Anda di halaman 1dari 2

Jamaah Jumat rohimakumulluh 

Seringkali silaturahmi Lebaran kita tidak sepenuhnya menggembirakan. Malah lebih cenderung membuat banyak orang trauma. Bukan
tersebab opornya yang kurang gurih, atau ketupatnya yang terlalu keras, apalagi karena kaget dengan kaleng biskuit yang ternyata isinya
rengginang. Namun yang dimaksud ialah bahwa kesucian Lebaran sering ternodai kata-kata dan sikap-sikap yang sadar ataupun tidak
sadar muncul dari kita.
Hal itu dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan semisal “Kapan menikah?” atau “Kapan selesai skripsi?” dalam konteks tak
positif. Dapat pula berupa komentar-komentar tak mengenakkan semisal “Kamu terlihat lebih gendut.” atau “Anakmu banyak sekali.”
Begitu pula dengan sikap cenderung pamer, baik eksplisit seperti terlalu membanggakan pencapaian diri ataupun tersirat dengan
memamerkan kendaraan dan gadget mewah. Termasuk juga sikap kurang sopan kepada kerabat yang lebih tua atau kerabat yang
dianggap kurang dekat.
Sungguh Al-Imām Aḥmad telah meriwayatkan sebuah hadis yang semestinya kita renungkan dalam-dalam agar tidak jatuh pada perangai
tercela di atas yang dapat mencemari amalan seseorang.
‫هللا صلَّى‬ ُ ‫ وتصد‬،ُ‫ يا رَ سو َل هللاِ! إنَّ فالن َة تقو ُم اللَّي َل و َتصو ُم ال َّنهارَ وتفعل‬: ‫قي َل لل َّنبيِّ صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم‬
ِ ‫ و ُتؤذي جيرا َنها بلِسانِها؟ فقال رسو ُل‬،‫َّق‬
ِ ‫أهل ال َّن‬
‫ار‬ ِ ‫ هيَ من‬، ‫ هللا علي ِه و سلم ال َخيرَ فيها‬.
Ada sejumlah Ṣaḥābat berkata kepada Nabi ṣallāllahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang wanita yang di
malam harinya banyak salat malam dan di siang harinya banyak berpuasa sunnah, serta banyak ibadah lainnya serta ia juga banyak
bersedekah. Tetapi ia sering menyakiti tetangganya dengan kata-katanya.
Rasulullah berkata: “Tidak ada kebaikan padanya. Ia akan masuk neraka lebih dahulu.”
Bukankah wanita ini sangat mirip kita yang telah banyak salat, berderma, dan berpuasa di bulan Ramadan namun malah di hari Idulfitri
menyakiti saudara-saudari dan para tetangga kita?
Jika memang demikian, maka alangkah serupanya kita dengan hadis lain yang terkenal:
َ ‫ و َيْأتي ْقد‬،ٍ‫وزكاة‬
  ‫ش َت َم‬ ‫ْأ‬ ‫ُأ‬
ٍ ِ‫ وص‬،ٍ‫ إنَّ ال ُم ْفلِسَ مِن مَّتي َي تي يَو َم القِيا َم ِة بصَ الة‬:َ‫ فقال‬، َ‫ ال ُم ْفلِسُ فِينا مَن ال دِرْ َه َم له وال مَتاع‬:‫َت ْدرُونَ ما ال ُم ْفلِسُ ؟ قالوا‬
َ ،‫يام‬ ‫َأ‬
‫َت حَ سَنا ُت ُه َق ْب َل أنْ ُي ْقضَ ى ما عليه‬ ْ ‫ فإنْ َف ِني‬،ِ‫ وهذا مِن حَ سَنا ِته‬،ِ‫ فيُعْ َطى هذا مِن حَ سَنا ِته‬،‫ وضَ رَ بَ هذا‬،‫ وسَ َفكَ دَ َم هذا‬،‫ وَأ َك َل ما َل هذا‬،‫ و َق َذفَ هذا‬،‫هذا‬
ُ ُ ُ ‫ُأ‬
ِ ‫ ث َّم ط ِرحَ في الن‬،‫ خ َِذ مِن َخطايا ُه ْم فط ِرحَ ت عليه‬.
‫ار‬ َّ ْ َ
Rasulullah ṣallāllahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?”
Para Ṣaḥābat menjawab: “Menurut kami orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya uang sepeser pun dan tidak punya barang
apapun.”Rasulullah berkata: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
membawa pahala salat, pahala puasa, dan pahala zakat, namun ia juga datang membawa dosa telah mencela orang lain, telah menuduh
orang lain, telah mengambil harta orang lain, telah membunuh orang lain, dan telah memukul orang lain. Maka sebagian pahalanya
dipindahkan kepada korban celaan dan tuduhannya, juga ada pahalanya yang diberikan kepada korban pencurian/korupsi dan
penganiayaannya.Hingga apabila telah habis pahalanya karena telah dibagikan kepada korban-korban kezalimannya tadi, padahal masih
ada korban-korban lainnya yang belum mendapat jatah pahalanya, maka dosa-dosa mereka dialihkan pada orang yang zalim ini,
sehingga ia langsung dimasukkan ke neraka.” [HR. Muslim]
Padahal ibadah-ibadah ritual memiliki maqāṣid (tujuan-tujuan) mulia. Puasa misalnya. Kita semua hafal ayat perintah puasa: “La’allakum
tattaqūn. Agar kalian menjadi semakin bertakwa.” [QS. 2: 183]  Zakat dan berderma semisal infaq, sedekah, fidyah, dan wakaf pun
memiliki hikmah yang teramat luhur. Ialah pensucian jiwa. Allah firmankan:
َ َ‫ُخ ْذ مِنْ ا‬
‫مْوال ِِه ْم صَ دَ َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّكي ِْه ْم ِبهَا‬
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” [QS. 9: 103]
Begitu pula dengan salat, baik yang wajib seperti salat lima waktu, maupun yang sunnah semisal salat Tarawih dan salat Id, punya salah
satu tujuan tertinggi salat, yaitu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana di QS. 29: 45. Al-Imām Ar-Rāziyy dalam salat ada
bacaan doa, zikir, dan ayat Al-Qur’an yang jika diresapi maknanya, maka akan membuat seseorang semakin takut berbuat dosa dan
berakhlak buruk. Dalam salat kita diajari merendahkan diri di hadapan Allah, khusyuk dan fokus pikiran kita, khusyuk dan tenang anggota
tubuh kita, yang semua melatih kita untuk selalu merasa diawasi Allah di mana pun. Melatih kita untuk bisa mengendalikan pikiran dan
anggota tubuh dari melanggar larangan Allah.
Lantas, kalau memang perbaikan-perbaikan kepribadianlah yang menjadi salah satu maqāṣid terbesar dari ibadah-ibadah ritual Ramadan
di atas, apakah dapat kita katakan bahwa cukuplah kita berakhlak baik, meninggalkan dosa, bersih hati, dan bertakwa, tanpa perlu
mengerjakan salat, zakat, dan puasa? Apakah dengan demikian, sebenarnya amal ritual tidak diperlukan lagi? Yang terpenting adalah amal
sosial? Rincian-rincian ibadah tidak relevan lagi diperhatikan, sebab yang paling urgen adalah tujuan-tujuan besar ibadah?
Jawabnya tentu tidak begitu. Sebab di penggalan hadis tadi pun sang wanita ternyata juga banyak berderma, yang sebenarnya merupakan
ibadah sosial. Sebab kita tetap diperintahkan terus beribadah meski hikmah dan tujuan tadi belum terwujud pada diri kita. Maqāṣid pun
takkan terwujud tanpa ibadah ritual dan aturan fikih yang melandasinya sebagaimana ditegaskan Al-Imām Asy-Syāṭibiyy. Ibarat bangunan
takkan tegak tanpa batu bata, semen, dan pasir penyusunnya.Tetapi masalahnya ada dua:
Pertama: fokus berlebih pada ritual ibadah dan mengabaikan maqāṣid serta tujuan etika dari ritual. Ibarat siswa yang rajin hadir di kelas
namun enggan memahami pelajaran. Demikianlah orang yang rajin salat, zakat, dan puasa namun lalai dari merealisasikan tujuan sosial
dari ibadah-ibadah ini.
Kedua: semangat memperbanyak amalan farḍu kifāyah atau sunnah namun lupa menjaga diri dari keharaman. Ibarat siswa yang rajin
mengelap kaca jendela ruang guru namun mencoret-coret tembok sekolah. Demikianlah orang yang semangat menambah pahala dengan
amalan farḍu kifāyah atau sunnah namun lancang menerjang keharaman.
Hal ini jelas nampak dari lanjutan hadisnya, yang sering lupa disampaikan oleh para penulis dan penceramah:
‫أهل الج َّن ِة‬
ِ ‫ هيَ من‬: ‫هللا‬ ً ‫ وال ُتؤذي‬، ‫بأثوار‬
ِ ‫أحدا ؟ فقال رسو ُل‬ ٍ ُ ‫ وتصد‬، ‫النة تصلِّي المكتوب َة‬
‫َّق‬ ُ ُ‫ وف‬: ‫قالوا‬
Para Ṣaḥābat tersebut berkata lagi kepada Nabi ṣallāllahu ‘alaihi wasallam: “Ada pula wanita lainnya yang hanya salat yang wajib, hanya
bersedekah sedikit makanan, namun ia tidak menyakiti seorang pun.”
Rasulullah merespon: “Ia termasuk penduduk surga.”
Memang ironis, kita semangat bersedekah dan umrah tapi juga terus berani korupsi dan bertransaksi riba. Banyak berzikir dan salawat
namun tidak memakai jilbab atau gemar menggunjing. Semangat tilawah namun tak segan melihat aurat.
Memperjuangkan keadilan bagi wanita, namun membela prostitusi dan homoseksual. Menyerukan toleransi, namun hati penuh kebencian
dan sūuẓann pada sesama muslim.
Giat berdakwah dan menghadiri pengajian namun juga durhaka pada orangtua serta memutus silaturahmi dengan kerabat. Maksimal
Ramadannya, namun pongah dan menyakiti sesama di Hari Idulfitri.
Sungguh beruntung orang yang dalam ibadah-ibadah ritualnya tidak lupa menghadirkan hati dan kesadarannya bahwa ibadah semestinya
membuahkan akhlak mulia dan rasa takut dari menerjang dosa.
Sungguh beruntung orang yang bersamaan dengan kesemangatannya memperbanyak amalan sunnah juga lebih semangat lagi
meninggalkan akhlak tercela dan perbuatan yang haram.
Memang, inilah di antara tanda kesempurnaan diterimanya amal salih seseorang. Dengannya, maka maqāṣid amal salih tak lagi ternodai.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
Menurut Imam Asy-Syatibi maqashid syariah memiliki 5 hal inti yaitu :
1) Hifdzu Ad-Diin (‫ )حـفـظ الـديـن‬atau Menjaga Agama
2) Hifdzu An-Nafs ( ‫ )حـفـظ النــفـس‬atau Menjaga Jiwa
3) Hifdzu Aql ( ‫ ) حـفـظ العــقل‬atau Menjaga Akal
4) Hifdzu An Nasl ( ‫ ) حـفـظ النـسـل‬atau Menjaga Keturunan
5) Hifdzu Al Maal ( ‫ ) حـفـظ المــال‬atau Menjaga Harta
Menjaga Agama  
Syariah Islam menjaga kebebasan berkeyakinan dan beribadah, tidak ada pemaksaan kehendak dan tidak ada tekanan dalam beragama.
Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 256 
ِّ‫ْن َق ْد َّت َبيَّنَ الرُّ ْش ُد مِنَ ْالغَ ي‬
ِ ۗ ‫ۚ ال ا ِْكرَ ا َه فِى ال ِّدي‬
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” 
Menjaga agama dalam maqashid syari'ah juga merupakan upaya untuk menjaga amalan ibadah seperti shalat, zikir, dan sebagainya serta
bersikap melawan ketika agama Islam dihina dan dipermalukan. Begitu pula amalan ibadah juga berperan untuk menjaga keutuhan dan
kemuliaan agama itu sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda :
ِ ‫الصـَّـالةُ عِ ـمَــا ُد الـ ِّدي‬
َ‫ْن َفـ َمنْ أ َقامَـهَا َفـ َق ْـد أ َقا َم الـ ِّد ْينَ َو َمـنْ َترَ َكــهَا َفـ َق ْـد هَـدَ َم الـ ِّد ْين‬
“Shalat adalah tiang agama. Barang siapa mendirikan shalat, maka ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia
merobohkan agama“  
Menjaga Jiwa   
Al-Qur’an juga menjelaskan agar umat manusia dapat memelihara jiwanya. QS Al-Furqan: ayat 68:
ُِّ ‫هللا ا ِٰالهًا ٰا َخرَ َوالَ َي ْق ُتلُ ْونَ ال َّن ْفسَ الَّتِيْ حَ رَّ َم هللا ُ ِاالَّ ِب ْالحَ ِّق َوالَ ي َْز ُن ْو ۚنَ َو َمنْ َّي ْفعَ ْل ٰذلِكَ ي َْلقَ اَ َثامًا‬
ِ َ‫َوالَّ ِذ ْينَ الَ ي َْدع ُْونَ مَع‬
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia akan mendapat dosa” 
Selain itu, menjaga jiwa juga erat kaitannya untuk menjamin atas hak hidup manusia seluruhnya tanpa terkecuali. Hal ini tercantum dalam
QS Al-Maidah ayat 32 :
‫ض َف َكا َ َّنمَا َق َت َل ال َّناسَ جَ ِميْعً ۗا َو َمنْ اَحْ يَاهَا َف َكا َ َّنمَا اَحْ يَا ال َّناسَ جَ ِميْعً ا‬
ِ ْ‫س اَ ْو َفسَ ا ٍد فِى ااْل َر‬
ٍ ‫ۗ َمنْ َق َت َل َن ْفسً ا ِبغَ ي ِْر َن ْف‬ 
Menjaga Akal
Akal adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Inilah salah satu yang menyebabkan manusia menjadi makhluk
dengan penciptaan terbaik dibandingkan yang lainnya. Akal akan membantu manusia untuk menentukan mana yang baik dan buruk. 
 
Penghargaan Islam terhadap peran akal terdapat pada orang yang berilmu, yang mempergunakan akal-nya untuk memikirkan ayat-ayat
Allah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Ali-Imran ayat 190-191 
 
    َ‫ض رَ َّب َنا مَا َخلَ ْقت‬ ۚ ِ ْ‫ت َواألر‬ ِ ‫رُونَ فِيْ َخ ْل ِق ال َّسم ََو ٰا‬ ْ ‫هللا قِيَامًا َّوقُع ُْودً ا وَّ عَلى جُ ُن ْو ِب ِه ْم َو َي َت َف َّك‬ ِ ۙ ‫ت ُألولِى األ ْلبَا‬
َ َ‫الَّ ِذيْنَ ي َْذ ُكرُ ْون‬    ‫ب‬ ٍ ‫َار أليَا‬ِ ‫اخ ِتاَل فِ الَّي ِْل َوال َّنه‬
ْ ‫ض َو‬ ِ ْ‫ت َوااْل َر‬
ِ ‫َاوا‬ َ ‫اِنَّ فِيْ َخ ْل ِق ال َّسم‬
‫ار‬ ٰ ‫هذا بَاطِ ۚال ُسب‬
ِ ‫ْحا َنكَ َفقِ َنا عَ َذابَ ال َّن‬ َ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal (190), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka)
 
Menjaga Keturunan   
Salah satu poin penting dalam sebuah pernikahan adalah lahirnya generasi penerus yang diharapkan dapat berkontribusi lebih baik.
Keturunan menjadi penting, salah satu yang mencelakai penjagaan keturunan adalah dengan melakukan zina. 
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman secara tegas mengenai zina yaitu pada QS An-Nur ayat 2 
َ‫هلل َوا ْلي َْو ِم اٰأل خ ۚ ِِر َو ْل َي ْش َهدْ عَ َذا َب ُهمَا َط ۤا َف ٌة مِّنَ ا ْلمُْؤ ِم ِنيْن‬
ِ ‫هللا اِنْ ُك ْن ُت ْم ُتْؤ ِم ُن ْونَ ِبا‬
ِ ‫ْن‬ ‫ْأ‬ ‫ْأ‬
ِ ‫الزانِيْ َفاجْ لِد ُْوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْن ُهمَا مِاَئ َة جَ ْلدَ ٍة َّۖوال َت ُخ ْذ ُك ْم ِب ِهمَا رَ َف ٌة فِيْ ِدي‬
َّ ‫لزا ِن َي ُة َو‬
َّ َ‫ا‬
 “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.”
 
Menjaga Harta  
Pembahasan perkara harta lebih ke arah interaksi dalam muamalah. Menjaga harta adalah dengan memastikan bahwa harta yang kamu
miliki tidak bersumber dari yang haram. Serta memastikan bahwa harta tersebut didapatkan dengan jalan yang diridhai Allah bukan
dengan cara bathil sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 
ْ ‫اس ِب‬
َ‫اإلث ِم َواَ ْن ُت ْم َتعْ لَم ُْون‬ ِ ‫ال ال َّن‬ ِ ‫َوال َتْأ ُكلُ ْوا اَم َْوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل َو ُتدْ لُ ْوا ِبهَا ِالَى ْالحُ َّك ِام ِل َتْأ ُكلُ ْوا َف ِر ْي ًقا مِّنْ اَمْ َو‬
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”
Dari semua paparan di atas, tampak bahwa maqashid al-syari'ah merupakan aspek penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini
sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat. 
 
Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang
bersifat universal. Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat. 

Anda mungkin juga menyukai