Anda di halaman 1dari 136

Pertemuan 11

FENOMENA ALIRAN
SUNGAI, HUJAN DAN
PENGUAPAN
Sungai
 Suatu alur yang panjang di atas
permukaan bumi tempat mengalirnya air
yang berasal dari hujan disebut alur
sungai. Bagian yang senantiasa tersentuh
aliran air ini disebut alur sungai. Dan
perpaduan antara alur sungai dan aliran
air di dalamnya disebut sungai.
Daerah Pengaliran
 Suatu daerah yang tertimpa hujan dan
kemudian air hujan ini menuju sebuah
sungai sehingga berperan sebagai sumber
air sungai tersebut dinamakan daerah
pengaliran sungai dan batas antara dua
daerah pengaliran sungai yang
berdampingan disebut batas daerah
pengaliran -> dibatasi oleh punggung
pegunungan.
Sungai Utama & Anak Sungai
 Mulai dari mata airnya di bagian yang paling hulu di
daerah pegunungan dalam perjalanannya ke hilir di
daerah dataran, aliran sungai secara berangsur-angsur
berpadu dengan banyak sungai lainnya, sehingga
lambat laun tubuh sungai menjadi semakin besar.
Kadang-kadang sungai yang bermuara di sebuah danau
atau pantai di laut terdiri dari beberapa cabang. Apabila
sungai semacam ini mempunyai lebih dari dua cabang,
maka sungai yang paling penting, yakni sungai yang
daerah pengalirannya, panjangnya dan volume airnya
paling besar disebut sungai utama (main river),
sedangkan cabang-cabang lainnya disebut anak sungai
(tributary). Kadang-kadang sebelum alirannya berakhir di
sebuah danau atau pantai laut, sungai membentuk
beberapa buah cabang yang disebut cabang sungai
(effluent).
Tingkatan Sungai
1 1
1 1
1 1
2

1 1
1 2
2 1

3
2 1
Sungai di Dunia
Luas daerah aliran Lebar rata-rata
Nama Sungai Panjang (km)
(x103 km2) daerah aliran
Amazon 7,050 6,200 1,140
Congo 3,690 4,200 880
Mississipi 3,221 6,020 535
La Plata 3,100 4,700 660
Obi 2,950 5,200 570
Nile 2,870 5,600 510
Yangtze 1,780 5,200 340
Buramaptra 1,730 3,000 580
Volga 1,400 3,600 390
St. Lauran 1,250 3,800 330
Sungai di Jepang
Luas daerah aliran Panjang Lebar rata-rata
Nama Sungai
(km2) (km) daerah aliran
Tone 16,840 322 52
Ishikari 14,330 268 53
Shinano 11,900 367 32
Kitakami 10,150 249 41
Kiso 9,100 227 40
Tokachi 8,400 156 54
Yodo 8,240 144 57
Agano 7,710 210 37
Mogami 7,040 229 34
Teshio 5,590 256 22
Sungai di Indonesia
Pulau Nama Sungai Luas daerah aliran (km2) Panjang (km)
Citarum 5,969 250
Bengawan Solo 16,000 350
Jawa Brantas 12,000 320
Cimanuk 9,650 182
Ciasem 691 68
Asahan 6,000 100
Kampar 31,000 285
Sumatera Batanghari 42,446 635
Musi 55,584 553
Seputih 7,289 275
Barito 23,100 900
Kalimantan Kapuas Besar - 1,143
Mahakam - 775
Rarona 2,300 75
Sulawesi Waranae 3,190 -
Sadang 1,080 175
Sistem daerah aliran sungai
 Pada dasarnya, analisis hidrologi untuk
menentukan besarnya debit banjir rancangan
dan debit andalan tersebut merupakan
pemahaman kuantitatif terhadap proses yang
terjadi pada DAS yang ditinjau. Dalam hal ini
yang diinginkan adalah nilai aliran debit
maksimum atau debit andalan yang dapat
ditelusuri berdasarkan pemahaman hubungan
kuantitatif antara beberapa faktor penyebab
terjadinya aliran dengan besarnya aliran sungai
tersebut.
Sistem daerah aliran sungai
 Dalam konteks hidrologi dapat dinyatakan bahwa upaya
tersebut merupakan pemahaman terhadap proses
pengalihragaman (transformasi) dari satu set masukan
menjadi satu set keluaran pada suatu sistem hidrologi,
yaitu sistem DAS. Masukan dalam pengertian ini dapat
berupa hujan, sedangkan keluaran adalah aliran sungai
yang terjadi pada DAS dengan berbagai karakteristik
fisiknya membentuk sistem DAS yang dapat
memberikan hubungan spesifik antara hujan dan aliran.
Umumnya keluaran sistem DAS tersebut dinyatakan
dalam bentuk hidrograf, yaitu grafik hubungan antara
waktu dan debit aliran. Konsep ini secara skematis
ditunjukkan pada Gambar di bawah ini.
Skema sistem daerah aliran sungai

Input
Output
Masukan Sistem
DAS Keluaran

Q
(m3/dt Qp
)

I
(mm
/jam
)

t (jam)
A
Hujan t (jam)
tp
Hidrograf banjir di A
Sistem daerah aliran sungai

 Konsep dasar untuk dapat memahami


masalah aliran sungai, akan selalu
berangkat dari pengertian daur hidrologi,
yaitu penjelasan tentang berbagai proses
hidrologi yang umum berlaku pada suatu
sistem DAS. Secara skematis daur
hidrologi dilukiskan seperti pada Gambar
di bawah.
Daur Hidrologi
Daur Hidrologi
Daur Hidrologi
 Sumber tenaga atau energi untuk dapat terjadinya
penguapan adalah panas matahari. Dengan adanya
tenaga tersebut dapat terjadi penguapan, baik dari
permukaan tanah, dari permukaan tumbuhan dan
penguapan dari tubuh air. Umumnya dibedakan
dengan istilah evaporasi yaitu penguapan dari
permukaan air dan transpirasi yaitu penguapan dari
permukaan tumbuhan. Air yang diuapkan ini dapat
membentuk awan yang jika kondisi klimatologinya
memungkinkan akan dapat terjadi hujan. Air hujan
ini sebagian ada yang diuapkan kembali sebelum
mencapai permukaan tanah, dan sebagian akan
jatuh ke permukaan tanah yang kita kenal dengan
pengertian hujan yang dapat diukur dengan alat
penakar hujan.
Daur Hidrologi
 Air hujan di permukaan tanah akan terinfiltrasi dan
apabila jumlahnya cukup besar akan dapat
menyebabkan terjadinya limpasan permukaan.
Sebelum sejumlah air hujan yang jatuh di permukaan
tanah akan menjadi limpasan, terjadi peristiwa
intersepsi, penguapan dan pengisian cekungan
(depression storage). Bagian air yang menjadi
limpasan permukaan (surface runoff) akan terkumpul
pada saluran-saluran kecil yang selanjutnya akan
masuk ke sungai sebagai bagian dari debit aliran
sungai. Air yang tertampung di cekungan akhirnya
akan menguap dan terinfiltrasi. Limpasan permukaan
akan terkumpul di saluran-saluran kecil kemudian
mengalir ke sungai dan akhirnya menuju laut.
Daur Hidrologi
 Air yang masuk ke tanah melalui infiltrasi akan
mengalami berbagai proses. Sebagian akan langsung
diuapkan jika transfer dari dalam tanah ke
permukaan memungkinkan. Oleh tanaman, air yang
terinfiltrasi dapat pula ditransfer ke atmosfer melalui
proses transpirasi. Sisa air infiltrasi akan mengisi
kekurangan lengas tanah dan jika jumlahnya cukup
besar akan dapat memberikan masukan ke
tampungan air tanah dan sebagian dapat mengalir
secara mendatar yang disebut dengan aliran antara
(interflow). Laju aliran pada tampungan air tanah
akan menyebabkan terjadinya aliran dasar (base
flow).
Aliran permukaan
infiltrasi

perlokasi
Aliran antara

Muka air tanah

Aliran air tanah


Daur Hidrologi
 Dari pengertian tentang daur hidrologi tersebut
dapat diketahui bahwa aliran yang terukur di sungai
terdiri dari unsur-unsur aliran berikut:
 limpasan permukaan,
 aliran antara (interflow),
 aliran dasar (base flow),
 curah hujan yang jatuh pada sungai (channel rainfall).
 Terlihat dari penjelasan tersebut bahwa daur
hidrologi merupakan konsep yang sederhana, namun
pada kenyataannya di alam terjadi hal-hal yang
sangat kompleks. Aliran yang terjadi di sungai dapat
didekati dengan penelusuran dari elemen-elemen
alirannya yaitu aliran permukaan, aliran antara dan
aliran dasar.
Daur Hidrologi

 Dalam konteks analisis debit banjir ekstrim


atau debit banjir maksimum, maka dapat
dilakukan pendekatan praktis dengan
memisahkan bagian air yang terinfiltrasi
dan yang menjadi limpasan atau runoff.
Pendekatan ini ditetapkan dalam
penggunaan metode rasional untuk
menghitung debit maksimum. Penjelasan
lebih rinci tentang cara tersebut dapat
dilihat pada uraian di bab selanjutnya.
Hubungan antara Hujan, Parameter DAS
dan Aliran
 Dengan konsep dasar seperti diuraikan di atas,
dapat difahami bahwa peristiwa banjir atau
aliran besar pada sungai pada umumnya akan
terkait dengan peristiwa hujan dan parameter
DAS. Fenomena penting yang harus dipahami
dengan benar adalah bagaimana proses
terjadinya pengalihragaman hujan yang jatuh
pada suatu DAS tertentu menjadi aliran di alur
sungai. Proses ini akan sangat tergantung dari
sifat hujan dan karakteristik parameter DAS.
Pengaruh parameter fisik DAS terhadap
karakteristik aliran dijelaskan sebagai berikut ini.
1. Bentuk DAS

 DAS yang mempunyai bentuk lebar akan


menunjukkan ciri debit aliran puncak lebih besar
daripada debit aliran puncak pada DAS yang
memanjang. Pada DAS yang berbentuk
memanjang, waktu untuk terjadinya akumulasi
aliran penuh akibat curah hujan akan lebih lama,
sehingga bentuk hidrograf cenderung akan lebih
landai dengan waktu terjadinya debit puncak
lebih besar.
Pengaruh bentuk DAS terhadap debit puncak
Pengaruh bentuk DAS terhadap bentuk hidrograf
2. Luas DAS

 Debit puncak untuk setiap satuan DAS


akan lebih besar pada DAS dengan luas
kecil. Hal ini dapat disebabkan faktor
losses dan reduksi yang umumnya lebih
besar pada DAS yang luas. Misal akibat
adanya danau atau rawa.
3. Topografi

 Pada DAS dengan


kemiringan tanah dan
alur sungai yang besar
akan menunjukkan ciri
debit puncak yang
besar. Hal ini
disebabkan proses
pengatusan aliran
permukaan yang lebih
cepat akibat
kemiringan yang besar
tersebut.
Peta Kemiringan Lereng
4. Geologi
 Pengaruh faktor geologi pada DAS terutama
menyangkut besarnya laju infiltrasi dan
evaporasi. Pada DAS dengan kondisi geologi
yang menunjukkan sifat tanah yang rapat, nilai
infiltrasi akan kecil, sehingga pada waktu terjadi
hujan akan menyebabkan adanya aliran
permukaan yang besar. Sebaliknya pada DAS
dimana struktur tanah dan batuannya
mempunyai sifat permeabilitas yang besar,
jumlah air hujan yang terinfiltrasi akan cukup
besar sehingga akan mengurangi potensi aliran
permukaan yang terjadi akibat hujan.
Peta Jenis Tanah
5. Kerapatan jaringan kuras
 5. Kerapatan jaringan kuras
 Kerapatan jaringan kuras dinyatakan dengan panjang
alur sungai per satuan luas DAS. DAS yang
mempunyai banyak anak sungai, berarti kerapatan
jaringan kurasnya besar dan proses pengatusan lebih
cepat, sebab air limpasan permukaan segera akan
tertampung pada alur-alur sungai. Dengan demikian
debit aliran puncaknya akan lebih besar dibanding
debit aliran puncak yang terjadi pada DAS dengan
kerapatan jaringan kuras kecil dan waktu untuk
mencapai debit puncak lebih cepat. Ilustrasi
pengaruh kerapatan jaringan kuras terhadap debit
puncak ditunjukkan pada Gambar di bawah.
5. Pengaruh kerapatan jaringan kuras
terhadap debit puncak
6. Tataguna lahan

 Faktor tataguna lahan pada DAS memberikan


pengaruh cukup dominan. Macam penggunaan lahan
akan sangat menentukan besarnya losses akibat
infiltrasi dan besarnya koefisien limpasan permukaan.
Perubahan tataguna lahan dapat menyebabkan
perubahan nilai koefisien limpasan permukaan
(koefisien aliran) dan kerapatan jaringan kuras.
Sebagai contoh pada DAS yang semula sebagian
besar berupa hutan dan persawahan, kemudian
berubah menjadi lahan pemukiman, akan
menunjukkan ciri perubahan debit puncak aliran
banjir menjadi meningkat.
Peta Penggunaan Lahan
PETA WILAYAH SUNGAI DI PROVINSI JAWA TENGAH
Contoh :
Cakupan Pengelolaan
SDA Wilayah Sungai
Progo-Opak-Oyo
HUJAN
Presipitasi
 Presipitasi : turunnya air dari atmosfer ke
permukaan bumi, yang bisa berupa hujan,
hujan salju, kabut, embun dan hujan es.
 Di daerah tropis, termasuk Indonesia,
yang memberikan sumbangan paling
besar adalah hujan, sehingga seringkali
hujanlah yang dianggap sebagai
presipitasi.
Tipe Hujan
 Hujan terjadi karena udara basah yang
naik ke atmosfer mengalami pendinginan
sehingga terjadi proses kondensasi.
 Naiknya udara ke atas dapat terjadi
secara siklonik, orografik dan konvektif.
HUJAN KONVEKTIF
 Hujan jenis ini biasanya
terjadi sebagai hujan
dengan intensitas yang
tinggi, akibat massa udara
yang terangkat ke atas oleh
pemanasan lahan. Hujan
jenis ini biasanya terjadi di
daerah yang relatif luas dan
bergerak sesuai dengan
pergerakan angin.
Pembentukan hujan konvektif
HUJAN SIKLONIK
 Hujan jenis ini biasanya terjadi karena udara
lembab panas terangkat ke atas oleh lapisan
udara yang lebih dingin dan lebih rapat.
Penyebaran hujan jenis ini sangat
dipengaruhi oleh landai pertemuan antara
udara panas dan dingin dan biasanya
merupakan hujan dengan daerah
penyebaran terbatas dan dalam waktu
pendek.
HUJAN OROGRAFIK
 Hujan jenis ini terjadi karena massa udara lembab
terangkat ke atas oleh angin karena adanya
gunung/pegunungan. Udara lembab yang melintasi
daerah pegunungan akan naik dan mengalami
pendinginan, sehingga terbentuk awan dan hujan.

Pembentukan hujan orografik


Why heavy rain falls in Jakarta?

1)The stationary cold surge


continues from Januafy 30,
which transport a large
amount of water vapor ffom
the South China Sea and
Java Sea to Java Island.

2) Heavy rainfall occurs


over the mountains areas of
Java Island in the añernoon
and evening. This mountain
convections induce a cold
surface outflow in the
nighttime.

3)The cold surge and the


oflshore cold suFace
ouXlow make an intensive
low-level wind
convergence.
Convections/ rainfall occur
repeatedly in Jakarta during
the late night and early
mofning.
Alat Pengukur Hujan
 Alat ukur hujan dapat dibedakan menjadi 2
macam, yaitu penakar hujan biasa (manual
raingauge) dan penakar hujan otomatis
(automatic raingauge).
 Data curah hujan dapat berupa data curah hujan
harian atau curah hujan pada periode waktu yang
lebih pendek, misal setiap menit. Data hujan tipe
pertama dapat diukur dengan penakar hujan biasa
terdiri dari bejana dan corong seluas 200 cm 2 yang
dipasang setinggi 120 cm dari permukaan tanah.
Data hujan untuk periode pendek didapat dari alat
penakar hujan otomatis ARR (automatic rainfall
recorder) yang dapat merekam setiap kejadian
hujan selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan
mekanisme perekaman data hujan ada tiga jenis
ARR, yaitu tipe weighing bucket, tipping bucket
dan float.
Stasiun Hujan
Stasiun Hujan
ALAT PENAKAR HUJAN BIASA

 Alat penakar hujan biasa terdiri dari corong dan


botol penampung yang berada di dalam suatu
tabung silinder. Hujan yang jatuh pada corong
akan tertampung di dalam tabung silinder,
kemudian kedalaman hujan di dapat dari
pengukuran volume air yang tertampung dan
luas corongnya. Curah hujan kurang dari 0,1
mm dicatat sebagai 0,0 mm, sedangkan jika
tidak ada hujan dicatat dengan garis (-).
Alat Penakar Hujan Biasa
Mounting
Brecket

Tube

Meaeufing Tube

StanJard brass rain Components oT a pole mounted


gauge lCaseIIa) standard rain ‹1au‹›e
PENAKAR HUJAN JENIS TIMBANGAN

 Tipetimbangan (weighing bucket) dapat


merekam jumlah kumulatif hujan secara
kontinyu. Alat ini tidak dilengkapi dengan
sistem pengurasan otomatik.
PENAKAR HUJAN JENIS TIMBANGAN

Bucket

Silinder dibungkus
kertas berskala Pan

Pena Pemberat
ALAT PENAKAR HUJAN JENIS TIMBA JUNGKIT

Alat penakar hujan otomatis dengan


tipping bucket digunakan untuk
pengukuran khusus.
Air hujan yang tertampung ke dalam
corong akan diteruskan ke saringan
kemudian masuk ke dalam tipping bucket.
Kapasitas bucket ini didesain khusus setara
dengan 0.5 mm, sehingga apabila
tampungan air hujan tercapai akan
terjungkir (tipping) yang akan diteruskan
dengan proses perekaman.
ALAT PENAKAR HUJAN JENIS TIMBA
JUNGKIT

Saringan
Tipping bucket

Pipa pembuang
Penakar hujan jenis pelampung
 Prinsip mekanisme kerja alat penakar hujan otomatis
tipe ketiga yaitu float adalah dengan memanfaatkan
gerakan naik pelampung dalam bejana akibat
tertampungnya curah hujan. Pelampung ini berhubungan
dengan sistem pena perekam di atas kertas berskala
yang menghasilkan grafik rekaman data hujan. Alat ini
dilengkapi dengan sistem pengurasan otomatis, yaitu
pada saat air hujan yang tertampung telah mencapai
kapasitas receivernya akan dikeluarkan dari bejana dan
pena akan kembali pada posisi dasar kertas rekaman
data hujan.
Penakar hujan jenis pelampung
Corong

Jam pencatat

Kertas
perekam data
hujan

Pelampung
Sifon
Syarat teknis Penempatan dan
pemasangan alat pada stasiun hidrologi
 Penakar hujan ditempatkan pada lokasi sedemikian
sehingga kecepatan angin di tempat tersebut sekecil
mungkin dan terhindar dari pengaruh penangkapan air
hujan oleh benda lain di sekitar alat penakar hujan.
 Penempatan setasiun hujan hendaknya berjarak
minimum empat kali tinggi rintangan terdekat.
 Lokasi di suatu lereng yang miring ke satu arah
tertentu hendaknya dihindarkan.
 Penempatan corong penangkap hujan diusahakan
dapat menghindari pengaruh percikan curah hujan ke
dalam dan disekitar alat penakar sebaiknya ditanami
rumput atau berupa kerikil, bukan lantai beton atau
sejenisnya.
Penentuan Hujan Kawasan/Hujan DAS

 Stasiun penakar hujan hanya memberikan


kedalaman (tinggi) hujan di titik di mana stasiun
tersebut berada, sehingga hujan pada suatu
luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran
tersebut.
 Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari
satu stasiun pengukuran yang ditempatkan
secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-
masing stasiun dapat tidak sama.
METODE

 Dalam analisis hidrologi sering diperlukan


untuk menentukan hujan rerata pada
daerah tersebut.
 Terdapat 3 metode :
 Aritmatik
 Poligon Thiessen
 Isohiet
1. Metode rerata aritmatik (aljabar)
 Metode ini adalah metode yang paling sederhana. Pengukuran dengan
metode ini dilakukan dengan merata-ratakan hujan di seluruh DAS.
Stasiun hujan yang digunakan untuk menghitung dengan metode ini
adalah yang berada di dalam DAS, akan tetapi stasiun yang berada di luar
DAS dan jaraknya cukup berdekatan masih bisa diperhitungkan. Metode
aljabar ini memberikan hasil yang tidak teliti, metode ini memberikan
hasil yang cukup baik jika penyebaran hujan merata, serta hujan tidak
terlalu bervariasi.
 Hujan DAS dengan cara ini dapat diperoleh dengan persamaan:
n
p i p  p  p ..... p
p 1 2 3 n
i 1
p
n n
 dengan:
p = hujan rerata di suatu DAS
pi = hujan di tiap-tiap stasiun
n = jumlah stasiun
Contoh Ilustrasi
Hitung hujan rerata dengan
metode aljabar!
D = 25 mm
p1  p2  p3 ..... pn
p
n
C = 30 mm pA  pB  pC
B = 28 mm p 3
22  28  30
A = 22 mm
p 3
p  26,67mm

Jika stasiun D di luar DAS ikut 22  28  30  25


diperhitungkan maka: p
4 26,25mm
2. Metode Thiessen
 Metode ini digunakan untuk menghitung
bobot masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Metode ini
digunakan bila penyebaran hujan di
daerah yang ditinjau tidak merata.
PROSEDUR HITUNGAN METODE POLIGON
THIESSEN

Hitungan poligon Thiessen dilakukan dengan cara:


a. Stasiun hujan digambar pada peta daerah yang ditinjau.
b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis
lurus, sehingga akan didapatkan bentuk segitiga.
c. Tiap-tiap sisi segitiga dibuat garis berat sehingga saling
bertemu dan membentuk suatu poligon yang
mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan
yang dibentuk oleh poligon, sedangkan untuk stasiun
yang berada di dekat batas daerah, garis batas daerah
membentuk batas tertutup dari poligon.
d. Luas tiap poligon diukur, kemudian dikalikan dengan
kedalaman hujan di tiap poligon. Hasil jumlah hitungan
tersebut dibagi dengan total luas daerah yang ditinjau.
A1

A2

A3

A4
Prosedur hitungan ini dijelaskan pada
persamaan dan gambar berikut ini.
P A1.P1  A2 .P2  ...... An .Pn
Atotal

A1.P1

P A2 .P  ...... An .Pn
2 A3.P3
A1   A ..... An
Dimana: A2 3

 P = curah hujan rata-rata,


 P1,..., Pn = curah hujan pada setiap setasiun,
 A1,..., An = luas yang dibatasi tiap poligon.
Contoh Ilustrasi
D = 25 mm

AB = 53 km2

AC = 45 km2 Garis ini membagi sisi


segitiga menjadi 2
B = 28 mm C = 30 bagian sama panjang
mm (di tengah-tengah)
dan tegak lurus
terhadapnya.

A = 22 mm

AA = 50 km2

Gambar tidak berskala, luas


bagian dan tinggi hujan hanya
merupakan perumpamaan
Hujan rerata cara Thiessen
A1.P1 A2 .P2  An .Pn
P

Atotal
AA .PA  AB .PB  AC .PC
P
AA  AB  AC

50.22  53.28  45.30


P 50  53  45
3934 26,58 mm
P

148
Poligon Thiessen dengan
AD = 20 km2 D = 25 mm melibatkan stasiun hujan D
yang berada di luar DAS

AB = 37 km2

C = 30 mm
B = 28 mm
AC = 41 km2

A = 22 mm

AA = 50 km2
Hujan rerata cara Thiessen
A1.P1 A2 .P2  An .Pn
P

Atotal
AA .PA  AB  A .P  A .P
P  .PB C C D D

AA  AB  AC  AD

50.22  37.28  41.30  20.25


P 50  37  41 20
3866 148
P

26,12 mm
Pt

1A1 + P2A2 + P3A3 +


l II ’j
P4A Al + A2 + A3 + (2) ! —!‹
A4

Keterangan

P = huj an rata-rata
P1, P2, P3, P4 = tebal hujan pada stasiun 1,2,3,4 i I
Al, A2, A3, A4 = luas wilayah yang diwakili oleh
stasiun 1,2,3,4.
350000
360000 370000 380000 390000 400000

PETA STASIUN HUJAN DAN


POLIGON THIESEN WILAYAH
SUNGAI BOGOWONTO-
BANJARNEGARA
LUKULO

WONOSOBO
U

$Z
K42
a
K8 a K76
Z$ b Skala 1 : 350.000
Z$ MAGELANG Legenda :
K7 Sungai
$a Batas Luar WS Bogowonto - Lukulo Garis Pantai
$Z K43 Batas Kabupaten Batas Kecamatan
Waduk $ Waduk
Wadaslintang Z
K41
$Z
Z$ K49 b
Z$ Z$ K50
DAS Polig on Thiesen
Z$ $Z K. 2 8a

Lukulo
K33 K46 K 47a K58 Lokasi dan No Stasiun Hujan
KZ$EBUM K14 KZ Z DAS
$ $Z
Kelas Jalan
WawarK4 $Z Z$ Jalan Kolektor Jalan Arteri Jalan Lokal Jalan Kereta Ap
EN Z$ $31 $ 5 Z K54
K17 $Z K53
$Z a$Z
$Z
KP4U9 Ra
Z$
K2 K36 WOREJO
0 $ K49 K55
Z$ Z
$ K60
$ Z $Z
K11 Z
K19 b Z$ $Z
Z$ K B SDA K60 a 250000 300000 350000 400000 450000 500000

K56 $Z Inzet
DAS DAS
$Z a
K2 Cokroyasan Z$ Bogowonto
2
Z K37 Jawa Tengah
Z K36 a K62 a KULON PROGO
$ Z$ K61
$ Z$ $ DI.
Yogyakarta
K61 Z
a
Z$
250000 300000 350000 400000 450000 500000

0 8
16
24 Km 63

9130000
K
$Z
Sumber :
1. Peta Rupa Bumi Indonesia, Skala 1 :

m
25.000, Tahun 1999.
350000 360000 370000 380000 390000 400000 mT 2. Data Hujan Balai PSDA Probolo.
3. Hasil Analisis.
3. Metode Isohiet

 Pada prinsipnya isohiet adalah garis yang


menghubungkan titik-titik dengan
tinggi/kedalaman hujan yang sama,
Kesulitan dari penggunaan metode ini
adalah jika jumlah stasiun di dalam dan
sekitar DAS terlalu sedikit. Hal tersebut
akan mengakibatkan kesulitan dalam
menginterpolasi.
Metode pembuatan garis Isohiet
sebagai berikut:
 Pada peta yang ditinjau, digambarkan lokasi
daerah hujan dan kedalaman hujan.
 Di stasiun hujan yang saling berdampingan
dinilai kedalaman hujannya dan dibuat
interpolasinya. Kemudian hasil interpolasi yang
mewakili kedalaman hujan yang sama
dihubungkan satu sama lain.
 Luas daerah diantara 2 garis isohiet diukur
luasnya, dan dikalikan dengan nilai rerata di
kedua garis isohiet. Kemudian jumlah dari
hasil hitungan tersebut dibagi dengan total
luasan daerah yang ditinjau.
A1
I1=100
A2
I2=95
A3
I3=90
A4

I4=85

I5=80
Hujan DAS menggunakan Isohiet dapat
dihitung dengan persamaan:
n
AIii1
I
p
 i 2
i1 n

A i
i

I1  I In1
A 2 I  I ..... A I 
 A2 2 3 n

A1 A2 ..... A n 2
1
p 2
2 n

Dengan
:
p ri titik i
= hujan rerata Ii = garis isohiet ke i
k
a
w
a
s
a
n
A
i

=
l
u
a
s
a
n
d
a
Catatan: tinggi hujan dalam mm

A = 18 B = 22
30 D = 33

A1 = 50 km2 35
I1

C = 36 E = 41 A6 = 25 km2
A3 = 180
40 km2 45

I2 A2 = 20 km2
A4 = 45 km2 50
I3 F = 42

G = 65 60 I = 63
2
A5 = 15 km

H = 49
I5
I4

I6
Hujan DAS menggunakan Isohiet
I
1 I I2 I 3 In I
A 1
2 A 2 ..... A n n1

p 2 2 2
A1  A2 ..... An
I1  I2 I I I I I I I I I I
A 3 3 A 2 4 A 4 5 A 5 5 A 4 6
A1 p 2 2
2 3
2 4
2 5
2 6
2

A1  A2  A3   A  A6
A4 5

30  35 40  35  45 45  60 60  60 50  50
40 50  20 180  45 15  25
p 2 2 2 2 2 2
50  20 180  45 15  25
14.137,5
p 335
 42,20 mm
KONDISI DAN SIFAT DATA

 Data hujan yang baik diperlukan dalam melakukan


analisis hidrologi, namun untuk mendapatkan data yang
berkualitas biasanya tidak mudah. Data hujan hasil
pencatatan yang tersedia biasanya dalam kondisi tidak
menerus. Apabila terputusnya rangkaian data hanya
beberapa saat kemungkinan tidak menimbulkan
masalah tetapi untuk kurun waktu yang lama tentu akan
menimbulkan masalah di dalam melakukan analisis.

 Dalam hal ini perlu dilihat kepentingan atau sasaran dari


perencanaan drainase yang bersangkutan.
Curah Hujan Harian (mm)
Nama Stasiun Krikil
No Stasiun 51 B Elevasi
No In Database Tipe alat Biasa
Lintang Selatan Pemilik BMG/Pen gairan
Bujur Timur Operator S1

Tahun 1991

Tanggal Bula Tahunan


Jan Feb Mar Apr Me Ju n Ju Ag Se Ok No Des
i n l s p t p
1 7 0 16 15 - - - - - - - -
2 16 5 10 9 - - - - - - - -
3 19 0 15 8 - - - - - - - -
4 19 15 0 18 - - - - - - - -
5 16 10 4 9 - - - - - - - -
6 0 40 8 11 - - - - - - - -
7 5 7 4 8 - - - - - - - -
8 10 12 0 8 - - - - - - - -
9 15 0 0 6 - - - - - - - -
10 8 0 0 10 - - - - - - - -
11 5 0 3 15 - - - - - - - -
12 5 15 10 10 - - - - - - - -
13 38 0 0 0 - - - - - - - -
14 71 0 18 0 - - - - - - - -
15 16 0 0 0 - - - - - - - -
16 5 0 10 0 - - - - - - - -
17 0 18 0 0 - - - - - - - -
18 18 0 0 0 - - - - - - - -
19 8 10 0 0 - - - - - - - -
20 0 0 20 15 - - - - - - - -
21 7 5 0 8 - - - - - - - -
22 12 0 18 18 - - - - - - - -
23 48 0 0 9 - - - - - - - -
24 10 0 0 12 - - - - - - - -
25 19 0 15 18 - - - - - - - -
26 0 3 0 0 - - - - - - - -
27 4 15 0 0 - - - - - - - -
28 0 0 36 0 - - - - - - - -
29 15 0 0 - - - - - - - -
30 6 0 0 - - - - - - - -
31 17 0 - - - - -
Hujan Maximum 71 40 36 18 - - - - - - - - -
Jml Curah Hujan 419 155 187 207 - - - - - - - - -
Jml.Hari Hujan 26 12 14 18 0 0 0 0 0 0 0 0 -
Hujan (1-15) 250 104 88 127 - - - - - - - -
Jml. data kosong 0 0 0 0 1 15 15 15 15 15 15 15
5
Hujan (16-31) 169 51 99 80 - - - - - - - -
Jml. data kosong 0 0 0 0 1 15 16 16 15 16 15 16
6
No Kabupaten Nama Stasiun No Stasiun Lintang Selatan Bujur Timur 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Bd. Krikil/Gumelem 51b -7.51095 109.4079667 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
2 Klampok 36B E E E E E E E E E E E E E E E E E
3 Purworejo Klampok 57 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
4 Pejawaran 66 E E E E E E E E E E E E E E E E
5 Kalisapi (Bd) -7.493 109.494 E E E E E E E E E
6 Wanadadi 60 -7.371388889 109.6198056 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
7 Banjarnegara Banjarnegara 62 -7.397866667 109.6939 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
8 Banjarmangu 62c E E E E E E E E E E E E E E E E E E
9 Limbangan 62d -7.36429 109.775 E E E E E E E E E E E E E E E
10 Clangap 62e -7.3598 109.6937 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
11 Karangkobar 64 -7.268055556 109.7428889 E E E E E E E E E E E E
12 Banjaranyar 16 x -7.367383333 109.07275 E E E E E E E E E E E E E E E E E
13 Ajibarang 19 a -7.44553 109.07655 E E E E E E E E E E E E E
14 Cilongok 20 -7.3998 109.1246 E E E E E E E E E E E E E
15 Wangon 20 a -7.48065 109.11995 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
16 Ketenger 25 -7.4072 109.0932 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
17 Kranji 39 -7.426416667 109.2334 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
18 Banyumas Kedung Banteng 39 b E E E E E E E E E E E
19 Gambarsari 40 C -7.53205 109.19975 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
20 Kertadirjan 45a -7.45028 109.283825 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
21 PTPN Karet Krumput 46 a E E E E
22 Piasa Kulon BNY 11 -7.512883333 109.36245 E E E E E E
23 Kawunganten 14 -7.59343 108.9197167 E E E E E E E E
24 Jeruklegi 15 -7.62418 109.0197833 E E E
25 Gumilir 15 A E E E
26 Kesugihan 22 E E E
Cilacap
27 Maos 42 -7.6108 109.1454 E E E E E
28 Sampang 42 b -7.5643 109.2028 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
29 Adipala 44 E E E
30 Karangreja 23 -7.20065 109.3398667 E E E E E E E E E E
31 Talagening 23 a E E E E E E E E E E E E E E E E E
32 Serang 23 a E E E E E E E E E E
33 Bobotsari 26 -7.306183333 109.3659667 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
34 Karanganyar 27 b -7.304333333 109.4079833 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
35 Bungkanel 27 a -7.284916667 109.3964333 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
36 A.R. Tugu/Bancar 35 -7.393383333 109.3739667 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
37 Kandanggampang 35 a -7.393116667 109.3545167 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
38 Purbalingga Slinga 35 -7.40992 109.39709 E E E E E E E E E E E
39 Berem 35 c E E E E E
40 DPU Purbalingga 35 c E E E E E E E E E E E E E E E E E
41 Panican,Karangkemiri 36 a E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
42 Karangmoncol 53 -7.30445 109.44755 E E E E E E E E E E E E E E E E E E
43 Bukateja 55 -7.4504 109.4317 E E E E E E E E E E E E E E E E E E
44 Kalimanah/Jompo 35 c -7.4087 109.3440167 E E E E E E E E E E
45 Garung 24 a -7.2939 109.9229 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
46 Kejajar 24 e E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
47 Wanganaji 24f -7.29925 109.916669 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
48 Wonosobo 26 E E E E E E E E E E E E E E E E E E
49 Banjaran 26 A -7.4018 109.8738 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
50 Mojotengah 26 b E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
51 Tuk Mudal 26 c E E E E E E E E E E E E E
52 Watumalang 26 d E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
53 Mungkung 27 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
54 Leksono 27a E E E E E E E E E E E E E E E E E E
Wonosobo
55 Kretek 27 b -7.266266667 109.9356167 E E E E E E E E E E E E E E E E E
56 Selomerto 27c E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
57 Sutoireng 27d E E E E E E E E E E E E E E E E E E
58 Kaliwiro 28 -7.459067 109.856467 E E E E E E
59 Sikatok E E E E E E E E
60 Tambi -7.2671 109.9589 E E E E E E E E
61 Tlogo -7.2662 109.9357 E E E E E E E E
Melengkapi Data
 Jika ada data hilang atau tidak lengkap

 
r1  R r  R r  R r 
R
3  A
A
RB
B C
RC 

dengan:
R = curah hujan rata-rata setahun di tempat pengamatan R
datanya harus lengkap
rA = curah hujan ditempat pengamatan RA
RA = curah hujan rata-rata setahun di A
 PETA WILAYAH SUNGAI DI PROVINSI JAWA
TENGAH(A3).pdf
LEGEND

REA OF SERANG-WULAN RIVER

TA CATCHMENT AREA OF JUANA RIVER

PROJEC T AREA BOUNDARY

DEMAX

Semaiang Flood Gontral ProjaCt


Cafisolidated Preparation Study
10
SERANG-WUMhI-JUANA RIVER SYSTEM
Kilomete SUB PROJECT AREA MAP
rs
Fiquf+ 1.2
CAT SEMARANG-DEMAK
PETA LOKASI CEKUNGAN AIRTANAH (CAT)
DAERAH SEMARANG DAN SEKITARNYA
AT. Jepara
Wilayah C kungan Alrta ah

”•. CAT. ati-Remba

CAT. Sub
PENGUAPAN
Pengertian
 Penguapan adalah proses berubahnya bentuk zat cair (air)
menjadi gas (uap air) dan masuk ke atmosfer.
 Di dalam hidrologi, penguapan dibagi menjadi dua:
1. evaporasi
2. transpirasi
 Evaporasi (Ep) adalah penguapan yang terjadi dari
permukaan air (seperti laut, danau, sungai), permukaan
tanah (genangan di atas tanah dan penguapan dari
permukaan air tanah yang dekat dengan permukaan
tanah), dan permukaan tanaman (intersepsi). Intersepsi
adalah penguapan yang berasal dari air hujan yang
berada pada permukaan daun, ranting dan badan
tanaman.
 Transpirasi (Et) adalah penguapan melalui tanaman,
dimana air tanah diserap oleh akar tanaman yang
kemudian dialirkan melalui batang sampai ke permukaan
daun dan menguap menuju atmosfer.
 Oleh karena sulitnya membedakan antara
penguapan dari badan air, tanah dan tanaman,
maka biasanya evaporasi dan transpirasi dicakup
menjadi satu yaitu evapotranspirasi.
 Evapotranspirasi dapat didefinisikan sebagai
penguapan yang terjadi di permukaan lahan, yang
meliputi permukaan tanah dan tanaman yang
tumbuh di permukaan lahan tersebut. Apabila
ketersediaan air (lengas tanah) tak terbatas, maka
evapotranspirasi yang terjadi disebut
evapotranspirasi potensial (ETP). Akan tetapi pada
umumnya ketersediaan air di permukaan tidak tak
terbatas, sehingga evapotranspirasi terjadi dengan
laju lebih kecil dari evapotranspirasi potensial.
Evapotanspirasi yang terjadi sebenarnya terjadi di
suatu daerah disebut evapotranspirasi nyata.
rises into tha
Kapan Penguapan Dilibatkan/Diabaikan?

 Mengingat kuantitas penguapan harian relatif kecil, dalam


hal tertentu dimana penguapan bukan merupakan unsur
dominan, jumlah penguapan kadang tidak terlalu
diperhatikan. Misalnya pada kasus analisis debit banjir,
besarnya penguapan dari tampungan air di alur sungai
umumnya diabaikan. Akan tetapi untuk keperluan irigasi,
penguapan merupakan data masukan utama untuk
hitungan kebutuhan air irigasi.
 Pada kasus analisis imbangan air di waduk yang
mempunyai luas tampungan relatif kecil, nilai penguapan
harian menjadi masukan penting, terutama pada musim
kemarau. Perhitungan menyangkut perancangan dan
pengoperasian waduk akan sangat memerlukan data
evaporasi yang akurat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Evapotranspirasi

1. Radiasi matahari
2. Temperatur
3. Kelembaban
4. Angin
1. Radiasi matahari
Radiasi matahari merupakan sumber utama
panas. Hal tersebut mempengaruhi jumlah
evapotranspirasi di atas permukaan bumi yang
tergantung pada garis lintang dan musim.
2. Temperatur
Semakin tinggi temperatur, semakin besar kemampuan
udara untuk menyerap uap air. Selain itu, semakin tinggi
temperatur, energi kinetik molekul air meningkat,
sehingga molekul air semakin banyak yang berpindah ke
lapis udara di atasnya dalam bentuk uap air.
3. Kelembaban
 Perbedaan tekanan uap menyebabkan terjadinya penguapan. Apabila jumlah
uap air yang masuk ke udara semakin banyak, tekanan uap airnya juga
semakin tinggi. Akibatnya perbedaan tekanan uap semakin kecil, sehingga
menyebabkan berkurangnya laju penguapan. Apabila udara di atas permukaan
air sudah jenuh uap air, tekanan udara telah mencapai tekanan uap jenuh, di
mana pada saat itu penguapan terhenti.
4. Kecepatan angin
 Apabila proses evaporasi terus berlangsung, udara akan
menjadi jenuh terhadap uap air dan evaporasi akan terhenti.
Agar proses penguapan dapat berjalan terus, lapisan udara
yang telah jenuh harus diganti dengan udara kering.
Penggantian tersebut dapat terjadi apabila ada angin. Di daerah
terbuka dan banyak angin, penguapan akan lebih besar
daripada di daerah yang terlindung dan udara diam.
Pengukuran Evaporasi
 Besarnya evaporasi dapat diperkirakan
dengan pendekatan teoritis maupun dengan
pengukuran langsung. Cara pertama
memerlukan banyak data meteorologi dan
data penunjang lain yang tidak selalu mudah
didapatkan. Oleh karena itu pengukuran
langsung di lapangan sering dilakukan untuk
keperluan analisis secara lebih praktis.
1. Atmometer

 Alat pengukur evaporasi


ini cukup sederhana,
berupa bejana berpori
yang diisi air. Besarnya
penguapan dalam jangka
waktu tertentu, misalnya
harian didapatkan dari
nilai selisih pembacaan
sebelum dan sesudah
percobaan. Beberapa
jenis atmometer antara
lain Piche, Livingstone
dan Black Bellani.
E ledronic
Circuit

Event counter datalogger


2. Evaporation Pan
 Untuk mengukur evaporasi dari muka air bebas dapat
digunakan panci penguapan (evaporation pan). Terdapat
tiga macam panci penguapan yang sering digunakan,
yaitu panci penguapan klas A (class A evaporation pan),
panci penguapan tertanam (sunken evaporation pan) dan
panci penguapan terapung (floating evaporation pan).
Pada prinsipnya pengukuran evaporasi dengan ketiga
macam alat tersebut sama, yaitu dengan pembacaan
tinggi muka air di panci pada dua saat yang berbeda
sesuai dengan interval waktu pengukuran yang diinginkan.
Pada setiap pengamatan umumnya juga dilakukan
pengukuran temperatur air. Pan evaporasi lebih sering
digunakan untuk mengukur evaporasi harian yang
dinyatakan dalam mm/hari. Ilustrasi cara pemasangan
panci evaporasi klas A ditunjukkan pada gambar di bawah.
Panci Evaporasi Klas A

Bejana logam 1.21 m = 14’


Tidak dicat
(galvanize)

Rangka kayu 25.4cm = 10”

4”
 Mengingat cara pengukuran tidak dapat
mewakili keadaan yang sebenarnya, hasil
pengukuran dengan panci evaporasi akan
selalu lebih besar dari nilai penguapan yang
sesungguhnya. Untuk itu, nilai penguapan
yang sesungguhnya dapat diperkirakan
dengan mengalikan koefisien panci (pan
coefficient) yang besarnya antara 0.65-0.85
tergantung dari spesifikasi alat.
Panci Penguapan Tertanam
 Penggunaan alat panci penguapan tertanam
didasari pada kelemahan panci klas A
tersebut, yaitu dengan upaya
memperhitungkan pengaruh latent heat yang
terdapat dalam tanah di sekitar massa air
yang menguap dengan cara memasang
panci masuk ke bawah permukaan tanah.
Sebagai contoh adalah Colorado sunken pan
seperti dapat dilihat pada gambar di bawah.
Koefisien panci alat ini besarnya 0.75-0.86.
3’x3’

4’’

3’
Panci Penguapan Terapung
 Untuk panci terapung, pada dasarnya bentuk
alat mirip dengan tipe lain. Alat tipe ini dapat
digunakan untuk mengukur penguapan di
danau atau waduk dimana alat diapungkan di
atas ponton yang diikat dengan angker dan
dilengkapi dengan kisi-kisi untuk mencegah
terjadinya percikan air (splashing) ke dalam
panci penguapan. Ilustrasi pemasangan alat
tipe ini disajikan pada gambar di bawah.
Panci Penguapan Terapung

Kisi-kisi Kisi-kisi

Ponton

Angker
Angker
Perkiraan Evaporasi Pendekatan Teoritik-1

 Seperti telah disinggung pada uraian tentang fator-


faktor yang mempengaruhi laju penguapan,
pendekatan teoritik untuk perkiraan nilai
penguapan memerlukan data parameter
klimatologi.
 Data tersebut meliputi
 temperatur udara (T),
 kelembaban relatif udara atau relative humidity
(RH),
 kecepatan angin pada ketinggian tertentu, yang
umumnya diukur pada ketinggian 2 m di atas
permukaan tanah (U2),
Perkiraan Evaporasi Pendekatan Teoritik -2

 lama penyinaran matahari atau sunshine


duration dalam jam (n),
 lama penyinaran matahari maksimum pada
suatu hari tertentu di lokasi pengukuran (N),
 radiasi matahari (Rn)
 dan kemungkinan data lain tergantung pada
pendekatan yang digunakan untuk menurunkan
rumus empiris hitungan evaporasi.
Pendekatan HITUNGAN EVAPORASI

 Setidaknya ada 3 prinsip pendekatan


hitungan evaporasi, yaitu
1. Persamaan keseimbangan air (water
balance),
2. Persamaan keseimbangan energi
(energy balance method)
3. Aerodynamic method.
Pendekatan Water Balance

 Cara ini sangat sederhana dengan


rumus berikut ini:
I  O  S
dengan:
I = total inflow,
O = total outflow,
ΔS = selisih jumlah tampungan
Pendekatan Energy Balance Method

 Sumber energi panas untuk proses


penguapan pada permukaan air adalah
perubahan panas neto (net radiation flux) di
permukaan bumi (Rn). Besarnya Rn
merupakan selisih antara serapan panas
efektif di permukaan bumi dan pancaran
panas ke udara (emitted radiation) seperti
dijelaskan pada rumus dan gambar berikut ini.
Incoming Ri αRi reflected
radiation (α= albedo)

Re emitted

Surface

Rn =(1-α)Ri - Re
(1-α)Ri
Net radiation absorved
Absorbed

Rn 
Ri  1    
Re
Pendekatan Aerodynamic Method
 Selain suplai energi panas, faktor lain yang
mengontrol laju evaporasi adalah kemampuan untuk
memindahkan uap air dari permukaan air. Proses
pemindahan uap air ini akan tergantung kepada
besarnya pertambahan kelembaban arah vertikal
(gradient of humidity) dan kecepatan angin di udara
dekat permukaan air. Kedua proses tersebut dapat
dianalisis dengan menggunakan persamaan
perpindahan massa dan momentum di udara.
Penurunan rumus hitungan evaporasi dengan cara
ini menghasilkan persamaan berikut (Chow, dkk.,
1988):
E a  B e  e 
as a

dengan:
Ea = evaporasi dari muka air bebas selama periode
pengamatan,
B = faktor empiris tergantung kepada konstanta von
Karman (k), rapat massa udara (ρa), rapat massa
air (ρw), kecepatan angin pada 2 m di atas
permukaan (U2) dan tekanan udara ambient (p),
eas = tekanan uap jenuh di udara pada temperatur
sama dengan temperatur air,
ea = tekanan uap nyata pada ketinggian pengamatan.
Rumus Hitungan Perkiraan
Evapotranspirasi

 Hitungan perkiraan laju evapotranspirasi, yaitu


jumlah evaporasi dari permukaan tanah dan
transpirasi dari tanaman juga diturunkan dengan
memperhatikan faktor-faktor seperti halnya pada
penurunan rumus evaporasi.
 Persamaan yang umum digunakan diantaranya
adalah cara Penman dan Thornthwaite.
Rumus Thornthwaite
 Salah satu contoh rumus hitungan evapotranspirasi
potensial dengan menggunakan indeks panas
bulanan adalah rumus Thornthwaite sebagai berikut
ini.
a
 10  T 
12 1,514
T  
I m
  
m
ET  1,62 
m1  5 
 I 

9 2
a  67510 I
3  771107 I 179 104 I
 492 103
dengan:
ET = evapotranspirasi potensial bulanan,
I = indeks panas tahunan,
Tm = suhu rerata pada bulan ke m,
a = konstanta.
Contoh
 Di suatu daerah yang terletak pada garis
lintang 10° lintang selatan diperoleh data
temperatur rerata bulanan seperti disajikan
dalam tabel berikut ini.
 Hitung evapotranspirasi potensial bulanan!

Bulan Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Juni Juli Agt. Sep. Okt. Nov Des.
Suhu (°C) 26,6 27,1 26,8 27,3 26,9 26,3 25,8 25,9 26,3 26,7 26,4 26,2
Penyelesaian
 Hitungan evapotranspirasi dilakukan
dengan menggunakan tabel di bawah ini.
 Terlebih dulu dihitung nilai I untuk seluruh
bulan dan kemudian hasilnya dijumlahkan
sehingga diperoleh:

12
 T 1,514
 m  150,11
I  

m1  5 
(Lihat tabel di bawah)
 Kemudian dihitung nilai a berdasar nilai I
yang telah diperoleh:

a  675109 I  771107 I 179 104  492 103


3
2
I
a  771107 179104(150,11)  492103
675109(150,11)3 (150,11)2

a = 3,725
 Dari nilai a dan I yang telah diperoleh dan
untuk setiap nilai Tm, dihitung ET setiap
bulan:

ET   3,725
 1,62 10 
150,11
Bulan T m (°C) I ET (cm)

Jan. 26,6 12,56 13,65


Feb. 27,1 12,92 14,63
Mar. 26,8 12,70 14,03
Apr. 27,3 13,07 15,03
Mei 26,9 12,78 14,23
Juni 26,3 12,35 13,08 ET setiap bulan
Juli 25,8 11,99 12,18
Agt. 25,9 12,06 12,36
Sep. 26,3 12,35 13,08
Okt. 26,7 12,63 13,84
Nov 26,4 12,42 13,27
Des. 26,2 12,28 12,90
Jumlah
150,11 162,27 ET selama 1 tahun

Nilai ET yang telah diperoleh pada tabel di atas seharusnya masih


harus dikoreksi/dikalikan dengan faktor pengali sebagai penyesuaian
terhadap letak garis lintang dan bulan kalender sepanjang tahun.
Rumus Penman
 Rumus lain untuk memperkirakan nilai
evapotranspirasi potensial berdasarkan
gabungan pendekatan cara energy balance
method dan aerodynamic method juga
banyak dikembangkan. Salah satu rumus
yang sering dipakai di Indonesia dan
beberapa negara Asia adalah rumus
Penman. Rumus Penman untuk hitungan
evapotranspirasi acuan (ETo) adalah sebagai
berikut:
ET 
 (1W ). u .e  ed 
o
cW.Rn f a

Dengan:
ETo = evapotranspirasi acuan (mm/hari),
W = faktor bobot temperatur,
Rn = radiasi neto ekuivalen dengan nilai
evaporasi (mm/hari),
f(u) = fungsi faktor kecepatan angin,
ea-ed = selisih tekanan uap jenuh dan nyata pada
temperatur udara (mbar),
c = faktor koreksi efek perubahan kondisi siang
malam.

Anda mungkin juga menyukai