Anda di halaman 1dari 30

Konflik Bersenjata Somalia

Mata Kuliah : Armed Conflict Peace Mission

Mayjen TNI (Purn) Dr. I Gede Sumertha K Y, PSC

Oleh:

Anisa Martiana 120180303004

Azzahra Retnaning Basuki 120180303007

Ira Guslina Sufa 120180303012

Sunu Tri Yuana 120180303020

Wildan Akbar Hashemi Rafsanjani 120180303023

Wuri Retno Martani 120180303024

Yosep Susanto 120180303026

Prodi Damai dan Resolusi Konflik

Fakultas Keamanan Nasional

Universitas Pertahanan

2019
A. Latar Belakang

Somalia adalah salah satu bagian dari derita berkepanjangan tersebut.


Republik Demokratik Somalia adalah sebuah negara yang terletak di sebelah
timur Afrika, di Samudera Hindia dan Teluk Aden. Negara ini berbatasan
dengan Djibouti, Ethiopia dan Kenya. Keseluruhan populasi Somalia
diperkirakan sekitar 6.000.000 jiwa. Negara ini juga memiliki populasi
pengungsi terbesar di seluruh dunia. Kelompok etnis di negara ini mencakup
Somalia (98%) dan Arab serta Asia (2%). Bahasa yang banyak digunakan
adalah bahasa Arab dan Somalia (keduanya bahasa resmi), Inggris juga Itali.
Islam (Sunni) adalah agama utama.1Kondisi Negara yang berada di kawasan
Afrika Timur ini kian memprihatinkan. Negara miskin ini dipenuhi banyak derita
dan seolah tidak berhenti dirundung masalah yang datang bertubi-tubi.
Semakin maraknya konflik yang terjadi seperti krisis pangan hingga perang
saudara menyebabkan Somalia secara drastis mengalami instabilitas sosial,
ekonomi dan politik.2 Walaupun demikian, Somalia adalah tanah strategis,
yang merupakan kunci regional. Di samping memiliki sumber daya alam,
seperti minyak, gas dan uranium, pantai Somalia mencakup Laut Merah
sebagai jalur transportasi maritim internasional yang penting.3
Pada awalnya negara Afrika dijajah oleh tiga negara Eropa yakni Inggris,
Perancis dan Italia. Kemudian ketiga Negara penajah ini membagi wilayah
Afrika menjadi beberapa wilayah terpisah. Dibentuknya British Somaliland dan
Italian Somalia merupakan awal mula penggabungan wilayah menjadi Republik
Somalia. Dan semenjak terbentuknya Republik Somalia, adanya kemunculan
gerakan-gerakan etnis yang menuntut hak mereka atas wilayah kependudukan
menjadi faktor pemicu terjadinya konflik di Somalia.4 Somalia terus-menerus
dilanda konflik sejak tahun 1991 saat pemerintahan Siyad Barre yang otoriter
jatuh dan sejak saat itu belum ada pemerintahan yang sungguh-sungguh dapat

1
http://huripedia.idhrdocs.org/index.php?title=SOMALIA – diakses pada
2
http://news.bbc.co.uk/2/hi/in_depth/africa/2004/somalia/default.stm
3
ThalifDeen. "Somalia: Rich Maritime Resources Being Plundered, Report Says." 2012. Global Information
Network.2 April 2012<http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=2592313
961&SrchMode=2&sid=2&Fmt=3&VInst=PROD&VType =PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1332214183&clien
tId=10762>.
4
Elmi, Afyare A. "Understanding the Sources of Somali Conflict." Third World Resurgence (2011): 15-20.
mengatur Somalia dengan baik. Sejak ditumbangkannya pemerintahan
Mohammed Siad Barre, Somalia terus dilanda konflik. Somalia tidak pernah
memiliki pemerintahan yang fungsional.5
Perang saudara yang terjadi di Somalia sudah berlangsung sejak
jatuhnya rezim Siyad Barre pada tahun 1991. Siyad Barre adalah seorang
anggota dari klanMarehan, atau sub-klan dari Darood dan menjabat sebagai
presiden Somalia pada 21 Oktober 1969 melalui kudeta militer. Kudeta ini
dilakukan sehari setelah kematian Presiden Abdirashid Ali Shermarke. Syrad
Barre berhasil menempatkan dirinya sebagai presiden Somalia selama
beberapa dekade kedepan setelah mengusung Supreme Revolutionary
Council (SRC).
Pemerintahan Siyad Barre mengutamakan individu atau kelompok yang
masih memiliki ikatan dengan klanMarehaan-Darood dalam posisi-posisi yang
ada di pemerintahan. Dalam rezimnya juga terjadi monopoli dan eksploitasi
sumber daya alam untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kondisi
masyarakat. Hal ini menyebabkan munculnya perlawanan dari klan lain yang
menuntut pembagian kekuasaan yang merata. Untuk mengatasi perlawanan-
perlawanan tersebut, Siyad Barre mengerahkan kekuatan militer.
Dengan tindakannya itu Siyad memicu kemunculan akan beberapa
kelompok pemberontak yang berbasis klan. Memang pada awalnya, kelompok-
kelompok ini bertujuan untuk menjatuhkan dan mengambil alih kekuasaan dari
Siyad Barre. Pada tahun 1991, pemerintahan Siyad Barre jatuh dan berujung
pada pembubaran angkatan bersenjata Somalia dan jatuhnya sistem
pemerintahan serta lembaga pemerintahan lainnya.

B. Analisis Konflik
1. Types of Conflict
Konflik yang terjadi di Somalia memiliki bentuk yang kompleks. Pada
mulanya konflik ini lahir sebagai konflik vertikal yang tumbuh dari
perlawanan terhadap kepemimpinan junta militer yang dipimpian Siad Barre

5
The World Bank. "Conflict in Somalia: Drivers and Dynamics." 2005. World Bank. 2 April 2012
<http://siteresources.worldbank.org/INTSOMALIA/Resou rces/conflictinsomalia.pdf>.
selama tahun 1980-an. Pada tahap awal perlawanan ini kemudian
melibatkan berbagai kelompok pemberontak bersenjata, seperti Front
Demokratik Keselamatan Somalia yang bergerak di daerah Timur Laut dan
Gerakan Nasional Somalia yang bergerak dari arah Barat Laut. Juga ada
kelompok Kongres Serikat Somalia yang melakukan perlawanan di daerah
selatan. Perlawanan bersenjata ini mencapai puncak ada 1991 dengan
runtuhnya pemerintahan Barre.

Setelah Barre lengser terjadi kekosongan kekuasaan selama


beberapa tahun. Masa ini kemudian konflik berubah menjadi konflik
horizontal antar klan yang saling berebut pengaruh untuk mengambil alih
pemerintahan. Konflik antar klan pun menjadi tak terhindarkan dan berlanjut
dengan berdirinya negara wilayah-wilayah baru yang saling berperang satu
sama lain sehingga kekacauan memuncak. Pada 1992 pasukan
pemeliharaan perdamaian PBB pun masuk namun gagal mewujudkan
perdamaian sehingga keluar lagi pada 1995. Konflik baru mulai mereda
ketika pemerintahan daerah otonom mulai terbentuk pada 1998.

Pada tahun berikutnya, konflik yang terjadi di Somalia secara


bersamaan berkembang menjadi konflik vertikal dan horizontal secara
bersamaan. Disebut horizontal ketika terjadi persaingan antar klan untuk
memperebutka posisi pemerintahan, dan menjadi vertikal ketika
pemerintahan sementara mengerahkan kekuatan bersenjata untuk
melawan kelompok pemberontak.

Bila dilihat dari bentuk lain, konflik Somalia juga menunjukkan bentuk
yang kompleks. Bila dilihat dari aktor yang terlibat maka pada fase 1, 1991-
1998, konflik Somalia merupakan letupan berupa konflik bersenjata non
internasional (Non International Arm Conflict). Hal ini karena konflik hanya
melibatkan pemerintah dan pasukan pemberontak dari berbagai wilayah.
Namun setelah pemerintah transisi nasional pada tahun 2000 diikuti
Pemerintah Transisi Federal pada 2004 konflik mulai mereda untuk kembali
pecah.

Pada fase kedua, 2005-2012 konflik Somalia berkembang menjadi


konflik bersenjata internasional (International Arm Conflict) yang ditandai
dengan penyerangan pasukan Ethiopia yang merebut sebagian besar
wilayah selatan dari Uni Pengadilan Islam (ICU) yang baru dibentuk di
Somalia. Penyerangan pertama terjadi pada 2006 yang berlanjut sampai
akhirnya Somalia benar-benar kacau, ICU terpecah dan Somalia pun
menduduki indeks negara gagal.

Pada Oktober 2011, pasukan Kenya masuk ke wilayah Somalia


lewat operasi Linda Nchi sebagai bentuk usaha memerangi kelompok
radikal di Somalia. Pasukan Kenya ini kemudian terintegrasi dalam pasukan
multinasional pada 2012 untuk membangun zona penyangga dan
mendorong terbentukya Pemerintahan Federal Somalia yang secara resmi
didirikan pada bulan Agustus 2012, merupakan pemerintah pusat
permanen pertama di negara ini sejak dimulainya perang saudara.

Selanjutnya setelah pemerintahan Federal Somalia terbentuk konflik


yang terjadi terutama yang berasal dari kelompok radikal Al Shahab masih
bermunculan. Namun, konflik Somalia sudah berkembang kembali menjadi
NIAC karena merupakan perlawanan kelompok bersenjata dalam negeri.
Hingga bulan November 2012, sekitar 85 persen wilayah yang
disengketakan di Somalia telah berada di bawah kendali pemerintahan.

Gambar 1. Tipe Konflik yang terjadi di Somalia


2. Sources of Confict

Krisis yang terjadi di Somalia awalnya di dasari oleh persaingan


faksi–faksi yang juga membawa identitas klan, dalam memperebutkan
kekuasaan. Hal ini yang memicu perang saudara di Somalia sehingga
menyebabkan runtuhnya pemerintahan yang ada di Somalia pada tahun
1991. Somalia kemudian menjadi negara tanpa pemerintah dan jatuh dalam
krisis dikarenakan absennya institusi negara dalam kehidupan masyarakat.
Konflik yang terjadi di Somalia merupakan konflik dalam struktur
sosial Somalia yang dipengaruhi oleh sistem klan. Dalam memahami konflik
di Somalia, peranan klan sangat vital karena terdapat beberapa klan yang
memiliki pengaruh kuat pada wilayah-wilayah tertentu. Klan juga memiliki
pengaruh besar dalam sistem ekonomi suatu wilayah dan memiliki sub-klan
yang juga memiliki jumlah anggota yang besar. Perang antar klan yang
terjadi merupakan awal permasalahan dasar yang terjadi di Somalia sejak
jatuhnya Siyad Barre pada tahun 1991.
Setiap klan berusaha untuk mendapatkan akses atas kekuasaan dan
sumber daya lainnya yang strategis demi kepentingan klannya. Ketika
perselisihan antar klan tidak mampu diselesaikan dengan baik, maka hal
tersebut bias menjadi sumber konflik terbuka. Konflik berkepanjangan
dipicu oleh keadaan Somalia yang masih sangat terbelakang, dimana
tingkat kemiskinan merupakan urutan tertinggi di dunia.

3. Actors in Armed Conflict

a. Dewan Keamanan PBB / James Jonah (Sekjen SC PBB)

James O.C. Jonah lahir tahun 1934, beliau berkarier di sekretariat


PBB lebih dari 30 tahun. Pensiun sebagai sekretaris general urusan Politik
tahun 1992-1994. Beliau pernah menjabat sebagai penasehat urusan
politik di kantor sekretaris general tahun 1970 – 1979 . Sebagai asisten
sekretaris general untuk pelayanan personel tahun 1079 – 1982, Staf untuk
Operasi lapangan dan kegiatan Dinas Luar tahun 1982-1987 dan staf
istimewa untuk pertanyaan-pertanyaan politik tahun 1991 – 1992. Setelah
meninggalkan PBB beliau menjadi Sierra Leone’s permanen representatif
untuk PBB(1996 – 1998) dan menteri financial, pengembangan dan
perencanaan ekonomi (1998-2001). Waktu menjabat sebagai wakil
Sekretaris General urusan politik tahun 1992 dalam perjuangannya di
Mogadishu Somalia, Jonah memimpin tim pejabat senior PBB ke Somalia
untuk pembicaraan yang bertujuan untuk menghentikan permusuhan dan
mengamankan akses oleh komunitas bantuan internasional kepada warga
sipil yang terjebak dalam konflik. Selama kunjungan itu, dukungan untuk
gencatan senjata di Mogadishu diungkapkan oleh semua pemimpin faksi,
kecuali Jenderal Aidid. Namun, dukungan bulat dinyatakan untuk peran
PBB dalam mewujudkan rekonsiliasi nasional. Pada tanggal 31 Januari,
Sekretaris Jenderal mengundang LAS, OAU dan OKI, serta Presiden
Sementara Ali Mahdi dan Jenderal Aidid, untuk mengirim perwakilan
mereka untuk berpartisipasi dalam konsultasi di Markas Besar PBB dari 12
hingga 14 Februari. Pembicaraan berhasil mendapatkan dua faksi di
Mogadishu untuk menyetujui penghentian permusuhan segera dan
pemeliharaan gencatan senjata, dan untuk kunjungan ke Mogadishu oleh
delegasi tingkat tinggi bersama yang terdiri dari perwakilan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan tiga organisasi regional. untuk menyimpulkan
perjanjian gencatan senjata. Delegasi gabungan tiba di Mogadishu pada
tanggal 29 Februari 1992. Pada tanggal 3 Maret, setelah empat hari
perundingan intensif, Presiden Sementara Ali Mahdi dan Jenderal Aidid
menandatangani "Perjanjian tentang Implementasi Gencatan Senjata".
Perjanjian ini juga termasuk penerimaan komponen keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk konvoi bantuan kemanusiaan, dan
penyebaran 20 pengamat militer di setiap sisi Mogadishu untuk memantau
gencatan senjata.

b. Jendral Muhammad Farid Aidid (Somalia)

Jenderal Mohamed Farrah Aidid Hassan (lahir 15 Desember 1934 –


meninggal 1 Agustus 1996 pada umur 61 tahun) adalah seorang pemimpin
militer kontroversial Somalia, sebagai Seorang mantan jenderal, diplomat
dan panglima perang, beliau merupakan ketua Kongres Somalia Bersatu
(USC) dan kemudian memimpin Aliansi Nasional Somalia (SNA). Sebagai
kelompok oposisi bersenjata, mereka berusaha mengusir rezim Presiden
Mohamed Siad Barre dari ibu kota Somalia, (Mogadishu) selama Perang
Saudara Somalia yang pecah pada awal 1990-an. Pada tahun 1992, Aidid
menantang kehadiran PBB dan pasukan Amerika Serikat di Somalia. Dia
adalah salah satu sasaran utama Operasi Pemulihan Harapan, operasi
kemanusiaan bersama antara PBB dan AS yang berusaha mematahkan
setiap serangan militer. Milisi Aidid berhasil memaksa pasukan PBB untuk
meninggalkan negara itu pada tahun 1995, Aidid menyatakan dirinya
sebagai Presiden Somalia untuk waktu singkat sampai kematiannya pada
tanggal 24 Juli 1996, Ketika Aidid dan milisinya terlibat dalam pertempuran
dengan pasukan panglima perang dan mantan sekutu Aidid Ali Mahdi
Muhammad dan Osman Ali Atto. Dia Terluka oleh tembakan selama
pertempuran, Aidid mengalami serangan jantung fatal pada 1 Agustus, baik
selama atau setelah operasi untuk mengobati luka-lukanya.

c. Mohammed Sahnoun (Pakistan)


Mohamed Sahnoun (8 April 1931 - 20 September 2018) adalah
seorang diplomat Aljazair yang menjabat sebagai duta besar Aljazair untuk
Jerman, Prancis, Amerika Serikat dan Maroko serta perwakilan tetap
Aljazair untuk negara -negara tersebut. Dalam organisasi PBB beliau juga
menjabat sebagai Asisten Sekretaris Jenderal Organisasi Persatuan Afrika,
Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, Sekretaris Jenderal Perwakilan
Khusus PBB untuk Somalia pada tahun 1992 dan Sekretaris Jenderal
Perwakilan Khusus PBB untuk Danau-Danau Besar wilayah Afrika pada
tahun 1997. Beliau terus bekerja untuk perdamaian dan rekonsiliasi melalui
berbagai hal yang berhubungan dengan PBB dan badan amal independen.
Beliau fokus utama dalam bidang pengembangan dialog antar budaya dan
antar-agama dan pada penyembuhan kenangan yang terluka dari konflik
masa lalu.
d. Letnan Jendral Robert Johnston (UNOSOM I)

Letjen marinir Robert Johnston (lahir 6 Oktober 1937) Dia ditugaskan


sebagai letnan dua di Korps Marinir AS pada Desember 1961. Tur tugas
pertamanya adalah dengan Brigade Marinir 1 di Hawaii sebagai Komandan
Peleton Senapan. Pada Mei 1965, ia ditugaskan bersama Brigade ke
Vietnam. Dia bertugas tur kedua di Vietnam dari tahun 1967 hingga 1968,
sebagai Komandan Kompi Rifle di Batalion ke-3, Marinir ke-9 dan sebagai
Asisten G-2, Divisi Marinir ke-3. Setelah melewati berbagai pendidikan dan
berbagai kedinasan di Amerika beliau ditugaskan yaitu ke Quantico pada
Mei 1984 untuk mengambil alih komando Sekolah Calon Perwira. Sambil
melayani dalam kapasitas ini, beliau dipilih untuk dipromosikan menjadi
brigadir jenderal pada bulan Desember 1986. Pada Agustus 1990, ia
ditugaskan bersama CENTCOM ke Arab Saudi, di mana ia menjabat
sebagai Kepala Staf Jenderal Norman Schwarzkopf selama Operasi Perisai
Gurun dan Badai Gurun. Pada Mei 1991, ia kembali ke Pangkalan Angkatan
Udara MacDill, Florida dan ditugaskan sebagai Wakil Komandan Tertinggi
dan Kepala Staf, Komando Pusat Amerika Serikat. Beliau maju menjadi
letnan jendral pada tanggal 27 Agustus 1991, dan bertugas sebagai
Komandan Jenderal, I Pasukan Ekspedisi Marinir / Komandan Jenderal,
Pangkalan Korps Marinir Pendleton, California, pada 6 September 1991.
Dia melepaskan komando Pangkalan Korps Marinir di Kamp Pendleton
pada 19 Juni 1992. Selama Perang Teluk, ia menjabat sebagai Kepala Staf
CENTCOM. Pada bulan Desember tahun 1992 beliau dipercaya sebagai
Komandan Jenderal I MEF memimpin AS dan pasukan sekutu dalam misi
yang diamanatkan PBB untuk mengirimkan pasokan bantuan ke Somalia (
UNOSOM I). letnan jenderal Robert Johnston pensiun dari Korps Marinir
Amerika Serikat pada 1995 setelah lebih dari 34 tahun bertugas aktif
dengan jabatan terakhirnya adalah Komandan Pasukan Marinir Atlantik,
Pasukan Laut Atlantik Eropa dan Pasukan Ekspedisi Marinir II
e. Ali Mahdi (Panglima Pemberontak)

Jatuhnya pemerintahan Siyad Barre pada Januari 1991 merupakan


sebuah awal dari perang saudara yang melanda Somalia. Kekosongan
jabatan pemerintahan dan hukum negara membuat konflik bersenjata
meluas dan tidak dapat dikendalikan. Vacuum of Power yang terjadi
sepeninggal Siyad Barre menjadi perebutan beberapa pemimpin kelompok
pemberontak yang berbasis klan atau biasa disebut dengan Warlord.
Warlord saling memperebutkan kekuasaan untuk menjadikan dirinya
sebagai pemimpin Somalia yang baru. Pemimpin dari United Somalia
Congress (USC) yakni Farrah Aidid memperebutkan jabatan sebagai
presiden Somalia dengan Ali Mahdi Muhammad yang juga memimpin USC
bersamanya. Hal ini menjadkan USC terpecah ke dalam dua faksi yang
masing-masing dipimpin oleh Farrah Aidid dan Ali Mahdi Muhammad. Ali
Mahdi Muhammad berasal dari klan Hawiye, atau klan mayoritas yang
berada pada Mogadishu.
Pada awal jatuhnya pemerintahan Siyad Barre, para warlord atau
yang memimpin kelompok yang terlibat dalam pemerintahan Siyad Barre
kemudian berbalik saling memperebutkan kekuasaan yang berlanjut pada
perang terbuka dan menimbulkan banyaknya korban jiwa serta bencana
kekeringan dan kelaparan yang semakin memperburuk keadaan di Somalia
bagian selatan.
Pada Juni 1991, perundingan pertama untuk membahas masa
depan Somalia diadakan dan menghasilkan Ali Mahdi Muhammad sebagai
presiden pertama Somalia. Keputusan ini tidak diterima oleh Jenderal
Farrah Aidid yang juga mewakili USC dan meningkatkan intensitas kontak
senjata antara faksi keduanya. Hal ini kemudian membuat PBB melakukan
intervensi pada tahun 1992 yang melahirkan gencatan senjata yang
disepakati oleh kedua pihak. Selain itu, PBB juga meratifikasi pembentukan
misi perdamaian di Somalia dengan nama United Nations Operation in
Somalia (UNOSOM).
f. Robert Oakley (Duta Besar)

Dibawah kepemimpinan Duta Besar Robert Oakley dan


kepemimpinan militer Letnan Jenderal Robert Johnston, tentara UNITAF
menjaga bandara, pelabuhan, gudang, dan titik distribusi pengiriman
bantuan di Mogadishu. Yang menjadi ancaman terbesar terhadap operasi
bantuan berasal dari orang-orang bersenjata dibawah kendali panglima
perang yang pada saat itu adalah Ali Mahdi dan Farrah Aidid. Oakley dan
Johnston berhasil membuat mereka menyetujui untuk menarik semua
senjata dari Mogadishu. Penghilangan senjata berat para panglima perang
sangat meningkatkan kebebasan bergerak organisasi bantuan di kota yang
merupakan titik masuk utama untuk pasokan bantuan dan rumah jutaan
orang yang membutuhkan. Oakley juga menjelaskan kepada LSM dan
orang-orang Somalia bahwa pasukan ada disana untuk memberikan
bantuan kepada mereka.

g. Jonathan Howe (UNOSOM II)

Kepala sipil UNOSOM II, SRSG Jonathan Howe menawarkan hadiah


untuk penangkapan Aidid. Semenjak saat itu, agenda politik yang
mendominasi kemanusiaan dan lingkungan keamanan memburuk dengan
cepat, terutama di Mogadishu. Efeknya cukup menghancurkan operasi
bantuan kemanusiaan PBB. Tujuan ambisius PBB tidak diimbangi dengan
kemampuan diplomatik dan militernya. Ketika Howe tiba di Mogadishu pada
Maret 1993, ia tidak menemukan strategi untuk mengimplementasikan
Resolusi Dewan Keamanan, tidak ada rencana untuk penyerahan
operasional dan personel serta peralatan yang diperlukan. Pada saat itu
diasumsikan UNOSOM II kekurangan staf sipil. Howe membutuhkan waktu
berbulan-bulan untuk mendapatkan 100 orang staf. Perekrutan staf sipil
yang sangat lambat memperlambat pengembangan pendekatan
operasional non-militer. Komponen militer yang jauh lebih besar akan
mendominasi pertimbangan dalam operasional.
UNOSOM II gagal melindungi operasi bantuan karena tujuan
politiknya membayangi setiap kegiatan kemanusiaan, melemahkan
kekuatan intervensi, dan tindakan penyelidik menunjukkan bahwa kekuatan
tidak mampu untuk mengusir serangan-serangan Somalia dengan menjaga
jumlah korban tetap rendah.

4. Role of Development Cooperation in Armed Conflict

Perundingan pertama untuk membahas masa depan Somalia diadakan


dan merupakan inisiatif dari Presiden Djibouti, Hassan Gulaid Abtidon.
Rekonsiliasi ini mempertemukan kelompok yang terlibat dalam pemberontakan
yang menjatuhkan Siyad Barre pada Januari 1991. UN kemudian melakukan
intervensi pada tahun 1992. Intervensi ini berhasil melahirkan perjanjian
gencatan senjata yang disepakati oleh Farrah Aidid dan Ali Mahdi Muhammad.
Selain itu, UN juga meratifikasi pembentukan misi perdamaian di Somalia
dengan nama United Nations Operation in Somalia (UNOSOM). Pada Agustus
1992, mandat UNOSOM kemudian direvisi dengan menambahkan pasukan
yang bersenjata ringan yang bertugas untuk melindungi petugas yang
menyalurkan bantuan ke Somalia.

Dewan Keamanan UN kemudian membentuk Unified Task Force


(UNITAF) pada Desember 1992 sebagai tanggapan atas pengajuan usulan
Amerika. Misi UNITAF ini dipimpin oleh Amerika Serikat dan diperbolehkan
untuk melakukan segala cara yang dibutuhkan untuk memulihkan kondisi
keamanan dan mengamankan pos – pos strategis yang akan digunakan.
Pasukan UNITAF ini diberikan dukungan persenjataan berat untuk misi
pengamanannya. Misi ini juga diberi mandat untuk membantu dalam pendirian
pemerintahan baru Somalia. Bandara dan pelabuhan strategis berhasil dikuasi
oleh pasukan UNITAF dalam beberapa hari setelah mendarat di Mogadishu.
UNITAF juga memberikan pengawalan bersenjata terhadap konvoi dan pos
pembagian bantuan yang dilakukan oleh organisasi kemanusiaan yang
beroperasi di Somalia. UNITAF berupaya memfasilitasi rekonsiliasi antara
pemimpin – pemimpin faksi yang ada di Somalia. UN kembali mengeluarkan
resolusi pada tahun 1993 untuk melanjutkan eksistensi UN di Somalia. Misi ini
kemudian dikenal dengan nama UNOSOM II dan merupakan lanjutan dari
UNOSOM dan UNITAF. Misi ini merupakan misi PBB yang memiliki pasukan
paling banyak, yakni sekitar 28.000 pasukan. Perjanjian gencatan senjata yang
telah disepakati sebelumnya kemudian dilanggar dan mengakibatkan konflik.
Misi UNOSOM II dihentikan dan dianggap gagal karena tidak mampu
menciptakan kondisi yang ideal untuk penyaluran bantuan kemanusiaan dan
perbaikan kondisi di Somalia.Terlepas dari keberhasilan UNOSOM
mengadakan beberapa perundingan antar faksi untuk membicarakan
rekonsiliasi dan pembangunan pemerintahan yang baru dan disetujui oleh faksi
– faksi yang terlibat, semuanya tidak berlangsung lama.

Peran Uni Afrika dalam AMISOM atau AFRICAN UNION MISSION IN


SOMALIA dalam rangka bekerja sama dengan Somalia untuk pengupayaan
resolusi konflik. Interaksi antar negara yang memiliki kedekatan geografis
memberikan kesempatan bagi sebuah negara untuk memenuhi
kepentingannya. Kepentingan antara negara yang berdekatan telah
mendorong beberapa negara untuk mengadakan kerjasama bilateral maupun
multilateral dengan negara lain yang masih berada dalam satu kawasan yang
sama. Uni Afrika memiliki beberapa badan yang memiliki tugas yang spesifik.
Ada 4 kategoribadan – badan utama yang ada di Uni Afrika, yakni Majelis
Umum (General Assembly), Badan Legislatif, Badan Finansial, Badan
Penasehat, dan Badan Yudikatif. Badan yang bertanggung jawab dalam
menanggapi isu keamanan dan konflik di Afrika adalah Dewan Keamanan dan
Perdamaian (Peace and Security Council) dan Majelis Umum. Uni Afrika juga
memiliki tujuan – tujuan yang mulia dan memberikan manfaat bagi benua Afrika
secara keseluruhan. Salah satunya adalah promote peace, security, and
stability on the continent; promote democratic principles and institutions,
popular participation, and good governance. Serangkaian upaya rekonsiliasi
tersebut kemudian pada akhirnya menghasilkan pemerintahan transisi yang
bernama Transitional Federal Government of Somalia (TFG) yang kemudian
atas bantuan Ethiopia berhasil memasuki Somalia pada tahun 2007 stelah
sebelumnya beroperasi dari Nairobi, Kenya.

Uni Afrika memiliki beberapa peranan yang cukup signifikan dalam


menyelesaikan konflik di Somalia pada awal pecahnya konflik. Sidang Uni
Afrika pada Juni 1992 menghasilkan resolusi nomor RES. 1388 yang
membahas mengenai perlunya keterlibatan dunia internasional dalam upaya
penyelesaian konflik di Somalia. Uni Afrika mendukung upaya implementasi
perjanjian gencatan senjata yang telah disetujui pada pertemuan pemimpin
klan di New York, Maret 1993. Inisiatif dari negara-negara yang berada di
kawasan Afrika Timur untuk berperan aktif dalam penyelesaian konflik sangat
diharapkan oleh Uni Afrika sesuai yang tertuang dalam resolusi tersebut.
Namun hasil dari resolusi konflil tersebut kurang maksimmal, dibuktkan dengan
dilanggarnya perjanjian gencatan senjata antara Jenderal Farrah Aidid dengan
Ali Mahdi Muhammad. kontak senjata kembali terjadi di Mogadishu. Kondisi ini
mendorong Uni Afrika untuk kembali mengeluarkan resolusi pada Februari
1994 agar pihak-pihak Somalia bekerjasama memprioritaskan perdamaian dan
upaya rekonsiliasi pemerintahan

Pada pertemuan Dewan Menteri Uni Afrika Juli 1996, Uni Afrika
mendorong upaya rekonsiliasi di Somalia melalui Inter-Governmental Authority
on Development (IGAD). Kegagalan IGAD dalam merealisasikan IGASOM
kemudian diikuti oleh perubahan dinamika politik di Somalia. Faktor internal
yang menyebabkan kegagalan IGASOM adalah ketidaksetujuan faksi-faksi
yang ada di Somalia terhadap keikutsertaan pasukan negara tetangga (Kenya,
Ethiopia, dan Djibouti). Aliansi kelompok berbasis Islam, Islamic Courts of
Union (ICU) muncul menjadi kekuatan baru di Somalia.

Unsur militer adalah unsur yang memberikan perlindungan dan


dukungan keamanan untuk berlangsungnya misi seperti yang sudah
dimandatkan. Unsur militer ini terdiri dari pasukan gabungan negara anggota
AU. Hingga 13 September 2011, jumlah pasukan AMISOM yang bertugas
adalah 9.595 pasukan, kebanyakan berasal dari Uganda dan Burundi.
Keberhasilan dalam melaksanakan operasi militer terus menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2012, melalui operasi militer
gabungan antara TFG dan AMISOM, pasukan koalisi berhasil merebut kota
Kismayo, bagian selatan Mogadishu. Kontribusi AMISOM dalam
melaksanakan tugasnya sebagai organ peacekeeping di Somalia secara
umum berasal dari komponen militer AMISOM.Kondisi yang semakin membaik
tidak lepas dari kerjasama antara AMISOM dengan pemerintah transisi melalui
operasi-operasi militer dan pengamanan. Hal ini bisa tercapai dikarenakan
alokasi pasukan AMISOM yang diturunkan ke Somalia. Kemampuan AMISOM
untuk melaksanakan preemptive strike juga turut menjadi faktor pendukung
keberhasilan operasi militer AMISOM. Gabungan antara AMISOM dengan TFG
masih berjalan hingga kini.

5. Millitary and Non Military Intervention in Armed Conflict


a. UN Mission
Pasukan perdamaian harus memiliki kemauan politik yang kuat
untuk dapat menjalankan tugasnya melindungi kemanusiaan. Kreibilitasnya
tergantung pada kemampuan untuk mengkomunikasikan niatnya dengan
jelas.
Dilakukan penyelidikan kecil terlebih dahulu, untuk mengetahui
respon ancaman Upaya penangkalan lebih baik dilakukan untuk mencegah
terjadinya kontak senjata yang memakan biaya lebih mahal atau melakukan
upaya pertahanan. Seringkali kekuatan militer mengikuti lebih dari satu
skema aksi pada saat yang bersamaan. varian yang melibatkan
'perlindungan titik' ( menjaga bangunan dan konvoi ) dan varian yang
membutuhkan 'perlindungan kawasan' ( area kecil yang aman dan zona
besar yang aman)
Dalam parameter strategis pencegahan dan pertahanan ada
beberapa rencana aksi skematik yang berbeda untuk melindungi operasi
bantuan kemanusiaan. Pasukan militer dapat :
(a) menjaga bangunan atau instalasi tertentu.
(b) mengawal konvoi kemanusiaan.
(c) melindungi area kecil yang aman.
(d) melindungi zona besar yang aman.

b. The International Commitee of the Red Cross (ICRC)


Pada November 1992, harga makanan di seluruh negeri telah anjlok,
menunjukkan pasokan yang lebih besar. Pada akhir tahun 1992 ada lebih
dari 1000 pusat pemberian makan di seluruh negeri. Berita baiknya adalah
angka kematian akibat kelaparan menurun tajam. Berita buruknya adalah
penjarahan dan penjarahan terus merajalela di seluruh negeri, menjadi
lebih buruk daripada semakin banyak makanan yang datang. Pekerja ICRC
Somalia memperkirakan bahwa setengah dari apa yang dibawa ICRC
dicuri, dialihkan, atau diperas, meskipun secara publik ICRC mengklaim
bahwa ia kehilangan tidak lebih dari 20 persen. Meskipun volume makanan
yang masuk ke negara itu meningkat secara signifikan pada musim gugur
1992, proporsi sebenarnya mencapai penerima yang dituju turun 40 persen.

c. Keterlibatan UN Mission ( Peace Prevention, Peace Enforcement,


Peace Making, Peacekeeping, Peace Building )
i. UNOSOM I
Dewan Keamanan PBB mendirikan UNOSOM I pada bulan
April 1992, setelah perjanjian gencatan senjata bulan Maret
dinegosiasikan oleh Sekretaris Jenderal untuk Urusan Politik, James
Jonah, tetapi pasukan itu tidak beroperasi sampai September karena
negara-negara anggota enggan melakukan pasukan dan peralatan.
Pasukan penjaga perdamaian memiliki mandat untuk memantau
gencatan senjata di ibukota, Mogadishu, dan untuk memberikan
keamanan bagi operasi kemanusiaan di wilayah Mogadishu. Lima
puluh pengamat militer yang tidak bersenjata akan memenuhi tujuan
pertama dan satu unit bersenjata yang terdiri dari 500 tentara
ditugaskan untuk melindungi personel, peralatan, dan persediaan
PBB di pelabuhan dan bandara di Mogadishu, dan mengawal
pengiriman pasokan kemanusiaan di sekitar Mogadishu.
Kebutuhan akan perlindungan terbukti dan menjadi lebih akut
dari waktu ke waktu. Upaya bantuan kemanusiaan berkembang
pesat selama periode gencatan senjata, sebagian sebagai
tanggapan terhadap lingkungan yang lebih stabil dan sebagian
karena organisasi memiliki waktu untuk merencanakan dan
mempersiapkan.
Kebutuhan akan perlindungan terbukti dan menjadi lebih akut
dari waktu ke waktu. Upaya bantuan kemanusiaan berkembang
pesat selama periode gencatan senjata, sebagian sebagai
tanggapan terhadap lingkungan yang lebih stabil dan sebagian
karena organisasi memiliki waktu untuk merencanakan dan
mempersiapkan. Pada November 1992, harga makanan di seluruh
negeri telah anjlok, menunjukkan pasokan yang lebih besar. Pada
akhir tahun 1992 ada lebih dari 1000 pusat pemberian makan di
seluruh negeri. Berita baiknya adalah angka kematian akibat
kelaparan menurun tajam. Berita buruknya adalah penjarahan dan
penjarahan terus merajalela di seluruh negeri, menjadi lebih buruk
daripada semakin banyak makanan yang datang. Pekerja
Masyarakat Bulan Sabit Merah Somalia memperkirakan bahwa
setengah dari apa yang dibawa ICRC dicuri, dialihkan, atau diperas,
meskipun secara publik ICRC mengklaim bahwa ia kehilangan tidak
lebih dari 20 persen. Meskipun volume makanan yang masuk ke
negara itu meningkat secara signifikan pada musim gugur 1992,
proporsi sebenarnya mencapai penerima yang dituju turun 40
persen.
UNOSOM I berusaha untuk mengatasi masalah ini di wilayah
Mogadishu dengan memberikan perlindungan titik operasi bantuan,
tetapi pada kenyataannya tidak melakukan apa-apa. Pekerja
bantuan terus diancam dan persediaan terus dicuri. Ketika
pencegahan gagal, pasukan PBB tidak pernah mencoba pertahanan
aktif. Akibatnya, bandit dan orang-orang bersenjata di bawah
komando satu panglima perang atau yang lain terus mencuri
persediaan dengan impunitas. Alasan utama mengapa UNOSOM I
tidak pernah secara efektif melindungi operasi kemanusiaan adalah
penolakan Jenderal Muhammad Farah Aidid untuk itu. Aidid adalah
panglima perang terkuat di Somalia dan menguasai sebagian besar
Mogadishu. Pada saat personel keamanan Pakistan tiba, perjanjian
antara Aidid dan SRSG, Mohamed Sahnoun, sangat membatasi apa
yang diizinkan oleh prajurit dan di mana mereka diizinkan untuk
pergi. Awalnya, unit infantri ringan yang diterbangkan oleh Pesawat
AS harus berkemah di luar perimeter bandara yang seharusnya
dilindungi karena sebuah faksi yang bersekutu dengan Aidid
menolak menyerahkan kendali atas aset berharga itu. Selain
kelemahan yang dinegosiasikan UNOSOM, hal itu mengalami
kelemahan fisik. Sadar akan perlunya kekuatan tambahan, Dewan
Keamanan mengizinkan 3000 pasukan tambahan, tetapi UNOSOM
tidak diberi penjelasan tentang langkah itu sebelum keputusan
dibuat. Merasa bahwa dia telah dikesampingkan, Sahnoun
mengundurkan diri dan Aidid memblokir penyebaran baru. Pada
akhirnya kekuatan maksimum operasi adalah 893 pasukan
bersenjata ringan. Mandat operasi itu sendiri mencegah
perlindungan operasi bantuan yang efektif. Di bawah Bab VI piagam
PBB, tentara diizinkan untuk menembakkan senjata mereka hanya
untuk membela diri. Pasukan PBB menafsirkan aturan pertahanan
diri dari perjanjian secara sempit, membuat prajurit menjadi
penonton yang tak berdaya ketika bandit mengancam akan
menembak tetapi tidak benar-benar melakukannya. Menilai hidup
mereka lebih dari jatah makanan, pengemudi akan menghasilkan
barang mereka ketika terancam.

ii. Operation Restore Hope (UNITAF)


Intervensi yang dipimpin AS pada bulan Desember 1992
benar-benar melampaui kekuatan penjaga perdamaian kecil, yang
tetap berlangsung sampai Maret 1993. UNITAF diberi mandat oleh
Dewan Keamanan PBB untuk segera membangun lingkungan yang
aman bagi operasi bantuan kemanusiaan di Somalia'. Militer AS, dan
akibatnya semua anggota pasukan multinasional lainnya,
menafsirkan misi mereka sebagai perlindungan sementara operasi
bantuan di Somalia selatan, khususnya Mogadishu. Sekretaris
Jenderal PBB berargumen dengan keras, tetapi tidak berhasil, untuk
interpretasi yang lebih komprehensif dari mandat untuk
memasukkan pelucutan senjata dari faksi-faksi Somalia dan
kemajuan menuju perdamaian di seluruh negara. UNITAF
meninggalkan tujuan naas itu untuk Operasi PBB kedua di Somalia.
Di bawah kepemimpinan sipil Duta Besar Robert Oakley dan
kepemimpinan militer Letnan Jenderal Robert Johnston, tentara
UNITAF menjaga bandara, pelabuhan, gudang, dan titik distribusi di
Mogadishu. Mereka menyediakan pengawalan konvoi di dalam kota
dan dari kota ke titik-titik pedalaman. Pasukan ditempatkan di
gudang-gudang yang dijaga di pedalaman dan titik-titik distribusi dan
menyediakan pengawalan untuk keluar reguler dari kota-kota utama.
Selain itu, dari Desember 1992 hingga Mei 1993, kehadiran asing
yang luas di Mogadishu memberikan perlindungan wilayah di kota
itu, meskipun tidak pernah dinyatakan sebagai daerah aman. Salah
satu ancaman terbesar terhadap operasi bantuan datang dari orang-
orang bersenjata dalam 'hal teknis' di bawah kendali panglima
perang. Selama masa jabatan UNITAF, panglima perang saingan Ali
Mahdi dan Aidid menyetujui permintaan Oakley dan Johnston bahwa
mereka membuat kanton atau menarik semua teknis mereka dari
Mogadishu. Penghapusan senjata berat para panglima perang
sangat meningkatkan kebebasan bergerak organisasi bantuan di
kota yang merupakan titik masuk utama untuk pasokan bantuan dan
rumah jutaan orang yang membutuhkan.
Perlindungan titik adalah proses yang dinamis karena
UNITAF memperluas pekerjaannya ke daratan. Kedatangan
kehadiran militer asing di setiap sektor bantuan kemanusiaan
dirancang dengan cermat untuk memberikan perlindungan
maksimal bagi organisasi-organisasi bantuan dan personil militer
sambil menghindari pecahnya kekerasan. Penekanan pada tujuan
kemanusiaan dari operasi militer baru sangat penting untuk
hubungan dengan Somalia dan personil LSM. Di setiap lokasi baru,
staf berpengalaman dari tim tanggap bencana OFDA USAID dan
personel intelijen militer mengunjungi area yang akan ditempati,
berbicara dengan personel LSM yang hadir dan mensurvei lokasi.
Satu atau dua hari kemudian Oakley, ditemani oleh perwira militer
dan politik, tiba untuk menjelaskan kepada LSM dan orang-orang
Somalia bahwa pasukan akan tiba pada hari berikutnya dan bahwa
pasukan ada di sana untuk membantu mereka. Pada waktunya
pasukan UNITAF tiba dengan persediaan bantuan darurat dan
meninggalkan sebuah kontingen untuk menjaga persediaan dan
menyediakan pengawalan konvoi. Persiapan diplomatik dan
kedatangan serentak pasukan dan pasokan berjalan jauh menuju
kemenangan atas Somalia dan LSM.
Penjarahan dan kejahatan menurun dengan cepat begitu
UNITAF membangun kehadiran di lokasi tertentu. Semua konvoi
makanan yang dikawal dari Mogadishu (sekitar 70 per bulan)
berhasil mencapai tujuan mereka dan hanya satu yang dikecam.
Tidak adanya bandit dan penjarahan di mana ada kehadiran militer
bukanlah suatu kebetulan. ICRC pada awalnya tidak ikut serta
dalam konvoi militer karena larangan kuat terhadap tindakan yang
membahayakan ketidakberpihakannya. Pada akhir Januari, mereka
telah mengubah pendiriannya dalam menghadapi serangan yang
terus-menerus, yang organisasi-organisasi yang menerima
pengawalan militer tidak menderita. Situasi kemanusiaan di daerah
pedalaman yang dilanda bencana kelaparan meningkat pesat
dengan cepat ketika program bantuan darurat dan rehabilitasi
bergerak bersiap-siap.
UNITAF berhasil mencegah serangan terhadap operasi
bantuan karena berkomunikasi dengan para panglima perang,
memiliki kemampuan militer jauh melebihi apa pun yang dimiliki
orang Somalia, dan menunjukkan kemauan dan kemampuan untuk
menggunakan kekuatannya ketika pencegahan ditentang. Komite
Keamanan Gabungan adalah saluran penting untuk pertukaran
informasi dan pengaturan agenda antara para pemimpin milisi
Somalia dan komandan militer asing. Operasi Mengembalikan
Harapan para pemimpin sipil, yang menyadari keberhasilan Pusat
Koordinasi Militer di Irak, mendorong warga Somalia untuk
membentuk dan berpartisipasi dalam komite. Terdiri dari para
pemimpin militer senior dari faksi-faksi Aidid dan Ali Mahdi, kadang-
kadang termasuk kepala faksi itu sendiri, panitia secara teratur
melibatkan para perwira senior militer dan UNITAF dalam hampir
setiap hari pertemuan antara Januari dan April 1993. Pertemuan-
pertemuan tersebut memfasilitasi dialog antara pasukan Somalia
dan AS secara spesifik. isu-isu seperti kantonisasi senjata berat, dan
tentang pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih umum.
Pada lebih dari satu kesempatan Komite Keamanan Gabungan
membantu menghindari jenis konfrontasi yang kemudian melanda
UNOSOM II.

iii. UNOSOM II
Strategi pencegahan dan mekanisme koordinasi memburuk
dengan cepat ketika UNOSOM II mengambil alih pada awal Mei
1993. Tujuan keterlibatan militer asing berubah menjadi politik dan
kemanusiaan, kali ini dengan penekanan kuat pada politik. Laporan
Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali yang meminta
mandat untuk operasi PBB yang baru mengidentifikasi 'langkah
paralel' dari 'gencatan senjata dan mekanisme rekonsiliasi,
pelucutan senjata dan penciptaan pasukan perdamaian sipil,
rehabilitasi di samping dialog politik'. Meskipun laporan itu juga
menyerukan perlindungan bagi personel, peralatan, dan instalasi
organisasi bantuan, serta 'upaya berkelanjutan untuk membantu
kegiatan bantuan', tujuan kemanusiaan jelas sekunder. Aspek
perlindungan kemanusiaan UNOSOM II dibahas di sini; tujuan politik
operasi dibahas dalam bab 6.
Seperti UNITAF, skema UNOSOM II untuk melindungi
operasi bantuan adalah untuk menyediakan perlindungan titik dan
area menggunakan strategi pencegahan dan pertahanan. Karena
pasukan PBB tidak berhasil mencegah serangan seperti pasukan
multilateral, pasukan PBB dipaksa untuk melakukan sejumlah besar
tindakan pertahanan. Akan tetapi, agak menyesatkan untuk
mengatakan bahwa UNOSOM II membela operasi bantuan, karena
dalam banyak kasus hanya membela diri.
Hubungan yang sudah masam antara PBB dan Jenderal
Aidid yang terbukti dalam insiden Kismaayo yang dijelaskan di atas
mengalami perubahan serius pada bulan Juni ketika sebuah
kontingen pasukan Pakistan memeriksa salah satu kubu Aidid
melawan keinginannya. Aidid memutuskan untuk menguji
kemampuan dan ketetapan pasukan PBB dan menyerang tentara
Pakistan ketika mereka mundur, menewaskan 24 dan melukai 56
dari mereka. Dewan Keamanan mengeluarkan deklarasi perang de
facto terhadap faksi Aidid dan kepala sipil UNOSOM II, SRSG
Jonathan Howe, dengan persetujuan dari kantor Sekretaris
Jenderal, menawarkan hadiah untuk penangkapan Aidid. Sejak saat
itu, agenda politik mendominasi yang kemanusiaan dan lingkungan
keamanan memburuk dengan cepat, terutama di Mogadishu.
Efek dari agenda politik pada operasi bantuan sangat
menghancurkan. Ketika operasi kedua yang dipimpin PBB dimulai
pada Mei 1993, badan-badan bantuan melakukan pekerjaan yang
baik untuk memenuhi kebutuhan mendesak penduduk dan telah
memulai upaya rehabilitasi dan pengembangan untuk membuat
Somalia kembali berdiri. Ketika pertempuran meningkat, mereka
harus mengurangi kegiatan mereka. Pada pertengahan Agustus,
ancaman rudal darat-udara telah menutup bandara Mogadishu
untuk semua kecuali helikopter militer. Semua kegiatan
kemanusiaan di kota dan sekitarnya langsung terhenti hampir
sampai pertengahan Oktober, ketika Aidid mencetak kemenangan
besar melawan pasukan khusus AS yang, bertindak independen dari
pasukan PBB, telah mencoba menangkapnya.65 Pada saat itu
Amerika Serikat mengumumkan niatnya untuk menarik pasukannya
dan PBB mengejar agenda politiknya melalui diplomasi. Tingkat
kekerasan di Mogadishu mereda.
Kekurangan pengiriman bantuan karena lingkungan yang
tidak aman berlanjut setelah pertempuran mereda di ibukota. Ketika
UNOSOM II mengikuti kebijakan penghematan, peningkatan bandit
dan transportasi pasokan menjadi semakin sulit. Semakin dekat ke
Mogadishu, semakin besar kesulitannya. Bukan hal yang aneh bagi
personel dari LSM, badan bantuan PBB dan UNOSOM untuk
diancam, diserang atau diculik. Ketika pasukan AS terakhir
mengundurkan diri pada bulan Februari dan Maret 1994, kantor-
kantor LSM dijarah di beberapa kota besar. Pada Juli 1994, pasukan
UNOSOM hanya berusaha 'untuk menjaga keamanan di instalasi-
instalasi utama, mengawal konvoi bantuan dan melindungi
personel', tetapi ini sebagian besar tidak efektif. Sepanjang periode
meningkatnya pertikaian antar-klan dan bandit, yang beberapa di
antaranya menyebabkan korban militer PBB, pasukan PBB tetap
menyingkir sebanyak mungkin. Sejumlah badan PBB dan LSM
menghentikan program bantuan mereka dan mengurangi atau
menarik staf mereka.
Meskipun situasinya buruk ketika UNOSOM ada di sana,
menjadi lebih buruk ketika operasi militer berakhir pada Maret 1995.
Bandara Mogadishu ditutup. Pelabuhan itu tetap beroperasi, tetapi
perselisihan faksi dan perselisihan perburuhan mengakibatkan
seringnya penghentian operasi. Sekitar 40 LSM dan delapan badan
PBB mempertahankan operasi untuk sementara waktu, mengambil
pendekatan regional yang sederhana di daerah-daerah di mana
personel mereka relatif aman.

d. ICU (Islamic Court Union)


ICU adalah sebuah organisasi yang muncul pada
pertengahan tahun 2000an. ICU merupakan organisasi yang terdiri
dari gabungan 11 klan yang memiliki kekuasaan semenjak
pemerintahan pusat runtuh.6 Yang menjadi dasar hukum pada
organisasi ini adalah hukum islam yang kuat atau syariah seperti
dengan yang dilakukan oleh Taliban di daerah kekuasaannya di
Afghanistan. Tujuan dibentuknya organisasi ini adalah untuk
membangun Somalia sebagai sebuah negara Islam yang stabil dan
damai.

Pada mulanya, ICU adalah hasil dari bentukan sebuah


organisasi bernama Al-Ittihad Al-Islamiya (AIAI) yang mengalami
kekalahan karena serangan tentara Ethiopia pada tahun 2000.
Musuh utama ICU adalah TFG. ICU menguasai mayoritas dari
bagian selatan Somalia pada Oktober 2006. Namun karena
serangan TFG dan tentara Ethiopia antara Desember 2006-Januari
2007, ICU terpecah. Salah satu pecahannya yaitu Al-Shabaab, yang

6Background Note: Somalia, diakses dari http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2863.htm pada


12 April 2012, jam 15.54 WIB
terus melakukan perlawanan terhadap TFG dan tentara asing. 7
Gerilyawan Al-Shabaab inilah yang kemudian menjadi pihak yang
berperang yang menyusahkan TFG.

e. Al – Shabaab
Gerilyawan Al-Shabaab merupakan salah satu sayap militer
ICU yang masih bertahan dan berpengaruh kuat di selatan Somalia
hingga sekarang. Bahkan semenjak TFG berhasil menguasai
Mogadishu dengan bantuan AMISOM, gerilyawan Al-Shabaab
berganti taktik menjadi perang gerilya. Meskipun Mogadishu
akhirnya berhasil dikuasai oleh TFG dan pengamanan didukung
oleh AMISOM, namun serangan-serangan terus terjadi terhadap
TFG, dan masyarakat sipil. Dalam perkembangannya, Al-Shabaab
dimasukkan kedalam daftar kelompok teroris oleh Amerika Serikat
yang pada masa itu di bawah pemerintahan Bush Jr. Pada Februaru
2008.8 Diketahui juga pada Februari 2012, Al-Shabaab bergabung
dengan jaringan Al-Qaeda.

f. TFG (Transitional Federal Government)


TFG merupakan sebuah hasil dari mediasi yang dipimpin oleh
IGAD (Intergvernmental Authority on Development) yang juga usaha
keempat belas untuk membentuk pemerintahan di Somalia yang
berfungsi sejak berakhirnya pemerintahan diktaktor Siyad Barre
pada tahun 1991. TFG dibentuk pada tahun 2004 dan sampai Juni
2005, TFG bertindak dari negara Kenya.9

TFG ini adalah pemerintahan yang diakui secara


internasional dan mendapat dukungan untuk kemudian dapat
menjadi sebuah pemerintahan Somalia yang berdaulat atas Somalia

7 The Supreme Islamic Courts Union/al-Ittihad Mahakem al-Islamiya (ICU), diakses dari
http://www.globalsecurity.org/military/world/para/icu.htm pada April 2012, 16.13 WIB
8 Ted Dagne, Somalia: Current Conditions and Prospects for a Lasting peace (Washington DC:

Congressional Research Service, 2010). Hal.5


9 Stephanie Hanson dan Eben Kaplan, Somalia’s Transitional Government, diakses dari

http://www.cfr.org/somalia/somalias-transitional-government/p12475#p2 pada 10 April


2012, jam 21.16 WIB
secara keseluruhan. TFG memerangi gerilyawan Al-Shabaab untuk
mendapatkan kontrol penuh atas bagian selatan Somalia yang
dikuasai oleh Al-Shabaab, termasuk juga Mogadishu. Dalam
upayanya, TFG didukung oleh PBB, African Union, dan Amerika
Serikat.

g. African Union (AU)


African Union adalah sebuah organisasi kontinental yang
berada di Afrika yang beranggotakan negara-negara di Afrika yang
bertujuan untuk meningkatkan perkembangan negara anggota. AU
merupakan organisasi yang berawal dari Organization of African
Union (OAU). Perkembangan ini ditujukan agar dalam mengurusi
masalah-masalah tertentu, AU lebih memiiki kapabilitas, misalnya
melihat mengenai misi perdamaian. AU memiliki dewan tersendiri
yang mengurus masalah perdamaian dan keamanan. Dewan
tersebut adalah Peace and Security Council (PSC).

C. DDR or Satlement of Disputed

Sebelum menjelaskan status DDR (disarmament, demobilization, and


reintegration) untuk Somalia saat ini, ada baiknya untuk memahami apa itu
DDR, khususnya makna DDR dalam konteks Somalia, dan mengapa program
DDR diperlukan di Somalia saat ini dan di masa yang akan datang? Untuk
kasus Somalia, keberadaan milisinya menjadi konteks penting dalam
mendefinisikan DDR di negara tersebut.
Konsep DDR yang biasa tidak dapat diaplikasikan begitu saja di Somalia
yang memiliki status dan situasi unik terkait posisi milisi-milisinya. DDR dapat
secara total diberlakukan pada beberapa kelompok milisi, namun tidak untuk
beberapa kelompok penting lainnya. Banyak kelompok dipandang tidak perlu
untuk direintegrasikan pada komunitas aslinya. Sehingga diperlukan konsep
dan terminologi baru. Perencanaan program DDR terbarukan jelas dibutuhkan
pada konteks Somalia.
Konsep DDR tidak ada 20 tahun yang lalu. DDR Sekarang ini dapat
dipandang sebagai “industri yang sedang berkembang”. Kelompok-kelompok
kombatan seolah memanfaatkan keberadaan DDR untuk mendapatkan
“imbalan” untuk dapat menghentikan pertempuran. Istilah DDR biasanya telah
diterapkan pada kelompok bersenjata dan kekerasan terorganisir seperti
pemberontak, atau pasukan lawan yang bertempur melawan pasukan
pemerintah. Untuk kasus Somalia dimana tidak memiliki pemerintahan untuk
dilawan, istilah DDR menjadi sedikit berbeda makna.
DDR pada umumnya menghendaki terjadinya perlucutan senjata dari
kelompok oposisi. Di Somalia, konsep “perlucutan senjata (disarmament)” ini
mungkin berlaku untuk proses mengumpulkan, menyimpan, menghancurkan
atau membentuk kembali pasukan pemerintah bersenjata berat di tangan milisi.
Sementara demobilisasi biasanya berarti memecah pasukan anti-pemerintah
yang terorganisir, memisahkan komandan dari pengikutnya, membubarkan
kombatan sehingga mereka tidak lagi menjadi ancaman terhadap otoritas yang
ada. Di Somalia, terminologi demobilisasi seperti itu hanya berlaku bagi
beberapa tipe milisi, tidak dapat diberlakukan secara umum pada milisi lainnya.
Demobilisasi paling tepat digunakan untuk memecah milisi-milisi bebas dan
fraksi-fraksi tertentu, karena mereka tidak dapat di “transformasi” atau
direkonstitusi menjadi pasukan keamanan formal seperti kepolisian atau pun
tantara.
Reintegrasi biasanya diterapkan pada dua konteks situasi: Pertama,
untuk mengembalikan individu-individu mantan milisi ke daerah asal yang
ditinggalkannya saat berperang. Kedua, reintegrasi berararti menerima
diberlakukannya suatu hokum yang secara produktif ditaati sipilnya, tidak ada
lagi bentuk kekerasan apapun. Di Somalia, sejauh seorang anggota milisi
berada dalam kekuasaan klannya, reintegrasi ke daerah asal menjadi tidak
berlaku, kecuali yang bersangkutan telah melanggar peraturan atau melakukan
tindakan yang bertentangan dengan nilai dan sistem klannya.
Dengan demikian, istilah DDR dalam definisi umum tidak dapat
diberlakukan di Somalia. Bahkan justru menimbulkan kerancuan yang dapat
menghasilkan prekonsepsi yang membuat pengimplementasiannya semakin
sulit. Untuk kasus Somalia, istilah DDR telah salah diaplikasikan pada
beberapa kelompok, sehingga telah memicu kebingungan dan
kesalahpahaman. Beberapa contoh kasus kesalahan penggunaan istilah DDR
di Somalia, antara lain:
1. Fase pertama DDR yang dilakukan UNDP pada mantan kombatan, akan
dilaporkan menguntungkan oknum-oknum yang tidak seharusnya dan
mengembalikan pengungsi dan beberapa kelompok minoritas.
2. Pilot project DDR di Somaliland, Puntland memfokuskan pada reduksi
(ukuran dan dana) pasukan keamanannya.
3. DDR menjadi istilah yang lebih sering digunakan untuk mendukung mantan
SNA yang tidak lagi terlibat dalam konflik.
4. Istilah DDR diaplikasikan pada klan-klan milisi yang sebenarnya tidak perlu
untuk diberlakukan perlucutan senjata, didemobilisasi, dan di reintegrasikan
ke daerah asalnya.
5. DDR secara tidak pantas digunakan pada diskusi-diskusi yang bertujuan
untuk mengurangi senjata.

Sehingga, pada fase tersebut dialog mengenai DDR menjadi penting


untuk dilakukan. Utamanya untuk menyepakati terminology apa yang paling
pas dan dapat diaplikasikan dalam konteks Somalia. Terminology
“pengontrolan senjata (arms control)” dan “mata pencaharian alternative
(alterntive livelihoods)” disarankan untuk digunakan karena lebih aplikatif di
Somalia.
Sebagaimana ditunjukkan, istilah DDR tidak dianggap berlaku dalam
konteks Somalia saat ini. Kontrol senjata yang disarankan dan mata
pencaharian alternatif adalah istilah yang lebih relevan. Namun, karena istilah
DDR telah digunakan secara luas (bahkan menyesatkan) di Somalia selama
beberapa waktu tetap dipertahankan dalam laporan. Istilah DDR harus disusun
kembali dalam diskusi, strategi, kebijakan di masa depan, definisi dan latihan
perencanaan. Pada akhirnya, istilah DDR harus berubah dalam praktik dan
operasi.
Pertanyaan:
Sesi 1
1. M. Erik, Kelompok 1: Jendral Muhammad Aidid ketika berkonflik dengan
Ahmadi, apakah mungkin dibuat menjadi negara militer?
Somalia sudah pernah menerapkan system pemerintahan di bawah militer, dan
itu menimbulkan reaksi penolakan dari warga.Sehingga, negara militer untuk
saat ini tidak cocok diterapkan di Somalia

2. Alifia Imananda, Kelompok 4: Bagaimana kompetisi antar klan? Apakah ada


proses diplomasi sebelumnya? Apakah ada pengaruh negara asing terhadap
dinamika konflik di Kawasan?
Diplomasi antar klan telah dilakukan, namun gagal. Negara asing pun berperan
dalam mengintervensi konflik di Kawasan Somalia. Motif utamanya adalah
karena perbedaan ideologi. Negara tetangga cenderung tidak setuju dengan
Somalia yang ingin menjadi negara Islam.

3. Nela : Berdasarkan laporan PBB, ada perekrutan kombatan anak-anak, dimana


hal ini membuat kelompok oposisi menjadi tidak sah. Apakah status konflik di
Somalia masih bias dikatakan NIAC?
Apa yang terjadi di Somalia tetap dikatakan sebagai NIAC. Perekrutan
kombatan anak yang dilakukan kelompok oposisi, dianggap sebagai
pelanggaran dan tidak merubah status konflik.
Daftar Pustaka

Elmi, Afyare A. "Understanding the Sources of Somali Conflict." Third World


Resurgence (2011): 15-20.

Francis, David J. 2008.PEACE & CONFLICT IN AFRICA. London: Zed Books.

Hanson, Stephanie dan Eben Kaplan. 2007.Somalia’s Transitional Government,


diakses dari http://www.cfr.org/somalia/somalias-transitional-government/p12475#p2

International Crisis Group. 2007. “Somalia: The Tough Part Is Ahead” dalam
Policy Briefing Africa Briefing No.45. (Nairobi/Brussels, 26 January 2007).

Mulugeta,Kidist. 2009.The Role of Regional and International Organizations in


Resolving the Somali Conflict: The Case of IGAD. Addis Ababa: Friedrich Ebert-
Stiftung

Rachmawaty, Diah Aty. 2004.Intervensi Kemanusiaan Sebagai Salah Satu Bentuk


Resolusi Konflik (Studi Kasus: Intervensi PBB di Somalia 1992-1995), Tesis S2,
Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Ilmu
Hubungan Internasional, Program Studi Hubungan Internasional. Jakarta.

Web:

Laporan World Bank UN Somalia.diakses dari:


http://documents.worldbank.org/curated/en/948921468303086365/text/696450ESW0
P0900LIC00000FINAL0REPORT.txt pada 4 Agustus 2019

3000 delegates to attend Somalia’s national Reconciliation Congress. 2007. diakses


dari http://english.people.com.cn/200703/19/eng20070319_359027.html
A.J.N. Judge, “Types of international organization” diakses di
http://www.uia.org/uiadocs/orgtypec.htm

Al-Shabaab. 2008. diakses dari http://www.nctc.gov/site/groups/al_shabaab.html


AMISOM Background, diakses dari http://amisom-au.org/about/amisom-
background/

AMISOM Police. 2008. diakses dari http://amisom-au.org/mission-


profile/amisom-police/Background and Political Development,diakses
dari http://www.africa-
union.org/root/au/auc/departments/psc/amisom/AMISOM_Background.htm
Background Note: Somalia, diakses dari
http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2863.htm

BBC News.2003. “Somali Warlord Quits Peace Talks”, ,


diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/2488171.stm
BBC News. 2003. “Somalia Peace Conference Postponed” diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/6899684.stm pada 7 Juni 2012, jam 15.13 WIB BBC
News. 2011. “Somalia’s al-Shabaab Rebels Leave Mogadishu”, diakses dari
http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-14430283

http://huripedia.idhrdocs.org/index.php?title=SOMALIA – diakses pada


http://news.bbc.co.uk/2/hi/in_depth/africa/2004/somalia/default.stm

ThalifDeen. "Somalia: Rich Maritime Resources Being Plundered, Report Says."


2012. Global Information Network.2 April
Elmi, Afyare A. "Understanding the Sources of Somali Conflict." Third World
Resurgence (2011): 15-20.
The Supreme Islamic Courts Union/al-Ittihad Mahakem al-Islamiya (ICU), diakses
dari http://www.globalsecurity.org/military/world/para/icu.htm pada April 2012, 16.13
WIB
Ted Dagne, Somalia: Current Conditions and Prospects for a Lasting peace
(Washington DC: Congressional Research Service, 2010). Hal.5

Stephanie Hanson dan Eben Kaplan, Somalia’s Transitional Government, diakses


dari http://www.cfr.org/somalia/somalias-transitional-government/p12475#p2 pada
10 April 2012, jam 21.16 WIB

Background Note: Somalia, diakses dari http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2863.htm


pada 12 April 2012, jam 15.54 WIB

Anda mungkin juga menyukai