Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HUKUM TRANSPORTASI 

Menganalisis Kasus 

KELOMPOK 2 :
1. Regita Amanah Huzairin (192040100011)

2. M. Bagus Feri C (202040100059)

3. Noviana Archintya (192040100054)

4. Melati Indah Lestari (192040100043)

5. M. Naufal F. (202040100089) 

6. Nur Faizatul Ilmi (202040100105)

7. Dhea Amanda Aulia Rachman (202040100085) 

8. Fifi Firmanda Elva Thalia (192040100007)

9.  Shafa Salsabilla (2001110108)

10. Nur Riska Salsabila (2003101010113)

11. Salsabila Anissa (19204010041)

A. Bus kecelakaan di Sitinjau Lauik angkut puluhan pelajar SMA 6


Padang
Link : https://perma.cc/S8NS-AT6D

         Kecelakaan bus di kawasan Sitinjau Lauik, Padang sekitar pukul 16.00 WIB, diketahui
mengangkut puluhan siswa SMA 6 Padang. Bus dengan nomor polisi BA 7958 FU yang
mengalami kecelakaan di kawasan Sitinjau Lauik, Padang, Sumatera Barat sekitar pukul 16.00
WIB, diketahui mengangkut puluhan siswa SMA 6 Padang. Di dalam bus tersebut terdapat 40
siswa dan 4 pedamping dari SMA 6 Padang  yg baru saja selesai melaksanakan pramuka di kota
Sawahlunto.
         Terdapat 21 bus yg disewa untuk membawa rombongan ke Sawahlunto sejak Rabu pagi.
Namun sayangnya satu bus di kawasan Sitinjau Lauik, tepatnya Tikungan Jalan Beton,
Kelurahan Indarung, Lubuk Kilangan, sekitar pukul 16.00 WIB. Bus dengan nomor polisi BA
7958 FU itu mengalami rem blong lalu menabrak dua mobil lainnya, yakni minibus Innova
dengan nomor polisi BA 90 H, dan Minibus Yaris BA 1837 PQ.

         Setelah itu bus terus meluncur dan menuju tebing yang ada di sisi kanan sehingga lajunya
bisa dihentikan. tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut, namun delapan orang mengalami
luka ringan. Menurutnya pengusaha bus telah beritikad baik dan menanggung biaya perawatan di
rumah sakit. Pada bagian lain, saat kecelakaan terjadi diketahui cuaca sedang hujan dan medan
jalan berupa beton, penurunan serta tikungan.

Analisa Kasus
      

Dalam kasus ini dapat kita simpulkan bahwa telah terjadi kelalaian pada pihak pengangkut
dikarenakan terjadinya rem blong dimana seharusnya sebelum keberangkatan bus harus telah
dicek apakah layak jalan atau tidak. Namun dala hal ini pihak pengangkut tidak melakukan hal
tersebut dan diketahui dimana pada hari tersebut cuaca kurang baik karena sedang hujan yg
membuat jalan licin sertan medan jalan yang berupa tikungan.

 Dalam peristiwa ini pihak pengangkut memang bersalah namun pihak pengangkut telah
memiliki itikad baik yaitu bertanggung jawab atas kelalaian yg dilakukannya. Dimana para
murid yg mengalamai luka-luka dibawa ke RS tidak langsung meningkalkan dan menghilangkan
jejak.

Jenis resiko yang di tanggung oleh


      

         Kasus kecelakaan Bus dengan nomor polisi BA 7958 FU di kawasan Sitinjau Lauik,
Padang, Sumatera Barat terjadi karena kontribusi Human Error. Human Error telah diatur pada
KUH Perdata pasal 359 yang menjelaskan bahwa “Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Pada peristiwa ini prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah Tanggung Jawab
Karena Kesalahan (Fault Liability) yang berarti bahwa setiap pengangkut yang melakukan
kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala
kerugian yang timbul kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan
kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada
pengangkut. Prinsip ini dianut dalam pasal 1365 KUHPer  Indonesia tentang perbuatan melawan
hukum (illegal ac) sebagai aturan umum (general rule). Aturan khusus ditentukan dalam undang-
undang yang mengatur masing-masing jenis pengangkutan.

Dalam hal pengklasifikasian Human Error terdapat dalam beberapa kategori


(Dhillon,2013) :

1.  Operating Error / Kesalahan pada proses Operasi

2.  Assembly Error / Kesalahan pada proses Perakitan


3.  Design Error / Kesalahan pada proses Perancangan

4.  Inspection Error / Kesalahan pada proses Inspeksi

5.  Installator Error / Kesalahan pada proses Instalasi

6.  Maintenance Error / Kesalahan pada proses Perawatan.

B. Bus kecelakaan di Sitinjau Lauik angkut puluhan pelajar SMA 6


Padang
Link : https://perma.cc/S8NS-AT6D 

         Kecelakaan bus di kawasan Sitinjau Lauik, Padang sekitar pukul 16.00 WIB,
diketahui mengangkut puluhan siswa SMA 6 Padang. Bus dengan nomor polisi BA 7958
FU yang mengalami kecelakaan di kawasan Sitinjau Lauik, Padang, Sumatera Barat
sekitar pukul 16.00 WIB, diketahui mengangkut puluhan siswa SMA 6 Padang. Di dalam
bus tersebut terdapat 40 siswa dan 4 pedamping dari SMA 6 Padang  yg baru saja selesai
melaksanakan pramuka di kota Sawahlunto.

         Terdapat 21 bus yg disewa untuk membawa rombongan ke Sawahlunto sejak


Rabu pagi. Namun sayangnya satu bus di kawasan Sitinjau Lauik, tepatnya Tikungan
Jalan Beton, Kelurahan Indarung, Lubuk Kilangan, sekitar pukul 16.00 WIB. Bus dengan
nomor polisi BA 7958 FU itu mengalami rem blong lalu menabrak dua mobil lainnya,
yakni minibus Innova dengan nomor polisi BA 90 H, dan Minibus Yaris BA 1837 PQ.

         Setelah itu bus terus meluncur dan menuju tebing yang ada di sisi kanan sehingga
lajunya bisa dihentikan. tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut, namun delapan
orang mengalami luka ringan. Menurutnya pengusaha bus telah beritikad baik dan
menanggung biaya perawatan di rumah sakit. Pada bagian lain, saat kecelakaan terjadi
diketahui cuaca sedang hujan dan medan jalan berupa beton, penurunan serta tikungan.

Analisa Kasus
      

Dalam kasus ini dapat kita simpulkan bahwa telah terjadi kelalaian pada pihak
pengangkut dikarenakan terjadinya rem blong dimana seharusnya sebelum keberangkatan
bus harus telah dicek apakah layak jalan atau tidak. Namun dala hal ini pihak pengangkut
tidak melakukan hal tersebut dan diketahui dimana pada hari tersebut cuaca kurang baik
karena sedang hujan yg membuat jalan licin sertan medan jalan yang berupa tikungan.

 Dalam peristiwa ini pihak pengangkut memang bersalah namun pihak pengangkut telah
memiliki itikad baik yaitu bertanggung jawab atas kelalaian yg dilakukannya. Dimana
para murid yg mengalamai luka-luka dibawa ke RS tidak langsung meningkalkan dan
menghilangkan jejak.

Jenis resiko yang di tanggung oleh


      

         Kasus kecelakaan Bus dengan nomor polisi BA 7958 FU di kawasan Sitinjau
Lauik, Padang, Sumatera Barat terjadi karena kontribusi Human Error. Human Error
telah diatur pada KUH Perdata pasal 359 yang menjelaskan bahwa “Barang siapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Pada peristiwa ini prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah Tanggung Jawab
Karena Kesalahan (Fault Liability) yang berarti bahwa setiap pengangkut yang
melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab
membayar segala kerugian yang timbul kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian
wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang
dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini dianut dalam pasal 1365 KUHPer 
Indonesia tentang perbuatan melawan hukum (illegal ac) sebagai aturan umum (general
rule). Aturan khusus ditentukan dalam undang-undang yang mengatur masing-masing
jenis pengangkutan.

Dalam hal pengklasifikasian Human Error terdapat dalam beberapa kategori


(Dhillon,2013) :

1.  Operating Error / Kesalahan pada proses Operasi

2.  Assembly Error / Kesalahan pada proses Perakitan

3.  Design Error / Kesalahan pada proses Perancangan

4.  Inspection Error / Kesalahan pada proses Inspeksi

5.  Installator Error / Kesalahan pada proses Instalasi

6.  Maintenance Error / Kesalahan pada proses Perawatan.

C. Kecelakaan Pesawat Smart Air

Link :  https://perma.cc/2AWS-6NJF

 
Kejadian kecelakaan yang dialami oleh pesawat Smart Air Kabupaten Puncak
Papua yang merupakan Pesawat khusus untuk Cargo ( Barang ) dan menewaskan pilot
pesawat, serta menyebabkan copilot mengalami luka-luka parah ini termasuk dalam
kejadian Force Majeur atau Overmacht ( Keadaan Memaksa ). Force Majeure atau
(overmacht) pada Transportasi sendiri merupakan suatu keadaan di mana pihak
Penanggung gagal dalam menjalankan kewajibannya kepada pihak Tertanggung
dikarenakan kejadian yang berada di luar kendali atau kuasa pihak yang bersangkutan.
Force Majeur telah diatur pada KUH Perdata Pasal 1245 yang menjelaskan bahwa “
Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. Apabila karena keadaan memaksa atau
karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur  terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang
baginya” Pada KUH Perdata Pasal 1245 ini yang dimaksud dengan Debitur disini yaitu
pihak penanggung resiko. KUH Perdata juga menjelaskan mengenai 3 (tiga) unsur yang
harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu :

a. Tidak memenuhi prestasi;

b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur

c. Faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggung
jawabkan kepada debitur.

Sehingga apabila Force majeure (keadaan memaksa) memenuhi unsur a dan c,


maka force majeure atau overmacht ini disebut dengan absolute overmacht atau keadaan
memaksa yang bersifat obyektif, hal itu dikarenakan pemenuhan prestasi tidak
dimungkinkan sebab bendanya lenyap/musnah. Jika terjadi force majeure atau overmacht
yang memenuhi unsur b dan c, maka  keadaaan ini disebut dengan relatieve overmacht
atau keadaan memaksa sifatnya subyektif.(Rasuh, 2016) Hal itu dikarenakan  adanya
kesulitan-kesulitan untuk memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi
debitur ( Penanggung resiko ) untuk berbuat.

Kecelakaan Pesawat Smart Air ini termasuk dalam Aspek Resiko Bahaya-Bahaya
di Udara dalam kategori bahaya atas Alat Angkut. Kategori Bahaya atas Alat Angkut ini
yaitu Crash, Jatuh, Kerusakan saat take off atau landing. Pada peristiwa ini prinsip
tanggung jawab yang digunakan ialan Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of
Liability) atau Pembuktian terbalik yang berarti bahwa Apabila timbul suatu kerugian
dalam suatu penyelenggaraan angkutan, maka berlakulah anggapan bahwa pengangkut
berkewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Anggapan tersebut
dapat ditiadakan apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi
di luar kesalahannya atau di luar kesalahan pegawainya,(Nasution, 2014) apalagi dalam
peristiwa ini pesawat Smart Air yang membawa Cargo itu mengalami kecelakaan
sehingga tentu saja hal ini berada diluar kendali pihak pengangkut.

Penerapan Prinsip Asuransi yang dapat diterapkan dalam peristiwa ini ada 2 yaitu:

- Prinsip The Utmost Good Faith ( Iktikad baik ), yaitu : penanggung resiko ( Ekspedisi ) 
dan tertanggung ( Pengirim ) mempunyai hak untuk mengetahui penutupan asuransinya
serta masing-masing pihak berkewajiban untuk memberikan informasi secara jelas dan
teliti sehubungan dengan penutupan Asuransi tersebut baik diminta maupun tidak.
- Prinsip Insurable Interest ( Adanya kepentingan yang dapat diasuransikan ), yaitu:
adanya hak atau kepentingan yang sah dan diakui hukum untuk mengasuransikan antara
obyek asuransi dengan yang mengasuransikan (Tertanggung).  Hak tersebut muncul
karena adanya kepentingan keuangan yang diakui secara hukum.

D. Penumpang Pesawat Lion Air Curhat Tak Dapat Tempat Duduk


Link : https://perma.cc/EQ47-SD75

 
Kronologi singkat : Ibu Satwika, ingin melakukan penerbangan dengan menggunakan
maskapai penerbangan Lion Air JT-1341 dengan rute penerbangan Palembang menuju Jakarta
pada hari minggu 16 September 2018 dari Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud
Badaruddin II, Palembang, Sumatera Selatan (PLM) menuju Bandar Udara Internasional
Soekarn-Hatta,Tangerang, Banten (CGK). Berdasarkan kasus tersebut Ibu Satwika telah
membeli tiket penerbangan dari Palembang menuju Jakarta dengan pesawat Boeing 737-
900ER yang berkapasitas 215 seat dan 39 baris. Ibu Satwika mendapatkan seat di nomor 35F
namun pada kenyataan nya pesawat yang datang tidak sesuai dengan apa yang ada di tiket
tersebut pesawat yang tiba adalah Boeing 737-800NG yang berkapasitas 189 seat dan 34 baris
sehingga Ibu Satwika tidak terangkut dalam penerbangan tersebut. Tidak hanya itu, sebelum
adanya penggantian jenis pesawat udara pihak maskapai tidak memberitahukan bahwa adanya
perubahan atau penggantian jenis pesawat udara tersebut sehingga penumpang tidak
mengetahui akan ada penggantian jenis pesawat udara tersebut. Sealain itu pada tiket pesawat
tersebut kode flight pada tiket tidak sesuai dengan kode dari maskapai tersebut menurut hasil
wawancara kepada Ibu Satwika pada tiket tersebut tercantumkan dengan kode (IW) yang
seharusnya kode flight pada maskpai penerbangan lion air adalah (JT). Dalam hal ini banyak
terjadi kesalahan pada pihak maskapai tersebut.
 
Analisis : Berdasarkan kasus tersebut, prinsip pertanggung jawaban yang dapat
digunakan adalah Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumption of Liability). (H.K.
Martono, Agus Pramono, 2013). Konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of
liability concept) pada konsep ini menjelaskan bahwa perusahaan penerbangan dianggap
bersalah dan perusahaan penerbangan harus mengganti kerugian tersebut tanpa didasarkan
adanya pembuktian adanya kesalahan terlebih dahulu. Konsep ini menjelaskan jika perusahaan
penerbangan dapat membuktikan bahwa tidak bersalah maka perusahaan penerbangan tidak
bertanggung jawab atas hal tersebut. Mengenai hal ini sebagai penumpang maupun pengirim
barang tidak diperlukannya bukti atau alat bukti bahwa persusahaan pernerbangan bersalah.
Cara membuktikan adanya kerugian yaitu cukup dengan kerugian yang didapat pada saat
penumpang mengalami kecelakaan. Imbalan yang diterima dalam hal ini mengenai batas
maximum kerugian atau ganti rugi seusai dengan peraturan yang berlaku perusahaan
penerbangan berhak untuk menikmati batas tersebut yang berarti hal mengenai ganti kerugian
penumpang dan/atau pengirim barang perusahaan penerbangan tidak bertanggung jawab
secara penuh berapapun itu kerugian yang dialaminya. Mengenai pertanggung jawaban atas
disangka bersalah memiliki unsur-unsur dalam pertanggung jawabannya unsur-unsur tersebut
diantaranya adanya beban pembuktian terbalik, adanya tanggung jawab yang terbatas (Limited
liability) dan melakukan kesalahan dengan disengaja.
 
Konsep tanggung jawab praduga bersalah (Presumption of Liability) dinilai sesuai
dengan kasus tersebut karena karena pihak penumpang bisa membuktikan adanya bukti
kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan yaitu tidak adanya informasi kepada
penumpang sehingga penumpang tidak mendapatkan tempat duduk yang seharusnya, disisi
lain pada kode tiket pesawat tersebut juga tidak sesuai. Hal ini membuktikan bahwa pihak
perusahaan penerbangan bersalah.
 
Perihal mengenai keterlambatan dapat dibagi menjadi beberapa kategori yang tercantum
dalam pasal 3 Peraturan Menteri Nomor 89 tahun 2015 tentang penanganan keterlambatan
penerbangan (Delay Management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di
Indonesia yang dapat dibagi menjadi 6 (enam) kategori antara lain:

●                   kategori 1, keterlambatan 30 menit sampai dengan 60 menit,

●                   kategori 2, keterlambatan 61 menit sampai dengan 120 menit,

●                   kategori 3, keterlambatan 121 menit sampai dengan 180 menit,

●                   kategori 4, keterlambatan 181 menit sampai dengan 240 menit,

●                   kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit

●                   kategori 6, pembatalan penerbangan

 
Apabila dilihat dari kasus yang dialami Ibu satwika, kasus tersebut masuk kedalam kategori

6 (enam) dalam pasal 3 Peraturan Menteri Nomor 89 tahun 2015 tentang Penanganan
Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga
Berjadwal di Indonesia yaitu adanya pembatalan penerbangan karena Ibu Satwika tidak
terangkut oleh pesawat yang tertera dalam tiket tersebut. Walaupun Ibu Satwika sudah berada
di bandara dan tidak terlambat untuk tiba di bandara. Ibu Satwika tetap tidak diberangkatkan
akibat kapasitas pesawat yang tidak mencukupi karena adanya perubahan mendadak yang
dilakukan oleh pihak maskapai penerbangan.
 
Perihal mengenai ganti kerugian dan pemberian kompensasi diatur dalam pasal 9 Peraturan
Menteri Nomor 89 tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:

● keterlambatan kategori 1, mendapatkan kompensasi berupa minuman ringan,

● keterlambatan kategori 2, mendapatkan kompensasi berupa minuman dan makanan ringan


(snack box),
● keterlambatan kategori 3, mendapatkan kompensasi berupa minuman dan makan berat (heavy
meal),

● Keterlambatan kategori 4, mendapatkan kompensasi berupa minuman, makanan ringan dan


makanan berat,

● Keterlambatan kategori 5, mendapatkan kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah),

● keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan


berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket),

 
Pada keterlambatan kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke
penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket). Apabila
dilihat dari kasus yang terjadi pada Ibu Satwika, kasus tersebut masuk dalam keterlambatan
kategori 6 (enam) yaitu pembatalan penerbangan. Asumsi didasarkan pada kasus yang terjadi
pada Ibu Satwika yaitu adanya penggantian jenis pesawat udara yang kapasitasnya lebih kecil
sehingga penumpang tidak terangkut dan adanya perubahan jadwal penerbangan sehingga ibu
Satwika tidak mendapatkan tempat duduk yang telah tercantum dalam tiket tersebut. Tetapi
pada akhirnya korban tidak melakukan gugatan kepada perusahaan penerbangan. Jika dilihat
dari segi konsep tanggung jawab maka masuk dalam konsep

tanggung jawab diduga melakukan kesalahan. Karena, korban dapat membuktikan dengan
bukti nyata dan dari pihak perusahaan penerbangan tetap bertanggung jawab dengan
mengalihkan ke penerbangan dengan pesawat yang berbeda tetapi dalam hal ini penumpang
tetap terangkut hanya saja kapasitas pesawat yang lebih kecil. Maka dapat disimpulkan bahwa
korban tidak menggugat perusahaan penerbangan tetapi perusahaan penerbangan tetap
bertanggung jawab atas perbuatan nya yang sesuai pada kategori dalam Peraturan Menteri
Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan pada Badan Usaha Angkutan
Udara Niaga Berjadwal di indonesia.

Anda mungkin juga menyukai