Anda di halaman 1dari 59

Farmakologi 1

DIPLOMA 3 FARMASI
FF012038

Farmakologi 1

PRODI D3 FARMASI
Rubi Farmakologi dan
Farmasi Klinis

By : Ferry
DAFTAR PENYUSUN

Farmakologi 1

Edited by

apt. Elis Susilawati, M.Si.


apt. Ika Kurnia Sukmawati M.Si
Fakultas Farmasi, Universitas Bhakti Kencana
Rubi Farmakologi dan Farmasi Klinis

i
LEMBAR REVISI

No. Keterangan Revisi Tanggal Revisi Paraf


1 Perbaikan konten dan gambar- 3 Oktober 2021
gambar
2
3
4
5
6
7
8
9
10

ii
ISI LAPORAN PRAKTIKUM

1. Judul
2. Tujuan
3. Prinsip
4. Alat dan bahan
5. Prosedur (Bagan alir/gambar)
6. Hasil pengamatan (Tabel)
7. Pembahasan
8. Kesimpulan (Menjawab tujuan)
9. Daftar Pustaka
10. Jawab Pertanyaan

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penulisan buku Panduan Pembuatan Modul
Praktikum Farmakologi 1 ini dapat diselesaikan. Berkat bantuan dari berbagai
pihak penulisan buku panduan ini dapat diselesaikan. Penulisan buku Panduan
Pembuatan Modul Praktikum Farmakologi 1 ini merupakan bagian dari kegiatan
melengkapi pembelajaran di mata kuliah yang di Praktikumkan di Fakultas
Farmasi Universitas Bhakti Kencana, Bandung.

Banjarbaru, Oktober 2021

Penyusun

iv
DAFTAR ISI

DAFTAR PENYUSUN .......................................................................................... i


LEMBAR REVISI ................................................................................................ ii
Isi Laporan Praktikum .........................................................................................iii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iv
DAFTAR ISI ...........................................................................................................v
MODUL 1 .............................................................................................................. 1
PENANGANAN HEWAN .................................................................................... 1
MODUL 2 .............................................................................................................. 9
PERHITUNGAN DOSIS DAN PEMBERIAN OBAT ...................................... 9
MODUL 3 ............................................................................................................ 15
PENGARUH OBAT TERHADAP VARIASI BIOLOGIS ............................. 15
MODUL 4 ............................................................................................................ 19
PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGESIK ...................................................... 19
MODUL 5 ............................................................................................................ 24
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIARE ....................................................... 24
MODUL 6 ............................................................................................................ 29
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIA .................................. 29
MODUL 7 ............................................................................................................ 32
PENGUJIAN AKTIVITAS KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK .... 32
MODUL 8 ............................................................................................................ 37
PENGUJIAN AKTIVITAS ANESTESI .......................................................... 37
MODUL 9 ............................................................................................................ 42
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIHIPERTENSI ........................................... 42
MODUL 10 .......................................................................................................... 46
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIINFLAMASI ............................................. 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 51
Lampiran 1 ............................................................................................................ 52

v
vi
MODUL 1

PENANGANAN HEWAN

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu menjelaskan dan mendemontrasikan bagaimana cara
penanganan hewan percobaan
1.2 Tujuan Praktikum :
a. Terampil bekerja dengan beberapa hewan percobaan, yaitu: mencit; tikus;
marmot; kelinci dan katak.
b. Menghargai hewan percobaan yang berperan penting dalam mengungkapkan
fenomena-fenomena kehidupan.
2. Prinsip
a. Menghindarkan penggunaan hewan percobaan secara tidak pantas atau berlebihan
b. Mencegah perlakuan yang kejam, sebelum, selama dan sesudah percobaan

3. Pendahuluan/ Dasar Teori


Dalam bidang farmakologi, hewan mempunyai peranan sangat penting dalam proses
penentuan khasiat dan keamanan obat atau bahan obat. Pengujian khasiat dan keamanan
suatu obat atau bahan obat umumnya dilakukan terhadap hewan percobaan, dan hasil
pengujian tersebut digunakan sebagai dasar dalam menetapkan proses pengujian
selanjutnya.

Dalam percobaan penelitian farmakologi, hewan harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya


dan perlakuan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan dalam hasil percobaan. Untuk itu sifat-sifat khusus setiap
jenis hewan percobaan perlu diketahui dan diperhatikan. Disamping itu , faktor-faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan dan cara pemberian obat perlu
dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Perlakuan pada hewan percobaan harus berdasarkan azas kesejahteraan hewan (animal
welfare) yaitu 5 Freedoms (5F):
- Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus)

1
- Freedom from pain (bebas dari rasa nyeri)
- Freedom from distress and feeling discomfort (bebas dari stres dan rasa tidak nyaman)
- Freedom from injury and diseases (bebas dari luka dan penyakit)
- Freedom to express their normal behavior (bebas berperilaku normal untuk hewan)

Dalam praktikum farmakologi, hewan percobaan yang biasa digunakan adalah mencit, tikus,
kelinci, marmot. Setiap jenis hewan tersebut mempunyai karakteristik masing-masing.

Karakteristik beberapa hewan percobaan


a. Mencit
- Penakut dan fotofobik
- Cenderung sembunyi dan berkumpul sesamanya
- Mudah ditangani
- Lebih efektif pada malam hari
- Aktivitas terganggu dengan adanya manusia
- Suhu normal badan 37,40C
- Laju respirasi 163/menit

b. Tikus
- Sangat cerdas
- Mudah ditangani
- Tidak begitu bersifat fotofobik
- Lebih resisten terhadap infeksi
- Kecenderungan berkumpul dengan sesama sangat kurang
- Jika makanan kurang atau diperlakukan secara kasar akan menjadi liar, galak dan
menyerang si pemegang
- Suhu normal badan 37,50C
- Laju respirasi 210/menit

c. Kelinci
- Jarang bersuara kecuali merasa nyeri
- Jika merasa tak aman akan berontak
- Suhu rektal umunya 38-39,50C
- Suhu berubah jika mengalami gangguan lingkungan

2
- Laju respirasi 38-65/menit, umunya 50/menit pada kelinci dewasa normal

d. Marmot
- Jinak, mudah ditangani, dan jarang menggigit
- Kulit halus dan berkilat
- Bulu tebal dan kuat tapi tidak kasar
- Laju denyut jantung 150-160/menit
- Laju respirasi 110-150/menit & Suhu rektal 39-400C
e. Katak
Karakteristik utama katak;
Kulit katak bersifat lembab dan licin.

4. Alat dan bahan


Alat : Sarung tangan, Koran bekas, Spidol permanen, Sonde oral, alat suntik 1 ml
Bahan : NaCl fisiologis, mencit, tikus, kelinci dan marmot

5. Prosedur kerja
Prosedur :
a. Cara memegang mencit
- Mencit diangkat ujung ekornya dengan tangan kanan, letakan pada suatu tempat
yang permukaanya tidak licin, misalnya kasa atau ram kawat sehingga kalau
ditarik mencit akan mencengkram, seperti terlihat pada gambar 1.1

Gambar 1.1
− Telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuk sedangkan ekornya tetap
dipegang dengan tangan kanan, kemudian posisi tubuh mencit dibalikan

3
sehingga permukaan perut menghadap kita dan ekor dijepitkan antara jari manis
dan kelingking tangan kiri, seperti terlihat pada gambar 1.2 dan 1.3

Gambar 1.2 Gambar 1.3


b. Cara memegang Tikus
- Tikus dapat diperlakuan sama dengan mencit, tetapi bagian ekor yang dipegang
sebaiknya pada bagian pangkal ekor dan pegangannya pada bagian tengkuk
bukan dengan memegang kulitnya dapat dilihat pada gambat 1.4 dan 1.5.
- Cara memegang tikus diangkat dengan memegang ekornya dari belakang dan
kemudian diletakan di atas permukaan yang kasar. Tangan kiri perlahan-lahan
memegang dari belakang tubunhya sampai kepala. Ibu jari dan telunjuk
diselipkan ke depan dan kaki kanan depan dijepit diantara kedua jari tersebut.

Gambar 1.4 Gambar 1.5

c. Cara memegang Kelinci


- Kelinci harus diperlakukan dengan halus tetapi sigap, karena kadang-kadang
berontak, untuk menangkap atau memperlakukan kelici tidak boleh dengan
mengangkat telinganya,
- Cara memegang kulit lehernya dengan tangan kiri, kemudian pantatnya diangkat
dengan tangan kanan dan didekapkan ke dekat tubuh seperti pada gambar 1.6 dan
1.7.

4
Gambar 1.6 Gambar 1.7
d. Cara memegang Marmot
Marmot dapat diangkat dengan cara memegang bagian punggung atas dengan tangan
kiri dan memegang bagian punggung bawah dengan tangan kanan, seperti terlihat pada
gambar 1.8

Gambar 1.8

e. Cara memegang Katak


Katak dipegang pada lehernya ataupun pada badannya (Gambar 1.9) dengan
menggunakan kain kasar atau lap.

Gambar 1.9

5
f. Identifikasi / Penandaan pada Hewan
Dosis obat yang diberikan kepada hewan dinyatakan dalam mg atau g per bobot
tubuh hewan. Karena itu perlu diketahui berat dari tiap hewan yang akan digunakan
dalam percobaan dan tiap hewan diberi tanda (titik/garis) menggunakan pewarna
atau spidol permanen untuk mengidentifikasinya.
Salah satu cara penandaan hewan uji dilakukan dengan cara memberikan larutan
asam pikrat 10% dalam alkohol. Penandaan dilakukan dengan tujuan membedakan
antara hewan satu dengan yang lainnya. Penandaan biasanya dilakukan seperti pada
Gambar 1.10 dan Tabel 1.1 dibawah ini :

Gambar 1.10
Tabel 1.1 Tempat Penandaan Hewan Uji

g. Pemilihan Hewan Uji


Pemilihan hewan uji dalam eksperimen berdasarkan:
- Kepekaan: tergantung jenis dan tujuan eksperimen
- Kemudahan kesesuaian dengan metode uji

6
- Sumber bahan biologik yang akan diambil (in vitro)
- Ketersediaan hewan dan ekonomis

6. Hasil Praktikum
Tempelkan foto hasil parktikan mengang hewan percobaan

7. Diskusi dan pembahasan

7
8. Kesimpulan

9. Pustaka
- Thomson, E.B, 1985, Grug Bloscreening, Fundamentals of Drug Evaluation
Techniques in Pharmacology, Graceway Publishing Company, inc, New York.
- Malole, M.M.B, Pramono, C.S.U., (1989), “ Penggunaan Hewan-hewan Percobaan
Laboratorium”, Penelaah Maskudi Pertadireja, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi, IPB, Bogor.
- Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian
Kesehatan. J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.
- Undang-Undang RI nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; Bab
VI tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan pasal 66 tentang
kesejahteraan hewan

8
MODUL 2

PERHITUNGAN DOSIS DAN PEMBERIAN OBAT

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu melakukan dan menjelaskan cara perhitungan dosis dan
pemberian obat yang di berikan pada hewan percobaan.

1.2 Tujuan Praktikum :


a. Dapat menghitung konversi dosis antar spesies pada hewan percobaan
b. Dapat memberikan obat pada hewan percobaan dengan baik dan benar

2. Prinsip
a. Menghitung dosis dengan menggunakan faktor konversi baik dari hewan percobaan
maupun dari manusia ke hewan percobaan.
b. Hewan percobaan dipegang dan diberi perlakukan yang benar sehingga hewan
tetap tenang,sehat dan merasa aman

3. Pendahuluan/ Dasar teori


Suatu bahan agar dapat dipergunakan sebagai obat harus memenuhi tiga persyaratan,
yaitu memiliki khasiat, aman serta karakteristik.
Zat yang biasa diberikan kepada hewan percobaan dapat berupa bahan dari tanaman
(ekstrak, air rebusan dan lain-lain) atau berupa obat untuk tujuan tertentu. Biasanya,
bahan-bahan ini tidak bisa diberikan begitu saja melainkan harus diformulasi terlebih
dahulu dengan beberapa ketentuan dan pertimbangan. Ada banyak sekali
pertimbangan dalam hal pemberian obat/ekstrak kepada hewan percobaan, misalnya
tentang rute pemberian, jenis sediaan, jenis bahan pembantu yang digunakan, besaran
dosis yang digunakan, dalam praktikum kali ini akan dibahas cara perhutungan dosis
dan cara pemberiannya.
Untuk memperoleh efek farmakologi yang sama dari suatu obat pada setiap spesies
hewan percobaan, diperlukan data mengenai penggunaan dosis secara kuantitatif. Hal
ini sangat diperlukan bila obat tersebut akan di aplikasikan pada manusia dan
pendekatan terbaik adalah menggunakan perbandingan luas permukaan tubuh. Pada

9
tabel 1 ditunjukan pola perbandingan luas permukaannya untuk beberapa spesies
hewan percobaan yang sering digunakan.
Tabel 1. Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis
Dit 20 g 200 g 500 g 1,5 kg 2,0 kg 4,0 kg 12,0 kg 70,0 kg
Dik mencit tikus Marmot kelinci kucing kera anjing manusia
20 g
1,0 7,0 12,29 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
mencit
200 g
0,14 1,0 1,74 3,8 4,2 9,2 17,8 56,0
tikus
400 g
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
marmot
1,5 kg
0,04 0,25 0,44 1,0 1,00 2,4 4,5 14,2
kelinci
2,0 kg
0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
kucing
4,0 kg
0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
kera
12,0 kg
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
anjing
70,0 kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,018 0,16 0,32 1,0
manusia
(sumber : Laurence, D.R. and Bacharach, A.L.,Evaluation of Drug activities Pharmacometris, 1964)
Cara menggunakan tabel
Bila diinginkan dosis absolut pada manusia 70 kg dari data dosis pada anjing 10 mg/kg
(untuk anjing dengan bobot badan 12 kg) maka dihitung terlebih dahulu dosis absolut pada
anjing yakni (10x12)= 120 mg, dengan mengambil faktor konversi 3,1 dari tabel 1.2
diperoleh dosis untuk manusia sebesar (120 x 3,1)= 372 mg. Dengan demikian dapat
diramalkan efek farmakologis suatu obat yang timbul pada manusia dengan dosis 372/70 kg
bb adalah sama dengan yang timbul pada anjing dengan dosis 120/12 kg bb dari obat yang
sama.
Identifikasi Hewan
Dosis obat yang diberikan pada hewan dinyatakan dalam mg atau g per kg bobot tubuh
hewan. Karena itu perlu diketahui berat dari tiap hewan percobaan yang akan digunakan

10
dalam percobaan, dan tiap hewan diberi tanda (titik/garis) dengan pewarna untuk
mengidentifikasinya.
Volume pemberian obat pada hewan percobaan yang diberikan pada setiap jenis hewan
percobaan tidak boleh melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan, seperti yang
ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2. Volume maksimum cairan yang boleh diberikan pada hewan percobaan
Hewan Volume maksimal (ml )untuk rute pemberian
percobaan Iv im Ip Sc Po
Mencit 0,5 0,05 1 0,5 1
Tikus 1 0,1 3 2 5
Kelinci 5-10 0,5 10 3 20
Marmot 2 0,2 3 3 10
(sumber : M.Bouchard,et al, Pharmacodynamics, Guide de Travaux Pratiques, 1981-1982)
Senyawa yang tidak larut dalam air atau NaCl fisiologis dibuat dalam bentuk suspensi dalam
gom arab atau CMC dengan konsentrai 0,5-2% dan diberikan secara oral.
4. Alat dan bahan
Alat :
Alat : Alat suntik (Spuit 1, 3, 5 mL), Labu ukur, Mortir dan Stamper, sarung
tangan, sonde, dan timbangan hewan/analitik
Bahan : NaCl Fisologis, contoh obat bentuk sediaan tablet dan injeksi.
Hewan : Mencit dan tikus

5. Prosedur kerja
Prosedur :
Cara Pemberian Obat Pada Hewan
a. Mencit

Oral:
Pemberian oral untuk mencit cairan obat diberikan
dengan menggunakan sonde oral yang ditempelkan
pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian
perlahan-lahan dimasukkan sampai ke esofagus dan
cairan obat dimasukkan.

11
Sub kutan:
Kulit di daerah tengkuk diangkat dan ke bagian
bawah kulit dimasukkan obat dengan menggunakan
alat suntik 1 ml & jarum ukuran 27G/ 0,4 mm.

Intra vena:
Mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi
ekornya menjulur keluar. Ekornya dicelupkan ke
dalam air hangat (28-30 ºC) agar pembuluh vena
ekor mengalami dilatasi, untuk memudahkan
pemberian obat ke dalam pembuluh vena.
Pemberian obat dilakukan dengan mengguna kan
jarum suntik no. 24.

Intra peritonial:
Pada saat penyuntikan, posisi kepala lebih rendah
dari abdomen. Jarum disuntikkan seperti gambar
agar jarum suntik tidak mengenai kandung kemih.
Penyuntikan tidak di daerah yang terlalu tinggi
untuk menghindari terjadinya penyuntikan pada hati

b. Tikus
o Pemberian obat secara oral pada tikus, intra muskularintra peritonial dan intravena
dilakukan dengan cara yang sama seperti pada mencit.
o Pemberian secara sub kutan dilakukan di atas kulit tengkuk atau kulit abdomen.

c. Kelinci
Intra vena: Penyuntikan dilakukan pada vena
marginalis di daerah dekat ujung telinga. Sebelum
penyuntikan, telinga dibasahi terlebih dahulu
dengan alkohol atau air hangat.

12
Bagan Kerja :

6. Hasil Praktikum
a. Cara Menghitung Konversi Dosis

13
b. Pelaporan
Hewan coba
Cara pemberian Vol. pemberian
Jenis Berat

7. Diskusi dan pembahasan

8. Kesimpulan

9. Pustaka
Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hal. 3.
The Norwegian Reference Centre for Laboratory Animal Science & Alternative
Tugas : Menghitung Dosis

14
MODUL 3

PENGARUH OBAT TERHADAP VARIASI BIOLOGIS

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu melakukan dan memahami berbagai faktor yang
mempengaruhi efek obat

1.2 Tujuan Praktikum :


Untuk mengetahui pengaruh obat terhadap variasi biologis hewan percobaan.

2. Prinsip
Pengaruh pemberian dosis yang bervariasi, rute pemberian obat, dan variasi biologi
dari hewan percobaan dapat dilihat dengan pemberian luminal yang mana tingkat
hipnotik yang ditimbulkan yaitu reaktif, gerak lambat, respon otot, menggelantung
dan tidur.

3. Pendahuluan/ Dasar teori


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efek obat diklasifikasikan dalam dua
kelompok besar, yaitu faktor internal penerima obat dan faktor lingkungan/eksternal.
a. Faktor internal yang dapat mempengaruhi efek obat antara lain variasi biologik (
usia, jenis kelamin), ras dan sifat genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh
dan luas permukaan tubuh.
b. Faktor ekternal yang berpengaruh terhadap efek obat meliputi suplai oksigen,
lingkungan fisiologik dan isoosmosis, keutuhan struktur jaringan/organ ketika
menyiapkan jaringan/organ untuk percobaan, keadaan kandang, suasana asing
atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat dan keadaan ruangan
tempat hidup (suhu, kelembaban, ventilasi, cahaya, kebisingan).
Pada penerimaan obat dengan faktor-faktor internal yang sama masih dapat diamati
adanya efek farmakologi yang berbeda secara kuantitatif meskipun dilakukan
pemberian obat yang sama, dengan dosis dan rute pemberian yang sama. Faktor yang
menyebabkan perbedaan ini adalah variasi biologi antara penerima obat.

15
Selain karena faktor-faktor internal dan ekternal, efek obat juga dapat dipengaruhi oleh
pemberian obat-obat lain dalam kurun waktu dimana pengaruh masing-masing obat
masih ada.

4. Alat dan bahan


Alat :
Timbangan elektrik, oral sonde mencit, Spuit 1 ml, stopwatch, alat suntik 1 ml,
beaker glass 25 ml, erlenmeyer 10 ml
Bahan :
Aquades, Phenobarbital -Na konsentrasi 0,75 % Dosis 50mg/kg (obat yang sejenis)

5. Prosedur kerja
• Pembuatan larutan obat Phenobarbital-Na konsentrasi 0,75% dibuat dengan penimbangan
0,375 g phenobarbital yang dilarutkan dalam 50 ml aquadest.
• Hewan ditimbang, dan ditandai
• Dihitung dosis dengan pemberian:
• Mencit diberi Phenobarbital Na secara intraperitoneal, kemudian dimasukan ke
dalam wadah kaca.
- Mencit 1: berat badan 20 g luminal dosis 50 mg/kgBB secara oral.
- Mencit 2: berat badan 30 g luminal dosis 50 mg/kgBB secara oral.
- Mencit 3: jantan, luminal dosis 50 mg/kgBB secara oral.
- Mencit 4: betina, luminal dosis 50 mg/kgBB secara oral.
• Perilaku mencit diamati setiap 10 menit selama 1 jam segera setelah pemberian
Phenobarbital-Na
• Catat perubahan yg terjadi pada setiap kelompok hewan.
• Catat onset dan durasi
• Tampilkan data dalam bentuk tabel

16
Bagan Kerja :

6. Hasil Praktikum
Data Pengamatan Volume pemberian obat pada mencit
No Kelompok hewan BB Rute JK Respon (menit)
pemberian 10 20 30 40 50 60

Keterangan
1. Reaktif
2. Gerak lambat,
3. Otot Tarik pakai pingset
4. Menggelantung
5. Tidur

17
7. Diskusi dan pembahasan

8. Kesimpulan

9. Pustaka
- Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan.
J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.
- Heiserman, D.L. (2011) :Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA :
SweetHaven Publishing Services

Tugas : Jelaskan apa saja yang dapat mempengaruhi efek obat.

18
MODUL 4

PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGESIK

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu melakukan pengujian aktivitas analgetik pada hewan
percobaan
1.2 Tujuan Praktikum :
a. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgetik
suatu obat
b. Memahami dasar-dasar perbedaan efektivitas berbagai obat analgesik
2. Prinsip
Metode pengujian aktivasi analgetika dilakukan dengan cara menilai kemampuan zat
uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan
percobaan, yang meliputi induksi secara mekanik dan kimia.

3. Pendahuluan/ dasar teori


Obat-obat analgesik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi rasa nyeri terhadap rangsang nyeri mekanik, termik, listrik atau kimiawi dipusat
dan perifer atau dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator
sensasi nyeri, kelompok obat ini terbagi kedalam golongan analgesik kuat (analgesik
narkotik) yang bekerja sentral terhadap sistem saraf pusat, dan golongan analgesik lemah
(analgesik non-narkotik)yang bekerja secara perifer.
Metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji
untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan
(mencit,tikus,marmot). Penginduksi nyeri secara mekanik ,termik, elektrik dan kimia.
Metoda pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk
mengevaluasi obat analgesik kuat atau analgesik narkotik. Misalnya metode plat panas (hot
plate) dan metode jentik ekor. Untuk menguji aktivitas obat analgesik non-narkotik dapat
digunakan metode dengan penginduksi zat kimia, seperti metode siegmund., pada umumnya
daya kerja analgesik dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus
nyeri yang harus diberikan sebelum ada respon nyeri atas jangka waktu ketahanan hewan
terhadap stimulus nyeri atau juga peranan frekwensi respon nyeri.

19
4. Alat dan bahan
Alat : Alat suntik 1 ml, penangas air dengan suhu 50 derajat, stopwatch, alat untuk
penahan tikus yang memungkinkan ekornya keluar, timbangan hewan
Bahan :
Jentik ekor : Kodein HCl 120 mg/kg bobot badan
Antalgin 300 mg/kg bobot badan
Metode Geliat:
• Asam asetat 0,7% v/v (zat penginduksi rasa nyeri)
• Obat analgesik standar (asam asetil salisilat/aspirin)
• Obat analgesik yang di uji (asam mefenamat, parasetamol, ekstrak).
• Larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi gom arab 1-2%
Hewan percobaan : Tikus atau mencit

5. Prosedur kerja
Prosedur :
a. Metode Jentik Ekor
Rangsang nyeri yang digunakan dalam metode ini berupa air panas (500C) dimana ekor
tikus dimasukan kedalam air panas akan merasakan nyeri dan ekor dijentikan ke luar air
panas tersebut.
Pengujian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1) Sebelum pemberian obat, catat waktu yang diperlukan tikus untuk menjentikan
ekornya keluar dari penangas air. Tiap rangkaian pengamatan dilakukan 3 kali selang
2 menit. Pengamatan pertama diabaikan. Hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan dan
dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus terhadap stimulus nyeri. Jika perlu
, stimulus disesuaikan untuk mencapai respon normal terhadap stimulus nyeri, sekitar
3 sampai 5 detik.
2) Suntikan kepada masing-masing tikus ,obat-obat berikut
a. Kelompok tikus I : Kodein HCl
b. Kelompok tikus II : Antalgin
3) Diamkan 10 menit , nilai masing-masing respon tikus terhadap stimulus nyeri, jika
tikus tidak menjentikan ekornya keluar dalam waktu 10 detik setelah pemberian
stimulus nyeri maka dapat dianggap ia tidak merasakan stimulus nyeri tersebut . jangan
dibiarkan ekornya melampaui waktu dalam air panas

20
4) Ulangi penilaian respon tikus selama 20,30,60,90 menit dan seterusnya sampai efek
analgesik hilang
5) Buat tabel hasil pengamatan dengan sebaik-baiknya.
6) Gambarkan suatu kurva yang merefleksikan pengaruh obat-obat yang diberikan
terhadap respon tikus untuk stimulus nyeri.
b. Metode Siegmund (Metode Geliat/Writhing Method)
Pengujian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut
1. Mencit dengan berat badan 20-25 gram dibagi atas tiga kelompok, yaitu
a. Kelompok kontrol
b. Kelompok obat standar
c. Kelompok obat uji (dua atau tiga dosis)
Setiap kelompok terdiri atas 4-5 ekor mencit
2. Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya
yaitu
a. Kelompok kontrol diberi larutan NaCl fis. Atau larutan susp. Gom arab 1-2%
b. Kelompok obat standar diberi asam asetil salisilat (aspirin)
c. Kelompok obat uji diberi asam mefenamat/parasetamol/ekstrak tanaman.
Pemberian zat/obat dilakukan secara oral
3. Setelah 30 menit, hewan diberi asam asetat 0,7% secara i.p
4. Segera setelah pemberian as. Asetat , gerakan geliat hewan diamati dan jumlah geliat
dicatat setiap 5 menit selama 60 menit.
5. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis variansi
6. Daya proteksi obat uji terhadap rasa nyeri dan efektivitas analgetiknya dihitung dengan
rumus berikut :

7. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

21
Bagan Kerja :

Gambarkan bagan kerja

6. Hasil Praktikum
Perhitungan dosis obat
Perhitungan membuat asam asetat yang tersedia 70%

Tabel Pengamatan Metode Jentik Ekor


No Kelompok Hewan Waktu pengamatan (selang 10 detik) Jml
T0 T2 T3 T4 T5 T6 jentik

22
Tabel Pengamatan Metode Siegmund (Metode Geliat/Writhing Method)
No Kelompok Hewan Jumlah geliat (tiap 5 menit) Jml
T0 T10 T15 T20 T25 geliat

7. Diskusi dan pembahasan

8. Kesimpulan

9. Pustaka

Latihan :
1) Apa perbedaan obat analgesik narkotik dan analgesik non narkotik!
2) Bagaimana mekanisme kerja obat analgesik non narkotik!
3) Bagaimana mekanisme kerja obat analgesik-antipiretik dalam menurunkan suhu tubuh!
4) Terangkan mengapa asam asetat dapat menginduksi rasa nyeri (geliat)!

23
MODUL 5

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIARE

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu mempraktekkan metode pengujian antidiare
1.2 Tujuan Praktikum :
Mengetahui sejauh mana aktivitas obat anti diare dapat menghambat diare dengan
metode uji antidiare yaitu metode transit intestinal.

2. Prinsip
1. Pengujian efek antidiare berdasarkan konsistensi feses, bobot feses, dan frekuensi
defekasi pada pemberian obat loperamide yang dapat memperlambat peristaltik usus,
sehingga mengurangi frekuensi defekasi dan memperbaiki konsistensi feses, dengan
metode pemberian induksi oleum ricini terlebih dahulu.
2. Metode Transit Instestinal : Aktivitas obat yang dapat memperlambat peristaltik
usus dengan mengukur rasio normal jarak yang ditempuh marker terhadap panjang
usus seluruhnya.

3. Pendahuluan/ dasar teori


Larutan hipertonik dari garam-garam yang sukar diabsorbsi bila berada dalam usus,
mengakibatkan retensi cairan/air dalam jumlah besar dalam usus tersebut, melalui efek
osmotik. Akibatnya ialah bahwa volume usus meningkat dan volume ini berlaku
sebagai stimulus mekanik yang meningkatkan aktivitas motorik dari usus yang
mendorong dengan cepat isinya ke dalam usus besar. Absorpsi air pun terhambat di
usus besar dan dalam waktu yang singkat terjadi pengeluaran isi usus dalam bentuk
tinja yang cair.
Diare adalah suatu gejala dimana frekwensi pengeluaran feses meningkat melebihi
frekwensi normal dan konsistensi feses menjadi cair. Pada keadaan diare, terjadi

24
ketidakseimbangan antara absorpsi dan sekresi air dan elektrolit dalam usus, dimana
absorpsi berkurang atau sekresi bertambah diluar normal.
Diare dapat bersifat akut atau kronis. Diare akut bisa disebabkan oleh infeksi bakteri
seperti E.coli, Shigella, Salmonella, V. Cholera, virus dan amuba. Selain itu, dapat
pula disebabkan oleh toksin bakteri, seperti toksin bakteri Staphylococucus aureus dan
Clostridium welchii yang mencemari makanan.
Diare kronis mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan gastrointestinal, ada pula
diare yang berlatar belakang kelainan psikhomatik, alergi oleh makanan atau obat-obat
tertentu, kelainan pada sistem endokrin dan metabolisme, kekurangan vitamin dan
sebagai akibat radiasi.
Pengeluaran isi usus dipengaruhi oleh zat-zat yang mengiritasi saluran pencernaan,
seperti oleum ricini atau makanan pedas. Iritasi tersebut menstimulasi pleksus saraf
myenterik dalam usus sehingga gerakan peristaltik usus akan meningkat, sehingga
mempercepat pengeluaran isi usus dan mengubah konsistensi feses menjadi lebih
lembek bahkan cair, karena adanya hambatan pada proses absorpsi air di usus besar.
Minyak mineral seperti parafin juga dapat mempercepat pengeluaran isi usus, tetapi
parafin ini tidak mempengaruhi kontraksi usus secara langsung, melainkan bekerja
sebagai pelincir yaitu memperlancar pengeluaran isi usus.
Penggunaan obat antidiare biasanya dimaksudkan untuk menghentikan diare, tidak
untuk menghilangkan penyebabnya. Anti diare yang biasa digunakan adalah obat yang
bersifat absorben, misalnya kaolin dan karbon aktif, atau yang dapat menekan
peristaltik usus, seperti loperamid dan morfin serta turunan-turunannya. Penggunaan
morfin dan turunan-turunannya jarang sekali dilakukan karena obat-obat ini bersifat
adiktif dan dapat menimbulkan ketergantungan.

4. Alat dan bahan


Alat : Toples untuk pengamatan, kertas saring (telah ditimbang), alat suntik, sonde
oral mencit, timbangan mencit, timbangan elektrik, stopwatch atau jam
Bahan : NaCl fis., Oleum ricini/parafin cair, Loperamid HCl/morfin HCl
Hewan percobaan : Mencit

5. Prosedur kerja
Prosedur :
A. Efek Morfin Terhadap Saluran Cerna

25
1) Dua jam sebelum percobaan dimulai mencit dipuasakan
2) Mencit dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri
atas 3-4 ekor mencit
3) Pada kel.1 mencit diberi NaCl fis. (oral) dan 30 menit kemudian diberi NaCl
(oral)
4) Pada kel.2 mencit diberi NaCl fis.(oral) dan 30 menit kemudian diberi
ol.ricini/parafin cair(oral).
5) Pada kel.3 dan 4 mencit masing-masing diberi loperamid dosis I dan II (oral) dan
30 menit kemudian diberi ol. Ricini/parafin cair (oral)
6) Tiap mencit dimasukan kedalam toples yang diberi alas kertas saring yang telah
ditimbang beratnya
7) Waktu timbulnya diare, frekwensi defekasi, jumlah/berat feses, konsistensi feses
dan lamanya diare dicatat setiap selang waktu 30 menit selama 2 jam
8) Konsistensi feses dapat dinyatakan dalam bentuk skor sebagai berikut
Simbol Konsistensi Skor
N Normal 0
LN Lembek normal 1
L Lembek 2
LC Lembek cair 3
C Cair 4
Data pengamatan disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis
B. Metode Transit Intestinal
1) Puasakan mencit selama lebih kurang 8 jam dengan tetap diberikan minum
2) Beri nomor dan timbang mencit dan timbang mencit dan berikan perlakuan :
- Kelompok 1 : Nacl fis
- Kelompok 2 : Tinta cina
- Kelompok 3 : Loperamid diamkan 15-20 menit berikan tinta cina secara oral
3) Biarkan 20 menit, kemudian korbankan mencit dengan cara dislokasi pada tulang
leher dan bedah Setelah 45 menit, berikan larutan tinta secara oral pada
masingmasing mencit.
4) Keluarkan usus secara hati-hati sampai teregang.
5) Ukur panjang usus yang dilalui marker tinta mulai dari pilorus sampai ujung akhir
berwarna hitam dan pangjang usus secara keseluruhan mulai dari pilorus sampai
rectum.

26
6) Kemudian hitung rasio jarak tempuh marker terhadap panjang usus keseluruhan.
Panjang usus yang dilalui tinta x 100%
Panjang usus keseluruhan
7) Bandingkan nilai rasio masing-masing mencit. Obat mana yang berefek sebagai
antidiare atau laksan?

Bagan Kerja :

6. Hasil Praktikum

27
7. Diskusi dan pembahasan

8. Kesimpulan

9. Pustaka

Pertanyaan
1. Terangkan mekanisme terjadinya diare yang disebabkan oleh oleum ricini!
2. Terangkan kemungkinan mekanisme kerja obat antidiare sehingga dapat
menghambat diare yang disebabkan oleh ol.ricini!

28
MODUL 6

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIA

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu mempraktekkan dan memahami perbedaan efek obat antidiabetes
1.2 Tujuan Praktikum :
Untuk membandingkan efek dari obat antidiabetes
2. Prinsip
Membandingkan efek obat antidiabetes yaitu Metformin, Glimepiride dan akarbose
dengan menggunakan hewan coba mencit (Mus musculus) yang terlebih dahulu
dipuasakan dan diinduksi dengan glukosa 10% kemudian diukur kadar glukosanya
pada menit 30’, 60’ dan 90’ setelah pemberian obat dengan cara dioral.

3. Pendahuluan/ dasar teori


Diabetes telah menjadi penyakit yang umum dan banyak diderita oelh sebagian
orang yang pola makan tidak terkontrol. Diabetes lebih merupakan satu kelompok sindrom
yang heterogen yang ditandai oleh peningkatan glukosa darah akibat gangguan produksi
insulin. Insulin merupakan hormon polipeptide yang terdiri dari dua rantai peptida yang
dihubungkan dengan ikatan-ikatan disulfida.
Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh polyuria
(banyak berkemih), polydipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan), disertai
peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau
postprandial ≥ 200mg/dL atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dL). Bila DM tidak segera diatasi
akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein, dan resiko timbulnya gangguan
dalam vaskular.
Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin sehingga glukosa darah tidak
dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adiposa atau hepar dan metabolismenya juga terganggu.
Pada DM semua proses tersebut terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke sel hingga energi
terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia sendiri
relatif tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali hingga darah menjadi hiperosmotik terhadap
cairan intrasel. Yang berabahaya ialah glikosuria yang timbul karena glukosa bersifat
diuretik osmotik. Oleh karena itu dalam praktikum kali ini dilakukan uji untuk mengetahui
efek-efek obat hiperglikemia dalam tubuh.

29
4. Alat dan bahan
Alat : Alat gelas, sonde oral, alat suntik 1 mL, striptes dan glukotes
Bahan : Alkohol 70%, metformin, Glibenklamid dan acarbose, glukosa monohidrat10%,
Na CMC 1 % dan tissue.
Hewan percobaan : Mencit

5. Prosedur kerja
Prosedur :
1) Dipuasakan mencit selama kurang lebih 8 jam.
2) Diukur kadar glukosa puasanya.
3) Berikan perlakuan sebagai berikut
a. Kelompok 1 : diinduksi dengan glukosa 10%.
b. Kelompok 2 : diberikan metformin
c. Kelompok 3 : berikan glibenklamid Kel 2-4 : Diamkan 30’ lalu berikan glukosa 10%
d. Kelompok 4 : berikan akarbose
4) Diukur kembali kadar glukosa darahnya tiap interval waktu 30, 60, 90 dan 120
menit.
5) Amati dan catat data pengamatan, hasilnya tuangkan dalam grafik.
Bagan Kerja :

30
6. Hasil Praktikum
Kelompok BB (g) Vol. Kadar glukosa darah (mg/dL)
pemberian T0 30’ 60’ 90’ 120’

7. Diskusi dan pembahasan

8. Kesimpulan

9. Pustaka
Sukandar, Elin Yulinah, dkk, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan : Jakarta
Katzung G, dkk, 2013. ”Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 12”. EGC. Jakarta

31
MODUL 7

PENGUJIAN AKTIVITAS KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu mempraktekan dan memahami pengujian efek kolinergik dan
antikolinergik.
1.2 Tujuan Praktikum:
Memahami efek obat kolinergikdan antikolinergik pada kelenjar ludah
2. Prinsip
Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan
salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat
antikolinergik.

3. Pendahuluan/ dasar teori


Sistem saraf otonom juga dikenal sebagai sistem saraf viseral, karena saraf ini
berhubungan dengan organ-organ internal atau organ-organ dalam tubuh. Fungsi utama
sistem saraf ini adalah mengatur fungsi atau aktivitas organ-organ viseral yang berada diluar
pengaruh kesadaran dan kemauan untuk mempertahankan keadaan internal yang stabil
(homeostatis). Sistem saraf ini mensarafi/menginversi jantung, pembuluhh darah, saluran
pencernaan, saluran pernapasan, kelenjar-kelenjar, dann otot-otot polos lainnya.
Sistem saraf otonom terbagi atas sistem saraf otonom perifer dan pusat kontrol otonom
sentral. Sistem saraf otonom perifer merupakamn sistem motorik yang terdiri atas dua
bagian/divisi, yaitu sistem simpatetik dan sistem parasimpatetik. Setiap. Setiap bagian saraf
tersebutmengirimkan saraf-saraf eferen ke otot, organ atau kelenjar yang dipersarafinya.
Umumnya, tetapi tidak selalu, kedua sistem saraf tersebut mempunyai efek yang
berlawanan. Dalam pengertian yang sangat luas, dapat dikatakan bahwa saraf simpatetik
membantu tubuh menyesuaikan diri terhadap situasi baru/tidak normal, sedangkan saraf
parasimpatetik menunjukan aktivitas bila tubuh bekerja dibawah kondisi normal.
Pada setiap neuron atau sel saraf simpatetik ataupun saraf parasimpatetik terdapat
bagian saraf praganglion dan saraf pascaganglion. Ujung saraf praganglion dari saraf
simpatetik mengeluarkan neurotransmiter asetilkolin (ACh) , dan ujung saraf
pascaganglionnya melepaskan norepinefrin (NH) .Sehingga sistem saraf ini disebut sistem
adrenergik. Berbeda dengan saraf simpatetik, neuron saraf parasimpatetik, baik bagian pra

32
maupun pascaganglionnya, kedua-duanya mengeluarkan neurotransmiter asetilkolin,
sehingga sistem saraf ini disebut sistem kolinergik.
Obat-obat yabgg dapat mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom bekerja berdasarkan
kemampuannya meniru atau memodifikasi aktivitas neurotransmiter-neurotransmiter
tersebut.
Prinsip pada percobaan ini adalah bahwa pemberian zat antikolinergik pada hewan
percobaan menyebabkan peningkatan pengeluaran saliva, dan hipersaliva tersebut dapat
dihambat oleh zat antikolinergik.

4. Alat dan bahan


Alat : alat suntik 1 mL, Wadah dari kaca, Kertas saring yang ditaburi
metilen blue, koran bekas
kertas saring,
Bahan : Atropin, 1 mg/kg bobot badan
Pilokarpin 2 mg/kg bobot badan
Tiopental Na 50 mg/kg bobot badan (obat penenang)
NaCl fisiologis
Hewan percobaan : Mencit

5. Prosedur kerja
Prosedur :
• Mencit dibagi atas empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri atas 3
ekor
• Semua mencit diberi tiopental Na secara intraperitoneal. Waktu penyuntikan dicatat
• Setelah 30 atau 45 menit (atau setelah tanda sedasi terlihat) setiap kelompok diberi
perlakuan
a. Kel 1 diberi NaCl fis (subkutan) (kel.kontrol)
b. Kel 2 diberi pilokarpin (subkutan)
c. Kel 3 diberi atropin (subkutan), lalu segera disuntik pilokarpin (subkutan)
d. Kel 4 diberi pilokarpin
• Semua mencit disimpan didalam wadah kaca yang diberi alas kertas saring

33
• Pengeluaran saliva pada kertas saring diamati setiap 5 menit dan diameternya
diukur setiap kali setelah pengamatan, kertas saring diganti dengan yang baru.
Pengamatan dilakukan selama 45 menit dimulai setelah penyuntikan pilokarpin.
• Untuk kel 4, begitu terlihat adanya bercak saliva pada kertras saring, segera
suntikan atropin (catat waktu penyuntikan atropin). Selanjutnya lakukan
pengamatan seperti di atas.
• Dari data diameter bercak saliva pada setiap waktu pengamatan dapat dihitung
persentase inhibisi eksresi saliva untuk setiap kelompok.

% inhibisi = diameter bercak saliva awal-diameter bercak saliva waktu x 100 %


Diameter bercak saliva awal
Semua hasil perhitungan dibuat dalam bentuk tabel dan grafik inhibisi persatuan
waktu dibuat dalam bentuk grafik.

Bagan Kerja :

34
6. Hasil Praktikum

Kelompok BB Vol. Diameter Salivasi (cm)


Pemberian 5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’

7. Diskusi dan pembahasan


Perhitungan dosis :

35
8. Kesimpulan

9. Pustaka

36
MODUL 8

PENGUJIAN AKTIVITAS ANESTESI

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu mempraktikan pengujian anestetik umum secara in vivo dan in
vitro.
1.2 Tujuan Praktikum :
a. Memiliki keterampilan dalam melakukan pengujian aktivitas anestetika umum
suatu obat
b. Mengenal tahap-tahap manifestasi anestesia umum dan tahap-tahap pemulihan
dari keadaan anestesia umum

2. Prinsip
a. Cara kerja anestesi dengan menghentikan atau memblokir sinyal saraf dari pusat
rasa sakit pada hewan percobaan.
b. Tingginya tingkat kelarutan suatu zat penganestesi dalam lemak menyebabkan
onset kerja cepat

3. Pendahuluan/ dasar teori


Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal dari bahasa
Yunani anaisthēsia yang berarti tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu: (1) anesthesia lokal, yakni hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran;
(2) anesthesia umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi ideal
terdiri dari hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot. Sejak jaman dahulu, anestesia dilakukan
untuk mempermudah tindakan operasi atau bedah.Obat anestesi umum adalah obat atau agen
yang dapat menyebabkan terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan
kesadaran secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute
pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena.
Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik.
Anestesia umum adalah hilangnya persepsi semua sensasi yang disebabkan oleh obat.
Obat yang menyebabkan terjadinya keadaan anestesia umum disebut anestetika umum. Obat

37
ini mendepresi SSP secara reversible. Penggunaannya dalam dunia medis adalah pada
praktek pembedahan untuk menghilangkan rasa nyeri.
Sekurang-kurangnya ada tujuh teori yang menerangkan tentang mekanisme kerja obat
anestetika umum, yaitu secara fisika, biokimiawi, ataupun neurofisiologik. Namun
semuanya belum dapat menerangkan secara memuaskan segala aspek yang berkaitan dengan
efek anestetika umum ini. Yang diketahui adalah bahwa anestetika umum bejkerja depresif
sektoral yang tidak beketeraturan terhadap sistem saraf pusat. Hal ini memungkinkan bahwa
pada tahap anestesia tertentu dapat dilakukan berbagai manipulasi terhadap struktur organ
atau jaringan-jaringan tubuh reversibel.
Kebanyakan anestetika umum berupa gas atau cairan yang mudah menguap, yang
dieliminasi terutama melalui saluran pernapasan. Pemberian anestetika umum dapat
dilakukan dengan berbagai cara tetapi cara yang lebih baik adalah cara intravena dan inhalasi
karena dengan cara ini dosis efektif dan waktu kerja obat lebih dapat diperkirakan,
berdasarkan cara pemberian tersebut, anestetik umum dibagi atas 2 golongan yaitu anestetik
inhalasi dan anestetik intravena.
Dalam praktikum farmakologi ini akan dilakukan anestesi umum secara in vivo dan
invitro.

4. Alat dan bahan


Alat : Alat suntik 1 ml, tabung reaksi 20 ml, stetoskop, termometer rektal, corong,
kapas.
Bahan : Eter, kloroform, etanol absolut, pentobarbital natrium, atropin sulfat,
minyak jagung, sudan III, metilen blue dan aquades.
Hewan percobaan : kelinci 4-5 ekor /Tikus

5. Prosedur kerja
Prosedur Anestetik Umum
a. Tiap kelompok mahasiswa bekerja dengan 1 atau 2 kelinci
b. Sebelum pemberian anestetika umum, hal-hal berikut tentang kelinci diamatai dan
dicatat
• Kelakuan umum kelinci (tahan napas, sikap gelisah, bersuara dsb)
• Laju dan ritme denyut jantung (menggunakan stetoskop)
• Laju pernapasan
• Refleks-refleks (konjungtiva, kornea, pupil mata, nyeri)

38
• Ukuran pupil mata
• Suhu rektal
• Tonus otot kerangka
c. Pada lubang hidung kelinci ditempelkan corong yang berisi kapas pada tangkainya
dan ditetesi eter atau kloroform atau etanol absolut keatas kapas, mula-mula lambat
kemudian dipercepat dengan kecepatan 30 tetes per menit
d. Setiap kejadian pada kelinci seperti pada butir 2 dicatat dari waktu ke waktu seteliti
mungkin agar dapat dikorelasikan dengan tahap dan tingkat anestesia yang dicapai
, hati-hati pada pemberian anestetika jangan sampai ada kelinci yang mati.
e. Setelah dicapai tingkat anestesia untuk pembedahan, corong diangkat dari mulut
kelinci
f. Amati dan catat tahap-tahap pemulihan kesadaran kelinci
g. Setelah keadaan kelinci menjadi normal, ulangi percobaan dengan terlebih dahulu
memberikan premedikasi pada masing-masing kelinci sebagai berikut :
• Kelinci I : premedikasi pentobarbital natrium, anestetika eter
• Kelinci II : premedikasi pentobarbital natrium + atropin sulfat, anestetik eter
h. Amati dan catat semua kejadian yang dialami kelinci seperti pada butir 2 dan
sajikan data tersebut dalam tabel
i. Untuk mengetahui kelarutan senyawa organiik eter, kloroform, dan etanol absolut
dalam minyak sebagai dasar dari kerja obat anestetika inhalasi, dilakukan
percobaan sebagai berikut
• Sediakan tiga tabung reaksi kemudian ke tiga tabung tersebut diisi dengan 4 ml air
yang telah diberi warna dengan metilen blue dan 4 ml minyak jagung yang telah
diberi warna sudan III.
• Kedalam tiga tabung tersebut dimasukan masing-masing eter, kloroform, dan
etanol absolut, tabung ditutup dan cairan didalmnya dicampurkan dengan cara
membolak-balikan tabung 3-4 kali, kemudian diamkan selama 30 menit. Partisi
yang terjadi dari ketiga senyawa organik tersebut dalam campuran air dan minyak
diketahui dengan perubahan volum dan warna air dan minyak.

39
Bagan Kerja :

6. Hasil Praktikum
Tabel Pengamatan Anastesi mencit
No Kelompok mencit Berat Waktu Anestesi
Badan Onset Durasi

40
7. Diskusi dan pembahasan

8. Kesimpulan

9. Pustaka
Stevani Hendra. 2016. Praktikum Farmakologi. Kementrian Kesehatan RI, PPSDM
Kesehatan. Jakarta

Pertanyaan
1) Apa yang dapat dirumuskan dari hasil pengamatan praktikum secara in vitro dan hasil
percobaan dengan eter, kloroform, dan etanol absolut!
2) Bagaimana kaitan pertanyaan 1 dengan kerja obat anestetika umum!

41
MODUL 9

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIHIPERTENSI

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu mempraktekan pengujian antihipertensi dan memahami
perbedaan pemberian antihipertensi.
1.2 Tujuan Praktikum :
Untuk mengetahui efek diuretic suatu obat untuk mengetahui mekanisme terjadinya
diuresis terhadap hewan uji

2. Prinsip
Pengujian aktivitas obat diuretik berdasarkan pengeluaran urin. Pada aktivitas obat
spironolakton dan furosemide yang dapat digunakan untuk membuang cairan atau
garam berlebihan dari tubuh tikus melalui pengeluaran urin.

3. Pendahuluan/ dasar teori


Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko utama penyakit kardiovaskular.
Sekitar satu juta orang di dunia menderita hipertensi. Hipertensi adalah penyakit kronis
yang dapat merusak organ-organ tubuh. Setiap tahunnya, hipertensi merupakan salah
satu dari 7 penyebab kematian, di samping itu juga dapat menyebabkan kerusakan
jantung, mata, otak dan ginjal. Berdasarkan data WHO, hanya 25% dari 50% kasus
hipertensi yang diketahui mendapatkan terapi, dan hanya 12,5% yang mendapatkan
terapi dengan benar.
Terdapat dua jenis terapi hipertensi, yaitu terapi farmakologi dan terapi non-
farmakologi. Terapi non-farmakologi bertujuan untuk mengubah gaya hidup yang
dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskular dan meningkatkan efek obat
antihipertensi. Terapi farmakologi adalah terapi yang menggunakan berbagai jenis
obat antihipertensi, seperti diuretik, beta blocker, antagonis kalsium, ACE inhibitor,
alfa blocker, antagonis angiotensiin II, vasodilator yag bekerja di pusat, vasodilator
kerja langsung, dan inhibitor renin.
Efek obat antihipertensi dapat dievaluasi secara eksperimental di laboratorium
hewan. Prinsip uji efek antihipertensi adalah dengan mengukur potensinya dalam
menurunkan tekanan darah. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk evaluasi

42
efek obat antihipertensi, semua metode berdasarkan pada mekanisme kerja obat,
seperti metode diuretik, uji penurunan amplitudo dan inhibisi frekuensi denyut
jantung. Metode tersebut di atas secara tidak langsung mengevaluasi efek obat
antihipertensi.

4. Alat dan bahan


Alat : kandang metabolik, jarum oral, peralatan gelas, spatula, gelas ukur
Bahan : obat uji, furosemide, spironolakton, Na-CMC, aquadest dan ektrak yang
memiliki aktivitas diuretic.
Hewan percobaan : Tikus Wistar jantan
5. Prosedur kerja
Prosedur :
1) Uji diuretik menggunakan kandang metabolic untuk menampung urin.
2) Sebelum pengujian, tikus dipuasankan kurang lebih 8-18 jam minum tetap di
berikan
3) Semua Hewan diberikan Aquadest diberikan sebelum pengujian dengan dosis 50
mL/kg bb sebagai loading dose di bagi 3 kelompok :
a. Kelompok 1 : Induksi
b. Obat furosemid 1,8 mg/kg bb
c. Obat Spironolakton
d. Ekstrak uji
4) Amati volume urin setiap jam selama 4 jam, kemudian, urin diakumulasi sampai
24 jam setelah pemberian obat secara peroral.
5) Volume urin dibandingkan terhadap kelompok kontrol dan dibandingkan terhadap
lainnya tiap jam untuk memastikan efek diuretik.

Bagan Kerja :

43
6. Hasil Praktikum
Kelompok BB Vol. Volume urin (mL)
Pemberian 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 24 jam

7. Diskusi dan pembahasan

44
8. Kesimpulan

9. Pustaka

45
MODUL 10

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

1. Tujuan
1.1 Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu mempraktekkan pengujain aktivitas antiinflamasi secara in vivo
1.2 Tujuan Praktikum :
Untuk mengetahui efek antiinflamasi suatu sediaan obat yang diberikan secara oral
pada hewan uji tikus/ mencit denagn menghitung volume udem telapak kaki mencit
dengan alat pletisnometer setelah pemberian karagen/putih telor.

2. Prinsip
Suntikan subkutan karagen/putuh telor pada telapak kaki belakang tikus menyebabkan
udem yang dapat diinhibisi oleh obat anti inflamasi yang diberikan sebelumnya.
Volume udem diukur dengan alat plethysmometer dan dibandingkan terhadap udem
yang tidak diberikan obat. Aktivitas obat anti-inflamasi dinlai dari persentase proteksi
yang diberikan tehadap pembentukan udem.

3. Pendahuluan/ dasar teori


Inflamasi didefinisikan dewasa ini sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu
iritasi atau keadaan non fisiologis.
Secara skematis dibedakan 4 fasa gejala-gejala inflamasi:
a. Eritema: Vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan tertahannya darah oleh
perubahan permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding
pembuluh darah.
b. Ekstravasasi: Keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan menyebabkan
udem.
c. Suppurasi dan nekrosis: Pembentukan nanah dan kematian jaringan yang disebabkan
oleh penimbunan leukosit-leukosit di daerah inflamasi.
d. Degenerasi jaringan: Tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk pembentukan
pembuluh dan makin bertambahnya serat-serat kolagen yang tidak berfungsi.
Masing-masing tahap di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor humoral seperti histamin,
serotonin, bradikinin, dan prostaglandin.

46
Kebanyakan dari gejala-gejala tersebut di atas telah dijelaskan sebagai dasar berbagai
metoda percobaan untuk mengevaluasi obat-obat anti inflamasi. Gejala eritema dapat diuji
pada marmot yang disinari sinar UV; pembentukan udem dapat dilakukan pada tikus
dengan penyuntikan iritan seperti karagen, kaolin, serotonin, dekstran, dll.
Udem dengan Karagen
Dari sekian banyak tehnik percobaan anti inflamasi, yang paling sering dilakukan adalah
pembentukan udem dengan karagen suatu polisakarida sulfat yang berasal dari tanaman
chondruserispus. Pembentukan udem oleh karagen tidak menyebabkan kerusakan jaringan
meskipun udem dapat bertahan 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24
jam akan menghilang tanpa meninggalkan bekas.

4. Alat dan bahan


Alat : Pletysmograf air raksa, yang prinsip kerjanya berdasarkan hukum
Archimedes
Bahan : Karagen 1% dalam air suling/putih telor , Na-CMC 1%, suspensi asetosal
dexametason, dan Na. Diklofenak1,5%.
Hewan percobaan : Tikus putih, bobot badan sekitar 100 g atau mencit bobot sekitar
20 g; dipuasakan 18 jam sebelum eksperimen (air minum ad libitum)
5. Prosedur kerja
Prosedur :
1) Sebelum memulai percobaan, masing-masing tikus dikelompokkan dan ditimbang
berat badannya, kemudian diberikan tanda pengenal untuk setiap tikus dalam
kelompok.
2) Dengan bantuan spidol berikan tanda batas pada kaki belakang kiri untuk setiap tikus
agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama.
3) Pada tahap pendahuluan volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai volume
dasar untuk setiap tikus. Pada setiap kali pengukuran volume supaya diperiksa tinggi
cairan pada alat dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran, usahakan jangan
sampai ada air raksa yang tertumpah.
4) Penyuntikan dimulai untuk obat secara intraperitoneal; tikus kontrol hanya diberikan
Na-CMC.
5) Pada menit ke 25 disuntikkan larutan karagen pada telapak kaki kiri tikus, dan untuk
semuanya diberikan volume 0,05mL.

47
6) Satu jam kemudian volume kaki yang disuntikkan karagen diukur pada alat dan
dicatat. Lakukan pengukuran yang sama setiap 30 menit selama 3 jam.
Catat perbedaan volume kaki untuk setiap jam pengukuran.
7) Hasil-hasil pengamatan supaya dimuat dalam tabel untuk setiap kelompok. Tabel
harus memuat presentase kenaikan volume kaki setiap jam untuk masing-masing
tikus. Perhitungan persentase kenaikan volume kaki dilakukan dengan
membandingkan terhadap volume dasar sebelum penyuntikan karagen.
8) Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentase rata-rata dan bandingkan
persentasi yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap kelompok kontrol pada
jam yang sama.
9) Perhitungan dilakukan untuk pengukuran-pengukuran setelah 1 jam, 2 jam, 3 jam,
setelah penyuntikan karagen (atau setiap 30 menit)
Rumus yang digunakan sebagai berikut:
% Rata − rataKelompokKontrol − Rata − rataKelompokObat
% Rata − rataKelompokKontrol X 100
10) Gambarkan grafik variasi persentase inhibisi udem yang tergantung pada waktu (bagi
kelompok yang diberi obat).

Bagan Kerja :

48
6. Hasil Praktikum
T1 T2 T3
Bobot
Vol.pemberian %
Tikus badan Vol.dasar %udem Vol.dasar %udem Vol.dasar
udem
1
2
3

7. Diskusi dan pembahasan

49
8. Kesimpulan

9. Pustaka

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Domer, F.r. 1971. Animal Experiment in Pharmacological Analysis, Charles C.


Thomas, Springfield, III, USA.
2. Joke R. Wattimena,dkk. 1990.Protokol Penapisan Terarah Aktivitas
Farmakodinamik,Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica, Jakaerta.
3. Koppanyi T.,Karezamar A.G. 1964. Eksperimental Pharmacodynamics, 3 rd,ed.,
Burgers Publishing Co., Minneopolis, Minni, USA
4. Miya, T.s.,et, al.1968. Laboratory Guide in Pharmacology, 3 rd, ed., Burgers
Publishing Co., Minneopolis, Minni, USA
5. Nodine,J.H.,Seglar P.E.1964.Animal and Clinical Pharmacologicial Techniques in
Drug Evaluation, Year Book Medical Publisher Inc., Chicago
6. Thompson, E.B.1990. Drug Bioscreanning : Drug Evaluation Techniques in
Pharmacology, VCH, New York.
7. UFAW, 1972. The UFAW Handbook on the Care and Management of Laboratory
animals, 4 th,ed.Churchil Livingstone, Einburg, Britain.
8. Thompson, E. 1985. Drugs Bioscreening: Fundamentals of Drugs Techniques in
Pharmacology. New York: Graceway Publishing Company, Inc.
9. Vogel, G. 2002. Drugs Discovery and Evaluation Pharmacological Assays. Ed ke-2.
New York: Springer.
10. Wattimena., et al. 1993. Laboralorium Farmakologi. Bandung: Jurusan Farmasi ITB.
11. Adnan, dkk. 2013. Penuntun Praktikum Perkembangan Hewan. Makassar : Jurusan
Biologi FMIPA UNM.
12. Amori, G. 1996. Mus musculus IUCN Red List of Threatened Species. Makassar.
13. Siswandono, B .1995. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga Press

51
Lampiran 1

(Animal Marking System/AIMS).


1 2 3 4 5

6 7 8 9 10
20 30 40 50

60 70 80 90 100

52

Anda mungkin juga menyukai