Anda di halaman 1dari 8

MEMBANGUN KETAHANAN SOSIAL KELUARGA MELALUI BUDAYA BATOBO

1
Yantri Maputra, 2Syafrimen Syafril, 3Nila Anggreiny, 4Septi Mayang Sarry
1, 2, 4
Universitas Andalas Padang, Indonesia, 3Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia
1
yantrimaputra@gmail.com, 2syafrimen@radenintan.ac.id, 3nilaanggreiny@gmail.com,
4
septimayangsari.mp2@gmail.com

Abstrak

Membangun ketahanan keluarga dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas keluarga


melalui kegiatan kelompok dalam masyarakat. Salah satu kegiatan kelompok dalam masyarakat
Minang disebut dengan istilah batobo. Batobo merupakan salah satu kegiatan kelompok tani
dalam masyarakat yang dapat memberikan dampak terhadap ketahanan keluarga seperti aspek
ekonomi, sosial dan psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai-nilai budaya batobo
dalam membangun ketahanan sosial keluarga. Pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
deskriptif fenomenologi digunakan sebagai metodologi penelitian. Data dikumpulkan melalui
wawancara berkelompok (focus group interview) kepada 2 kelompok batobo, dan wawancara
secara mendalam (indepth interview) kepada 3 orang pemuka masyarakat yang dipilih melalui
teknik purposive sampling. Selajutnya data dianalisis secara kualitatif berbantukan software
Nvivo 10.0. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai-nilai budaya batobo yang diperoleh dalam
membangun ketahanan sosial keluarga adalah; (i) kemandirian secara sosial, (ii) menguatkan
kontribusi pada keluarga, (iii) hidup berkesetaraan, serta (iv) memiliki komunikasi terbuka. Hasil
penelitian ini menggambarkan bahwa budaya batobo dalam masyarakat Minang dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif untuk membangun ketahan sosial keluarga di tengah-tengah
masyarakat yang saat ini sudah mulai hidup secara individualis.

Kata kunci: Ketahanan sosial keluarga, Budaya batobo

A. Pendahuluan

Keluarga merupakan sebuah sistem kelompok sosial terkecil dimana individu berkumpul
secara intim di dalamnya, dibatasi oleh aturan keluarga, terdapat hubungan timbal balik dan
saling mempengaruhi antara anggota keluarga setiap waktu (Megawangi dalam Sunarti, 2005).
Keluarga memberikan pengaruh pertama dan utama kepada individu serta memiliki dampak
jangka panjang yang signifikan. Keluarga sangat berperan dalam keberlangsungan sistem sosial,
merupakan institusi pertama dalam pembangunan sumber daya manusia (Bennet dalam Sunarti,
2003). Widyanti (2012) memaparkan bahwa keluarga berfungsi sebagai pengelola sumberdaya,
peran sosial, perkembangan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik, cinta kasih,
moral dan agama, serta loyalitas. Pembangunan nasional diarahkan kepada terwujudnya
masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing dan sejahtera lahir
batin yang sehat jasmani dan rohani, mandiri, beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Keluarga
merupakan institusi sosial yang penting, pemegang peran kunci dalam meningkatkan kualitas
masyarakat, bahkan pembentukan karakter bangsa.
Istilah ketahanan digunakan untuk menggambarkan suatu proses dimana orang tidak hanya
mengelola upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan hidup, tapi juga untuk menciptakan dan
memelihara kehidupan yang bermakna dan ikut menyumbang pada orang-orang disekitarnya
(Van Hook, 2008). Ungkapan “keberhasilan menghadapi rintangan” merupakan inti dari
ketahanan. Ketahanan merupakan keberhasilan dalam hidup meskipun berada dalam kedaan
yang mengalami resiko tinggi. Ketahanan juga berarti kemampuan pulih kembali secara sukses
dari trauma (Fraser, 2004). Seberapa mampu sebuah keluarga untuk beradaptasi dengan sosial
masyarakatnya bergantung pada seberapa kuat ketahanan keluarga tersebut. Ketahanan keluarga
juga diartikan sebagai kemampuan keluarga dalam mengelola sumber daya yang dimiliki serta
menanggulangi masalah yang dihadapi, untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik maupun
psikososial (Hamilton, 1983; Achord et al, 1986; Sussman & Steinmets, 1987; McCubin
&Thompson 1987; Krysan, Kristin A. Moore & Zill 1990a dan 1990b; BKKBN, 1992; Pearsall,
1996; Megawangi, Zeitlin &Garman, 1995; Frankenberger &McCaston, 1998; Sunarti, 2003).
Penekanan definisi ini adalah pada kemampuan keluarga untuk meyelesaikan permasalahan.

Batobo merupakan kegiatan kerja sama ataupun tradisi gotong royong dalam masyarakat
Minang dalam mengelolah sawah dan ladang yang didirikan dalam sebuah kelompok,
mempunyai seorang pimpinan untuk mengatur pekerjaan setiap anggota. Pimpinan tobo di
namakan dengan tuo tobo, sedangkan anggota yang paling kecil dinamakan kociok tobo yang
bertindak sebagai ajudan dalam membantu kerja tuo tobo (Yan 2016). Budaya batobo diturunkan
dari filosofi adat Minang “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul” sehingga pekerjaan berat
terasa ringan dikerjakan secara bersama-sama. Selain ada unsur kebersamaan, kegiatan ini juga
mengandung unsur kedisiplinan, karena setiap anggota harus menunggu jadwal pengerjaan
sawahnya secara bergiliran. Kegiatan ini juga dapat memupuk rasa saling memahami antara
sesama anggota, dalam psikologi disebut dengan istilah empati, yaitu mampu merasakan
sepenuhnya apa yang dirasakan oleh anggota kelompok yang lain (Syafrimen 2010; Syafrimen,
Noriah dan Nova Erlina 2017). Arti Tobo sebernarnya orang yang sebaya, kemudian di tambah
awalan ba yang artinya ajakan, mari dan ayok (Alfindo 2016). Kelompok tani tradisional yang
disebut Tobo ini biasanya terdiri dari teman sebaya yang memiliki tim yang solit. Batobo
dulunya juga merupakan salah satu kesenian anak nagari. Dimana ketika kelompok tobo turun ke
sawah diiringi dengan bunyi-bunyian kesenian tradisional, pada masa panen hasil sawah dan
ladang dinamakan acara penutupan tobo, tradisi berdoa dan makan besama.

Langkah-langkah memperbaiki kondisi bangsa dapat dimulai dari serangkaian upaya


sunguh sungguh untuk memperbaiki kualitas sosial keluarga. Salah satu langkah untuk
membangun ketahanan keluarga adalah dengan meningkatkan kualitas sosial keluarga melalui
program gerakan keluarga, meningkatkan peran dan kualitas keluarga melalui kegiatan
kelompok atau komunitas dalam masayarakat. Tidak dapat dipungkiri bahawa keluarga dengan
segala masalahnya retan terhadap ancaman kerapuhan (family vulnerability) baik aspek sosial,
ekonomi maupun lingkungan (Azwar 1997). Kegiatan-kegiatan berkelompok sudah mulai
ditingalkan oleh masyarakat, termasuk masyarakat Minang. Nilai-nilai agama, sosial dan
pendidikan yang biasanya dominan mempengaruhi prilaku masyarakat sudah mulai di
kesampingkan. Padahal hal tersebut menjadi penentu untuk mewariskan nilai-nilai dan sikap
mereka (Pelly dalam Suastra 2009). Salah satu contoh, Kenegarian Padang Laweh, Kecamatan
Koto Tujuh Kabupaten Sijunjung, dulunya sangat terkenal kegiatan batobo. Batobo merupakan
sebuah organisasi atau kelompok tani yang mengandung sistem gotong-royong atau disebut
Tobo (Alfindo 2016). Arti Tobo sebernarnya adalah orang yang sebaya, kemudian di tambah
awalan ba yang artinya ajakan, mari dan ayok. Sebab itu dalam organisasi tani tradisional yang
disebut Tobo ini biasanya terdiri dari teman yang sebaya. Kearifan lokal pada suatu daerah
memiliki peran penting dalam perkembangan budaya, karakter serta kualitas masyarakat.
Pendidikan masyarakat tradisional terbangun melalui pengetahuan asli, pesan, adat istiadat yang
diyakini oleh masyarakatnya dan disampaikan secara turun-temurun.

Penelitian seperti ini belum banyak di kaji oleh peneliti sebelumnya. Fokus penelitian
ketahanan keluarga banyak menitikberatkan pada bentuk intervensi untuk menguatkan ketahan
keluarga dari aspek penguatan ekonomi. Belum banyak penelitian yang mengkaji tentang
kekuatan budaya lokal sebagai alternatif untuk membangun ketahan sosial keluarga. Penelitian
ini penting dilakukan untuk melihat keungulan budaya lokal (local genius) yang telah dilakukan
oleh masyarakat terdahulu untuk membuat keluarga mereka berkualitas, dalam kerangka
tehananan sosial keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Yan (2016) mendapati bahwa salah
satu strategi bagi masyarakat untuk membangun ketahanan keluarga meraka adalah melalui
kegiatan batobo.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dijalankan menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian


deskriptif fenomenologi, yaitu penelitian yang sumber datanya lebih menekankan pada
pengalaman individu ataupun kelompok masyarakat melalui deskripsi dari subjek penelitian.
Melalui pendekatan dan jenis penelitian ini peneliti dapat memperoleh data yang komprehensif
untuk menggambar situasi ataupun fenomena sebenarnya (Roesadi, 2014). Data dikumpulkan
melalui wawancara berkelompok (focus group interview) kepada 2 kelompok batobo, dan
wawancara secara mendalam (indepth interview) kepada 3 orang pemuka masyarakat yang
dipilih melalui teknik purposive sampling. Data dianalisis secara kualitatif melalui langkah-
langkah berikut; (i) menelaah seluruh data yang didapatkan, (ii) melakukan reduksi data, (iii)
menyusun data ke dalam tema-tema tertentu melalui proses koding berbantukan software Nvivo
10.0 (Roesadi 2014; Emzir 2014).

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan terdapat empat nilai-nilai budaya batobo dalam membangun
ketahanan sosial keluarga dalam masyarakat Minang, seperti dipaparkan pada diagram C.1 di
bawah:

Ketahanan Sosial Keluarga

Kemandirian sosial Kontribusi pada Hidup berkesetaran Pola komunikasi


72% keluarga 60% terbuka
68% 57%
Diagram C.1: Nilai-nilai budaya Batobo dalam membangun ketahanan sosial keluarga dalam masyarakat
Minang

Berikut ini dipaparkan secara terperinci penjelasan tentang masing-masing istilah yang
diperolehi dalam penelitian ini. Pertama; mandiri secara sosial. Batobo mengambarkan
anggotanya memiliki kemandirian secara sosial. Hal ini terlihat dari pelaksanaan batobo dimana
sekelompok orang berkumpul dengan tujuan tertentu dan memiliki sistem nilai tertentu yang
dibuat secara musyawarah dan saling memahami satu sama lain. Anggota batabo belajar sistem
nilai yang mengatur satu sama lain untuk mencapai tujuan. Bahkan untuk memastikan semua itu
berjalan dengan baik dalam batobo juga diatur seperti organisasi kecil yang memiliki tatanan
nilai, mulai dari fungsi setiap anggota dalam organisasi sampai pada sanksi bagi setiap angota.
Batabo mengajarkan sistem kepemimpinan, batobo memilki tuo tobo yang berfungsi sebagai
pemimpin kelompok. Kemudian kociok tobo adalah anggota terkecil yang berfungsi membantu
dan melayani anggota tobo lainya. Kociok tobo adalah anggota yang diposisikan banyak belajar
dari para senior, dan senior mesti mengajarkan, mewariskan nilai serta pengalaman dalam
mengelolah sawah dan ladang. Indikator ini dapat kita lihat dalam petikan wawancara berikut:
“batobo bukan hanya sekedar bekerja bersama, tapi dalam batabo banyak hal yang diajarkan
pada anggota tobo. Dalam batobo ada sistem pengaturanya mulai dari tuo tobo…sebagi
pemimpin…kociok tabo sebagai pelayan dalam bekerja, sampai pada nilai saling mengerti dan
memahami antara anggota batobo”.

Ini menunjukan bahwa kelompok batobo mengajar pondasi sosial yang kuat pada setiap
anggotanya. Anggota batobo belajar mendapatkan nilai dan sekaligus belajar mensosialisasikan
nilai itu pada orang lain. Hal ini dapat menjadi bekal bagi anggota tobo untuk membina
ketahanan keluarga mereka. Zastrow dalam (Soeradi 2013) memaparkan bahwa salah satu fungsi
kelurga itu adalah untuk mensosialsisaikan nilai kepada anggota kelurganya. Mensosialiasaikan
nilai juga termasuk satu fungsi keluarga (Soekanto 2004). Sebagai unit pergaulan terkecil dalam
masyarakat, keluarga mempunyai peranan sebagai berikut; (i) keluarga batuh berperanan sebagai
pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, dimana ketenteraman dan ketertiban
diperoleh dalam wadah itu, (ii) keluarga merupakan unit sosial-ekonomi yang secara meteri
memenuhi kebutuhan anggotanya, (iii) keluarga menumbuhkan dasar tentang kaidah pergaulan
hidup, (iv) keluarga merupakan wadah proses sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana
manusia mempelajari dan mematuhi kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Kemendirian sosial penting bagi ketahanan keluarga. Kemandirian sosial itu dapat ditandai
dengan berjalanya kegiatan kelompok dalam masayarakat seperti organisasi batobo. Kehidupan
suatu keluarga, pasti mengembangkan organisasiasi sosial yang masing-masing menjamin
ketertiban dan pencapaian tujuan hidup bersama (Budi Santoso dalam Seoradi 2013).
Organisasiasi sosial itu pada intinya meliputi pengaturan hubungan sosial antar anggota, cita-cita
atau tujuan bersama yang mengikat kesatuan sosial yang bersangkutan, ketentuan sosial yang
disepakati sebagai pedoman dalam pergaulan sosial, dan penegakan ketertiban hidup bersama.

Kedua; kontribusi pada keluarga. Penelitian ini menunjukkan bahwa batobo memberikan
kontribusi pada keluarga anggota dan masyarakat pada umumnya, kerana aktivitas batobo
memberikan dampak terhadap perubahan sistem sosial masyarakat. Perubahan itu dapat kita lihat
dari sistem nilai yang dibina dalam kegiatan batobo dan perubahan perekonomian yang membuat
mobilitas sosial masyarakat. Batobo tidak bisa dipisahkan dengan tatanan masyarakat karena
sangat kuat kaitannya dalam adat Minang, ini kuat sekali kaitannya dengan kempemimpinan dan
tatanan norma dalam bermasyarakat. Batobo juga kuat kaitanya dengan surau yang ada dalam
kaum di Minang. Ini dapat dilihat dalam petikan wawancara sebagai berikut; “kalau manfaat
yang didapatkan dari batobo ya secara ekonomi kita kan ada mata pencarian, dengan ado
pencarian itu kita bisa hidup sama lah dengan orang lain…jadi bisalah mengikuti orang
lain….di samping itu nilai-nilai dalam batobo dapat juga digunakan dalam hidup
bermasyarakat…nilai itu banyak yang dapat kita ambil seperti nilai hidup bermasyarakat, hidup
bertaratak, penyesuai diri dan banyak lagi yang lain”. Ini bermakna bahwa batabo dapat
memberikan nilai yang kuat untuk membina keluarga dan masyarakat, karena kehidupan sosial
masyarakat berkembang seiring dengan bergeraknya anggota batobo.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Lubis (2003) menyatakan
perubahan sosial terjadi melalui dua proses. Proses tersebut mencakup proses yang datang dari
dalam (endogen), dan proses sebagai akibat kontak dengan masyarakat atau kebudayaan dari luar
atau (exogen). Perubahan sosial yang terjadi pada kehidupan bermasyarakat, lebih banyak
perubahan yang bersifat unintended change atau perubahan kehidupan sosial yang tidak
disengaja. Karena tidak disengaja seringkali perubahan itu tidak dapat diduga terlebih dahulu dan
tanpa disadari oleh masyarakat. Walau bagaimanapun proses perubahan sosial pada intinya
adalah perubahan norma-normanya (Abdurrahman dalam Lubis, 2003).

Batobo memberikan dampak perubahan terhadap aspek sosial yang dimaksud adalah
perubahan norma-norma dan proses pembentukan norma baru. Norma ini adalah merupakan inti
dari kehidupan mempertahankan persatuan kehidupan kelompok. Dampak itu dapat dilihat dari
adanya fungsi keluarga yang berubah karena diambil oleh lembaga atau unit sosial lain.
Perubahan penting dalam keluarga yang terlihat universal merupakan pemindahan sebagian besar
fungsi keluarga kepada unit sosial lain. Sering dikemukakan dalam masyarakat tradisional,
pemenuhan kebutuhan ekonomi, pendidikan, agama dan emosional, semuanya cenderung
disediakan dalam keluarga. Saat ini sebagian besar tangung jawab itu diserahkan kepada unit lain
seperti pemerintah, sekolah dan badan usaha dan kelompok sosial lainya (Lubis, 2003).

Ketiga; hidup berkesetaraan. Batabo juga mengambarkan nilai ketahanan tentang hidup
berkesetaraan dan berkeadilan. Ini terlihat dalam kegiatan batobo merasakan hidup bisa
berdampingan dengan orang lain, mereka tidak merasa rendah diri dari orang lain, bahkan
mereka mengatakan dalam kedudukan dalam batobo duduk samo randah tagak samo tinggi. Ini
mengambar kesetaraan setiap anggota. Dapat dilihat dalam petikan wawancara berikut; “kalau
manfaat yang di dapek dari batobo ya secara ekonomi kita kan ada mata pencarian dan dengan
ado pencarian itu ya kita bisa hidup sama lah dengan orang lain…jadi bisalah mengikuti orang
lain…kami disini adalah duduk samo randah tagak samo tinggi.

Lebih lanjut responden ini mengatakan bahwa kesetaraan itu tergambar dari nilai-nilai hak
dan kewajiban serta tanggung jawab antara anggota secara proporsional sesuai dengan status dan
fungsinya. Ini sesuai dengan (Fraser, 2004; Greene, 2002) yang menyatakan bahwa kesetaraan
itu tergambar dari nilai-nilai hak dan kewajiban serta tanggung jawab antara anggota secara
proporsional sesuai dengan status dan fungsinya. baik dalam keluarga dan masyarakat adat
maupun dalam pemerintahan adat. Ketahanan memerlukan dukungan yang memadai dari
sumber-sumber sosial dalam bentuk asistensi instrumental, dukungan emosional dan pemberian
kesempatan untuk merasa berarti bagi orang lain.

Keempat; memiliki pola komunikasi yang terbuka. Batobo memiliki pola komukasi yang
jelas dan terbuka. Hal ini tergambar dari kejelasan membuat anggota-anggota mampu
berkomunikasi secara tepat sejalan dengan hubungan sosial yang mereka bangun dalam
kelompok batabo kejelesan itu terbukti dengan hubungan mereka yang sarat dengan makna dan
filosofi, seperti disamapaikan oleh responden berikut; “dalam batabo ini kita merasa senang la
membuat hidup kita rasa bermakna, dapat ketawa-ketawa dan bercerita-cerita dengan teman-
teman tentang masalah dan harapan kita ke depan”. Kutipan ini mengambarkan bahwa
komunikasi yang jelas dan terbuka merupakan nilai-nilai yang di tanamkan dalam batobo,
bahkan salah seoarang responden mengatakan bahwa dalam kelompok itu sudah menjadi
keluarga besar yang mana satu dengan yang lainya saling menjaga bagi seluruh anggota keluarga
mereka.

Pola komunikasi yang jelas dan terbuka sangat penting karena dapat mengembangkan
kemampuan anggota untuk mengelola berbagai permasalahan secara jujur. Kejelasan berarti
pesan-pesan yang saling ditukarkan secara lisan sejalan dengan tindakan yang dilakukan, di
samping itu saling berupaya untuk mencari kejelasan dari informasi yang mungkin kurang jelas.
Pola komunikasi seperti ini penting bagi ketahanan keluarga karena komunikasi yang efektif
bermanfaat terhadap pemecahan masalah dan berperan dalam menumbuhkan saling percaya.
Pola komunikasi seperti ini dapat bersifat timbal balik dan saling memperkuat. Dikukuhkan oleh
Pearson (Yan 2013) bahwa prinsip dan teori komunikasi yang baik dan menggabungkannya
dalam praktek dapat membantu menyelesaikan permasalahan antara satu sama lain. Komunikasi
yang baik memang tidak bisa menyelasikan seluruh persoalan tapi dapat membantu
menyelasikan masalah yang ada.

D. Kesimpulan

Proses yang dilaksanakan dalam kegiatan batobo sesungguhnya telah melahirkan


ketahanan sosial keluarga yang selama ini menjadi instrumen alami di tengah-tengah masyarakat
Minang. Kekuatan budaya batobo tersebut sudah teruji secara turun-temurun, diwariskan dari
generasi ke generasi dalam istilah filosofi adat Minang “barek samo dipikua ringan samo
dijinjiang”. Justeru budaya ini dulunya menjadi kekuatan dalam membangun keluarga dan
masyarakat yang saat ini sudah mulai memudar dan bahkan hilang ditelan zaman. Dalam
kehidupan individualistis hari ini seharusnya budaya ini bisa dijadikan sebagai alternatif kembali
untuk membangun ketahan sosial keluarga dan masyarakat.

Rujukan

Anwar (2004), Pendidikan Kecakapan Hidup, Konsep dan Aplikasi, Alfa beta , Bandung
Dessyanthy, Regilna. 2012. Studi Kelangsungan Hidup Migran Wanita (Kasus Buruh Bangunan
Wanita di Kota Makasar. Skripsi. Makasar: Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Hasanudin
Faturrochman. 2001. Revitalisasi Peran Keluarga. Buletin Psikologi, Tahun IX, No.2 Desember
2001, 39-47
Gayle, V, etc. 2008. Family Migration and Social Stratification. International Journal of
Sociology and Social Policy Pol. 28 No.78, 2008,293-303
Ivlevs, A and King, Roswitha M. 2012. Family Migration Capital and Migration Intention.
Paper. J Fam Econ Iss (2012) 33: 118-129
Lubis, Fanda F. 2003. Dampak Migrasi Terhadap Perubahan Dalam Keluarga (Studi Kasus di
Kelurahan Pondok Cina). Tesis. Depok: Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan
Sosial Konsentrasi Pembangunan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia.
Alfindo, Rahmad 2016, Perubahan Budaya Batobo Pada Era Modernisasi Di Desa Simandolak
Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi. Jurnal Fsip Universitas Riau
Safrida. 2008. Dampak Kebijakan Migrasi Terhadap Pasar Kerja Dan Perekonomian
Indonesia.Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor (IPB).
Santoso, Insaf. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Bermigrasi Penduduk
Indonesia Antara Tahun 2000-2007 (Analisis Data IFLS 2000 dan 2007). Tesis Magister
Sains. Depok: Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia
Suandi.2007.Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan
Provinsi Jambi.Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor (IPB)
Suastra, I.W. 2009. Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan
Alamiah dan Sosial Budayanya. Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja.
Sunarti, E, dkk. 2005. Ketahanan Keluarga, Manajemen Stres, Serta Pemenuhan Fungsi
Ekonomi dan Fungsi Sosialisasi Keluarga Korban Kerusuhan Aceh. Jurnal Media Gizi dan
Keluarga, Juli 2005, 29 (1) : 41-49
Soeradi. "Perubahan Sosial dan Ketahanan Keluarga: Meretas Kebijakan Berbasis Kekuatan
Lokal". Informasi Vol. 18, No. 02, Tahun 2013.
Soekanto, Soerjono. (2004). Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sunarti, E, dkk. 2009.Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan: Untuk Pengurangan
Resiko Bencana di Sektor Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Sunarti, 2003, Partispasi Masyrakat dalam Pembangunan Permuahan berbasis Kelompok, Jurnal
Tata Loka, Semarang, Undip.
Syafril, S. (2010). Pembinaan Modul EQ Untuk Latihan Kecerdasan Emosi Guru-Guru di
Malaysia (Doctoral dissertation, National University of Malaysia).
Syafril, S., & Yaumas, N. E. (2017). Six Ways to Develop Empathy of Educators. Journal of
Engineering and Applied Sciences, 12(7), 1687-1691.
Van Hook,M, 2008, Social Work Praktice With Families A Ricielience Based Approach,
Chicago, Iyeum, Ins
Fraser, M., & Galinsky,M. (2004). Risk and resilience in childhood: Toward and evidence-based
model of practise. In M. Fraser (Ed), Risk and resilience in childhood: An ecological
approach. Washington, DC: NASW Press
Widyanti, L, dkk.2012. Fungsi Keluarga dan Gejala Stres Remaja dengan Latar Belakang
Pendidikan Prasekolah Berbeda. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konseling, Januari 2012,Vol.5
No. 1: (38-47)
Yantri Maputra (2016), Prosiding ASEAN Comperative Education Network Conference

Anda mungkin juga menyukai