Anda di halaman 1dari 7

“Analisis Kegagalan Perusahaan Rintisan: Aplikasi Taksi Online Uber”

Seiring dengan perkembangan teknologi, dunia industri digital di Indonesia juga


mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan industri digital adalah ditandai dengan munculnya
startup digital/ perusahaan rintisan atau perusahaan yang dipelopori oleh kaum muda. Di sana
banyak faktor yang mendorong perkembangan startup digital di Indonesia, menurut Arjanti &
Mosal (2012). Pertama adalah kesuksesan perusahaan rintisan luar negeri yang akhinya
meninspirasi anak bangsa. Kemudian, pembangunan infrastruktur dan teknologi di Indonesia
yang menjadi proyek masterplan dari pemerintah akhir-akhir ini. Sedangkan yang ketiga
adalah evolusi generasi sebagai internet aktif pengguna. Serta yang terakhir adalah akuisisi
startup lokal oleh Yahoo Corporation. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, daya tarik untuk
membangun startup digital terus meningkat seiring dengan tingginya minat generasi muda
untuk menjadi technopreneurship. Terutama karena, perusahaan digital pemula menjadi lebih
berpengaruh bagi Indonesia ekonomi.

Apabila berbicara mengenai bisnis, startup termasuk dalam usaha bisnis kreatif yang
memang dewasa ini merupakan salah satu bentuk bisnis yang sangat digandrungi untuk
ditekuni oleh pemula, khususnya oleh generasi muda. Bisnis kreatif merupakan bisnis yang
bukan hanya mengandalkan suatu produk, melainkan harus mengandung unsur kreativitas
sebagai inovasi dalam menjual sebuah produk. Kreativitas sendiri merupakan kemampuan
dalam menemukan solusi atas pemecahan masalah yang inovatif. Bisnis kreatif sendiri
identik dengan orisinalitas sehingga untuk keluar sebagai “pemenang” dalam kompetisi bisnis
ini, pelaku usaha harus menemukan sesuatu yang belum ditemukan atau dikembangkan oleh
pelaku usaha lainnya.

Kembali lagi pada bisnis start up yang mengandalkan perkembangan teknologi,


teknologi informasi berkembang pesat di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan
pengguna internet. Menurut data yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), tahun 2016 jumlah
pengguna internet adalah 132,7 juta atau 52% dari total penduduk. Menurut Ries (2011)
Internet mendorong terciptanya bisnis terkait digital baru, umumnya dikenal sebagai
perusahaan rintisan profit atau nonprofit yang menciptakan bisnis baru produk atau layanan,
sambil mengembangkan situasi yang tidak pasti Salamzadeh dan Kawamorita Kesim (2015)
menyatakan bahwa startup adalah perusahaan yang baru berdiri yang selalu berusaha untuk
mempertahankan keberadaannya. Menurut laporan yang dibuat oleh Google Australia, Price
Waterhouse Cooper, dan Startup AUS, perusahaan rintisan menghasilkan produk atau
layanan yang berbeda dari yang ada saat ini yang ada, dengan pendapatan di bawah 5 juta
dolar per tahun. Salah satu negara berkembang di Asia yang menganggap perusahaan rintisan
sebagai organisasi adalah India. Menurut orang India pemerintah, sebuah perusahaan disebut
startup ketika telah berdiri kurang dari lima tahun, dengan pendapatan 25 crore rupee atau 5
miliar rupiah, dan menghasilkan inovasi, perkembangan teknologi, serta paten. Sehingga
tidak heran jika bisnis startup yang berasal dari sebuah negara dapat berkembang kemudian
mengekspansi negara lain. Hal ini merupakan salah satu strategi yang diterapkan oleh
perusahaan rintisan yang bergerak pada transportasi dan mobilitas orang. Perusahaan tersebut
adalah Aplikasi Taksi Online Uber.

Seperti ciri khasnya, startup hadir bukan hanya sebatas perusahaan yang mencari
keuntungan atas produk yang mereka tawarkan, melainkan startup hadir sebagai solusi dari
permasalahan yang ada di masyarakat. Di Indonesia sendiri, terdapat sebuah masalah yang
kerap dirasakan, khususnya oleh masyarakat di wilayah perkotaan. Masalah tersebut adalah
sulitnya aksesibilitas transportasi umum. Memang, pada saat itu terdapat fasilitas umum yang
dikelola oleh perorangan atau memang bergerak secara mandiri, seperti: ojek, mobil angkot,
dan taksi konvensional. Namun, semua mode transportasi tersebut tidak memiliki standar
tarif yang kemudian berujung menyulitkan pelanggan dengan tarif yang relatif tinggi.
Masalah ini kemudian disoroti oleh beberapa orang, kemudian menciptakan aplikasi
transportasi online, seperti; Gojek, Grab, dan Uber.

Dilansir dari laman CNN Business, Uber Technologies, Inc. beroperasi sebagai
platform teknologi untuk mobilitas orang dan benda. Perusahaan ini menawarkan transportasi
orang multi-modal, pengiriman makanan restoran, dan menghubungkan pengangkut barang
dan pengirim barang. Ini beroperasi melalui segmen berikut: wahana, makanan,
pengangkutan, ATG, dan program teknologi lainnya. Segmen Wahana mengacu pada produk
yang menghubungkan konsumen dengan pengemudi wahana yang menyediakan wahana
dalam berbagai kendaraan, seperti mobil, becak, sepeda motor, minibus, atau taksi. Segmen
Eats memungkinkan konsumen untuk mencari dan menemukan restoran lokal, memesan
makanan, dan mengambil di restoran atau mengirim makanan. Uber berkantor pusat di San
Francisco dan beroperasi di lebih dari 63 negara dengan lebih dari 110 juta pengguna yang
memesan kendaraan atau makanan setidaknya sebulan sekali. Sekitar 76% dari pendapatan
kotornya berasal dari berbagi perjalanan dan 22% dari pengiriman makanan.
Dari deskripsi tersebut nampak jelas bahwa Uber berhasil meraih kesuksesan pada
bidang transportasi online, tetapi nyatanya perusahaan ini harus menerima kegagalan. Uber,
sebagai aplikasi pemanggilan mobil pertama, mulai mengganggu layanan taksi dan
transportasi di seluruh dunia, kemudian tidak lama mereka mendapat saingan di Asia
Tenggara seperti Grab dan Go-Jek yang pada saat itu telah bangkit untuk bersaing dengan
Uber. Persaingan tersebut berlangsung cukup ketat hingga pada tahun 2018 Uber
mengumumkan bahwa mereka menjual bisnisnya di Asia Tenggara ke Grab. Atau dengan
kata lain Uber diakuisisi oleh Grab. Dari awal berdiri hingga tahun 2015 Uber berusaha untuk
berfokus mengamankan posisi dominan di negara-negara besar Asia Tenggara. Tetapi usaha
tersebut tidak berjalan dengan baik, pada tahun-tahun selanjutnya Uber memiliki pesaing
yang kuat, yakni Grab. Meski telah menyadari hal ini Uber malah sibuk berkembang di luar.
Sehingga dengan terpaksa Uber mengubah strateginya untuk mempertahankan pasar Asia
Tenggara.

Upaya bertahan itu diwujudkan dalam beberapa investasi yang sengaja dilakukan
untuk menghindari kompetitor kuat, seperti Grab, sekaligus mencegah menyerahkan pasar
kepada mereka. Selain dengan Grab di Asia Tenggata, Uber juga bersaing dengan Lyft yang
berperasi Amerika Serikat dan dengan Didi di Cina. Pada pasar Asia Tenggara Uber
meposisikan dirinya sebagai penantang, atau dengan kata lain Grab bisa saja dengan mudah
mengalahkan Uber dalam persaingan pasar. Sebab Grab sendiri memiliki strategi yang
efektif, yakni dengan mengenali pasar sebelum memutuskan terjun, hal ini diterapkan Grab di
Myanmar dan Kamboja. Jika Uber dapat mencegah Grab melarikan diri dengan pasar baru
ini, Uber dapat menyatakan bahwa dirinya berhasil meraih kesuksesan dengan menghasilkan
opsi nyata jika terdapat kemungkinan terjadi upaya konsolidasi.

Pasar Asia Tenggara memang sangat potensial bagi para pelaku bisnis startup seperti
Uber. Sebab Asia Tenggara sendiri terdiri dari wilayah padat penduduk yang seiring
berkembangnya zaman juga bergantung pada kemajuan teknologi. Selain itu, masyarakat
Asia Tenggara cenderung antusias apabila terdapat teknologi baru yang dinilai akan
membantu mempermudah hidup mereka. Hal ini juga sejalan dengan temuan yang dihasilkan
oleh Google dan Temasek pada tahun 2019. Perputaran uang di sektor aplikasi transportasi
online di ASEAN pada 2018 mencapai US$7,7 miliar dengan 25 juta pelanggan aktif.
Aplikasi transportasi online layanan sekarang tersedia di lebih dari 500 kota di Asia
Tenggara, dengan 8 juta pesanan per hari. Kompetisi ride-hailing di Tenggara Asia untuk
memperebutkan pasar lebih dari 640 juta orang cukup intens antara tiga raksasa Grab, Uber,
dan Gojek. Penetrasi pasar dari tiga perusahaan di Asia Tenggara pasar terjadi dalam waktu
yang relatif singkat.

Uber segera memahami ancaman tersebut sehingga mereka telah menanamkan proses
pergolakan kompetitif dengan memperkenalkan logika platform yang dikutip dari Laurell dan
Sandstrom (2020) (Geissinger, Laurell, & Sandström, 2020). Dalam ekosistem ekonomi
dalam transportasi online, unsur-unsur yang terlibat saling mempengaruhi. Dalam 'berbagi'
bisnis transportasi, operasi bisnis ditujukan untuk berbagi kendaraan dan berbagi pengguna
dan pemilik kendaraan itu sendiri. Apabila kita menilik fakta bahwa banyak pengemudi yang
menggunakan Uber dan aplikasi lainnya secara bersamaan, yang mengakibatkan strategi
perang tarif yang tidak sepenuhnya efektif untuk kelangsungan bisnis. Sebagai perusahaan
raksasa yang beroperasi di lebih dari 600 kota di dunia dan tampaknya semakin diadopsi di
berbagai belahan dunia, Uber sering menghadapi kesulitan ketika terjadi perang tarif.

Masalah tarif tidak berhenti sampai di situ, pemerintah juga turut andil dalam
kelangasungan bisnis baik yang berasal dari dalam hingga bisnis asing yang beroperasi di
Indonesia. Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan dengan adanya regulasi tarif
minimum dan maksimum bagi penyedia transportasi online. Hal ini merupakan serangan
langsung terhadap bisnis transportasi inti Uber, yang menerapkan model bisnis penetapan
harga yang dinamis. Selain itu, kebijakan pembatasan jumlah kendaraan, pengujian izin
kendaraan, dan kewajiban membentuk korporasi telah menjadi kendala bagi bisnis
transportasi online seperti Uber. Di samping dari faktor eksternal, kegagalan Uber juga tidak
luput dari sistem pengelolaan internal yang seharusnya dibenahi sejak dini.

Seperti masalah metode pembayaran di aplikasi Uber yang hanya bisa menggunakan
kartu kredit. Uber gagal memahami bahwa sebagian besar orang Asia Tenggara masih
menggunakan uang tunai dalam kehidupan sehari-hari mereka . Beberapa negara di Asia
lebih memilih uang tunai karena sistem kartu kredit yang lemah di negara mereka. Sebagai
dampanya tidak semua lapisan masyarakat bisa menggunakan Uber. Awalnya Uber tidak
menyadari bahwa masalah pembayaran ini bisa jadi masalah penting ketika mereka
memasuki pasar Asia. Di sisi lain, pesaing lokal yang tahu persis apa preferensi orang-orang
mereka kemudian memperkenalkan fitur pembayaran yang lebih dapat diandalkan daripada
milik Uber. Misalnya, pada kompetitor Go-jek, mereka memahami masalah tersebut sehingga
sang pendiri membuat fitur pembayaran mandiri yang diintegrasikan dengan layanan
pembayaran minimarket dan ATM terdekat.
Masalah selanjutnya yakni keterlambatan Uber dalam mengelani karakteristik
masyarakat Asia Tenggara. Negara di Kawasan Asia Tenggara sendiri sudah dikenal akan
kondisi lalu lintas yang buruk. Sering terjadi kemacetan dimana-mana, pelanggaran lalu
lintas, dan banyaknya volume kendaraan yang melintas. Sehingga layanan taksi mobil yang
ditawarkan oleh Uber kurang mampu menjawab permasalahan ini. Lagi-lagi Uber terlambat
menyadari hal tersebut, Uber baru merilis fitur Uber Bike setelah kompetitor menerapkan hal
yang serupa. Tentu saja hal ini berkaitan dengan loyalitas pelanggan kepada perusahaan
kompetitor. Uber terlalu memikirkan generalisasi dalam mengembangkan produknya, tanpa
mengenali terlebih dahulu bagaiman kondisi setiap negara dan langkah apa yang harus
diambil perusahaan untuk mengatasi masalah tersebut.

Berkaitan dengan masalah kebijakan pemerintah setempat, masalah ini juga terjadi di
Filipina, startup lokal dimanjakan dengan regulasi lokal sehingga perusahaan asing seperti
Uber atau Grab tidak bisa lagi beroperasi di sana karena alasan ilegal. Kebijakan ini semata-
mata dikeluarkan agar para pemain lokal dapat bertindak sebagai pemangku kepentingan.
Tetapi menurut Handayani dan Julina (2015) oleh karena itu, seharusnya mereka (pemangku
kepentingan lokal) harus memberikan bantuan agar bisa maksimal peluang yang ada dan
meminimalkan hambatan yang dihadapi. Dalam kasus Uber, dinyatakan dalam Bostoen
(2020) apabila persaingan dengan pemain lokal tidak mungkin lagi mengakhiri persaingan
dengan tanpa menjual operasinya ke pesaing lokal, mengakuisisi pesaing tersebut, atau
bermitra dengan mereka. Pernyataan tersebut menjadi pertimbangan mengapa Uber akhirnya
memilih untuk bergabung dengan perusahaan kompetitor.

Dilansir dari laman resmi Grab pada tanggal 26 Maret 2018 mereka mengumumkan
telah mengakuisisi operasi Uber di Asia Tenggara. Grab menyatakan bahwa kesepakatan
tersebut adalah yang terbesar yang pernah dibuat di Asia Tenggara. Grab akan
mengintegrasikan bisnis ridesharing dan pesan-antar makanan yang semula dikelola oleh
Uber di kawasan ini ke dalam platform fintech dan transportasi multi-moda yang sudah ada.
Dengan bergabungnya kedua bisnis, Grab mengklaim bahwa perusahaannya akan menjadi
mobile platform online-to-offline (O2O) yang terdepan di Asia Tenggara dan sebagai pemain
utama dalam pengiriman makanan. Mengutip dari pernyataan Anthony Tan, Group CEO and
Co-founder, Grab, mengatakan bahwa akuisisi tersebut menandai dimulainya era baru. Bisnis
gabungan adalah pemimpin dalam platform dan efisiensi biaya di wilayah tersebut. Bersama
Uber, Grab diprediksi akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk memenuhi janji
mereka dalam melayani konsumen. Untuk itu Grab berambisi dalam visinya yakni
meningkatkan taraf hidup masyarakat makanan, pembayaran, dan layanan keuangan.

Dengan bergabungnya dua perusahaan tersebut dapat diketahui bahwa Grab keluar
sebagai pemenangnya. Grab dapat mengadaptasi teknologi yang selama ini sudah
dikembangkan oleh Uber. Kemudian Grab mendapatkan loyalitas pelanggan Uber yang dapat
berpengaruh terhadap sales. Namun, di samping itu Uber mendapatkan proteksi akibat
keputusan ini. Uber tidak akan dapat bertahan sebab mereka sudah tertinggal beberapa
langkah dari perusahaan-perusahaan kompetitor. Sehingga keputusan akuisisi adalah
keputusan yang paling tepat oleh Uber.

Usaha rintisan memang merupakan peluang yang baik bagi sekelompok orang yang
mampu melihat peluang, salah satunya Uber. Uber sempat berhasil menjadi aplikasi terdepan
dalam bidang transportasi. Uber berhasil menerapkan strategi ekspansi pada beberapa negara
di dunia, yang menjadikan pengaruh Uber semakin kuat. Namun, kekuatan tersebut tidak
bertahan lama, Uber kemudian mengalami penurunan performa akibat hambatan-hambatan
yang ada. Terlebih pada saat beroperasi di pasar Asia Tenggara, Uber tidak dapat memahami
karakteristik calon konsumen dan berusaha men-generalisasi semua produknya. Mereka
menerapkan cara yang sama dengan cara yang dilakukan di Amerika Serikat. Tentu hal ini
tidak dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Dari segi eksternal, pemerintah
setempat juga memainkan peran dalam kesuksesan sebuah bisnis. Uber tersandung kebijakan
mengenai penetapan tarif dasar pada angkutan umum. Padahal strategi utama Uber adalah
berusaha menawarkan tarif di bawah tarif angkutan umum konvensional. Akibatnya, Uber
tidak mampu mengimbangi hal tersebut dibandingkan dengan perusahaan kompetitor dalam
negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Arjanti, R. A. & Mosal, R. L. (2012). Startup Indonesia: Inspirasi Dan Pelajaran Dari Para
Pendiri Bisnis Digital. Kompas Penerbit Buku.

Bostoen, F. (2020). Blog highlight: the uber-grab merger and the potentially anticompetitive
consequences of the battle for ride-hailing dominance. European Competition and
Regulatory Law Review, 4(1), 64-68. https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-
85090253176&partnerID=40&md5=0ff41b5f1ec9d015ce86c24636aef942
Desmond-Ng. (2018). How uber, valued at billions, was sent packing by a start-up in
singapore. https://www.channelnewsasia.com/news/cnainsider/uber-grab-singapore-
ridehailing-southeast-asia-privatehire10630396#:~:text=The%20behemoth%20made%20its
%20foray,up%20Grab%20later%20that%20year

Edward, W. (2020). The uberisation of work: the challenge of regulating platform capitalism.
A commentary. International Review of Applied Economics, 34(4), 512-521.
doi:10.1080/02692171.2020.1773647

Eravia, D., Handayani, T., & Julina. (2015). The Opportunities and Threats of Small and
Medium Enterprises in Pekanbaru: Comparison between SMEs in Food and Restaurant
Industries. Procedia Social and Behavioral Sciences, 169,
l88-97.doi:https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.289

Grabher, G., & van Tuijl, E. (2020). Uberproduction: From global networks to digital
platforms. Environment and Planning , 52(5), 1005-1016. doi:10.1177/0308518X20916507

https://www.grab.com/id/en/press/business/grab-merger-dengan-uber-di-asia-tenggara/

Laurell, C., & Sandstrom, C. (2016). Analysing Uber in Social Media-Disruptive Technology
or Institutional Disruption? International Journal of Innovation Management, 20 (5).

Ries, E. (2011). The Lean Startup: How Today's Entrepreneurs Use Continuous Innovation
To Create Radically Successful Businesses. Crown Books.

Salamzadeh, A., & Kawamorita Kesim, H. (2015). Startup Companies: Life Cycle And
Challenges. Paper Dikemukakan pada The 4th International Conference On Employment,
Education And Entrepreneurship (EEE), Belgrade, Serbia.

Anda mungkin juga menyukai