Oleh:
Universitas Pertahanan
2019
A. Latar Belakang
1
http://huripedia.idhrdocs.org/index.php?title=SOMALIA – diakses pada
2
http://news.bbc.co.uk/2/hi/in_depth/africa/2004/somalia/default.stm
3
ThalifDeen. "Somalia: Rich Maritime Resources Being Plundered, Report Says." 2012. Global Information
Network.2 April 2012<http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=2592313
961&SrchMode=2&sid=2&Fmt=3&VInst=PROD&VType =PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1332214183&clien
tId=10762>.
4
Elmi, Afyare A. "Understanding the Sources of Somali Conflict." Third World Resurgence (2011): 15-20.
mengatur Somalia dengan baik. Sejak ditumbangkannya pemerintahan
Mohammed Siad Barre, Somalia terus dilanda konflik. Somalia tidak pernah
memiliki pemerintahan yang fungsional.5
Perang saudara yang terjadi di Somalia sudah berlangsung sejak
jatuhnya rezim Siyad Barre pada tahun 1991. Siyad Barre adalah seorang
anggota dari klanMarehan, atau sub-klan dari Darood dan menjabat sebagai
presiden Somalia pada 21 Oktober 1969 melalui kudeta militer. Kudeta ini
dilakukan sehari setelah kematian Presiden Abdirashid Ali Shermarke. Syrad
Barre berhasil menempatkan dirinya sebagai presiden Somalia selama
beberapa dekade kedepan setelah mengusung Supreme Revolutionary
Council (SRC).
Pemerintahan Siyad Barre mengutamakan individu atau kelompok yang
masih memiliki ikatan dengan klanMarehaan-Darood dalam posisi-posisi yang
ada di pemerintahan. Dalam rezimnya juga terjadi monopoli dan eksploitasi
sumber daya alam untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kondisi
masyarakat. Hal ini menyebabkan munculnya perlawanan dari klan lain yang
menuntut pembagian kekuasaan yang merata. Untuk mengatasi perlawanan-
perlawanan tersebut, Siyad Barre mengerahkan kekuatan militer.
Dengan tindakannya itu Siyad memicu kemunculan akan beberapa
kelompok pemberontak yang berbasis klan. Memang pada awalnya, kelompok-
kelompok ini bertujuan untuk menjatuhkan dan mengambil alih kekuasaan dari
Siyad Barre. Pada tahun 1991, pemerintahan Siyad Barre jatuh dan berujung
pada pembubaran angkatan bersenjata Somalia dan jatuhnya sistem
pemerintahan serta lembaga pemerintahan lainnya.
B. Analisis Konflik
1. Types of Conflict
Konflik yang terjadi di Somalia memiliki bentuk yang kompleks. Pada
mulanya konflik ini lahir sebagai konflik vertikal yang tumbuh dari
perlawanan terhadap kepemimpinan junta militer yang dipimpian Siad Barre
5
The World Bank. "Conflict in Somalia: Drivers and Dynamics." 2005. World Bank. 2 April 2012
<http://siteresources.worldbank.org/INTSOMALIA/Resou rces/conflictinsomalia.pdf>.
selama tahun 1980-an. Pada tahap awal perlawanan ini kemudian
melibatkan berbagai kelompok pemberontak bersenjata, seperti Front
Demokratik Keselamatan Somalia yang bergerak di daerah Timur Laut dan
Gerakan Nasional Somalia yang bergerak dari arah Barat Laut. Juga ada
kelompok Kongres Serikat Somalia yang melakukan perlawanan di daerah
selatan. Perlawanan bersenjata ini mencapai puncak ada 1991 dengan
runtuhnya pemerintahan Barre.
Bila dilihat dari bentuk lain, konflik Somalia juga menunjukkan bentuk
yang kompleks. Bila dilihat dari aktor yang terlibat maka pada fase 1, 1991-
1998, konflik Somalia merupakan letupan berupa konflik bersenjata non
internasional (Non International Arm Conflict). Hal ini karena konflik hanya
melibatkan pemerintah dan pasukan pemberontak dari berbagai wilayah.
Namun setelah pemerintah transisi nasional pada tahun 2000 diikuti
Pemerintah Transisi Federal pada 2004 konflik mulai mereda untuk kembali
pecah.
Pada pertemuan Dewan Menteri Uni Afrika Juli 1996, Uni Afrika
mendorong upaya rekonsiliasi di Somalia melalui Inter-Governmental Authority
on Development (IGAD). Kegagalan IGAD dalam merealisasikan IGASOM
kemudian diikuti oleh perubahan dinamika politik di Somalia. Faktor internal
yang menyebabkan kegagalan IGASOM adalah ketidaksetujuan faksi-faksi
yang ada di Somalia terhadap keikutsertaan pasukan negara tetangga (Kenya,
Ethiopia, dan Djibouti). Aliansi kelompok berbasis Islam, Islamic Courts of
Union (ICU) muncul menjadi kekuatan baru di Somalia.
iii. UNOSOM II
Strategi pencegahan dan mekanisme koordinasi memburuk
dengan cepat ketika UNOSOM II mengambil alih pada awal Mei
1993. Tujuan keterlibatan militer asing berubah menjadi politik dan
kemanusiaan, kali ini dengan penekanan kuat pada politik. Laporan
Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali yang meminta
mandat untuk operasi PBB yang baru mengidentifikasi 'langkah
paralel' dari 'gencatan senjata dan mekanisme rekonsiliasi,
pelucutan senjata dan penciptaan pasukan perdamaian sipil,
rehabilitasi di samping dialog politik'. Meskipun laporan itu juga
menyerukan perlindungan bagi personel, peralatan, dan instalasi
organisasi bantuan, serta 'upaya berkelanjutan untuk membantu
kegiatan bantuan', tujuan kemanusiaan jelas sekunder. Aspek
perlindungan kemanusiaan UNOSOM II dibahas di sini; tujuan politik
operasi dibahas dalam bab 6.
Seperti UNITAF, skema UNOSOM II untuk melindungi
operasi bantuan adalah untuk menyediakan perlindungan titik dan
area menggunakan strategi pencegahan dan pertahanan. Karena
pasukan PBB tidak berhasil mencegah serangan seperti pasukan
multilateral, pasukan PBB dipaksa untuk melakukan sejumlah besar
tindakan pertahanan. Akan tetapi, agak menyesatkan untuk
mengatakan bahwa UNOSOM II membela operasi bantuan, karena
dalam banyak kasus hanya membela diri.
Hubungan yang sudah masam antara PBB dan Jenderal
Aidid yang terbukti dalam insiden Kismaayo yang dijelaskan di atas
mengalami perubahan serius pada bulan Juni ketika sebuah
kontingen pasukan Pakistan memeriksa salah satu kubu Aidid
melawan keinginannya. Aidid memutuskan untuk menguji
kemampuan dan ketetapan pasukan PBB dan menyerang tentara
Pakistan ketika mereka mundur, menewaskan 24 dan melukai 56
dari mereka. Dewan Keamanan mengeluarkan deklarasi perang de
facto terhadap faksi Aidid dan kepala sipil UNOSOM II, SRSG
Jonathan Howe, dengan persetujuan dari kantor Sekretaris
Jenderal, menawarkan hadiah untuk penangkapan Aidid. Sejak saat
itu, agenda politik mendominasi yang kemanusiaan dan lingkungan
keamanan memburuk dengan cepat, terutama di Mogadishu.
Efek dari agenda politik pada operasi bantuan sangat
menghancurkan. Ketika operasi kedua yang dipimpin PBB dimulai
pada Mei 1993, badan-badan bantuan melakukan pekerjaan yang
baik untuk memenuhi kebutuhan mendesak penduduk dan telah
memulai upaya rehabilitasi dan pengembangan untuk membuat
Somalia kembali berdiri. Ketika pertempuran meningkat, mereka
harus mengurangi kegiatan mereka. Pada pertengahan Agustus,
ancaman rudal darat-udara telah menutup bandara Mogadishu
untuk semua kecuali helikopter militer. Semua kegiatan
kemanusiaan di kota dan sekitarnya langsung terhenti hampir
sampai pertengahan Oktober, ketika Aidid mencetak kemenangan
besar melawan pasukan khusus AS yang, bertindak independen dari
pasukan PBB, telah mencoba menangkapnya.65 Pada saat itu
Amerika Serikat mengumumkan niatnya untuk menarik pasukannya
dan PBB mengejar agenda politiknya melalui diplomasi. Tingkat
kekerasan di Mogadishu mereda.
Kekurangan pengiriman bantuan karena lingkungan yang
tidak aman berlanjut setelah pertempuran mereda di ibukota. Ketika
UNOSOM II mengikuti kebijakan penghematan, peningkatan bandit
dan transportasi pasokan menjadi semakin sulit. Semakin dekat ke
Mogadishu, semakin besar kesulitannya. Bukan hal yang aneh bagi
personel dari LSM, badan bantuan PBB dan UNOSOM untuk
diancam, diserang atau diculik. Ketika pasukan AS terakhir
mengundurkan diri pada bulan Februari dan Maret 1994, kantor-
kantor LSM dijarah di beberapa kota besar. Pada Juli 1994, pasukan
UNOSOM hanya berusaha 'untuk menjaga keamanan di instalasi-
instalasi utama, mengawal konvoi bantuan dan melindungi
personel', tetapi ini sebagian besar tidak efektif. Sepanjang periode
meningkatnya pertikaian antar-klan dan bandit, yang beberapa di
antaranya menyebabkan korban militer PBB, pasukan PBB tetap
menyingkir sebanyak mungkin. Sejumlah badan PBB dan LSM
menghentikan program bantuan mereka dan mengurangi atau
menarik staf mereka.
Meskipun situasinya buruk ketika UNOSOM ada di sana,
menjadi lebih buruk ketika operasi militer berakhir pada Maret 1995.
Bandara Mogadishu ditutup. Pelabuhan itu tetap beroperasi, tetapi
perselisihan faksi dan perselisihan perburuhan mengakibatkan
seringnya penghentian operasi. Sekitar 40 LSM dan delapan badan
PBB mempertahankan operasi untuk sementara waktu, mengambil
pendekatan regional yang sederhana di daerah-daerah di mana
personel mereka relatif aman.
e. Al – Shabaab
Gerilyawan Al-Shabaab merupakan salah satu sayap militer
ICU yang masih bertahan dan berpengaruh kuat di selatan Somalia
hingga sekarang. Bahkan semenjak TFG berhasil menguasai
Mogadishu dengan bantuan AMISOM, gerilyawan Al-Shabaab
berganti taktik menjadi perang gerilya. Meskipun Mogadishu
akhirnya berhasil dikuasai oleh TFG dan pengamanan didukung
oleh AMISOM, namun serangan-serangan terus terjadi terhadap
TFG, dan masyarakat sipil. Dalam perkembangannya, Al-Shabaab
dimasukkan kedalam daftar kelompok teroris oleh Amerika Serikat
yang pada masa itu di bawah pemerintahan Bush Jr. Pada Februaru
2008.8 Diketahui juga pada Februari 2012, Al-Shabaab bergabung
dengan jaringan Al-Qaeda.
7 The Supreme Islamic Courts Union/al-Ittihad Mahakem al-Islamiya (ICU), diakses dari
http://www.globalsecurity.org/military/world/para/icu.htm pada April 2012, 16.13 WIB
8 Ted Dagne, Somalia: Current Conditions and Prospects for a Lasting peace (Washington DC:
International Crisis Group. 2007. “Somalia: The Tough Part Is Ahead” dalam
Policy Briefing Africa Briefing No.45. (Nairobi/Brussels, 26 January 2007).
Web: