Anda di halaman 1dari 3

Istana Alwatzikhoebillah Kesultanan Sambas terletak di daerah pertemuan Sungai

Sambas, dengan luas tanah 16.781 m2 membujur arah barat-timur. Istana Alwatzikhoebillah
yang ada sekarang, dibangun oleh Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-
1943), sultan ke-15, pada tahun 1933 dan ditempati pada tanggal 6 Juli 1935. Pembangunan
ini menghabiskan biaya mencapai 65.000 gulden dan dilaksanakan oleh Tjin Nyuk dari
Pontianak, dengan luas bangunan istana berukuran panjang 9,50 m dan lebarnya 8,05 m.
Sebagai sebuah bangunan di tepian sungai, pastinya pada zaman dahulu perahu sudah
menjadi alat transportasi. Terlebih, tepian Sungai Sambas sejak awal telah menjadi daerah
pemukiman warga dengan mendirikan rumah rakit/ rumah kolong.
Terdapat dermaga atau dikenal dengan seteher yang terletak di depan istana untuk
perahu/kapal bersandar. Dermaga ini memiliki struktur menjorok ke tengah sungai dan
terdapat jalan menuju istana yang melewati gerbang istana. Begitu melangkahkan kaki
menuju ke dalam istana, maka kita akan disambut dengan bangunan yang semuanya
berlapiskan kayu. Bangunan ini disebut dengan Gerbang Segi Delapan yang menjadi gerbang
pintu masuk halaman Istana Alwatzikhoebillah dan memiliki nilai filosofi serta kegunaan
tersendiri pada zaman dahulu. Gerbang masuk ini dibuat bertingkat dua dengan bentuk segi
delapan dan memiliki luas 76 meter2.
Ruang pada gerbang di bagian bawah difungsikan sebagai tempat penjaga dan tempat
beristirahat rakyat yang berkunjung ke istana sebelum memasuki halaman utama dan bertemu
sultan. Sedangkan ruang bagian atas berfungsi untuk tempat mengatur penjagaan dan pada
saat-saat tertentu digunakan sebagai tempat untuk menabuh gamelan dan alat-alat kesenian
lainnya, gerbang ini juga memiliki nilai filosofi tersendiri. Arti dari bentuk segi delapan
adalah delapan penjuru mata angin, sehingga kita harus memiliki pandangan serta wawasan
dari arah manapun dan sebagai bentuk untuk mengenang jasa pendiri istana.
Atap Gerbang Segi Delapan yang berbentuk segiempat merupakan simbol sultan yang
telah mengikuti sifat Rasulullah saw. Yakni : Siddiq (Benar), Amanah (Kepercayaan),
Tabligh (Menyampaikan), dan Fathanah (Pintar). Setelah melalui pintu gerbang pertama yang
bersegi delapan, maka di tengah halaman istana, mata kita akan langsung tertuju kepada tiang
bendera yang berfungsi untuk mengibarkan bendera Kesultanan Sambas berwarna kuning
emas pada tiap hari besar pada zaman kesultanan dahulu tiang yang ditopang oleh 4 kayu
lainnya dan “dijaga” oleh 3 meriam kuno memiliki makna yang terkandung di dalamnya.
Tiang bendera utama melambangkan sultan, dan 4 tiang penyangga di
sekelilingnya melambangkan empat pembantu sultan yang disebut Wazir. Di bawah
tiang bendera terdapat 3 meriam kuno, hadiah dari tentara Inggris pada tahun 1813,
salah satunya beranama Si Gantar Alam, yang melambangkan tiga buah sungai yang
terdapat di sekitar istana harus selalu dijaga.
Di area ini pula, pahlawan Sambas, Tabrani Ahmad gugur ditembak tentara Belanda
saat mempertahankan merah putih.Dua tiang penyangga pada sisi kiri dan kanan tiang
melambangkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahannya, sultan selalu didampingi
oleh ulama dan khatib di bagian kiri halaman, tidak jauh dari tiang bendera terdapat pohon
kayu putih yang ditanam atas perintah sultan, Panglima Daud dan Bakar, untuk mengenang
peristiwa selesainya Perang Sungkung pada tahun 1883.
Di sisi sebalah barat daya halaman, kita juga bisa melihat kokohnya Masjid Agung
Jami’ Sambas yang dibangun dengan kayu belian serta memiliki arsitektur melayu yang
sangat kental. Sebelum melanjutkan langkah kaki menuju ke bangunan utama Istana
Alwatzikhoebillah, kita harus melewati gerbang utama yang berlantai dua dan berbentuk
persegi panjang. Bagian bawah dari gerbang ini berfungsi sebagai tempat para penjaga yang
bertugas selama 24 jam, sedangkan bagian atas digunakan oleh keluarga sultan untuk
beristirahat sambil menyaksikan aktivitas kehidupan rakyatnya sehari-hari.
Gerbang utama ini memiliki arsitektur melayu yang sangat kental, mulai dari atap
yang menggunakan atap sirap pada pembuatannya dan warna dari gerbang ini menunjukan
arsitektur kesultanan melayu pada umumnya. Setelah melewati gerbang kedua dan pagar
halaman inti, maka tibalah kita pada bangunan utama istana. Bangunan utama ini berukuran
11,50 x 22,60 m dan pada bagian atas pintu istana terdapat tulisan “Alwatzikhoebillah” yang
berarti “Berpegang Teguh dengan Nama Allah swt.” Maknanya adalah seluruh sultan yang
memerintah kesultanan harus berlandaskan agama Islam dan berpegang teguh pada hukum
Allah swt. dan Hadits Nabi Muhammad Saw.
Adapun lambang yang terdapat di Istana Sultan Muhammad Mulia Ibrahim
Tsafiuddin adalah Bintang Tiga Belas yang di dalamnya terdapat tulisan angka 9 bermakna
bahwa istana ini dibuat oleh sultan yang kesembilan yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim
Tsafiuddin. Selain itu, keberadaan dua ekor elang laut melambangkan bahwa Kesultanan
Sambas pernah berjaya dan mempunyai angkatan laut yang kuat.

Bangunan utama Istana Alwatzikhoebillah diapit oleh dua bangunan berbentuk


limasan. Di sisi kiri istana utama terdapat bangunan yang berukuran 5x26 meter. Pada zaman
dahulu, bangunan ini difungsikan sebagai dapur dan tempat para juru masak istana untuk
menyiapkan bagi keluarga sultan. Di sisi kanan bangunan utama, terdapat bangunan yang
ukurannya sama seperti dapur dan difungsikan sebagai tempat sultan dan pembantunya
bekerja. Bangunan-bangunan ini dihubungkan dengan lorong beratap dengan ukuran 5,90 x
1,50 m. Di sebelah utara bangunan utama istana, dulunya digunakan untuk rumah pengawal.

Begitu kita masuk ke dalam ruang utama Istana Alwatzikhoebillah, maka bangunan
ini tediri dari tujuh ruangan. Balairung terletak di bagian depan dan kita bisa melihat di
sekeliling kita terdapat empat cermin besar di setiap sudut ruang tamu dan koleksi foto
Kesultanan Sambas. Selain itu, begitu kita masuk lebih dalam, kita akan melihat kamar tidur
sultan, kamar tidur istri sultan, dan kamar tidur anak-anak sultan yang berhiaskan kain
berwarna kuning.
Warna kuning yang mendominasi di Istana Alwatzikhoebillah, juga sama seperti
warna dominan yang terdapat di Istana Kadriah Pontianak, di mana warna ini menjadi
lambang tersendiri bagi kebudayaan melayu yang  melambangkan kejayaan dan budi pekerti.
Selain itu, di kamar sultan terdapat busana atau pakaian kebesaran sultan yang disimpan
dalam sebuah lemari kaca, payung kesultanan, pedang, meja tulis sultan, dan barang lainnya.
Pada bagian dinding kamar, terpajang foto-foto keluarga sultan yang pernah memerintah
Kesultanan Sambas.
Ketika kita keluar dari kamar dan ingin menuju ke ruang keluarga, maka di
atas pintu yang menghubungkan balairung dan ruang keluarga terdapat lambang
Kesultanan Sambas dengan tulisan “Sultan Van Sambas” dan tanggal 15 Juli 1933
sebagai tanggal peresmian istana. Bangunan yang berada di sebelah utara bangunan
utama istana ini, pada zaman dahulu digunakan untuk rumah pengawal, di ruangan
paling depan sering digunakan oleh sultan sebagai tempat bersemedi atau bertapa dan
sebagai tempat penyimpan pusaka.  Selain itu, terdapat ruang makan dan ruang
khusus menjahit untuk membuat segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan
keluarga sultan.
Begitu kaki terus melangkah hingga ke bagian belakang rumah sultan, terdapat
menara air yang berfungsi sebagai penampungan air sebelum dialirkan melalui pipa ke
seluruh kompleks Istana Alwatzikhoebillah. Searah dengan menara air, tepatnya di sebelah
timur laut dari istana, terdapat kolam pemandian yang dulunya digunakan sebagai tempat
pemandian para permaisuri dan putri sultan.
Konon katanya, terdapat kepercayaan masyarakat sekitar yang mengatakan bahwa
jika kita mengambil air yang terdapat di tempat tersebut, lalu meminum dan mencuci muka,
maka air tersebut akan memberikan efek positif kepada orangnya. Di sekitar istana juga
terdapat pemakaman raja-raja dan keluarga istana, di antaranya makam Sultan Syafiuddin II
(penulis Buku Silsilah Sambas), makam Permaisuri Ratu Anom Kesuma Ningrat, dan
keturunan lainnya

Anda mungkin juga menyukai