dengan cara menyelesaikan masalah

secara langsung juga tampak oleh subjek PS yang memiliki anak

berkebutuhan khusus, dapat diketahui oleh peneliti kepada subjek

PS bahwa subjek PS selalu bertindak secepat mungkin saat anaknya

yang berkebutuhan khusus ini membutuhkan subjek PS meskipun subjek

PS dalam kondisi bekerja, subjek PS tetap menyempatkan diri untuk

melihat kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus ini di rumahnya.

c. Seeking Sosial Support

9
Hal ini dapat diketahui bahwa subjek PS saat merasa tertekan

dengan keadaan yang dijalaninya maka subjek PS lebih memilih untuk

bercerita dengan suami, kakak, dan ibu subjek yang bisa di

katakana hanya kepada orang-orang terdekat subjek PS saja.

Emotion Focused Coping

a. Positive Reaprasial

Dalam hal ini dapat terlihat bahwa subjek PS selalu memberi

pengharapan kepada putrinya yang berkebutuhan khusus ini agar

menjadi lebih baik, menjadi lebih mandiri dan subjek PS juga

selalu bersyukur kepada tuhan dengan pemberian anaknya yang

berkebutuhan khusus ini.

a. Accepting Responsibility

Hal ini dapat terlihat dari pernyataan subjek PS yang

mengatakan bahwa subjek PS tetap berusaha menguatkan dirinya meski

dalam kondisi lemah dalam menghadapi cobaan memiliki anak

berkebutuhan khusus seperti saat ini.

a. Distancing

Dalam hal ini yang dilakukan oleh subjek PS untuk mengurangi

stress yang dialaminya dengan melakukan jaga jarak ataupun lebih

baik diam kepada orang-orang yang tidak di percayainya ataupun

orang lain selain keluarganya dengan alasan subjek PS jika

10
bercerita dengan orang lain maka tidak ada solusi apapun yang di

dapatnya untuk anaknya yang berkebutuhan khusus tersebut.

2. Subjek LL

1. Penerimaan

“pertama tau itu memang syok lo gan, kayak mana gak kita
mengharapakan anak kita itu normal yakan, tapi uda kayak
gitu ya kita mau tak mau terimalah dengan keadaan anak
yang begitu yakan” (W1.P2. 73-78)

“Kayak mana lah gan, uda usia empat bulan itu uda jadi
manusia ya ibu gak tega, gak tega ibu ngeluarkan uda jadi
anak kok yaudah lah apa adanya insya’allah kalau memang
dia eeee di izinkan allah ini lahir anak ini apapun
keadaannya awak harus siap menerima keadaannya, uda gitu
aja ibu” (W2.P2. 312-318)

2. Mental Disengagement (Pelepasan Mental)

“Iyaa intinya gak ibu fikirkan kali lah, pokoknya ibu


mau fokus sama Gilang, Gilang bisa mandiri, Gilang bisa
sehat, gilang bisa belajar kayak mana yang dia mau,
misalnya kayak masak” (W1.P2. 398-402)

“Ibu cuekin aja, ibu orang itu ngomong apa ibu tetap
melakukan apa yang menurut ibu bener, apa yang menurut
ibu bisa membuat anak ibu ini maju, ibu gak peduli mau
orang itu kayak mana kayak mana ibu gak peduli” (W2.P2.
397-401)

“Ohh gak gak pernah ibu openin itu, nambah beban ibu
rasanya melawan itu semua” (W2.P2. 404-405)

“Cuek aja ibu, gak ibu openin” (W2.P2. 406)

3. Managemen Waktu

“Kalau, kalau solusi ibu sih bagi waktu aja, karena


Gilang uda bisa di kendalikan gak seperti dulu

11
hyperaktifnyaa, jadi gilang tu uda tau jam-jamnya……”
(W1.P2. 343-346)

“Haa itu yang gak merepotkan ibu, makanya ibu bisa


membagi antara kerja, ngurus dia dengan ngurus rumah kan
gitu……” (W1.P2. 362-364)

“Yaa bagi waktu itu sebenernya susah, cuma awak memang


harus berjuang untuk dia, kalau gak kita siapa lagi
cubak gan……” (W1.P2. 587-590)

“Iya rutin dalam seminggu paling gak nya dua kali


setiap ibu pulang kerja langsung ibu bawak dia bermain,
bermain dia disitu” (W2.P2. 92-94)

Pernyataan di atas terhadap subjek LL menunjukkan bahwa

subjek LL telah melakukan penerimaan dengan kondisi anaknya yang

berkebutuhan khusus sejak dari awal kandungan subjek LL, subjek LL

juga melakukan Mental Disengagement (Pelepasan Mental) agar subjek

tidak terpengaruh ataupun tidak merasa sakit hati dengan omongan

orang tentang anaknya yang berekbutuhan khusus, subjek PS juga

melakukan managemen waktu agar bisa mengkondisikan dalam keadaan

subjek sebagai wanita karier, mengurus rumah tangga, bahkan sampai

mengurus anaknya yang berkebutuhan khusus tersebut.

Analisis hasil penelitian dilakukan dengan mengelompokkan kedalam

beberapa tema yang disusun dengan mengacu pada aspek-aspek strategi coping

menurut Lazarus dan Folkman, 1984 yaitu:

Problem Focused Coping

a. Planful Problem-Solving

12
Hal ini dapat diketahui bahwa subjek LL selalu berusaha untuk

anaknya sejak dalam kandungan karena telah divonis oleh dokter

bahwa anaknya terkena virus yang akan mengakibatkan ketidak

normalan pada anaknya hingga sampai lahir pun subjek selalu

berusaha untuk membuat anaknya bisa mandiri dengan cara terapi

hingga sekolah pun sudah pernah di berikan oleh subjek LL untuk

anaknya yang berkebutuhan khusus tersebut.

b. Confrontatif Coping

Dalam hal ini dapat diketahui bahwa LL selalu bertindak cepat

dalam menangani anaknya yang berkebutuhan khusus seperti saat

anaknya mengalami kejang maka subjek LL langsung membawa anaknya

ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secara langsung dan

cepat oleh dokter yang berpengalaman.

c. Seeking Sosial Support

Dalam hal ini dapat diketahui bahwa subjek LL saat merasa

kebingungan dengan kondisi anaknya waktu kecil yang berbeda tidak

seperti anak pada umumnya subjek LL langsung mencari tau dengan

bertanya kepada temannya yang dokter, dan subjek LL juga bercerita

dengan keluarga subjek LL agar subjek LL bisa mendapat dukungan.

DISKUSI

13
Penelitian ini menemukan bahwasanya strategi coping yang

dilakukan oleh wanita karier yang memiliki anak berkebutuhan

khusus terjadi didalam hidup seseorang ternyata dapat dilakukan

dengan beberapa jenis strategi coping menurut Lazarus dan Folkman

(1984) seperti problem focused copingdan emotion focused coping.

Hasil penelitian kali ini yang dilakukan oleh peneliti

kepada kedua subjek penelitian yang awalnya kedua subjek

penelitian mengalami syok, stress dan tidak yakin dengan kondisi

anaknya yang berkebutuhan khusus, hingga akhirnya kedua subjek

penelitian menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus

tersebut, kedua subjek penelitian juga selalu membagi waktu

antara bekerja dan mengurus rumah tangga serta mengurus anaknya

yang berkebutuhan khusus untuk mengurangi sress pada diri subjek.

Penelitian ini di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Ayuningtyas (2020)

yang mengatakan dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap seorang

subjek penelitiannya yang mengatakan saat mengetahui anaknya berkebutuhan

khusus pertama kali subjek mengalami syok, bahkan saat pertama tau itu subjek

sangat kewalahan dan kesal menghadapi pola aktif dan tidak teratur sang anak

hingga akhirnya subjek melakukan cara untuk mengatur jadwal anaknya dari

mulai waktu saat anaknya tidur, bangun, makan, bahkan sampai bermain

sekalipun.Hal ini juga di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh

Astuti, dkk (2018) bahwa seorang ibu menerima kenyataan anaknya berbeda dan

membutuhkan cara pengasuhan dan pendidikan yang berbeda daripada anak lain,

14
ibu juga belajar menerima anak dengan berkebutuhan khusus akan membutuhkan

pendampingan yang lebih intens dan lebih lama daripada anak-anak lain yang

tidak mengalami berkebutuhan khusus.

Penelitian kali ini juga terdapat adanya keaktifan diri yang dilakukan oleh

subjek PS untuk melakukan strategi coping yang dapat dilakukan oleh setiap

individu, keaktifan diri ini bertujuan untuk mengurangi stress yang sedang terjadi

pada diri individu itu sendiri dengan cara melakukan kesibukan dalam

kesehariannya, baik itu kesibukan diluar rumah maupun di rumahnya sendiri yang

terlihat dari subjek PS yang merupakan subjek pertama dalam penelitian ini

bahwa subjek PS rajin mengikuti kegiatan greja dan organisasi marga dengan

alasan untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa subjek PS tidak lagi

mengalami stress karena memiliki anak berkebutuhan khusus. penelitian inidi

dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Fajriati dan Nur (2017) yaitu suatu

proses pengambilan langkah aktif atau melakukan kesibukan diri yang ditujukan

untuk menghilangkan atau mengurangi pemicu stres ataupun memperbaiki

akibatnya.

Terakhir dalam penelitian ini terdapat adanya pelepasan mental yang

dilakukan oleh subjek LL untuk mengurangi stress yang dihadapinya seperti

mengalihkan perhatian ataupun respond dan komentar negatif orang lain terhadap

kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus agar tidak menganggu fikiran subjek

LL dalam merawat anaknya yang berkebutuhan khusus tersebut. Hal di dukung

dari penelitian yang dilakukan oleh Miranda (2013) mengatakan bahwasubjek

penelitiannya tidak pernah perduli dengan omongan orang lain dan selalu

15
berusaha menghambat emosinya sendiri agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam

tindakannya.

Penelitian kali ini dapat diketahui bahwa seorang wanita karier yang

memiliki anak berkebutuhan khusus pada umumnya menggunakan strategi coping

dengan jenis problem focused coping, hal ini juga dilakukan oleh subjek PS dan

subjek LL dimana keduanya menggunakan problem focused coping untuk

mengatasi stress karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2009) menyebutkan bahwa

pada umumnya strategi coping yang dipilih oleh orangtua dengan anak

berkebutuhan khusus adalah problem focused coping. Sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Hidayatun (2017) dapat diketahui bahwa ibu yang

memiliki anak berkebutuhan khusus akan memiliki dua strategi coping dan

menunjukkan bahwa sebaiknya seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan

khusus agar kondisi psikologisnya, dan kesehatannya membaik sebaiknya

menggunakan sebuah strategi coping agar membantu mengatasi kondisinya saat

merawat anaknya yang berekbutuhan khusus. Sama halnya dari hasil penelitian

yang dilakukan oleh Rahmania (2016) bahwa seorang ibu yang memiliki strategi

coping yang baik akan mempunyaiatingkat kesejahteraan dan kesehatan yang

lebih tinggi.

- Merasa enjoy
- Anaknya adalah
hidupnya
Penerimaan - Anak anugrah

16
Keaktifan - Aktif di greja
Pemaafan
Diri - Aktif di organisasi
marga
Perencanaan
- Lebih proteksi dengan
kondisi anak
- Mempersiapkan masa
remaja
Gambar 1: matriks strategi coping subjek PS

- Tidak tega
- Menerima takdir
Penerimaan
- Mau fokus sama anaknya
- Tidak memikirkan
Pemaafan Keaktifan omongan orang lain
Diri - Cuek

Perencanaan - Membagi waktu antara


kerja, ngurus rumah
dan anak
- Dua kali seminggu
membawa anak yang ABK
bermain di tempat
ramai

Gambar 2: matriks strategi coping subjek LL

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan di

atas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai penelitian ini diantaranya yang

melatar belakangi subjek dalam melakukan strategi coping dengan subjek

penelitian adalah seorang wanita karier yang memiliki anak berkebutuhan khusus

dapat diketahui bahwa subjek mengalami stress yang berbeda karena selain

memiliki kesibukan di dunia pekerjaan, subjek juga disibukkan untuk mengurus

17
rumah tangga dan harus mengurus anaknya yang berkebutuhan khusus tersebut.

Maka dibutuhkan yang namanya strategi coping yang baik agar subjek dapat

mengontrol emosi pada dirinya sehingga subjek tidak akan melakukan perbuatan

yang negatif.

Dalam hal ini ada dua jenis strategi coping yaitu problem focused coping

dan emotion focused coping, dimana kedua sama-sama baik untuk dilakukan

dalam strategi coping. Dan dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa subjek ke

satu yaitu subjek PS menggunakan strategi coping dengan jenis problem focused

coping dan emotion focused coping, dan subjek ke dua dalam penelitian ini yaitu

subjek LL menggunakan strategi coping dengan jenis problem focused coping.

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P. (2006). Psikologi kerja. Jakarta: Rineka Cipta


Astuti, D., Abrori, A., & Widyastutik, O. (2018). Hubungan Strategi Koping
dengan Stress Pada Ibu Dengan Anak Autis Di Autis Center Kota
Pontianak. JUMANTIK: Jurnal Mahasiswa Dan Peneliti Kesehatan
Ayuningtyas, DP. (2020). Kecerdasan Emosional dan Koping Stres Dengan
Penyesuaian Diri Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis. Samarinda.
Universitas Mulawarman Indonesia
Basiron, Bushrah. (2006). Wanita Cemerlang. Skudai, Johor: Penerbit, Universiti
Teknologi Press.

18
Bawalsah, J. A. (2016). Stress and Coping Strategies in Parents of Children with
Physical, Mental, and Hearing Disabilities in Jordan. International Journal
of Education, 8(1), 1. https://doi.org/10.5296/ije.v8i1.8811
Beneria. (2015). Gender, Development, and Globalization. New York : Routledge

Ciccarelli, S. K. (2015). Psychology 4ed. USA: Paerson.


Coon,D., John, O. M. (2010). Introduction to Psychology 12 ed. United states :
Wadswoth
Dahar, Ratna Willis. 2011. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Desningrum, D. (2007). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Depdiknas, 1–149.
Duxbury,Higgins. (2010). Coping With Overload and Stress: Men and Women in
Dual-Earner Families. Kanada : Sprott School of Business

Fajriyati, Yasrin Nur. (2017). Coping Stres Pada Caregiver Pasien Stroke. Jurnal
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Faradina.
(2017). Dinamika penerimaan orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus. 4(1), 18–23.
Gibson, Ivancevich Donelly. (2009). Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Hidayatun, A. (2017). Hubungan Strategi Koping Dengan Tingkat Stress Ibu


Terhadap Penerimaan Anak Autis Di Kabupaten Bntul.
Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York :
McGraw-Hill, IncPersonality and Social Psychology.

Mangunsong, F. (2011). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus.


Jilid KeDua.Depok: LPSP3 UI

Miranda, D. (2013). Strategi Coping dan Kelelahan Emosional (Emotional


Exhaustion) pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus eJournal
Psikologi
Pitasari & Cahyono. (2014). Coping pada Ibu yang Berperan Sebagai Orangtua
Tunggal Pasca Kematian Suami. JURNAL Psikologi Pendidikan Dan
Perkembangan, 3(1), 37–41.
Setyaningrum, R. (2010). Bantu Anak Berkebutuhan Khusus. Diakses dari
http://revisi.joglosemar.co/berita/bantu-anak-berkebutuhan
khusus29311.html pada tanggal 20 April 20
Wardani. (2009). Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

19
Utama.

Wardani, D.S. (2009). Strategi Coping Orang Tua Menghadapi Anak Autis. Jurnal
Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Yusri & Farida, M. (2019). Gambaran Stres Kerja Pada Polisi Wanita Di
Kepolisian Resor Kota Padang. Al-Qalb : Jurnal Psikologi Islam, 9(1), 72–
78. https://doi.org/10.15548/alqalb.v9i1.854

20

Anda mungkin juga menyukai