Anda di halaman 1dari 4

Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

Agama Hindu

Oleh :
Anom Ardamana Wirotama
NIM 2006020819

Dosen : Prof. Dr. Ir. Euis Dewi Yuliana, M.Si.

Program Studi Pendidikan Agama Hindu


Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Hindu Indonesia
Jawablah pertanyaan dibawah ini !

1. Jelaskan hakikat konsep dasar Pendidikan menurut pandangan Agama Hindu (Weda)!

Veda sebagai sumber ajaran dan pengetahuan agama Hindu memiliki peranan penting
dalam mempelajari pendidikan dalam agama Hindu. Pentingnya peranan dan kedudukan Veda
dalam pendidikan Hindu sangat jelas terlihat dari arti Veda itu sendiri. Veda merupakan suatu
yang memiliki arti atau makna pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Keterkaitan Veda dengan
pendidikan Hindu jelas terlihat dari pengertian atau makna kata Veda sebagai pengetahuan
tersebut.

Pengetahuan merupakan sesuatu tujuan utama dari suatu pendidikan. Tidak mungkin
ada pendidikan tanpa adanya pengetahuan. Pandangan pendidikan Veda yang secara langsung
juga merupakan pendidikan Hindu mengenai pendidikan diartikan sebagai pengetahuan dan
pengetahuan dinyatakan sebagai mata ketiga manusia dalam pendidikan agama Hindu
menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan merupakan sangat penting dalam
kehidupan manusia. Pengetahuan dinyatakan sebagai mata ketiga dalam pandangan Hindu
sudah pasti memiliki dasar logika yang jelas. Pengetahuan bagi siapapun tidak dapat
dipungkiri merupakan jendela manusia untuk melihat segala sesuatu baik di luar diri manusia
maupun dalam diri manusia itu sendiri.

2. Jelaskan hubungan prinsip-prinsip filsafat Pendidikan agama Hindu dengan dewatanisasi dan
raksasanisasi!

Hakikat pendidikan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu adalah mendewatakan


manusia atau dewatanisasi insani guna mewujudkan divine human (daiwisampat) yang
sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter keraksasaan (demonic human,
asurisampat).

Kata darshana berarti melihat atau mengalami. Pemaknaan seperti ini memberikan
petunjuk, bahwa filsafat dalam konteks Agama Hindu, tidak hanya merupakan spekulasi
metafisika, tetapi didasari pula oleh data langsung.

Walaupun filsafat Hindu sangat menghargai olah pikiran dan pengalaman, namun ada
aspek penting yang membedakannya, yakni penghargaan terhadap intuisi (Sivananda, 2006).
Gejala ini berkaitan dengan hakikat manusia, yakni memiliki kesadaran supra yang
memberikannya kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara intuitif yang di
dalamnya mencakup olah rasa dan olah batin (Singh, 2005, 2004; Acarya, 1991). Jadi, dalam
rangka mendapatkan pengetahuan, filsafat Hindu tidak hanya bermuatan olah pikiran
(rasionalisme) dan olah pengalaman (empirisme) atau memadukan wadah rasional dan
empiris sebagaimana yang lazim berlaku pada filsafat Barat, melainkan meminjam gagasan
Knight (2007) memperhatikan pula intusi yang di dalamnya mencakup kesadaran supra, olah
rasa dan olah batin. Namun di balik pencarian kebenaran secara falsafati maka peran Agama
Hindu sebagai sumber kebenaran tidak bisa diabaikan.
Perolehan pengetahuan didapat melalui pembelajaran. Kemampuan belajar merupakan
aspek penting bagi eksistensi manusia, tidak hanya karena belajar adalah pintu gerbang bagi
pengetahuan, tetapi juga karena kemampuan belajar adalah aspek penting yang membedakan
manusia daripada binatang – perilaku binatang terprogram secara naluriah.

Agama Hindu menyebut pendidikan dengan istilah aguronaguron atau asewakadharma.


Pendidikan bisa dilakukan di sekolah atau pada zaman Veda disebut sakha atau patasala. Pada
masyarakat Bali mengenal istilah asrama, pasraman atau katyagan (Titib, 2003;
Prabhavananda, 2006). Apa pun nama lembaga pendidikan, baik asrama maupun sekolah,
pasti memiliki tujuan – hakikat manusia sebagai makhluk teleologis. Dengan mengacu kepada
Suhartono (2006: 80) tujuan pendidikan adalah “... pendewasaan, pencerdasan, dan
pematangan diri. Dewasa dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan jiwa,
dan matang dalam hal berperilaku”.

Dengan demikian, dilihat dari makna kata dewasa, maka tujuan pendidikan bukanlah
menjadikan peserta didik agar dewasa dalam arti perkembangan badaniah seperti
dikemukakan Suhartono (2006), tetapi lebih mengarah kepada menjadikan insan berkarakter
kedewataan (daiwisampat) atau divine human yang sekaligus berarti mencegah kehadiran
manusia berkarakter keraksasaan (asurisampat) atau demonic human.

Dengan meminjam pendapat Surakhmad (2009) gagasan ini jelas bernuansa filosofis,
sebab kandungannya tidak sekedar memenuhi hasrat ingin tahu tentang hakikat pendidikan,
tetapi memuat pula cita-cita ideal tentang tujuan pendidikan – mewujudkan divine human.
Pendek kata, dapat disimpulkan, bahwa pendidikan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu
pada hakikatnya adalah proses mendewatakan manusia atau dewatanisasi insani yang
sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter raksasa (deraksasani insani).
Dengan kata lain bisa pula dikemukakan, bahwa hakikat pendidikan menurut pandangan
Filsafat Pendidikan Hindu memiliki wajah ganda, yakni dewatanisasi insani dan deraksasanisasi
atas manusia (membasmi sifat-sifat raksana) sehingga melahirkan insan ideal, yakni divine
human atau daiwisampat, bukan manusia berkarakter raksasa, asurisampat atau demonic
human.

3. Jelaskan pemahaman saudara tentang praktik pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah


dilihat dari perspektif filsafat

Agama Hindu mengenal sebuah konsep yang disebut dengan Catur Asrama Dharma.
Konsep ini adalah tentang empat tahapan hidup manusia di dunia dimana tahap yang pertama
adalah Brahmacarya. Periode ini dimulai saat anak memasuki usia sekitar lima tahun. Sebelum
memasuki masa Brahmacarya (di bawah lima tahun) anak merupakan tanggung jawab orang
tua. Ia dididik dengan kasih sayang yang melimpah. Brahmacarya asrama, ialah masa
menuntut ilmu atau masa menuntut dharma sebagai tujuan hidup, realisasinya kini adalah
pendidikan di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah formal maupun informal (Titib, 2003 :15)
Tiga tujuan dari asrama ini adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan, membangun
karakter, dan belajar untuk memanggul tanggung jawab yang akan ia dapatkan pada saat
kehidupannya menjadi orang dewasa (Pandit, 2005 : 295). Unsur-unsur yang menjadi tujuan
Brahmacarya ini sangat mirip dengan konsep aspek-aspek modern yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik.Tahap ini dimulai ketika seorang anak memasuki sekolah pada umur yang sangat
muda dan melanjutkannya sampai menyelesaikan semua sekolah dan dipersiapkan memikul
tanggung jawab masa depan.
Sehingga jelas hal ini menjadi dasar program kurikulum pendidikan Agama Hindu dan
Budi Pekerti dimana bertujuan tidak hanya untuk memberikan pengetahuan Agama, tetapi
juga membentuk mental dan budi pekerti dari siswa.

4. Berdasarkan pengamatan saudara selama ini, Identifikasi dan analisis permasalahan-


permasalahan yang dihadapi dalam keberadaan Pendidikan Agama Hindu di dunia sekolah?

Permasalahan yang masih sering terjadi hingga hari ini adalah kepedulian baik siswa
maupun orang tua terhadap pengetahuan rohani kurang antusias. Dari yang saya amati, pada
umumnya para orang tua lebih memprioritaskan pengetahuan eksakta dikarenakan ada
perasaan terjamin untuk masa depan. Terlebih lagi nuansa kompetisi atas pengetahuan
eksakta pada lingkungan pendidikan membuat banyak orang tidak memprioritaskan
pendidikan rohani.

Hal ini menyebabkan generasi berikutnya semakin terkikis moralnya dalam menjalani
aktifitas profesinya. Sehingga dapat menyebabkan kesenjangan ekonomi, sosial, budaya
semakin lebar karena menurunnya kualitas rohani pada generasi berikutnya.

5. Tindakan apa yang saudara lakukan dalam memberikan solusi pada pemecahan permasalahan
yang dihadapi pada nomor 4?

Menurut pendapat saya, pemasalahan tersebut dapat dilakukan penyelesaian melalui


beberapa strategi dalam suatu kolaborasi seperti yang disebutkan dibawah ini :

a. Pelatihan dan pembekalan pada tenaga pendidik bukan hanya dari Guru Agama,
melainkan seluruh elemen sekolah tentang pentingnya pembentukan kualitas rohani
siswa sekolah.
b. Memberikan tekanan maupun penghargaan yang sama atas setiap mata pelajaran.
Sehingga kompetisi tidak hanya terfokus pada mata pelajaran eksakta, melainkan merata
di seluruh mata pelajaran dan dinamis pada setiap siswa.
c. Adanya pembinaan dan kesadaran dari masing-masing individu akan pentingnya
pendidikan rohani sebagai dasar dari pengetahuan lainnya. Untuk mengembangkan
kehidupan kita sebagai manusia.
d. Selaku individu, kita selayaknya memberikan edukasi kepada lingkungan kita agar dapat
membangun pemahaman lingkungan sosial akan pentingnya pendidikan rohani dan budi
pekerti.

Anda mungkin juga menyukai