Anda di halaman 1dari 10

Negara Yang Gagal atau

Bermasalah

Karena

kelompok 3
Abdillah - Marvel Stevel Fallo
Faktor Politik
Alfian Septyandi - Nabila Al Zahrah
Karmila Amakae

Permasalahan

Sejak memperoleh kemerdekaan dari Belgia pada tahun 1960, Kongo telah menderita akibat
kepemimpinan diktator yang rakus, ketidakstabilan politik, dan kekerasan yang terus-
menerus selama beberapa dekade. dikarenakan ketidakstabilan politik, korupsi endemik,
dan kini pandemi virus corona terus menggagalkan potensi itu. Ini juga diperparah
dengan kasus baru Ebola yang kembali muncul pada Februari, kurang dari setahun setelah
wabah lain merenggut nyawa lebih dari dua ribu orang.

Dalam beberapa dekade terakhir, Republik Demokratik Kongo telah menjelma menjadi daerah
konflik terpanas di dunia. Krisis Kongo tidak terlepas dari faktor historis kolonial
yang masih meninggalkan pengaruh di daerah jajahannya. Pasca memperoleh kemerdekaan,
Kongo memulai pembangunan negara dengan mengadopsi nilai-nilai kolonial yang kemudian
menyebabkan instabilitas. Ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan regulasinya
memicu pergolakan di tengah masyarakat.
Permasalahan
Kericuhan mulai marak terjadi ketika munculnya kelompok-kelopok
ekstrimis yang menyebabkan perang sipil, penganiayaan, maupun tindak
kekerasan. Seperti problematika Afrika pada umumnya, konflik etnis yang
saling memperebutkan sumber daya alam menjadi pemicu lahirnya tindak
kekerasan yang lebih tinggi.

Konflik jangka panjang yang melanda Kongo akan sangat sulit untuk
mencapai kesepakatan damai meskipun tidak menutup kemungkinan upaya
resolusi dapat tercapai. Kekerasan yang diprakarsai oleh otoritas
pemerintah Kongo dalam mempertahankan legalitasnya memberikan efek buruk
bagi kelangsungan hidup negaranya. Hal ini turut diperparah dengan
kemunculan kelompok-kelompok ekstrimis yang menggoyangkan stabilitas
Kongo. Peristiwa Kongo merefleksikan penodaan terhadap hak-hak asasi
manusia yang digaungkan oleh dunia internasional.

Pembahasan

Republik Demokratik Kongo merupakan negara yang memiliki intensitas yang tinggi
mengenai konflik politik. Selama konflik sipil pertama dan kedua yang berlangsung di
Republik Demokratik Kongo (RDC), Republik Demokratik Kongo yang sebelumnya bernama
Zaire tidak asing dengan perang dan ketidakstabilan. Kekerasan politik telah merusak
negeri ini selama beberapa dekade.
Pada tahun 1998, Interahamwe bergabung dengan tentara Suriah untuk melancarkan
serangan terhadap Tutsi Kongo di Zaire timur. Perang ini sangat kompleks dimana
dalam jumlah besar kelompok pemberontak selain menyerang satu sama lain, dan pada
tahun 1998 keadaan politik di RD Kongo kembali memanas. Laurent Desire Kabila gagal
membagi kekuasaannya terhadap kelompok-kelompok pendukungnya sehingga yang awalnya
mendukung Kebila berbalik melawan dengan memberontak kembali

Back to Agenda Page


Pembahasan
Melihat begitu besarnya dampak Perang Kongo II ini dan ketidaksanggupan
pemerintah RD Kongo untuk menanganinya, perang ini kemudian mendapatkan
perhatian besar dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB). DK PBB mendesak pihak-pihak
yang berkonflik untuk melakukan gencatan senjata. Pada 10 Juli 1999,
perjanjian gencatan senjata pun dilakukan dan dikenal dengan nama Perjanjian
Lusaka. Melalui perjanjian Lusaka, maka konflik di RD Kongo memasuki masa
gencatan senjata. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pihak yang
berkonflik mengizinkan masuknya operasi penjaga perdamaian PBB. DK PBB
melalui Resolusi DK PBB NO. 1279 tanggal 30 November 1999 menempatkan operasi
pasukan perdamaian (peacekeeping operations/PKOs) 8 di RD Kongo.
Mandat yang diberikan melalui Resolusi DK PBB tersebut adalah untuk
mengawasi implementasi perjanjian Lusaka dan membantu proses perdamaian.
Mandat ini didasarkan pada BAB VI Piagam PBB Pacific Settlement of Dispute.

Pembahasan

Pre-Transitional Phase atau fase pra – transisi merupakan fase yang dapat
dikatakan merupakan awal mula lahirnya pemberontakan. Namun tidak lama
setelahnya, gerakan pemberontakan baru lahir menentang pemerintahan Laurent
Kabila. Kelompok yang menamakan dirinya sebagai RCD (Rally for Congolese
Democracy) lahir dengan mendapat backing dari negara Rwanda. Lahir pula MLC
(Congolese Liberation Movement) dengan dibantu oleh negara Uganda. Kedua
gerakan pemberontakan ini berhasil menguasai wilayah Kongo Timur.

Back to Agenda Page


Pembahasan
Pada pemerintahan Joseph Kabila, terjadi
kemajuan pada tahun 2002 ketika pihak Uganda
dan Rwanda setuju untuk menarik bantuan
pasukan. Bahkan sempat terjadi pembicaraan damai Pada tanggal 16 Januari 2011, Laurent Desire
yang bertempat di Afrika Selatan, pada saat itu Kabila tewas terbunuh. Perang berakhir setelah
kesepakatan damai dan penarikan pasukan sudah adanya perjanjian perdamaian dengan Rwanda
disetujui oleh pihak MLC namun ditolak oleh (Perjanjian Pretoria) dan dengan Uganda
pihak RCD. Hingga akhirnya pada Desember (Perjanjian Luanda) pada tahun 2002 yang berisi
2002, kesepakatan damai berhasil di tanda tangani bahwa Rwanda dan Uganda akan menarik seluruh
oleh pihak pemerintah Republik Demokrasi pasukannya dari RD Kongo. Pemerintahan
Kongo dan RCD, dengan kesepakatan bahwa diserahkan kepada anak dari Laurent Desire
RCD mendapat jatah di pemerintahan Republik Kabila yaitu Joseph Kabila
Demokrasi Kongo. Kemudian dibentuklah
FARDC, sebagai gabungan pasukan militer
Republik Demokrasi Kongo dengan RDC.
Pembahasan
Meskipun perang telah berakhir dengan adanya perjanjian perdamaian,
situasi konflik di RD Kongo masih diwarnai dengan konflik berkepanjangan.
Perjanjian perdamaian yang dibuat antara pihak berkonflik tidak
menghentikan konflik melainkan merubahnya kepada persaingan politik yang
intens. Akibat dari konflik juga menyebabkan kehancuran sistem ekonomi,
sosial dan hubungan antar pihak berkonflik. Ketidaktentuan situasi
politik, sosial dan ekonomi ini membuat kemungkinan konflik bereskalasi
menjadi perang kembali terjadi.
KESIMPULAN
Republik Demokratik Kongo telah menjelma menjadi daerah konflik
terpanas di dunia. Krisis Kongo tidak terlepas dari faktor historis
kolonial yang masih meninggalkan pengaruh di daerah jajahannya.
Pasca memperoleh kemerdekaan, Kongo memulai pembangunan negara
dengan mengadopsi nilai - nilai kolonial yang kemudian menyebabkan
instabilitas. Ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan
regulasinya memicu pergolakan di tengah masyarakat. Kericuhan mulai
marak terjadi ketika munculnya kelompok-kelopok ekstrimis yang
menyebabkan perang sipil, penganiayaan, maupun tindak kekerasan.
Back to Agenda Page

Anda mungkin juga menyukai