Dosen Pembimbing
Disusun Oleh :
Uztazhar Anuggrah
19.14201.30.17
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
baik itu berupa sehat fisik, maupun akal pikiran sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
praktikum individu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang 2022 ini tepat pada waktunya. Tanpa pertolongan-Nya tentu kami tidak sanggup
untuk menyelesaikan laporan ini.
Dalam penulisan dan pelaksanaan praktikum K3RS ini mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ersita, S.Kep., Ners., M.Kes, selaku Ketua STIK Bina Husada Palembang
2. Ade Irma Hutasuhut, SKM, selaku Wakil Ketua Komite K3 Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang
3. Kardewi, S.Kep., Ners., M.Kes, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan STIK
Bina Husada Palembang
4. Romliyadi, S.Kep., Ners., M.Kes., M.Kep selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan saran
5. Seluruh Staf Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
6. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan saran dan masukan kepada kami
dalam proses praktikum
Kami menyadari kekurangan dan keterbatasan yang ada pada proses praktikum dan
penulisan laporan ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun yang dapat memberikan perubahan kearah yang lebih positif dalam proses
pembelajaran dimasa yang akan datang, semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya
kepada kita semua.
Penyusun
Uztazhar Anuggrah
LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP K3RS
(K3)
OLEH :
NPM : 19-14201-30-17
DOSEN PEMBIMBING :
PALEMBANG
3. Unsur K3
Unsur-unsur penunjang keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut :
a. Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja.
b. Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan kesehatan kerja.
c. Teliti dalam bekerja.
d. Melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan kerja.
4. Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS)
Berdasarkan Permenkes nomor 66 tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Rumah Sakit, beberapa tujuan dalam pelaksanaan K3RS dapat dirangkum:
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari aspek keselamatan dan Kesehatan
Kerja Rumah Sakit bertujuan untuk melindungi sumber daya manusia Rumah Sakit,
pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit dari pajanan
dan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Pengelolaan prasarana Rumah Sakit dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja
bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dengan memastikan
kehandalan sistem utilitas dan meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi.
Pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit
bertujuan untuk melindungi SDM Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien,
pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit dari potensi bahaya peralatan medis baik
saat digunakan maupun saat tidak digunakan.
Tempat kerja dan pekerja merupakan populasi, bila menggunakan pendekatan trias
epidemiologi bahwa dengan berfokus pada kesehatan dan keselamatan populasi pekerja,
host digambarkan sebagai manusia yang rentan, karena terkait dengan sifat bahaya kerja,
sehingga diasumsikan bahwa semua individu pekerja dan kelompok beresiko terkena
bahaya kerja.
Agent adalah faktor yang berhubungan dengan penyakit dan cedera,
diklasifikasikan menjadi biologi, kimia, erginomi, fisik, atau psikososial. Environment ,
berhubungan dengan kondisi eksternal yang berpengaruh terhadap interaksi host dan
agents. Apabila interaksi antara host, agent dan environment tidak dapat dikendalikan,
maka timbulah penyakit atau cedera. Ketiga faktor timbulnya penyakit tersebut ada dalam
lingkungan pekerja, dengan demikian maka diasumsikan bahwa semua pekerja yang ada
dalam lingkungan kerja maka mempunyai resiko untuk sakit atau cedera, dengan demikian
proaktif dari perawat menjadi hal yang penting dalam upaya mencegah terjadinya penyakit
atau cedera akibat kerja melalui design yang efektif melalui 3 level prevensi; primer,
sekunder dan tersier.
Lingkup Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit terdiri dari : Rencana
tangga darurat (peraturan jika ada kebakaran), life safety, patient security, kesehatan
pekerja, bahan berbahaya, sanitasi lingkungan, pengendalian limbah, pendidikan dan
pelatihan, catatan dan pelaporan.
l) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pemberian Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun;
m)Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 413);
n) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan
Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1221);
8. Prinsip K3RS
a. Kapasitas kerja adalah status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan
fisik yang prima setiap pekerja agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.
Contoh: Bila seorang pekerja kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia, maka
kapasitas kerja Akan menurun karna pengaruh kondisi fisik lemah dan lemas.
b. Beban kerja adalah beban fisik dan beban mental yang harus di tanggung oleh pekerja
dalam melaksanakan tugasnya. Contoh: pekerja yang bekerja melebihi waktu kerja
maksimum.
c. Lingkungan kerja adalah lingkungan yang terdekat dari seorang pekerja. Contoh:
Seorang yang bekerja di bagian instalasi radiologi (kamar X Ray, kamar gelab,
kedokteran, nuklir dan lain-lain).
1. Kebijakan K3RS
Kebijakan K3RS ditetapkan secara tertulis dengan Keputusan Kepala atau
Direktur Rumah Sakit dan disosialisasikan ke seluruh SDM Rumah Sakit. Kebijakan
K3RS meliputi:
A. Penetapan kebijakan dan tujuan dari program K3RS
Kebijakan dan tujuan K3RS ditetapkan oleh pimpinan tertinggi Rumah Sakit
dan dituangkan secara resmi dan tertulis. Kebijakan tersebut harus jelas dan mudah
dimengerti serta diketahui oleh seluruh SDM Rumah Sakit baik manajemen,
karyawan, kontraktor, pemasok dan pasien, pengunjung, pengantar pasien, tamu
serta pihak lain yang terkait dengan tata cara yang tepat.
Selain itu semuanya bertanggung jawab mendukung dan menerapkan
kebijakan pelaksanaan K3RS tersebut, serta prosedur-prosedur yang berlaku di
Rumah Sakit selama berada di lingkungan Rumah Sakit. Kebijakan K3RS harus
disosialisasikan dengan berbagai upaya pada saat rapat pimpinan, rapat koordinasi,
rapat lainnya, spanduk, banner, poster, audiovisual, dan lain-lain.
B. Penetapan organisasi K3RS; dan
Dalam pelaksanaan K3 Rumah Sakit memerlukan organisasi yang dapat
menyelenggarakan program K3RS secara menyeluruh dan berada di bawah
pimpinan Rumah Sakit yang dapat menentukan kebijakan Rumah Sakit. Semakin
tinggi kelas Rumah Sakit umumnya memiliki tingkat risiko keselamatan dan
Kesehatan Kerja yang lebih besar karena semakin banyak pelayanan, sarana,
prasarana dan teknologi serta semakin banyak keterlibatan manusia di dalamnya
(sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien, pengunjung, pengantar, kontraktor, dan
lain sebagainya).
Untuk terselenggaranya K3RS secara optimal, efektif, efesien dan
berkesinambungan, Rumah Sakit membentuk atau menunjuk satu unit kerja
fungsional yang mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan K3RS. Unit kerja
fungsional dapat berbentuk komite tersendiri atau terintegrasi dengan komite
lainnya, dan/atau instalasi K3RS.
Kebutuhan untuk membentuk unit kerja fungsional tersebut disesuaikan
dengan besarnya tingkat risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja, sehingga pada
Rumah Sakit dapat memiliki komite atau instalasi K3RS, atau memiliki keduanya.
C. Penetapan dukungan pendanaan, sarana, dan prasarana.
Dalam pelaksanaan K3RS diperlukan alokasi anggaran yang memadai dan
sarana prasarana lainnya. Hal ini merupakan bagian dari komitmen pimpinan Rumah
Sakit. Pengalokasian anggaran pada program K3RS jangan dianggap sebagai biaya
pengeluaran saja, namun anggaran K3RS perlu dipandang sebagai aset atau investasi
dimana upaya K3RS melakukan penekanan pada aspek pencegahan terjadinya
berbagai masalah besar keselamatan dan kesehatan yang apabila terjadi akan
menimbulkan kerugian yang sangat besar.
2. Perencanaan K3RS
Rumah Sakit harus membuat perencanaan K3RS yang efektif agar tercapai
keberhasilan penyelenggaraan K3RS dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan K3RS dilakukan untuk menghasilkan perencanaan strategi K3RS, yang
diselaraskan dengan lingkup manajemen Rumah Sakit. Perencanaan K3RS tersebut
disusun dan ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit dengan mengacu pada kebijakan
pelaksanaan K3RS yang telah ditetapkan dan selanjutnya diterapkan dalam rangka
mengendalikan potensi bahaya dan risiko K3RS yang telah teridentifikasi dan
berhubungan dengan operasional Rumah Sakit. Dalam rangka perencanaan K3RS perlu
mempertimbangkan peraturan perundangundangan, kondisi yang ada serta hasil
identifikasi potensi bahaya keselamatan dan Kesehatan Kerja.
4. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari Aspek keselamatan dan
Kesehatan Kerja;
5. Pencegahan dan pengendalian kebakaran;
6. Pengelolaan prasarana Rumah Sakit dari Aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja;
7. Pengelolaan peralatan medis dari Aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja; dan
3. Inspeksi mencari masukan dari petugas yang melakukan tugas ditempat yang
diperiksa.
4. Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan pada saat
inspeksi.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Rumah Sakit.
Poerwanto, Helena dan Syaifullah. 2005. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja. Jakarta : Badan Penerbi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN HAZARD RUMAH SAKIT
OLEH :
NPM : 19-14201-30-17
DOSEN PEMBIMBING :
PALEMBANG
1. Pengertian Hazard
Hazard adalah segala sesuatu (sumber, situasi, aktivitas) yang berpotensi
menimbulkan cedera (kecelakaan kerja) atau Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Berdasarkan National Safety Council mengatakan bahwa hazard adalah faktor faktor
intrinsik yang melekat pada sesuatu berupa barang atau kondisi dan mempunyai potensi
menimbulkan efek kesehatan maupun keselamatan pekerja serta lingkungan yang
memberikan dampak buruk.
2. Hazard Biologi
Risiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman patogen dari pasien
yang ditularkan melalui darah, cairan tubuh, dan udara. Pengendalian yang harus
dilakukan adalah melalui sanitasi dan harus didukung dengan housekeeping yang
baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
3. Hazard Kimia
Risiko ini terdapat pada bahan-bahan kimia golongan berbahaya dan beracun.
Pengendalian yang harus dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-bahan B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun), pelabelan standar, penyimpanan standar,
penyiapan MSDS (Material Safety Data Sheet) atau lembar data keselamatan bahan,
penyiapan P3K, serta pelatihan teknis bagi petugas pengelola B3. Selain itu
pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang akan
masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
4. Hazard Ergonomi
Risiko ini terdapat pada sebagian besar kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan
angkat angkut, posisi duduk, ketidaksesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik
pekerja. Risiko ini misalnya terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik pasien
maupun barang. Selain itu pemilihan sarana dan prasarana rumah sakit juga harus
mempertimbangan faktor fisiologi, terutama peralatan yang dibeli dari negara lain
yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran badan. Pengendalian yang harus
dilakukan yaitu melalui melakukan gerak tubuh secara rutin.
5. Hazard Psikologi
Risiko bahaya psikologi dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa
ketidakharmonisan hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama staff,
staff dengan pasien, maupun staff dengan pimpinan. Risiko psikologi akan
memberikan pengaruh pada perilaku atau semangat kerja petugas sehingga
produktivitas akan menurun. Upaya pengendalian yang dilakukan untuk risiko ini
adalah dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff, dan pimpinan
pada acara-acara bersama yang bertujuan agar terjalin komunikasi dengan baik.
Sehingga secara psikologi hal ini berdampak baik pada proses pengakraban, dengan
harapan risiko bahaya psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Yuliani HR. (2012). E-Learning Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3). Yogyakarta:
Deepublish
Y. Indriani. (2016). Potensi Bahaya dan Resiko Rumah Sakit. Jakarta : Yudhistira
OLEH :
NPM : 19-14201-30-17
DOSEN PEMBIMBING :
PALEMBANG
Kecelakaan yang tidak menimbulkan cidera (Non Injury Incident) Adalah suatu
kejadian yang potensial, yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja kecuali kebakaran, peledakan dan bahaya pembuangan limbah
Beberapa contoh tindakan yang tidak aman, antara lain meliputi : Menjalankan
sesuatu tanpa wewenang pekerja; Menjalankan sesuatu alat kerja dengan kecepatan
tinggi; Membuat alat pengaman diri tidak berfungsi: Mempergunakan peralatan
yang kurang baik; Pemuatan, penempatan, pencampuran secara berbahaya;
Mengambil kedudukan atau sikap yang salah; Mengancam, menggoda, sembrono,
membuat terkejut; Tidak menggunakan alat pelindung diri
Mengenali resiko pekerjaan dan cegah supayah tidak terjadi lebih lanjut
Segara akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka yang berkelanjutan
Memakai alat pelindung diri secara benar dan teratur
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh seperti
berikut ini:
a. Pencegahan Pimer – Healt Promotion
• Perilaku kesehatan
• Faktor bahaya di tempat kerja
• Perilaku kerja yang baik
• Olahraga
• Gizi
b. Pencegahan Skunder – Specifict Protectio
• Pengendalian melalui perundang-undangan
• Pengendalian administratif/organisasi: rotasi/pembatas jam kerja
• Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, alat pelindung diri (APD)
• Pengendalian jalur kesehatan imunisasi
c. Pencegahan Tersier
• Pemeriksaan kesehatan pra-kerja
• Pemeriksaan kesehatan berkala
• Pemeriksaan lingkungan secara berkala
• Surveilans
• Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
• Pengendalian segera ditempat kerja
Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya yang wajib
dilakukan adalah deteksi dini, sehingga pengobatan bisa dilakukan secepat mungkin.
Dengan demikian, penyakit bisa pulih tanpa menimbulkan kecacatan. Sekurang-
kurangnya, tidak menimbulkan kecacatan lebih lanjut. Pada banyak kasus, penyakit
akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan cacat. Ada dua faktor yang membuat
penyakit mudah dicegah.
a. Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur, dan dikontrol.
b. Populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat diawasi secara teratur
serta dilakukan pengobatan.
Disamping itu perubahan awal seringkali bisa pulih dengan penanganan yang
tepat. Karena itulah deteksi dini penyakit akibat kerja sangat penting. Sekurang-
kurangnya ada tiga hal menurut WHO yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
deteksi dini yaitu:
a. Perubahan biokimiawi dan morfologis yang dapat di ukur melalui analisis
laboraturium. Misalnya hambatan aktifitas kolinesterase pada paparan terhadap
pestisida organofosfat, penurunan kadar hemoglobin (HB), sitologi sputum yang
abnormal, dan sebagainya.
b. Perubahan kondisi fisik dan sistem tubuh yang dapat dinilai melalui pemeriksaan
fisik laboraturium. Misalnya elektrokardiogram, uji kapasitas kerja fisik, uji saraf,
dan sebagainya.
c. Perubahan kesehatan umum yang dapat dinilai dari riwayat medis. Misalnya rasa
kantuk dan iritasi mukosa setelah paparan terhadap pelarutpelarut organik.
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh yaitu
pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ini meliputi:
a. Pemeriksaan sebelum penempatan
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum seorang dipekerjakan atau ditempatkan
pada pos pekerjaan tertentu dengan ancaman terhadap kesehatan yang mungkin
terjadi. Pemeriksaan fisik yang ditunjang dengan pemeriksaan lain seperti darah,
urine, radiologis, serta organ tertentu, seperti mata dan telinga, merupakan data
dasar yang sangat berguna apabila terjadi gangguan kesehatan tenaga kerja setelah
sekian lama bekerja.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
Pemeriksaan kesehatan berkala sebenarnya dilaksanakan dengan selang
waktu teratur setelah pemeriksaan awal sebelum penempatan. Pada medical check-
up rutin tidak selalu diperlukan pemeriksaan medis lengkap, terutama bila tidak
ada indikasi yang jelas. Pemeriksaan ini juga harus difokuskan pada organ dan
sistem tubuh yang memungkinkan terpengaruh bahan-bahan berbahaya di tempat
kerja, sebagai contoh, audiometri adalah uji yang sangat penting bagi tenaga kerja
yang bekerja pada lingkungan kerja yang bising. Sedang pemerikaan radiologis
dada (foto thorax) penting untuk mendeteksi tenaga kerja yang berisiko menderita
pneumokonosis, karena lingkungan kerja tercemar debu.
DAFTAR PUSTAKA
Salmawati,L., Rasul,M., & Napirah,M,R. (2019). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN KECELAKAAN KERJA PADA PERAWAT DI RUANG IGD
RSU ANUTAPURA KOTA PALU . JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT ,
10(2), 104-112
OLEH :
NPM : 19-14201-30-17
DOSEN PEMBIMBING :
PALEMBANG
3. SARUNG TANGAN
Sarung tangan melindungi tangan dari bahan infeksius dan melindungi pasien dari
mikroorganisme pada tangan petugas. Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting
untuk mencegah penyebaran infeksi, tetapi harus diganti setiap kontak dengan satu
pasien ke pasien lainnya untuk mencegah kontaminasi silang. Umpamanya, sarung
tangan pemeriksaan harus dipakai kalau menangani darah, duh tubuh, sekresi dan
eksresi ( kecuali keringat ), alat atau permukaan yang terkontaminasi dan kalau
menyentuh kulit nonintak atau selaput
lendir. Ada 3 jenis sarung tangan :
1. Sarung tangan bedah : Dipakai sewaktu melakukan tindakan invasif atau
pembedahan
2. Sarung tangan pemeriksaan : Dipakai untuk melindungi petugas kesehatan sewaktu
melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin
3. Sarung tangan rumah tangga : Diapakai sewaktu memproses peralatan, menangani
bahan – bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan permukaan yang
terkontaminasi
4. MASKER
Masker harus cukup besar untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu,
dan rambut pada wajah ( jenggot ). Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar
sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk atau bersin serta untuk
mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut
petugas kesehatan. Bila masker tidak terbuat dari bahan tahan cairan, maka masker
tersebut tidak efektif untuk mencegah kedua hal tersebut.
6. GAUN PELINDUNG
Gaun pelindung digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa atau
seragam lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita
penyakit menular melalui droplet / airbone. Pemakaian gaun pelindung terutama adalah
untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Ketika
merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular tersebut,
petugas kesehatan harus mengenakan gaun pelindung setiap memasuki ruangan untuk
merawat pasien karena ada kemungkinan terpercik atau tersemprot darah, cairan tubuh,
sekresi atau eksresi. Pangkal sarung tangan harus menutupi ujung lengan gaun
sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan area pasien. Setelah gaun dilepas,
pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak kontak dengan bagian yang potensial tercemar,
lalu cuci tangan segera untuk mencegah berpindahnya organisme.
Gaun pelindung harus dianggap sebagai alat pelindung diri. Gaun pelindung
khusus untuk pekerjaan dengan sumber – sumber bahaya tertentu seperti :
Terhadap Radiasi Panas : Gaun pelindung untuk radiasi panas, radiasi harus dilapisi
bahan yang bisa merefleksikan panas, biasanya Alumunium dan berkilau. Bahan –
bahan pakaian lain yang bersifat isolasi terhadap panas adalah : 1000⁰ C,
katun, asbes ( kalau sampai 500 ⁰C ).
Terhadap Radiasi Mengion : Gaun pelindung harus dilapisi dengan timbal biasanya
berupa apron. Pakaian ini sering digunakan di bagian radiologi.
Terhadap cairan dan bahan – bahan kimia : Biasanya terbuat dari bahan plastic atau
karet
7. APRON
Apron yang terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air
untuk sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus
mengenakan apron di bawah gaun penutup ketika melakukan perawatan langsung pada
pasien, membersihkan pasien, atau melakukan prosedur dimana ada resiko tumpahan
darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal ini penting jika gaun pelindung tidak tahan air.
Apron akan mencegah cairan tubuh pasien mengenai baju dan kulit petugas kesehatan
8. PELINDUNG KAKI
Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam
atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Oleh karena itu,
sandal. “ sandal jepit “ aau sepatu yang terbuat dari bahan lunak ( kain ) tidak boleh
dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak
perlindungan., tetapi harus dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah atau
tumpahan cairan tubuh lain. Penutup sepatu tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu
yang tahan terhadap benda tajam atau kedap air harus tersedia di kamar bedah. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain atau kertas dapat meningkatkan
kontaminasi karena memungkinkan darah merembes melalui sepatu dan seringkali
digunakan sampai di luar ruang operasi. Kemudian dilepas tanpa sarung tangan
sehingga terjadi pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA
Gustiar S.Kep, NS., 2012. Alat Pelindung Diri Pada Perawat
OLEH :
NPM : 19-14201-30-17
DOSEN PEMBIMBING :
PALEMBANG
Secara umum, limbah rumah sakit dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu limbah
medis dan non medis. Limbah medis merupakan limbah yang dihasilkan dari kegiatan utama
rumah sakit. Jenis limbah rumah sakit ini merupakan limbah yang dianggap mengandung
bahan patogen seperti virus dan bakteri yang dapat menimbulkan penyakit. Limbah non
medis adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit di luar medis yang biasanya
berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman. Limbah ini dapat kembali dimanfaatkan
apabila ada teknologi pendukung.
OLEH :
NPM : 19-14201-30-17
DOSEN PEMBIMBING :
PALEMBANG
A. Pengertian Kebakaran
Kebakaran merupakan suatu bencana yang di akibatkan oleh adanya api. Yang mana
bencana kebakaran tersebut pastinya menimbulkan kerugian.
B. Klasifikasi Kebakaran
1. Kebakaran Kelas A adalah kebakaran yang disebabkan oleh benda padat yang
mudah terbakar seperti kayu, kain, kertas, atau plastik.
2. Kebakaran Kelas B adalah kebakaran yang disebabkan oleh benda cair atau gas yang
mudah terbakar seperti bensin, cat, thinner, gas LPG, dan gas LNG.
3. Kebakaran Kelas C adalah kebakaran yang disebabkan oleh penggunaan komponen
elektrik (listrik) seperti televisi, kulkas, instalasi listrik, dan lain sebagainya.
4. Kebakaran Kelas D adalah kebakaran yang disebabkan oleh benda metal yang
mudah terbakar seperti potassium, sodium, aluminium, dan magnesium
C. Jenis-jenis Kebakaran
a. Kelas A : Kebakaran yang terjadi pada benda padat kecuali logam (Kayu, arang,
kertas, plastik, karet, kain dan lain-lain). Kebakaran kelas A dapat dipadamkan
dengan air, pasir/tanah, APAR dry chemical, APAR foam, dan APAR HCFC.
b. Kelas B : Kebakaran yang terjadi pada benda cair dan/atau gas (bensin, solar,
minyak tanah, aspal, alkohol, elpiji, dan sebagainya). Kebakaran kelas B dapat
dipadamkan dengan pasir/tanah (untuk area kebakaran yang kecil), APAR dry
chemical, APAR CO2, APAR foam, dan APAR HFCF. Air tidak boleh
dipergunakan! Cairan yang terbakar akan terbawa aliran air dan menyebar.
c. Kelas C : Kebakaran yang terjadi pada peralatan listrik bertegangan. Kebakaran
kelas ini biasanya terjadi akibat korsleting listrik sehingga menimbulkan percikan
api yang membakar benda-benda di sekitarnya. Air tidak boleh digunakan. Air
adalah konduktor (penghantar listrik) dan akan menyebabkan orang-orang yang
berada di area tersebut tersengat listrik. Kebakaran kelas C dapat dipadamkan
dengan APAR dry chemical, APAR CO2, dan APAR HCFC.
d. Kelas D : Kebakaran yang terjadi pada bahan logam (magnesium, almunium,
kalium, dan sebagainya). Kebakaran kelas ini sangat berbahaya dan hanya dapat
dipadamkan dengan APAR sodium chloride dry powder. Air dan APAR berbahan
baku air sebaiknya tidak digunakan, karena pada kebakaran jenis logam tertentu air
akan menyebabkan terjadinya reaksi ledakan.
D. Pengertian APAR
APAR (Alat Pemadam Api Ringan) atau fire extinguisher adalah alat yang
digunakan untuk memadamkan api atau mengendalikan kebakaran kecil. Alat
Pemadam Api Ringan (APAR) pada umumnya berbentuk tabung yang diisikan dengan
bahan pemadam api yang bertekanan tinggi. Dalam hal Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3), APAR merupakan peralatan wajib yang harus dilengkapi oleh setiap
Perusahaan dalam mencegah terjadinya kebakaran yang dapat mengancam keselamatan
pekerja dan asset perusahaannya.
E. Jenis APAR
1. Air
Sifat air dalam memadamkan kebakaran adalah secara fisik mengambil panas
(cooling) dan sangat tepat untuk memadamkan bahan padat (kelas A).
2. Busa
Busa digunakan untuk memadamkan kebakaran kelas A dan B Busa memadamkan
api melalui kombinasi tiga aksi pemadaman yaitu menutupi, melemahkan dan
mendinginkan.
Menutupi yaitu membuat selimut busa di atas bahan yang terbakar, sehingga
kontak dengan oksigen (udara) terputus
Melemahkan yaitu mencegah penguapan cairan yang mudah terbakar
Mendinginkan yaitu menyerap kalori cairan yang mudah terbakar sehingga
suhunya turun
3. Serbuk kimia kering
Ammonium hydro phosphat dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran
golongan A, B dan C
Natrium bikarbonat dapat dipergunakan untuk memadamkan kebakaran golongan
B dan C
Kalsium bikarbonat dapat dipergunakan untuk memadamkan kebakaran golongan
B dan C
4. Karbon dioksida (CO2)
Media pemadam api CO2 berupa fase cair bertekanan tinggi
Prinsip kerja CO2 ialah reaksi dengan O2 sehingga konsentrasinya berkurang dari
21% menjadi sama atau lebih kecil dari 14%. Hal ini disebut pemadaman dengan
cara menutup.
Media pemadam api CO2 tidak beracun tetapi dapat membuat orang pingsan atau
meninggal karena kekurangan oksigen
Kelemahan CO2 ialah tidak dapat mencegah terjadinya kebakaran kembali
setelah api padam (reignitasi) karena CO2 tidak dapat mengikat O2 secara terus-
menerus tetapi dapat mengikat O2 sebanding dengan jumlah CO2 yang tersedia
sedang suplai oksigen di sekitar tempat kebakaran terus berlangsung.
5. Halon
Gas halon bila terkena panas api kebakaran pada suhu sekitar 485 C akan
mengalami proses penguraian
Zat-zat yang dihasilkan dari proses penguraian tersebut akan mengikat unsur
hidrogen dan oksigen (O2) dari udara. Karena sifat zat baru tersebut beracun
maka cukup membahayakan terhadap manusia.
Pada saat tejadi kebakaran, apabila digunakan halon untuk memadamkan api
maka seluruh penghuni harus meninggalkan ruangan kecuali bagi yang sudah
mengetahui betul cara penggunaannya
Jenis gas halon yang dapat digunakan sebagai alat pemadam adalah halon 1301
(BTM) dan halon 1211 (BCF)
Suhariono. (2019). Pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit.
Jawa Timur: Uwais Inspirasi Indonesia.
LAPORAN HASIL IDENTIFIKASI HAZARD, ANALISIS SWOT, PLANNING
OF ACTION, DOKUMENTASI FOTO HASIL IDENTIFIKASI
Dosen Pembimbing
Ns. Romliyadi, S.Kep., M.Kes., M.Kep
Disusun Oleh
Uztazhar Anuggrah
19.14201.30.17
I. DATA UMUM
Nama Ruangan : Ruang Fisioterapi
Denah Tempat Kerja :
3 11 11 3 3 11
9 10
8
3
5
1
4
2
2
Keterangan :
1. Pintu
2. Kursi Tunggu Pasien
3. Ruang Tindakan (Brankar)
4. Ruang Dokter
5. Kotak Sampah
6. Wastafel
7. Galon/Air Minum
8. Meja Pegawai
9. Meja Alat Fisioterapi
10. Lemari
11. Alat Fisioterapi
Data Pegawai:
Jumlah : 3 Orang
PASIEN
PENDAFTARAN
RUANG TUNGGU
ASSESMENT
RUANG
TINDAKAN
BPJS UMUM
KASIR
PULANG
✔ Masker Lain-lain -
Apron
2. Pegawai yang menggunakan APD ketika kerja? (uraikan secara umum)
Tidak : Alasan -
1. Posisi postur tubuh dalam kerja (uraikan secara umum jenis pekerjaan)
2. Kesesuaian antara posisi tubuh dengan alat kerja (uraikan secara rinci
untuk setiap posisi tubuh)
4. lain-lain
a. Cara pengumpulan :
Melakukan sosialisasi dan pelatihan secara rutin terkait SOP pengelolaan limbah,
semua petugas melakukan tindakan medis untuk menumbuhkan dan meningkatkan
kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan limbah yang baik dan benar, sehingga
tidak membahayakan manusia dan lingkungan sekitar.
PENGENDALIAN KEBAKARAN
Semi Permanen
Jumlah tenaga kerja per unit kerja
(4 Unit kerja )
Jumlah pasien (untuk ruang rawat di.............)
Jumlah : -
3. Kondisi Instalasi Listrik Peralatan listrik :
Suplay dari Genset di ruangan ✔
Ada, Tidak ada
:
Kebakaran
Ruang : Fisioterapi
-
Ruangan Resiko jatuh Bekerja Beri jarak Edukasi Tenaga
kecil tersandung secara antar ruang Kerja
sehingga akibat ruang rileks dan fisioterapi Fisioterapi
jarak ruang fisioterapi satu tidak ada agar tidak
fisioterapi dengan yang cidera terjadi
lain terlalu pada saat kecelakaan
1,2,3
dekat bekerja. akibat kerja.
terlalu
dekat
Ns. Romliyadi, S.Kep., M.Kes.,M.Kep Ade Irma Hutasuhut, SKM Uztazhar Anuggrah
II. Dokumentasi Foto Hasil Identifikasi