Anda di halaman 1dari 16

Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan


Karya Shukri Zain
SUNU WASONO
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
e-mail: sunuwasono21@gmail.com
ABSTRACT The idea, creative process, and theme of a poet’s poetry can be traced through
in-depth reading and interpretation of a number of poems, especially those contained in an
anthology. This paper will discuss the thematic and stylistic reviews of Shukri Zain’s poems
in the anthology Damai Dalam Sentuhan. This study uses descriptive analysis method through
reading and in-depth meaning to reveal data, circumstances, phenomena, and is not limited to
data collection, but also includes interpretation analysis. Through the analysis carried out, it was
found several tendencies of Shukri Zain’s poetry in the anthology Damai Dalam Sentuhan, first,
thematically, Shukri Zain’s poems generally raised themes related to faith and Islam. Second,
Shukri Zain’s poems tend to be straightforward, but far from bombastic and vulgar. Finally,
because the issues raised in his poems are related to matters of faith and Islam, the tone that
is built in a number of Shukri Zain’s poems tends to advise—not to say patronizing—the reader.
Keywords: Anthology of poetry Damai dalam Sentuhan, Shukri Zain, Islam, thematic, and
stylistic.

ABSTRAK Ide, proses kreatif, dan tema puisi seorang penyair dapat ditelusuri melalui
pembacaan dan penafsiran mendalam terhadap sejumlah sajak, khususnya yang termuat
dalam sebuah antologi. Tulisan ini akan membahas tinjauan tematik dan stilistik sajak-sajak
Shukri Zain dalam antologi Damai Dalam Sentuhan. Penelitian ini menggunakan metode
analisis deskriptif lewat pembacaan dan pemaknaan mendalam untuk mengungkapkan data,
keadaan, fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data saja, namun juga meliputi
analisis interpretasi. Lewat analisis yang dilakukan, ditemukan beberapa kecenderungan
puisi karya Shukri Zain dalam antologi Damai Dalam Sentuhan, pertama, secara tematik,
sajak-sajak Shukri Zain umumnya mengangkat tema yang berkaitan dengan keimanan dan 3
keislaman. Kedua, sajak-sajak Shukri Zain cenderung lugas, namun jauh dari nada bombas
dan vulgar. Terakhir, karena isu yang diangkat dalam sajak-sajaknya terkait dengan soal
keimanan dan keislaman, nada yang terbangun dalam sejumlah sajak Shukri Zain cenderung
menasihati—untuk tidak mengatakan menggurui—pembaca.
Kata Kunci: Antologi puisi Damai dalam Sentuhan, Shukri Zain, keislaman, tematik, dan
stilistik.

Pendahuluan bin Haji Serudin itu pastilah sangat dikenal


Nama Shukri Zain dalam bidang kesusastraan di Brunei. Ia bukan saja dikenal sebagai
di Asean, khususnya di Brunei, niscaya sangat penyair, melainkan juga dikenal sebagai
dikenal. Nama sesungguhnya dari Shukri pemikir agama, penulis naskah drama pentas,
Zain adalah Haji Md. Zain bin Haji Serudin. radio, dan televisi. Damai dalam Sentuhan
Ia kini dikenal sebagai Yang Berhormat Pehin merupakan salah satu karyanya yang berisi
Orang Kaya Ratna Diraja Dato Seri Utama 50 sajak yang—sebagaimana disebutkan
Dr. Ustaz Haji Md. Zain bin Haji Serudin. dalam Kata Pengantar—ditulis Shukri Zain
Dari panjangnya nama, nyatalah bahwa dalam kurun waktu tiga puluh tahun, yaitu
penyair dari Brunei tersebut bukanlah orang dari tahun 1955 hingga 1985. Buku ini
sembarangan. Karena itulah, sebagaimana diterbitkan dalam dua bahasa, bahasa Melayu
disebutkan dalam kalimat pertama dari tulisan dan bahasa Inggris, oleh Dewan Bahasa dan
ini, Shukri Zain yang sesungguhnya adalah Pustaka Brunei pada tahun 1990. Apa saja
salah satu nama pena dari Haji Md. Zain yang menjadi wilayah perhatian Shukri Zain
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

dan bagaimana penyair yang juga memiliki yang ditulis pada tahun-tahun sesudahnya
nama pena Md. Zain Brunei dan Mara Siswa (1960-an, 1970-an, dan 1980-an).
tersebut mengungkapkannya dalam bentuk
Jika dilihat dari segi kuantitas,
puisi itulah yang dibicarakan dalam tulisan
sajak yang paling banyak dimuat dalam
singkat ini. Namun, sebelum itu dilakukan,
himpunan ini adalah sajak-sajak yang
ada baiknya diungkapkan lebih dulu sejumlah
ditulis pada tahun 1980-an (sebanyak 24
hal yang terkait dengan proses kelahiran
buah), baru kemudian yang ditulis pada
sajak-sajak yang terhimpun dalam buku ini.
tahun 1970-an (11 buah), 1960-an (9 buah),
Sebagaimana dinyatakan Badaruddin dan terakhir pada 1950-an (6 buah). Belum
H.O. dalam Kata Pengantar buku ini, (hlm. dapat disimpulkan apakah angka-angka ini
Vii), separuh lebih—tepatnya ada 29—dari berkorelsi dengan produktivitas. Dari angka-
keseluruhan sajak yang terhimpun dalam angka tersebut, sekilas terlihat bahwa tahun
Damai dalam Sentuhan ditulis ketika Shukri 1980-an merupakan tahun produktif bagi
Zain berada di luar negeri. Dari data ini, Shukri Zain. Akan tetapi, banyak sedikitnya
kiranya dapat diasumsikan sementara bahwa puisi yang disertakan dalam buku ini bisa saja
sebagian besar sajak yang terhimpun dalam tidak terkait dengan produktivitas. Sangat
himpunan sajak ini merupakan catatan, boleh jadi, tahun-tahun 1950-an, 1960-an,
kesan, atau tanggapan terhadap berbagai hal atau tahun 1970-an adalah tahun produktif
yang diamati, dialami, dan dihayati Shukri bagi Shukri Zain, tetapi sajak-sajak yang
Zain ketika berada di luar negaranya. Dari dihasilkan pada periode tersebut—atas dasar
sajak-sajak itu, akan terlihat bagaimana sikap pertimbangan tertentu—tidak ia pilih untuk
penyair terhadap tempat dan objek yang digabungkan atau dimasukkan ke dalam
4
pernah dikunjunginya. Namun, apakah dalam himpunan ini (Damai dalam Sentuhan).
sajak-sajak itu ia hanya menjadi pengamat Terlepas dari persoalan itu, yang jelas 13
yang menginformasikan sesuatu yang dia dari 24 sajak pada kurun waktu 1980-an itu
lihat dan alami ataukah ia menjadi penanggap ditulis Shukri Zain ketika dia berada di luar
yang memberi makna pada apa yang dia negaranya. Artinya, bahwa sajak-sajak yang
amati dan alami akan terlihat setelah sebagian ditulis di luar negaranya memang dominan.
besar sajak itu disimak. Perlu juga dicermati Jika total sajak yang ditulis di luar negeri ada
apakah dalam setiap sajak yang ditulis di luar 29, maka hampir separuh dari sajak-sajak
negeri senantiasa menampilkan hal-hal yang tersebut ditulis pada kurun waktu 1980-an.
berkaitan dengan masalah tempat atau negeri Hal itu menunjukkan bahwa tampaknya tahun
yang dikunjungi penyair ini. Pertanyaan ini 1980-an merupakan tahun-tahun penting
dengan sendirinya akan terjawab manakala bagi kepenyairan Shukri Zain. Sekurang-
disimak tiap sajak yang ditulis di luar kurangnya dapat disimpulkan bahwa pada
negaranya. Penelusuran terhadap waktu tahun-tahun tersebut persentuhan Shukri Zain
penulisan sajak ini pun tampaknya penting dengan tempat-tempat yang diziarahinya
untuk dilakukan, sekurang-kurangnya untuk makin intens. Perlu ditambahkan bahwa
melihat apakah ada kecenderungan yang sajak-sajak yang ditulisnya di luar negeri
menandai sajak-sajak yang ditulis dalam pada kurun waktu 1980-an umumnya berisi
kurun waktu tertentu sehingga, misalnya, kesan dan tanggapan dia terhadap tempat-
secara tematik dan stilistik puisi yang ditulis tempat yang diziarahinya yang mencakup
pada tahun 1950-an berbeda dengan puisi Arab Saudi (Mekkah dan Madinah), Mesir
Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

(Kairo), Dubai, India, Maldives, Indonesia, dibicarakan penyair dalam sajak-sajaknya.


Thailand, Taiwan, Singapura, Sri Lanka, dan Akan tetapi, rasanya hal itu tidak mungkin,
Hong Kong. terutama kalau pembahasan sudah mulai
masuk ke periode 1970-an dan 1980-an yang
Meskipun tahun 1980-an merupakan
secara kuantitatif jumlah sajaknya lebih
tahun penting bagi perjalanan kreatif Shukri
dari angka 30. Selain pembiacaraan akan
Zain, tidaklah berarti bahwa hanya sajak-sajak
membutuhkan ruang halaman banyak, akan
yang lahir pada tahun 1980-an yang layak
sulit menemukan hubungan dan menyatukan
dibicarakan. Juga tidak berarti bahwa hanya
sajak-sajak itu dalam satu kesatuan bahasan.
sajak yang ditulis di luar negeri yang patut
Jadi, jalan yang paling memungkinkan adalah
dibicarakan. Menyimak penulisan seorang
membicarakan sejumlah sajak yang relevan
penyair dari waktu ke waktu, dari periode ke
dengan pembicaraan (ulasan) sebelumnya.
periode berikutnya, barangkali merupakan
tindakan yang tepat untuk menelisik apakah Sajak pertama yang perlu mendapat
secara tematik dan stilistik ada perubahan perhatian adalah “Untuk Ibu Pertiwi”. Istilah
yang signifikan dalam perjalanan kepenyairan Ibu Pertiwi boleh dikatakan merupakan nama
seseorang. Hanya dengan jalan itulah dapat lain dari tanah air, tumpah darah, atau tempat
diketahui dinamika kepenyairan seseorang. di mana sekian banyak orang dilahirkan
Dengan demikian, menyimak sajak-sajak dan atau dibesarkan.1 Namun, istilah itu
Shukri Zain dari waktu ke waktu untuk tidak semata-mata merujuk pada kampung
melihat apakah secara tematik dan stilistik halaman, tempat seseorang dilahirkan dan
ada perkembangan dan kecenderungan dibesarkan. Konsep Ibu Pertiwi (mother land,
tertentu merupakan langkah yang lebih tepat vaderland) lebih dari sekadar itu. Ibu Pertiwi
5
daripada hanya memfokuskan perhatian pada dikaitkan dengan pandangan kebangsaan.
sajak-sajak pada kurun waktu tertentu. Oleh
1
karena itu, uraian selanjutnya dalam tulisan Dalam bahasa Jawa, kata pertiwi memiliki variasi
bentuk. Di samping pertiwi, ada kata pratiwi dan
ini difokuskan pada upaya tersebut. pretiwi. Ketiganya memiliki makna ‘bumi’ atau
‘tanah’ (Poerwadarminta, 1939: 511; Tim Balai
Bahasa Yogyakarta, 2011: 550, 581, 585). Gabungan
kata ibu pertiwi tidak ditemui dalam kamus
1. Sajak-sajak Periode 1950-an tersebut. Namun, istilah ibu pertiwi (ibu pretiwi)
dikenal luas di kalangan masyarakat Jawa melalui
Seperti dikemukakan sebelumnya, sajak karya gending (lagu) Jawa ciptaan Ki Nartosabdo yang
bernama “Ibu Pretiwi.” Lagu itu digubah dalam
Shukri Zain pada 1950-an yang disertakan bentuk ketawang laras Pelog 6. Dalam pertunjukan
dalam himpunan sajak Damai dalam wayang kulit Jawa lagu tersebut biasanya muncul
di bagian akhir pertunjukan wayang, semacam
Sentuhan hanya 6 buah, yakni “Untuk Ibu lagu penutup pertunjukan wayang. Lirik lagu itu
Pertiwi” (1955), “Jangan Membisu” (1956), antara lain mengungkapkan betapa Ibu Pertiwi
telah memberikan sandang, pangan, dan rezeki
“Nyanyian Malam” (1956), “Anak yang yang memadai pada kita. Karena itu, kita perlu
Dihanyutkan” (1959), “Bulan dan Bintang” berbakti padanya. Ternyata lagu itu juga dapat
digunakan untuk mengiringi tari tayub(an)
(1959), dan “Di Langit Bintang Gemerlapan” dalam kesenian Jawa. Perlu ditambahkan sedikit
(1959). Apa saja yang dibicarakan dalam catatan, dalam bahasa Indonesia hanya dikenal
pertiwi, tidak ada varian lain seperti yang terjadi
keenam sajak tersebut? Setiap sajak pastilah dalam bahasa Jawa. Dalam Kamus Besar Bahasa
berbicara tentang satu tema tertentu. Idealnya Indonesia (2008: 1062), kata pertiwi mempunyai
tiga makna, yaitu ‘bumi’, ‘dewi yang menguasai
tiap sajak dikupas agar terlihat apa saja yang bumi’, dan tanah tumpah darah’.
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

Cakupannya lebih luas dari kampung. Ibu! Ini persembahan kami


Jadi, dalam hal ini lebih dari sekadar tanah ukiran pena yang hanya merupakan
kelahiran seseorang atau individu tertentu, kata-kata
jalinan perasaan kasih mesra
tetapi tanah kelahiran dan wilayah yang
bisikan suci, tulus, nyata.
dihuni rakyat suatu negara dan atau bangsa.
Itulah sebabnya dalam konteks itu, posisi Ibu Kami bergerak bersatu cita
Pertiwi mengatasi kampung halaman. Dengan membina, membangun, untuk kau
demikian, Ibu Pertiwi menjadi sesuatu yang ini ukiran kami, Ibu
sama-sama dimiliki oleh sekian banyak bukti cinta mulia kepadamu.
orang, yakni rakyat suatu negara atau bangsa,
Terimalah persembahan ini
yang tiap-tiap orang itu memiliki kampung
tanda kami setia berjuang sehari-hari
halaman masing-masing. Jadi, di atas hendak meninggikan tarafmu dan
kampung-kampung halaman rakyat suatu anak-anakmu.
negara ada Ibu Pertiwi yang dipuja dan dibela
siapa pun yang merasa memilikinya. Lagu Makna kata titisan tinta (larik ketiga
kebangsaan Indonesia Raya, misalnya, pada bait pertama), ukiran pena, kata-kata (larik
dasarnya berisi pengakuan dan kecintaan kedua bait kedua), dan ini ukiran kami
rakyat Indonesia terhadap Ibu Pertiwi mereka, (larik ketiga bait ketiga) tidak lain adalah
yaitu Indonesia. Deskripsi ini disampaikan puisi, hasil karya penyair. Dengan menulis
sebagai semacam ancang-ancang untuk puisi, kami (aku dan para penyair lainnya)
masuk ke dalam pembicaraan tentang “Untuk menyatakan ikut membangun tanah air
Ibu Pertiwi”, salah satu sajak Shukri Zain (Ibu Pertiwi) mereka. Puisi yang diciptakan
6 yang di dalam buku ini merupakan sajak penyair itu merupakan persembahan dan
tertua (ditulis pada tahun 1955) di antara bukti kecintaan penyair terhadap Ibu Pertiwi
sajak-sajak lainnya. dan rakyat yang menghuninya.
“Untuk Ibu Pertiwi” merupakan Menurut catatan yang ditempatkan
puisi lirik yang menggambarkan kecintaan di bawah sajak, “Untuk Ibu Pertiwi” ditulis
pembicara (kami) terhadap Ibu Pertiwi. pada tahun 1955 di Singapura. Hal ini
Dalam sajak ini, pembicara tidak menyebut menunjukkan bahwa sajak tersebut ditulis
dirinya aku, tetapi kami. Dengan demikian, Shukri Zain ketika ia masih berusia 19 tahun.
sajak ini mengungkapkan perasaan kami, Jelas yang terlukis di dalam “Untuk Ibu
yakni diri pembicara atau penutur dan mereka Pertiwi” bukan gambaran tentang monumen
yang diwakili, yang juga mempunyai Ibu atau tempat tertentu yang dikunjungi
Pertiwi yang sama. Jika ditelisik lebih jauh, Shukri Zain di Singapura, melainkan
suara kami di sini lebih merupakan suara cetusan perasaan cinta penyair terhadap
para penyair sebagaimana terlukis dalam tanah airnya. Dengan demikian, tidak
bait pertama yang dipertegas lagi pada bait semua sajak yang ditulis di luar negaranya
kedua dan ketiga. Kita simak sajak “Untuk Ibu pastilah berhubungan dengan tempat atau
Pertiwi” berikut. negara yang dikunjunginya. Dalam “Untuk
UNTUK IBU PERTIWI Ibu Pertiwi”, terlihat bahwa kami sebagai
representasi penyair berbicara tentang tanah
Kami ini anakmu, Ibu
airnya, yaitu Brunei. Dalam nada sungguh-
kami insaf akan nasibmu
kami menangis dengan titisan tinta sungguh, kami seakan menyapa Ibu Pertiwi
tak keluar lagi air mata. dan menunjukkan apa yang diperbuat
Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

mereka terhadap Ibu Pertiwi (tanah air). semestinya orang—atau kau yang disapa
Menulis puisi bagi penyair merupakan wujud penutur—larut dalam kediamannya, hanyut
kecintaan ia terhadap Ibu Pertiwi. Menarik dalam kedukaan. Ada optimisme yang hendak
untuk dicatat bahwa dalam sajak ini, penyair ditekankan penyair di sini bahwa di balik
membayangkan Ibu Pertiwi sebagai makhluk yang tersembunyi ada sesuatu yang harus
(manusia) yang dapat mendengar atau dicari dan ditemukan demi kehidupan yang
bercakap-cakap. Dalam konteks itu, penyair lebih berarti. Sikap optimistik semacam itu
telah memanfaatkan peranti sastra yang kita tampak juga dalam bait-bait lainnya. Secara
kenal dengan personifikasi (Pradopo, 1990: keseluruhan, sajak ini memang menyuarakan
75), atau barangkali lebih tepat lagi kalau sikap optimistik aku lirik. Kata jangan yang
disebut apostrope (Siswantoro, 2002: 32), muncul dua kali dalam bait pertama jelas
dalam mengungkapkan gagasannya. menunjukkan sikap optimistik itu. Kata
jangan jelas menyatakan larangan yang
Bagaimana dengan sajak-sajak
sesungguhnya juga merupakan nasihat. Jadi,
lainnya. Lima sajak lainnya ternyata berbicara
pesan yang diusung dalam sajak ini tidak lain
tentang aneka soalan. “Jangan Membisu”
adalah nasihat agar tersapa (kau) tidak terus-
dan “Nyanyian Malam” yang keduanya juga
menerus diam atau larut dalam kedukaan.
ditulis di Singapura pada 1956 sama sekali
Ia harus bergerak dan optimistik dalam
berbeda dengan “Untuk Ibu Pertiwi.” Jika
menjalani hidup.
“Untuk Ibu Pertiwi” menggambarkan sikap
dan seruan cinta penyair terhadap Ibu Pertiwi, Menarik untuk diperhatikan
maka “Jangan Membisu” melukiskan sikap bagaimana pilihan kata penyair dalam sajak
optimistik aku lirik dalam kaitannya dengan ini. Suasana kedukaan, keputusasaan, dan
7
soalan tertentu. Dalam sajak itu, aku lirik kepasifan dilukiskan sedemikian rupa melalui
menyerukan sesuatu yang ditujukan kepada diksi yang diam, membisu, membeku,
pihak kedua. Dalam puisi, khususnya puisi menunggu mati, malam, hitam, gelap
lirik, pihak kedua bisa saja merupakan aku gelita, menghitam . Kata-kata itu hadir
lirik sendiri atau orang lain. Selaras dengan sebagai bagian dari upaya penyair untuk
judulnya, sajak ini berisi seruan aku lirik agar membangun konotasi tertentu. Diam identik
kau—meskipun dalam sajak tidak disebutkan tidak bergerak atau tidak bersuara. Artinya,
secara eksplisit—tidak larut dalam diam. tidak berusaha atau tidak ada usaha untuk
Dikatakannya bahwa keadaan pastilah akan berbicara. Kata membisu jelas maknanya,
berubah sebagaimana terlukis dalam bait yaitu ‘tidak berbicara’ atau ‘diam’. Suasana
ketiga berikut. atau keadaan diam dikuatkan lagi dengan
Takkan senja merangkak sepanjang kata membeku yang secara harfiah maknanya
waktu ‘tidak mencair’ atau ‘tidak mengalir’. Lagi-
takkan malam terus menghitam lagi, di sini ditekankan suasana kediaman itu.
berkuku Semua itu dipertegas dengan menunggu mati.
malam...alam akan berubah Hidup yang hanya diisi dengan diam, tanpa
ada yang bangun ada yang rebah.
aksi, sesungguhnyalah hanya menunggu
mati. Hidup seperti itu adalah hidup yang
Larik-larik pada bait tersebut pada tidak berarti atau sia-sia belaka. Ia yang
dasarnya menegaskan sikap aku lirik bahwa diam saja dalam hidupnya sesungguhnya
keadaan (suasana) yang tidak menyenangkan telah mati dalam hidup. Dalam hal ini, kata
niscaya akan berubah. Oleh karena itu, tidak hitam, malam, gelap gelita, dan menghitam
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

menyempurnakan gambaran yang suasana malam yang sepi dan sunyi dalam
menyedihkan itu. Kata-kata itu melukiskan wujud puisi yang tertata apik tanpa terkesan
sekaligus melambangkan kemuraman, kesia- dipaksakan tidak dapat dipandang sebagai
siaan, atau kedukaan yang teramat sangat. kerja teknis yang jauh dari kreativitas.
Mereka yang diam saja akan berada dalam
Tiga sajak lainnya yang juga
gelap gelita malam. Suasana hitam kelam
ditulis pada 1950-an adalah “Anak Yang
akan berubah menjadi terang manakala ada
Dihanyutkan,” “Bulan dan Bintang,” dan
usaha untuk mengubahnya. Fajar (simbol
“Di Langit Bintang Gemerlapan.” Ketiga
munculnya harapan) akan tiba begitu malam
sajak tersebut sama dalam satu hal, yakni
berubah. Demikianlah, nada optimistik yang
dalam napas keislamannya, meskipun secara
terpancar dari “Jangan Membisu” dibangun
tematik ketiganya menyuarakan problem
oleh kehadiran serangkaian diksi yang
yang berbeda. “Anak yang Dihanyutkan”
konotatif dan menyaran. Akhirnya, kalau
ditulis di Kairo pada 1959. Sekilas baca,
disarikan, kurang lebih sajak itu hendak
sajak ini mengingatkan kita pada kisah Nabi
mengatakan bahwa tidak selamanya keadaan
Musa yang sanggup meruntuhkan kekuasaan
akan gelap. Sehabis gelap akan terbit terang.
dan keangkuhan raja Firaun. Semua muslim
Berbeda dengan “Jangan Membisu,” niscaya pernah mendengar kisah kehebatan
“Nyanyian Malam” tampaknya merupakan Nabi Musa yang dengan mukjizat Allah
sajak suasana. Sajak yang terdiri atas sanggup mengalahkan Firaun. Sebagaimana
empat bait ini melukiskan suasana malam disebutkan sebelumnya, sajak ini ditulis pada
yang sepi. Gambaran malam yang sepi itu 1959 di Kairo, Mesir. Oleh karena itu, besar
ditandai oleh tiadanya cahaya bulan karena kemungkinan sajak ini lahir atau terinspirasi
8
bulan tersembunyi di balik awan sehingga dari kunjungan Shukri Zain ke Kairo yang di
keindahan malam tak tampak karena tidak situ ditemukan jejak sejarah dan kisah Firaun
mendapat penerangan dari bulan. Seperti di masa lalu.
bulan, bintang pun tidak terlihat di langit.
Dua sajak lainnya, “Bulan dan
Hampir tidak ada suara kecuali suara dengkur
Bintang,” dan “Di Langit Bintang Gemerlapan”
manusia, suara sayup jangkrik di rimba
ditulis juga pada 1959 di Brunei. Sajak yang
malam, dan salak anjing di kejauhan. Suara-
pertama merupakan semacam catatan penyair
suara itu justru melengkapi kesepian malam.
dalam menyongsong dan menanggapi
Sajak ini benar-benar merupakan deskripsi
datangnya tahun baru. Ada nada prihatin
suasana malam yang sepi yang disaksikan
dari penyair terhadap masa depan dunia yang
aku lirik.
dinilainya semakin tua. Dalam keadaan dunia
Berbeda dengan “Jangan Membisu”, yang makin tua, dunia seakan terbagi menjadi
“Nyanyian Malam” tidak terbebani ide dua yang menerbitkan tanda tanya: mana
apa pun. Namun, hal itu tidak berarti yang menang dan mana yang kalah. Fakta
menghilangkan bobot kedalamannya. Sebuah menunjukkan bahwa pihak kita (penutur dan
sajak suasana seperti ini tidak harus dimaknai mereka yang sehaluan) dalam kondisi tidak
sebagai puisi tanpa muatan apa-apa. Suasana bersatu sebagaimana terlukis dalam bait
itu sendiri sesungguhnya merupakan kedua sajak “Bulan dan Bintang” berikut.
muatannya. Kesanggupan penyair melukiskan
Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

Dalam kebingungan dunia terbahagi akan terulangnya kembali masa gemilang di


dua masa lalu dalam zaman kini. Pada akhir sajak,
kalah atau menang masih ditanda penyair melontarkan pertanyaan retoris yang
tanya
menyiratkan harapan dan keyakinan akan
yang nyata sekarang berpecah-pecah
datangnya zaman gemilang itu. Dengan larik
barisan kita
terdampar di batu karang haluan tiada retoris itu, penyair yakin bahwa manakala
lemah tenaga kaum muslimin sejagat, khususnya yang
berada dalam naungan negara-negara di Asia
Perhatikan betapa mengerikan Afrika, bersatu, zaman gemilang akan hadir
gambaran yang dibayangkan penyair. sekali lagi.
Andaikata kita berada dalam suatu pelayaran,
Harapan penyair digemakan kembali
perahu kita terdampar di batu karang, haluan
dalam “Di Langit Bintang Gemerlapan”.
pun tiada, dan tenaga kita lemah, apa jadinya?
Melalui sajak ini, aku lirik menekankan
Siapakah sesungguhnya kita yang dimaksud
kembali pentingnya kaum muslimin untuk
dalam sajak ini? Kiranya kalau dikaitkan
mengkaji dan mengamalkan ajaran suci Al-
dengan judul sajak ini, tidak lain kita adalah
Quran agar kejayaan Islam di masa lalu itu
kaum muslimin. Bukankah bulan dan bintang
hadir kembali. Aku lirik dalam sajak ini telah
merupakan simbol Islam? Menjadi jelas
berusaha mengkaji, menyelami, memahami,
siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan
serta mengamalkan ajaran Quran. Akan tetapi,
“kita” itu ketika kita menyimak bait terakhir
ia menyadari betapa masih banyak kelompok
“Bulan dan Bintang” berikut.
yang baru dalam taraf membaca Quran,
Berumur sudah ke bangunan Asia- tetapi sesungguhnya mereka tidak melakukan
Afrika 9
penerokaan terhadap isinya. Alhasil, yang
lepas satu, satu timbul umat yang
mereka lakukan hanya manifestasi dari
bertuhan Esa
kepura-puraan. Di permukaan, mereka seakan
kalau dikumpulkan, disatukan barisan
Muslimin ini mengamalkan, tetapi kenyataannya tidak
apakah mustahil berlakunya zaman demikian. Aku lirik menyindir golongan itu
gemilang sekali lagi sebagai berikut.
Di sana terdapat golongan hidup
Dengan bait penutup ini, kiranya berpura-pura
jelas bahwa barisan kita adalah barisan al-Quran dibaca ajarannya belum
kaum muslimin di Asia-Arika. Secara diteroka
di sana manusia hanya di lidah percaya
keseluruhan, sajak ini mengungkapkan
nama Tuhan untuk benda diperkosa
keprihatinan penyair terhadap siatuasi zaman
yang mengalami kemunduran. Meskipun
Petikan di atas merupakan bait
demikian, penyair merasa belum sampai
keempat dari “Di Langit Bintang Gemerlapan”
pada putus harapan. Ia masih memimpikan
yang menyindir kelompok orang (golongan)
datangnya masa gemilang. Ada kerinduan
yang tidak mau mengkaji isi Quran. Mereka
pada kehadiran kembali kegemilangan zaman
dikatakan hanya fasih di tataran ucapan
silam. Meskipun dalam pandangan penyair
(lidah), tetapi kefasihan itu tidak dibarengi
kaum muslim di kawasan Asia-Afrika kini
kemauan untuk mengkaji isi Quran untuk
telah terpuruk, ia tetap menaruh harapan
menemukan intipati ajaran. Itulah yang
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

diprihatinkan aku lirik dalam puisi ini. Secara hanya berhenti pada keprihatinan semata.
keseluruhan, apa yang terlukis dalam puisi Ia mencoba untuk menyadarkan bahwa
ini senada dengan apa yang tergambar dalam soalan itu dapat dipecahkan agar apa yang
puisi “Bulan dan Bintang.” Pada “Bulan dan dimimpikan, seperti terwujudnya kejayaan
Bintang”, aku lirik memimpikan datangnya Islam dan kembalinya kejayaan Islam, dapat
masa kejayaan Islam kembali. Pada sajak itu, terwujud.
aku lirik menyampaikan pertanyaan retoris
yang pada intinya menyatakan keyakinan
aku lirik tentang kemungkinan datangnya 2. Sajak-sajak Periode 1960-an
kejayaan Islam, sedangkan dalam sajak Satu pertanyaan perlu diajukan terkait
“Di Langit Bintang Gemerlapan” aku lirik dengan puisi yang ditulis Shukri Zain tahun
menyuarakan harapan akan kembalinya 1960-an, yakni bagaimanakah kecenderungan
umat Islam pada semangat mengkaji isi Quran puisi Shukri Zain yang ditulis pada 1960-an?
hingga kejayaan Islam di masa silam hadir Seperti disebutkan sebelumnya, sajak-sajak
kembali. Pada bagian penutup “Di Langit Shukri Zain yang disertakan dalam Damai
Bintang Gemerlapan”, aku lirik dengan tegas dalam Sentuhan berjumlah 9. Jika dilihat
menyeru sebagai berikut. dari keterangan yang menyertai puisi, dari 9
Kembalikan semangat bernyala di jiwa sajak itu 7 di antaranya ditulis di luar negeri.
suci Tampaknya sajak-sajak yang ditulis Shukri
ajaran suci kita selidiki kaji kembali Zain pada 1960-an merupakan hasil lawatan
di langit bintang gemerlapan penyair ke Arab. Hal itu dapat dikenali lewat
di bumi hidupan dan kepakaran
judul-judul sajak itu sendiri, seperti “Uhud”,
10 “Badar”, “Di Makam Junjungan”, “Kaabah”,
Demikianlah isi enam sajak yang ditulis dan “Madinah Munawwarah.” Oleh karena itu,
Shukri Zain pada 1950-an. Keenam sajak itu isu yang diangkat ke dalam sajak berkaitan
tidak diikat oleh suatu tema tertentu, tetapi dengan soal keimanan dan keislaman. Sajak
kalau ditelisik secara keseluruhan nyata sekali “Badar” dan “Uhud”, misalnya, melukiskan
bagaimana sikap penyair dalam menghadapi simpati aku lirik terhadap para syuhada yang
soalan yang disuguhkannya. Dalam setiap gugur dalam perang menegakkan Islam. Pada
sajak terdapat sikap optimistik dari aku “Badar”, aku lirik menyatakan kekagumannya
lirik (pembicara)--yang pada dasarnya pada para syuhada yang gugur dalam perang
merupakan representasi dari suara penyair— Badar. Untuk itu, aku lirik menghadiahkan al-
dalam memandang sesuatu. Sikap optimistik Fatihah kepada mereka. Pada bagian penutup,
itu diwujudkannya dalam penggunaan diksi dikuatkan lagi doanya untuk para syuahada
yang berupa ajakan, larangan, seruan, atau dengan larik-larik berikut.
bahkan suruhan seperti terimalah, jangan, dan Kamu pendekar
kembalikan yang secara tersirat menunjukkan tiada ingkar
bahwa soalan yang muncul dapat diatasi kepada-Mu Tuhan
atau diselesaikan. Tiga dari enam sajak yang berkatilah semua pahlawan.
ditulis pada 1950-an mengetengahkan soalan
yang ada kaitannya dengan dunia Islam. Aku lirik menyebut para syuhada
Penyair merasa prihatin dengan keadaan yang sebagai pendekar dan pahlawan yang tetap
terjadi pada umat Islam, tetapi sikapnya tidak teguh (tidak ingkar) dalam perjuangan.
Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

Karena itu, aku lirik mendoakan mereka agar dan wujud rasa haru aku lirik terlukiskan
mendapat berkah dari Tuhan. juga dalam sajak ini. Sama seperti pada sajak-
sajak sebelumnya, pada sajak ini pun, aku lirik
Sementara itu, dalam sajak-sajak
menyatakan rasa syukurnya karena dapat
lainnya, seperti “Di Makam Junjungan,”
menumpahkan rasa harunya setelah berada di
“Kaabah”, “Madinah Munawwarah,” aku
Madinah, utamanya berada di mesjid Nabawi.
lirik kembali mengungkapkan perasaannya
ketika berada di lokasi tersebut. Pada “Di Sajak-sajak Shukri Zain yang
Makam Junjungan” terlukis bagaimana rasa ditulis 1960-an agaknya secara keseluruhan
haru aku lirik ketika menziarahi makam Nabi sarat dengan upaya aku lirik (manusia)
Muhammad di Madinah. Aku lirik bercucuran mendapatkan sesuatu dari Tuhannya. Selain
air matanya ketika berada di hadapan makam yang telah disinggung sebelumnya, isi tiga
tersebut. Inti dalam sajak ini tidak lain adalah sajak lainnya tidak jauh dari soal hubungan
makin kukuh dan teguhnya keimanan aku manusia dengan Tuhan. “Cinta dan Doa”,
lirik. Di hadapan makam itu, aku lirik seakan misalnya, secara keseluruhan melukiskan
terkenang akan perjuangan Rasulullah usaha aku lirik dalam meraih berkah dari
dalam mengganyang kaum jahiliah. Ia—aku Tuhan. Dari nadanya, terlihat bahwa sajak
lirik itu—mengucapkan janjinya untuk tetap ini sarat dengan permohonan aku lirik
menjadi pengikut setia Rasulullah. Secara pada Tuhan terkait dengan semangat juang.
keseluruhan, sajak “Di Makam Junjungan” Permohonan itu tecermin pada diksi yang
mengungkapkan keteguhan aku lirik untuk digunakan dalam sajak ini, seperti berilah,
menjadi pengikut Rasulullah SAW. anugerahkan, kurniakan, dan berikan, yang
muncul dalam sejumlah bait, khususnya pada
Dua sajak lainnya tampaknya juga 11
bait dua dan empat. Kita simak petikan bait
senada dengan “Di Makam Junjungan,”
dalam arti mengungkapkan keteguhan iman kedua dan keempat tersebut.
aku lirik. Jika pada “Di Makam Junjungan”, Berilah padaku cinta suci para syuhada
aku lirik mengungkapkan perasaan syukurnya kurnia padaku roh bakti semangat rela
akan kuruntuhkan tembok kesesatan
dapat berada di hadapan makam Rasulullah
sebagai dulu
sehingga rasa hormatnya pada perjuangan
akan kubakar segala kejahatan menjadi
Rasulullah menyala dan imannya makin abu
bersinar, maka pada “Kaabah”, aku lirik ..................................................................
mengungkapkan perasaan dekat dan rindunya ....
pada Tuhan. Di hadapan Tuhan, aku lirik Ilahi... dijurit mati gendang perang kini
merasa kecil, merasa tidak ada apa-apanya, berbunyi
berikan daku daya berjuang rela
merasa banyak dosa. Di tempat ini—seperti
berbakti
di hadapan makam Rasulullah yang terlukis anugerahkan cahaya-Mu sinar kembali
dalam “Di Makam Junjungan”—keimanan aku kegelapan malam
lirik serasa makin mantap. kurniakan rahmat-Mu agar fajar
menunda siang
Dalam pada itu, pada “Madinah
tiada cinta sesuci ini pernah kurasakan
Munawwarah” aku lirik mengungkapkan kususul doa mensuci diri kepada
kekagumannya pada keindahan dan
Tuhan.
kemegahan Mesjid Nabawi, terutama di
malam hari. Tetesan air mata sebagai ekspresi
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

Dengan memerhatikan diksi kunci sajak sebelumnya. Hanya pada sajak-sajak


dua bait tersebut, agaknya gaya ucap sajak yang ditulis pada tahun 1960-an cenderung
“Cinta dan Doa” memang seperti gaya yang mengangkat isu yang bertalian dengan
dipakai orang dalam berdoa. Oleh karena lawatan penyair ke tanah Arab. Permohonan,
itu, selaraslah dengan judul sajak itu sendiri, doa, dan peneguhan iman terkait dengan
yaitu “Cinta dan Doa.” lawatan penyair ke tempat-tempat bersejarah
di Arab menjadi aspek yang dominan dalam
Sajak berikutnya, “Masa Senang” agak
sajak-sajak Shukri Zain tahun 1960-an.
berbeda dengan sajak-sajak sebelumnya.
Selain itu, unsur nasihat, petuah, imbauan,
Dalam sajak ini, hal yang menonjol adalah
dan perintah juga mewarnai sajak –sajak
unsur nasihat atau peringatan. Namun,
pada kurun waktu tersebut.
nasihat dan peringatan itu tetap diletakkan
dalam konteks ketuhanan. “Masa Senang”
terdiri atas lima bait. Tiga bait sajak ini pada
3. Sajak-sajak Periode 1970-an
dasarnya memaparkan perangai pribadi
ketika dalam keadaan senang yang cenderung Tampaknya, puisi Shukri Zain yang ditulis
mengumbar hawa napsu: menghalalkan kemudian (1970—1980-an), dalam hal
segala sesuatu demi kenikmatan. Namun, tertentu, memperlihatkan gaya yang berbeda.
ketika dalam kesusahan orang baru ingat Unsur nasihat yang mewarnai sajak-sajak
pada Tuhannya. Itu adalah inti tiga bait, pada tahun 1960-an hampir tidak hadir
kemudian dua bait lainnya berisi peringatan dalam puisi tahun 1970-an, kecuali sajak
dan nasihat agar dalam kondisi senang pun “Gelap dan Cahaya” (hlm. 35). Hampir
orang senantiasa dekat dengan Tuhan. Hidup semua sajak pada 1970-an merupakan
12 sajak deskriptif. Yang masih konsisten
ini penuh cobaan. Oleh karena itu, hendaknya
manusia senantiasa mendekatkan diri dalam sajak-sajak Shukri Zain adalah gaya
dengan Tuhan dalam kondisi apa pun agar penyampaiannya yang lugas, hampir tanpa
pertolongan senantiasa datang pula dari kehadiran metafora. Sajak “Di Dalam Kubur”
Tuhan. barangkali dapat menjadi satu contoh sajak
deskriptif. Dalam sajak ini, penyair cukup
Satu lagi sajak yang ditulis pada tahun
mendeskripsikan bagaimana perjalanan roh
1960-an , “Nilai Kerja”, pada dasarnya juga
di alam kematian yang dibayangkan penyair.
merupakan puisi nasihat yang terkait dengan
Deskripsi dimulai saat jenazah diusung ke
bagaimana menyikapi kerja yang dilandasi
kuburan hingga roh menghadapi “kehidupan”
oleh ajaran agama. Sajak seperti ini senantiasa
di alam kematian yang tidak terlepas dari apa
ditandai oleh diksi yang menyatakan anjuran,
yang diperbuatnya semasa hidup. Apa yang
nasihat, atau perintah untuk melakukan
hendak ditekankan dalam sajak seperti ini
berbagai hal. Kata-kata yang muncul, karena
tidak lain adalah gambaran mengenai arwah
itu, biasanya jenis kata verba (kata kerja)
manusia di alam kubur. Pada sajak ini, tidak
yang kadang diikuti partikel penekan lah.
secara eksplisit dijumpai nasihat seperti yang
Pada bait pertama, misalnya, dijumpai kata
terlukis dalam sajak-sajak Shukri Zain yang
buatlah. Selanjutnya, dalam bait ketiga
ditulis pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam
dijumpai junjunglah. Demikianlah, sajak-
sajak ini, penyair sebagai penutur hanya
sajak yang ditulis pada 1960-an tampaknya
memaparkan gambaran yang dibayangkan
tidak menunjukkan perbedaan dengan sajak-
terjadi ketika manusia meninggal dunia dan
menempuh perjalanan di alam kubur.
Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

Sajak lain yang mirip dengan “Di Sentuhan ini. Kalaupun ada yang bukan itu
Dalam Kubur” adalah “Godaan”, “Korban yang diabadikan dalam sajak, tetap saja isu
Maksiat”, dan “Terhinggut-hinggut”. Dalam yang tampil tidak jauh dari soal keimanan
ketiga sajak tersebut, si penutur sekadar dan keislaman, kecuali beberapa sajak saja,
memaparkan gambaran atau lukisan keadaan seperti “Pegangannya”, “Seluang”, dan
dan tidak terdorong atau tergoda untuk “Terhinggut-hinggut” yang mengusung tema
menyampaikan saran atau nasihat kepada lain. Yang menjadi pertanyaan kemudian
pembaca. Meskipun demikian, sajak itu tetap adalah bagaimana dengan puisi yang
menyiratkan sesuatu karena akhirnya di sana ditulisnya pada 1980-an? Akankah penyair
hadir juga nada tertentu yang menggiring ini tetap konsisten dengan pilihannya?
pembaca untuk menunjukkan sikap tertentu.
Dengan menyimak sungguh-sungguh sajak
“Di Dalam Kubur”, misalnya, pembaca 4. Sajak-sajak Periode 1980-an
seakan diberi atau mendapat peringatan Sajak yang ditulis Shukri Zain pada
secara tidak langsung untuk bertaqwa, tidak tahun 1980-an—sebagaimana disebutkan
menyia-nyiakan hidup, agar kelak dalam sebelumnya—menduduki urutan pertama
perjalanannya di alam kubur mendapat dalam hal banyak atau jumlahnya. Secara
tempat yang menyenangkan. Tersirat juga tematik, sajak-sajak yang ditulis Shukri
semacam peringatan—kalaupun tidak tepat Zain pada tahun 1980-an tampaknya masih
untuk dikatakan nasihat—bagi orang tua mengusung isu keimanan dan keislaman.
untuk mendidik anak-anaknya dengan baik Akan tetapi, dibandingkan dengan sajak-
agar menjadi anak yang saleh sehingga dapat sajak periode sebelumnya, sajak-sajak periode
mendoakan orang tuanya sebab doa anak 1980-an memperlihatkan keragaman tema. 13
yang saleh dapat membantu orang tuanya di Kunjungan Shukri Zain ke negara lain non-
alam kubur. Arab telah mendorong dia untuk mengangkat
Tidak perlu satu per satu sajak isu-isu lain selain masalah keislaman.
yang ditulis tahun 1970-an dibahas atau Sajak-sajak yang dimaksud adalah “Dalam
dikomentari sebab ternyata secara keseluruhan Tongkang”, “Kelaparan”, “Ke Persada Bonda”,
wilayah perhatian penyair memperlihatkan “Kurniakanlah”, “Malam Berbulan”, “Si
kecenderungan yang sama dengan sajak- Degil”, “Sila Ketuhanan”, dan “Tenanglah.”
sajak sebelumnya. Shukri Zain agaknya lebih Sajak-sajak tersebut mengangkat isu lain
tertarik pada isu-isu yang terkait dengan selain soal keisalaman yang tampaknya
soal keimanan, soal keislaman, dan kurang diilhami oleh perjalanan penyair ke beberapa
tertarik pada isu politik atau sosial, utamanya tempat non-Arab.
yang berkaitan dengan masalah kemiskinan “Dalam Tongkang”, misalnya, yang
atau ketidakadilan. Itulah sebabnya catatan ditulis di Hong Kong pada 1983, melukiskan
atau kesan-kesan dia atas tempat-tempat “pemandangan” atau suasana di suatu tempat
yang diziarahi, terutama tempat atau jejak di Hong Kong yang tampaknya begitu menarik
yang berkaitan dengan sejarah perjuangan perhatian dan menyentuh perasaan penyair
sejumlah nabi, terutama Nabi Muhammad, bukan karena keindahan pemandangan itu,
pada sajak-sajaknya yang ditulis dari tahun melainkan karena siratan yang memancar dari
1950-an hingga 1970-an jauh lebih dominan keadaan dan fenomena itu. Untuk memberi
dalam himpunan sajak bertajuk Damai dalam
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

gambaran yang lebih konkret, barangkali ada gambaran yang kontras dan ironis seakan
baiknya sajak “Dalam Tongkang” itu dikutip terpampang di depan mata kita. Pada puisi
sepenuhnya di sini. ini, Shukri Zain membuka sajaknya dengan
Bersuriatlah mereka dalam tongkang bait yang menyoroti kekeringan di Afrika
berderet berapit di atas air yang membuat kelaparan yang mengerikan.
daratan tiada beruang lagi Afrika kekeringan
hutan simen mencakar langit. tulang-tulang berjungkatan
bergelimpangan bangkai dan mayat
Sesak di daratan pindah ke laut mati kebuluran
masing-masing hidup mahu makan
bernafas berjuang tidak berhenti
anak-anak lahir menyesaki dunia. Itulah bait pembuka sajak “Kelaparan”, yang
melukiskan suatu gambaran keadaan yang
Patut bersyukur pada Tuhan amat mengerikan. Dalam bait lain, Shukri
ada makan ada tempat kediaman Zain menunjukkan gambaran yang sangat
manusia lain merempat mati kontras dengan lukisan pada bait pertama.
kelaparan
Dikatakannya bahwa
merayau mengembara jadi pelarian.
Ternakan di Australia
dimusnahkan jaga pasaran
Jelas sajak tersebut tidak
gandum di Barat
menggambarkan suatu panorama indah demi harga dicurahkan.
di suatu tempat. Sebaliknya, sajak itu
melukiskan suatu tempat pemukiman di Hong
Bukankah ini suatu ironi? Di satu tempat
Kong yang teramat padat. Jumlah orang
14 banyak orang mati kelaparan, sementara di
yang terlalu banyak dibandingkan dengan
tempat lain demi menjaga kestabilan harga,
luasnya tempat tergambar dalam sajak
bahan makanan (gandum) dibuang dan sapi
tersebut. Begitu banyaknya jumlah manusia
dimusnahkan.
hingga orang tidak kebagian ruang (daratan)
dan terpaksa harus hidup di tongkang Masih dalam konteks puisi yang
yang mengapung di atas air. Pada bait ditulis di luar negeri, terdapat dua sajak
penutup, penyair menyampaikan pesan yang dalam himpunan Damai dalam Sentuhan
menyentuh keimanan bahwa bagaimanapun yang ditulis di Indonesia pada tahun 1980-
mereka yang mempunyai tempat tinggal dan an, yaitu “Jangan Menyakiti” (ditulis 1981)
makanan patut bersyukur pada Tuhan sebab dan “Sila Ketuhanan” (ditulis pada 1982).
di tempat lain banyak orang yang telantar, Kedua sajak ini mengangkat tema kekejaman.
kelaparan, dan harus hidup dalam pelarian. Pada sajak pertama (“Jangan Menyakiti”),
Pada sajak yang mengangkat isu sosial itu, ditekankan pentingnya orang menghargai
Shukri Zain lagi-lagi masih menyelipkan nyawa. Lewat sajak ini, penyair mengingatkan
pesan moral yang mulia. kita agar terhadap “yang melata” sekalipun
kita memperlakukannya dengan baik.
Pada sajaknya yang lain, Shukri
Secara tersamar, dalam sajak itu dikatakan
Zain menyoroti ironi keadaan (kehidupan)
bahwa ihsan (kebaikan) ada di mana-mana,
yang membuat hati miris. Tepatnya, dalam
termasuk pada mereka yang tereksekusi
sajak “Kelaparan” keadaan yang ironis
atas dasar alasan tertentu. Dalam konteks
itu dilukiskan sedemikian rupa sehingga
itu, perlakuan terhadap mereka haruslah
Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

mempertimbangkan asas kemanusiaan (tidak dalam kunjungannya ke berbagai tempat


menyakiti). Terhadap binatang yang hendak yang tampaknya tidak berkaitan dengan
disembelih pun harus dipertimbangkan asas masalah kekerasan, kelaparan, atau gambaran
tidak menyakiti sebab setiap nyawa itu menyedihkan lainnya sebagaimana terlihat
berharga. Dalam sajak ini, sangat ditekankan dalam beberapa sajak yang telah disinggung
pentingnya asas tidak menyakiti dan tidak sebelumnya. Sajak yang dimaksud adalah “Ke
menyiksa. Pada penutup sajak, penyair pun Persada Bonda” yang ditulis di Taiwan pada
menyerukan pesan yang agamis sebagai 1983 dan “Malam Berbulan” yang ditulis di
berikut. Sri Lanka pada 1984.
Asuhlah ihsan pada dirimu Corak dua sajak tersebut agak berbeda
jangan menyakiti dengan sajak-sajak lainnya. Ada warna
kita penuhi dunia ini dengan ihsan romantis dalam dua sajak tersebut. “Ke
hidup bersama menjunjung ajaran
Persada Bonda” melukiskan perjuangan tiga
Allah.
gadis dalam menggapai cita-cita yang tak
lepas dari kasih bunda mereka. Ketiganya
Pada sajak lain yang juga ditulis di
menyambut hidup dengan semangat dan
Indonesia, tepatnya di Lubang Buaya, penyair
keberanian yang meluap, tidak takut bahaya
menyoroti perilaku kejam sekelompok
apa pun. Mereka dengan keyakinannya yang
orang yang mengakibatkan sejumlah orang
bulat menjalani hidup dalam kasih sayang
meninggal secara mengenaskan. Sajak yang
yang penuh dan satu tekat untuk tetap
terdiri atas empat bait ini sejatinya merupakan
merawat kerinduannya pada bunda.
catatan penyair atas kekejaman yang
dilakukan oleh kekuatan-kekuatan tertentu Sementara itu, dalam “Malam 15
terhadap sejumlah anggota TNI terkait dengan Rembulan”, aku lirik mengabadikan apa
prahara politik di Indonesia pada tahun 1965. yang dirasakan dan disaksikannya ketika
Dalam sajak itu, penyair menganggap bahwa berada dalam suasana malam berbulan di Sri
kekejaman yang dilakukan sekelompok orang Lanka. Gambaran malam yang disinari bulan
itu dimaksudkan sebagai upaya mengganti sila dan bintang yang mengusik hati aku lirik
pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan terpapar di dalam sajak ini. Bulan di malam
yang Maha Esa” dengan sila lain yang tidak hari seakan Dewi malam yang menjelma dan
berketuhanan. Jelas sajak ini mengingatkan hadir dalam taman indah yang membawa
orang pada tragedi 1965 di Indonesia ketika aura keriangan. Tidak banyak sajak-sajak
sejumlah jenderal dibunuh secara kejam yang bercorak begini dalam himpunan sajak
oleh sekelompok orang yang diduga adalah ini. Sajak-sajak Shukri Zain kebanyakan
mereka yang berpahamkan komunis. mengusung tema yang terkait dengan soal
keimanan dan keislaman.
Dua sajak yang disinggung di atas
adalah sajak-sajak Shukri Zain yang sedikit Akhirnya, setelah menyinggung sajak-
banyak menyinggung aroma kekerasan. sajak tahun 1980-an yang bercorak agak lain,
Kedua sajak itu kebetulan ditulis di Indonesia, tibalah saatnya menyinggung pula sajak-
yaitu di Aceh dan Lubang Buaya, dua sajak lain yang secara tematik menunjukkan
tempat yang menyimpan catatan hitam kesamaan dengan sajak-sajak periode
dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ada sebelumnya. Sajak yang berjudul “Damai
sajak lainnya lagi yang ditulis Shukri Zain dalam Sentuhan” yang juga menjadi judul
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

buku ini kiranya perlu diulas. Sajak ini ditulis sajak ini sebagai judul buku karena apa yang
di Mekah pada Oktober 1984. Secara tematik, terlukis dalam “Damai dalam Sentuhan”
sebetulnya “Damai dalam Sentuhan” senapas sesungguhnya adalah “roh” himpunan sajak
dengan sajak-sajak lainnya yang juga ditulis ini.
di Arab yang semuanya melukiskan rasa
Tanpa meremehkan keberadaan
haru aku lirik saat berada di tempat-tempat
soalan lain, tampaknya keberhasilan Shukri
bersejarah di tanah suci yang dikunjunginya.
Zain mengolah pengalaman religius terkait
Sajak ini melukiskan pengalaman aku lirik
dengan ziarah dan ibadahnya ke Tanah Suci
saat melakukan tawaf di Kabah. Haru dan
menjadi kekuatan buku ini. Sajak-sajak yang
damai dirasakan aku lirik saat bertawaf di
menggambarkan perasaan aku lirik dalam
Kabah malam hari. Kedamaian malam itu ia
perjalanan ibadahnya ke Tanah Suci dan
rasakan seperti pada saat ia berada dalam
kunjungannya ke tempat-tempat tertentu
suasana malam pengantin. Gambaran seperti
di berbagai negara yang mendominasi isi
itu terlukis antara lain dalam tiga bait dari
buku ini bagaimanapun menjadi kekhasan
“Damai dalam Sentuhan” berikut.
buku ini. Boleh saja orang berasumsi bahwa
Perlahan-lahan aku bertawaf sajak-sajak semacam itu tidak lebih dari sajak
langkah pengantin ke pelaminan turistik yang tidak pernah sungguh-sungguh
hatiku rasaku tiada tertahan
tercipta dari hasil pergumulan penyair
duhai! Ampunilah aku Tuhan.
dengan objek, tema, isu, masalah, atau apa
Aku munajat di lingkungan Hijir pun istilahnya secara intens. Akan tetapi,
kelambu Kaabah kudakap sayang berhadapan dengan sajak-sajak Shukri Zain
rasa-rasanya malam pengantin dalam himpunan ini, kita tidak bisa secara
16 tenang damai dalam sentuhan serampangan mengatakan demikian sebab
bagaimanapun penyair ini bukanlah orang
Mesra terasa dalam kucupan
yang asing sama sekali dengan tempat-tempat
Hajar Aswad dalam kenangan
duhai hitamnya dosa angkara yang diziarahinya. Lagi pula, keberadaan dia
ampunilah daku wahai Tuhan. di tempat itu bukanlah dalam rangka “jalan-
jalan” untuk menikmati panorama. Ia hadir
Nada tenang, damai, dan mesra terasa sebagai insan muslim—sekaligus sebagai
sekali dalam ketiga bait tersebut. Nada itu penyair—yang melaksanakan ibadah. Posisi
dibangun melalui diksi dan metafora yang ini kiranya juga menentukan bagaimana ia
tepat. Ketenangan saat aku lirik hendak memandang dan menyikapi tempat-tempat
bertawaf itu dibandingkannya dengan tersebut serta bagaimana pula merasakan
ketenangan langkah pengantin menuju dan menghayati pengalaman religiusnya.
pelaminan. Kemudian, kemesraan saat aku Demikianlah, sajak-sajak yang terhimpun
lirik mencium Hajar Aswad digambarkannya dalam Damai dalam Sentuhan tidak bisa
sedemikian rupa sehingga menggenapi dianggap begitu saja sebagai puisi turistik
kedamaian itu. Pada momen-momen seperti yang menampilkan kesan-kesan dangkal dari
itu, aku lirik memohon ampunan pada Tuhan seorang turis yang belum kuyup dengan objek
dan tebersitlah kesan bahwa dosa-dosanya yang dilihatnya
telah terbasuh lewat “perjumpaan” yang
mesra dan damai itu. Tepatlah pemilihan
Sunu Wasono, Menyimak Kandungan Damai dalam Sentuhan Karya Shukri Zain

Simpulan karena sajak-sajak Shukri Zain selain lugas


juga “sederhana” dan “tertib” dalam gaya
Hingga di sini, rasanya pembicaraan tentang
penyampaiannya. Tidak ada “eksperimen”
sajak-sajak yang terhimpun dalam Damai
yang ekstrem yang membuat kita harus
dalam Sentuhan telah cukup panjang lebar
menunda sejenak untuk bisa menangkap
meskipun masih banyak pula sajak-sajak
pesan yang terkandung di dalam sajak-
yang belum tersentuh. Oleh karena itu,
sajaknya. Unsur kelakar atau humor tidak
kiranya sudah tiba waktunya untuk menutup
hadir dalam sajak-sajaknya. Semua hal yang
dan mengakhiri pembicaraan. Sejumlah hal
terusung dalam sajaknya disikapinya dengan
tentu saja perlu disampaikan dalam penutup
serius dan cenderung hadir dalam bahasa
agar ada sesuatu yang dapat dipetik dari
yang lugas. Metafor tidak terlalu mewarnai
pembicaraan ini.
sajak-sajaknya. Namun, tidak berarti bahwa
Pertama, secara tematik sajak-sajak Shukri Zain tidak memanfaatkan peranti
Shukri Zain umumnya mengangkat tema yang puitik dalam menulis sajak. Ia memilih
berkaitan dengan keimanan dan keislaman. diksi yang tepat, menghadirkan imaji-imaji
Sejak 1950-an, masalah itu sudah muncul yang terkesan hidup, serta menggunakan
dalam sajak-sajak Shukri Zain. Pada periode personifikasi (semisal dalam sajak “Untuk Ibu
berikutnya, tema itu makin digemakan. Pertiwi”) dalam sejumlah sajak-sajaknya.
Tema itu muncul sebagai konsekuensi dari
Ketiga, barangkali karena isu yang
perjalanan Shukri Zain ke berbagai tempat di
diangkat dalam sajak-sajaknya terkait
dunia, khususnya di Arab, Mesir, dan India,
dengan soal keimanan dan keislaman, nada
baik dalam kaitannya dengan menjalankan
yang terbangun dalam sejumlah sajak Shukri
ibadah maupun dalam kaitannya dengan 17
Zain cenderung menasihati—untuk tidak
kepentingan lain. Kemunculan tema lain
mengatakan menggurui—pembaca. Namun,
dalam jumlah yang lumayan. namun tetap
ini tidak harus dianggap sebagai cela sebab
sedikit (kecil) dibandingankan dengan tema
seorang penyair pada dasarnya memiliki
keimanan dan keislaman itu terjadi pada tahun
kebebasan dalam menentukan sikap dan
1980-an. Kunjungan penyair ini ke tempat-
pilihannya ketika mengungkapkan atau
tempat non-Arab, seperti Indonesia, Hong
mengekspresikan perasaan dan gagasannya
Kong, Taiwan, Manila, Thailand, Singapura,
dalam wujud puisi.
dan Sri Lanka telah melahirkan sajak-sajak
yang bercorak berbeda—sekurang-kurangnya Demikianlah sejumlah catatan penutup
dalam hal tema—dengan sajak-sajak lain yang dapat ditarik dari ulasan terhadap buku
yang dominan dalam Damai dalam Sentuhan. Damai dalam Sentuhan karya Shukri Zain.
Ulasan ini sengaja dibuat tanpa melibatkan
Kedua, erat kaitannya dengan tema
banyak referensi atau komentar dari kritikus
yang diusung, sajak-sajak Shukri Zain
atau pengamat sastra dengan harapan
cenderung lugas, namun jauh dari nada
apa yang disampaikan dalam tulisan ini
bombas dan vulgar. Berhadapan dengan sajak-
mencerminkan pandangan murni dari penulis
sajak Shukri Zain, kita tidak harus mengalami
setelah bertemu langsung dan kuyup dengan
semacam hambatan dalam menangkap
sajak-sajak yang terhimpun dalam Damai
makna yang terkandung di dalamnya
dalam Sentuhan.
Jurnal Urban Vol 5, No.1 : 01 - 76, April - September 2021

Daftar Rujukan
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra
Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers

Maatschappij, NV.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian


Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Siswantoro. 2002. Apresiasi Puisi-puisi Sastra


Inggris. Surakarta: Muhammadiyah
University

Press.

Tim Balai Bahasa Yogyakarta.2011. Kamus


Bahasa Jawa (Bausastra Jawa).
Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia


(Cet. I, Edisi IV). 2008. Kamus Besar
Bahasa

Indonesia. Jakarta: PT Gramedia


18
Pustaka Utama.

Zain, Shukri. 1990. Damai dalam Sentuhan.


Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa
dan

Pustaka Brunei.

Anda mungkin juga menyukai