Anda di halaman 1dari 24

STUDI MUSNAD AHMAD

BIN HAMBAL

ILMU HADIS XII IKA


MAN 2 KOTA MAKASSAR
 Ahmad putera Muhammad Ibnu Hanbal al-Syaibani al-
Baghdadi, beliau lahir pada tahun 164 H. di Baghdad
dan meninggal di kota yang sama pada tahun 240/241
H. Imam Ahmad Ibnu Hanbal sempat dipenjarakan
selama 28 bulan gara-gara sikapnya gigih menolak
faham kemahluqan al-Qur’an. Keteguhan Imam Ahmad
dalam memegangi prinsip keimanan tersebut
disetarakan dengan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq saat
dihadapkan pada para pengingkar kefardhuan zakat di
awal kekhalifahannya. Ahmad Ibnu Hanbal di lepas dari
penjara sehubungan sikap al-Mutawakkil tidak lagi
berfaham mu’tazilah seperti khalifah pendahulunya.
 Sebagian besar kekayaan ilmu Imam Ahmad Ibnu
Hanbal diperoleh melalui ulama di kota kelahirannya
Baghdad dan sempat mengantarkan dirinya sebagai
anggota tetap group diskusi atau halaqah Qadhi Abu
Yusuf sejawat Imam Abu Hanifah. Ketika Imam Syafi’i
tinggal di Baghdad Ahmad Ibnu Hanbal terus menerus
mengikuti kegiatan program halaqahnya sehingga
tingkat kedalaman ilmu fiqh dan hadits telah menjadikan
pribadi Ahmad sebagai seorang istimewa dalam majelis
belajar Imam al-Syafi’i. Kehebatan Ahmad Ibnul Hanbal
dalam ilmiah fiqh beroleh pengakuan dari Imam Syafi’i
dan Yahya Ibnu Ma’in, terbukti pula popularitasnya
madzhabnya mampu menembus wialayah Syam/Syiria,
Iraq Nejed dan daerah sekitarnya.
 Guna memperluas wawasan hadits Imam Ahmad Ibnu
Hanbal melakukan perjalanan ke beberapa negara dan
hal itu ditempuh setelah cukup lama menimba hadis dari
Imam Syafi’i selama tinggal di Baghdad. Studi hadits di
manca negara meliputi Yaman, Koufah, Bashrah,
Jazirah, Mekkah, Madinah dan Syam. Ketika berada di
Yaman sempat berguru kepada Basyar al-Mafadhal al-
Raqasyi, Sufyan Ibnu Uainah, Yahya Ibnu Sa’id al-
Qaththan, Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Ismail Ibnu
‘Ulayyah dan lain-lain. Perlawatan antar negara pusat
ilmu keislaman menghasilkan sekitar satu juta
perbendaharaan hadits yang dikuasai oleh Imam Ahmad
Ibnul Hanbal. Berkenaan dengan prestasi tersebut Abu
Zar’ah optimis menempatkan Imam Ahmad Ibnu Hanbal
dalam deretan amirul-mu’minin fil-hadits.
 Keahlian Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam mengajarkan
hadits/sunnah berhasil memandu beberapa murid
asuhan beliau menjadi ulama hadits, misalnya Imam al-
Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Waqi’ Ibnul-Jarrah,
Ali al-Madini dan lain sebagainya.
 Disiplin ilmu yang menjadi bidang keahlian Imam Ahmad
Ibnu Hanbal bila melihat pada karangan tersiar
mencakup hadis dan ilmu hadits, fiqh dan ushul-fiqh
serta tafsir. Kitab al-Ilal memperlihatkan betapa beliau
cukup serius dalam mengamati illat/cacat hadis,
disamping kitab ber­judul “fadhail al-shahabat” menjadi
bukti bahwa Imam Ahmad bersemangat mengenali
sahabat Nabi.
 Ahmad bersemangat mengenali lebih dekat
perilaku tokoh-tokoh sahabat Nabi berikut
prestasi perseorangannya. Sebuah karya tulis
berjudul “kitab al-asyribah” dan “al-nasikh wal
mansukh” menempatkan Imam Ahmad sebagai
analisis fiqh di kelasnya disamping pola
pemikiran fiqhnya yang sedikit banyak
dipengaruhi oleh metode istidlalnya Imam Syafi’i
bekas guru besarnya. Selain sebuah karya tulis
tentang tafsir diketahui pula tulisan beliau
berjudul “kitab al-zuhdi” setara dengan watak
penampilan diri dan perikehidupannya yang
serba zuhud.
Jumlah hadits
 Koleksi hadits dalam al-Musnad semula diangkat dari hasil seleksi
terhadap ± 750.000 hadits yang oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal
ditekankan norma seleksinya pada segi nilai kelayakan hadits yang
bersangkutan untuk dijadikan hujjah. Hasil seleksi tersebut
dibukukan dengan tulisan tangan menjadi 24 jilid dan ketika
diterbitkan dalam edisi cetakan mesin jadi 6 jilid format sedang.
Betapa hanya dalam 6 (enam) buku berformat sedang, namun
melihat muatan hadits yang tertampung di dalamnya sekitar 40.000
hadits pantas dipandang sebagai kitab koleksi hadits terbesar.
Jumlah hadits sebesar itu bila dihitung ulang mengecil menjadi
30.000 karena sisanya berupa ulangan hadits serupa yang mungkin
tersebab jalur sanad berbeda walaupun nama sahabat sumber
utamanya sama, atau sedikit terdapat tata redaksi matan yang
berbeda.
 Daya tampung al-Musnad terhadap hadits
sebanyak itu disamping Imam Ahmad Ibnu
Hanbal adalah guru besar ulama muhadditsin
generasi berikutnya serba mungkin bila
hadits/sunnah yang memadati sunan
al-sittah/kutub al-sittah termuat juga dalam al-
Musnad. Oleh karenanya al-Hafidz Ibnu Katsir
menilai kitab al-Musnad Imam Ahmad Ibnu
Hanbal dari segi kuantitas hadits dan ketinggian
susunan tata kalimat matannya tidak tertandingi
oleh kitab bentuk musnad manapun.
Sistematika perawi
 1. Hadits-hadits yang transmisi
periwayatannya melalui 10 sahabat Nabi
yang telah diberitakan prospek pribadinya
Rasulullah SAW sebagai penghuni surga,
yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibnul-
Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah, Zubair Ibnul ‘Awwam,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Jubair,
Abd. Rahman bin ‘Auf dan Abu ‘Ubaidah
Ibnul-Juhrah ;
 2. Hadits-hadits yang bersumber periwayatannya melalui
para sahabat Nabi peserta perang Badar. Prioritas
penempatan hadits dari mereka berkait erat dengan
informasi dari Rasulullah SAW bahwa telah ada jaminan
pengampunan massal dari Allah SWT atas segala dosa
para sahabat yang ambil bagian dalam perang Badar,
berikut jaminan tidak bakal masuk neraka untuk mereka
(eks hadits marfu’ melalui Jabir bin Abdillah dalam
Shahih Muslim dan melalui Abu Hurairah dalam Musnad
Ahmad/Sunan Abu Dawud/Ibnu Abi Syaibah). Hadits-
hadits yang dimaksud melibatkan 313 sahabat dengan
perincian 80 orang eks sahabat muhajirin dan sisanya
sahabat sahabat dari kalangan anshar
 3. Hadits-hadits yang perawi utamanya adalah para
sahabat yang mengikuti peristiwa bai’atur-ridhwan dan
shulhul-hudaibiyah ;
 4. Hadits-hadits yang sumber periwayatannya melalui
para sahabat Nabi yang proses keislaman pribadinya
bertepatan dengan peristiwa fathu Makkah ;
 5. Hadits-hadits yang periwayatannya bersumber melalui
para Ummahatul-mu’minin (janda-janda mendiang Nabi
Muhammad SAW) dan diakhiri dengan ;
 6. Hadits-hadits yang periwayatannya melalui para
wanita sahabiah.
 Berdasarkan sistematika al-Musnad
semacam itu maka pengelompokan hadits
tidak terikat unsur materi pokok yang
dikandung matan hadits yang
bersangkutan dan bagi pencari hadits
koleksi Imam Ahmad Ibnu Hanbal harus
tahu persis nama sahabat Nabi yang
meriwayatkannya
 Al-Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal pernah
dipublikasi­kan dengan modifikasi baru yakni
dengan sistematika huruf hijaiyah oleh inisiatif
al-Hafidz Abu Bakar al-Maqaddisi (seorang
pemuka ulama madzhab Hanbali). Format
terakhir justru memodifikasi yang
mengelompokkan masing-masing hadits berdasar
atas kesatuan materi ajaran dan disusun
mengikuti sistematika bab-bab seperti pada kitab
fiqh. Modifika­si terakhir di kerjakan oleh Ahmad
Ibnu Abd. Rahman al-Banna (lebih dikenal
dengan panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus
mensyarahi dengan titel kitab “Bulughul-amani”.
Beliau tergolong ulama abad 14 hijriah dan
meninggal pada tahun 1351 H.
Kualitas Hadits
 Tekad Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah mengupayakan koleksi
hadits yang berpotensi sebagai hujjah. Berbekal tekad itu pula telah
dilakukan penelitian seksama agar setiap hadits yang dimuat dalam
al-Musnad bermutu shahih. Atas dasar penegasan Imam Ahmad
itulah Abu Musa al-Madini optimis memandang setiap hadits dalam
al-Musnad berkelaya­kan dijadikan hujjah. Penilaian serupa pernah
dinyatakan oleh Jalaluddin al-Sayuthi. Sedikit moderat adalah sikap
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani yang hasil penelitiannya berakhir
dengan kesimpulan bahwa dari sejumlah 40.000 hadits al-Musnad
hanya 3 atau 4 (empat hadits yang belum diketahui secara pasti
sumber pengoperan riwayatnya. Dengan ungkapan lain bahwa
dalam al-Musnad terdapat sejum­lah hadits bermutu shahih dan
hadits dha’if dalam strata mendekati hasan lighairihi.
 Berbeda dengan sikap penilaian ulama di
atas al-Baqa’i menunjuk sejumlah hadits
(tanpa menyebut dengan pasti berapa
banyaknya) dalam al-Musnad yang
dianggap maudhu’. Demikian pula al-
Hafidz al-’Iraqi menuduh 9 (sembilan)
hadits maudhu’ sedangkan Ibnul-Jauzi
mengklaim 29 hadits maudhu’ dalam kitab
al-Musnad Ahmad Ibnu Hanbal.
 Bila ditelusuri ulang koleksi hadits dalam al-
Musnad yang bermateri fadha’il al-a’mal terasa
adanya pola pe­longgaran (tasahul) dalam sistem
seleksi pemuatannya, padahal Imam Ahmad bin
Hanbal dikenal dikenal moderat dalam tradisi
menilai jarah atau ta’dil pada personalia para
pendukung riwayat hadits. Fenomena yang
mengisyaratkan kontras ini seyogyanya
menjadikan proses histories menuju kodifikasi
al-Musnad sebagai bahan pertimbangan
 Secara jujur perasaan salut perlu diberikan kepada al-
Hafidz al-Iraqi dan Ibnul-Jauzi, sebab kedua ulama hadits
tersebut mengetrapkan normauji mutu terhadap validitas
(keshahihan) hadits bukan semata-mata dipusatkan pada
aspek tran­misi riwayat (sanad) tetapi mengikut-sertakan
pula sektor kandungan matan hadits yang bersangkutan.
Dengan mengen­yampingkan fanatik/sentimen keagamaan
tepat kiranya bila penilaian Imam Syarafuddin al-Nawawi
dijadikan pegangan. Beliau memandang hadits-hadits
koleksi al-Musnad setara dengan hadits koleksi Abu
Dawud al-Thayalisi dalam derajat kehujjahan haditsnya.
Akreditas semacam itu berakibat menempatkan koleksi
hadits-hadits koleksi al-ushul al-khamsah, yaitu Shahih al-
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-
Jami’ al Turmudzi dan Sunan al-Nasa’i.
Proses Pembukuan al-Musnad
 Dalam sebuah artikel majalah terbit di Pakistan Syeikh Abdul
Quddus al-Hasyimi al-Nadawi menganggap tidak benar bila
kumpulan besar hadits yang kemudian dikenal dengan al-Musnad
dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Han­bal. Sepanjang yang
diketahui Imam Ahmad Ibnu Hanbal hanya pernah menulis bahan
hadits yang akan diajarkan dalam al-Mudzakarat, bukan berbentuk
kodifikasi al-Musnad. Upaya koleksi sejumlah besar hadits
sepenuhnya dikerjakan oleh putera beliau Abdullah sepeninggal
ayahandanya dan koleksi hadits tersebut berpindah tangan pada
seorang yang belakangan di ketahui beritikad jelek bernama al-
Qathi’i. Setelah ditambahkan dalam jumlah relatif banyak hadits-
hadits maudhu’ (palsu) dan format ketebalan koleksi itu
membengkak dua kali lebih besar dari format aslinya al-Qathi’i
mempublikasikan koleksi tersebut dengan titel al-Musnad dalam 6
(enam) jilid
 Sinyalemen yang termuat pada artikel tersebut
di atas berbeda sekali dengan realita yang
pernah dituturkan kembali oleh al-Hafidz
Syamsuddin Ibnul-Jazari. Imam Ahmad Ibnu
Hanbal sendiri memprakarsai pembukuan al-
Musnad yang diawali dengan teks tulisan tangan
pada lem­baran-lembaran dan peneglompokan
tertentu sebesar format mendekati akuran al-
Musnad itu. Merasa bahwa dirinya semakin
lanjut usia beliau mengajarkan teks al-Musnad
selengkapnya kepada keluarganya dan ajalpun
datang sebe­lum beliau sempat merapikan
susunannya.
 Abdullah putera Imam Ahmad Ibnu Hanbal
mengambil oper prakarsa tersebut dan
sepanjang hadits-hadits yang diperdengarkan
kepada Abdullah tertulis dalam al-Musnad
dengan pengantar riwayat “haddatsana
‘Abdullah, haddatsani abi” dan seterusnya.
Itulah sebabnya al-Musnad edisi manapun tidak
diawali dengan muqaddimah kitab sebagai
layaknya kitab ilmu keis­laman pada umumnya.
Abdullah Ibnu Ahmad bertindak sebagai penyalin
naskah semata-mata tanpa revisi atau
pembetulan redaksi.
 Bila diperhatikan pengantar riwayat (shighat al-tahdis)
diketahui bahwa Abdullah Ibnu Ahmad telah mengam­bil
inisiatif menambahkan hadits-hadits yang berasal dari
tulisan tangan Imam Ahmad yang pribadi Abdullah
belum pernah diajarinya. Selain itu Abdullan tambahkan
pula hadits-hadits hasil berguru kepada ulama hadits
seangkatan Imam Ahmad dan telah dikonsultasikan
kepadanya. Dalam tata penyajian hadits tersebut dipakai
pengantar “haddatsana Abdullah, haddatsana …..”
sebagai pertanda bahwa hadits tersebut bukan dikutip
dari pelajaran yang diberikan oleh ayahandanya.
 Unsur-unsur tambahan tersebut relatif kecil
(kurang dari seperempat volume al-Musnad) dan
proses pemuatannya secara tidak langsung tidak
terlepas dari ikatan dengan Imam Ahmad Ibnu
Hanbal. Nisbah kitan al-Musnad kepada Imam
Ahmad Ibnu Hanbal bukan mengada-ada,
terbukti setiap penulis biografi Imam Ahmad
senantiasa mencantumkan kitab al-Musnad
sebagai salah satu karya monumental hadits
yang dikerjakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
 Adapun al-Hafidz Abu Bakar Ahmad Ibnu Ja’far al-Qathi’i lahir tahun
274 H. di Baghdad dan meninggal tahun 368 H. adalah seorang
ulama hadits kenamaan yang kepadanya telah berguru Imam al-
Hakim, al-Daruquthi, Ibnu Syahin, Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Abu
Bakar al-Barqani dan ulama hadis lain-lain. Al-Hafidz al-Qathi’i
belajar hadis-hadis al-Musnad langsung dari Abdullah putera Imam
Ahmad Ibnu Hanbal dan kelak kemudian dari ulama-ulama hadis
kenamaan menerima serta mengajarkan al-Musnad kepada generasi
berikutnya. Bila disinyalir bahwa al-Qathi’i ada menambahkan
hadits-hadits lain di luar yang beliau peroleh dari Abdullah putera
Imam Ahmad Ibnu Hanbal, apabila bisa dibuktikan tentu jumlahnya
amat sedikit dan inisiatif itu lebih berkesan sebagai upaya
menyelamatkan amanah ilmu bagi generasi umat yang akan
datang.
 Dengan memperhatikan proses sejarah pembukuan kitab al-Musnad
tersebut, maka pembaca seyogyanya jeli mengamati pengantar
riwayat setiap hadits yang termuat di dalamnya, sekira tampak jelas
Imam Ahmad Ibnu Hanbal sebagai pangkal riwayat maka potensi
kehujjahannya bisa dipertanggung-jawabkan. Sejalan dengan
klasifikasi hadits-hadits dalam al-Musnad yang di tulis oleh Ahmad
al-Banna dalam muqaddimah al-Fathu al-Rabbaniy halaman 19
pembaca perlu waspada terhadap kelompok hadis zawa’id. tetapi
bila mengingat evaluasi al-Taimiyah maka mutu keshahihan hadits-
hadits kelompok zawa’id dalam al-Musnad tidak perlu diragukan,
lebih-lebih yang berasal dari Abdullah Ibnu Ahmad. Dengan
demikian tuduhan maudhu yang lebih sering dikaitkan dengan
hadits zawa’id tersebut bukan berarti riwayat hadits yang
bersangkutan bersanad seseorang yang dikenal sebagai pendusta,
melainkan sekedar kekeliruan kecil yang terjadi oleh kekhilafan
perawinya mungkin karena unsur kekurangan dalam sifat
kedhabitan.

Anda mungkin juga menyukai