Anda di halaman 1dari 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Maggot Black solider fly (BSF)


Maggot (belatung) ialah larva dari lalat Hermetia illucens atau black soldier
yang bermetamorfosis menjadi maggot lalu berkembang sebagai Black Soldier Fly
muda. Proses ini tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya memerlukan kurang
dari 14 hari atau 2 minggu (Larde, 1990), maggot BSF memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Stratiomydae
Subfamily : Hermetiinae
Genus : Hermetia
Species : Hermetia illucens

Gambar 1. Morfologi Maggot, Pupa dan Lalat Dewasa BSF (McShaffrey, 2013).

Hermetia illucens dewasa berukuran panjang 15 sampai dengan 20 mm dan


memiliki bentuk pipih. Tubuh betina mempunyai warna biru sampai dengan hitam,
pada tubuh jantan mempunyai warna abdomen yang lebih coklat. Pada kedua jenis
kelamin terdapat warna putih pada ujung kaki dan sayap berwarna kelabu. Abdomen
memiliki bentuk memanjang dan menyempit pada basis, dengan 2 segmen yang
memperlihatkan daerah translusen. Venasi sayap tersusun padat dekat costa dan
lebih berpigmen dibandingkan bagian belakang, sedangkan vena C tidak
seluruhnya mengitari sayapnya yang dapat dilihat pada gambar 1 diatas. Kebutuhan
nutrisi lalat dewasa tergantung dari kandungan lemak yang disimpan pada saat

3
pupa. Ketika simpanan lemak habis, maka lalat akan mati (Makkar dkk. 2014).
Berdasarkan jenis kelaminnya, lalat betina umumnya memiliki daya tahan hidup
yang lebih pendek dibandingkan dengan lalat jantan (Tomberlin dkk. 2009).
2.1.1. Siklus Hidup
Siklus hidup maggot BSF mulai telur sampai menjadi lalat dewasa
membutuhkan waktu 40 sampai dengan 43 hari, dipengaruhi dari media pakan yang
diberikan dan kondisi lingkungan (Tomberlin dkk. 2002). Lalat betina dewasa akan
menempatkan telur disamping sumber pakan, lalat betina tidak menempatkan
telurnya langsung di atas sumber pakan dan tidak mudah terusik jika sedang
bertelur, biasanya potongan kardus berongga atau daun pisang kering diletakkan di
atas media pertumbuhan sebagai tempat lalat bertelur.

Gambar 2. Siklus Hidup Lalat BSF


(Tomberlin, Dkk. 2002).

Seekor lalat betina BSF normal mampu memproduksi telur berkisar 185
sampai dengan 1235 telur (Rachmawati dkk. 2010). Tomberlin, (2002)
menyebutkan seekor lalat betina memerlukan waktu 20 sampai dengan 30 menit
untuk bertelur dengan jumlah telur adalah 546 sampai dengan 1.505 butir dengan
memiliki berat massa telur 15,819,8 mg dan berat individu telur 0,026 sampai
dengan 0,030 mg. Waktu bertelur terjadi sekitar pukul 14.00 sampai dengan 15.00.
Lalat betina hanya bertelur 1 kali selama masa hidupnya kemudian mati.
Produksi telur berkorelasi terhadap ukuran tubuh lalat dewasa, lalat betina
memiliki ukuran tubuh dan sayap yang lebih besar disbanding jantan, ukuran tubuh
yang besar cenderung lebih subur dibandingkan dengan lalat yang bertubuh kecil
(Gobbi dkk. 2013). Produksi telur lalat yang berukuran tubuh besar lebih banyak
dibandingkan dengan lalat yang berukuran tubuh kecil. Kelembaban juga

4
mempengaruhi daya bertelur lalat BSF, jika kondisi kelembapan diatas 60% maka
80% lalat betina bertelur dan hanya 40% lalat betina yang bertelur (Sheppard,
2002).
Membutuhkan waktu 2 sampai dengan 4 hari, telur akan menetas menjadi
larva instar satu dan berkembang hingga ke instar enam dalam waktu 22 sampai
dengan 24 hari dengan rata-rata 18 hari (Barros dkk. 2014). Ditinjau dari ukuran
maggot yang baru menetas dari telur berukuran kurang lebih 2 mm, kemudian
berkembang hingga 5 mm. Setelah berganti kulit maggot berkembang dan tumbuh
lebih besar dengan panjang tubuh mencapai 20 sampai dengan 25 mm, kemudian--
masuk ke tahap--prepupa. Larva betina berada di dalam media lebih lama dan bobot
yang lebih berat dibandingkan dengan bobot jantan. Masa prepupa meninggalkan
media pakannya ke tempat yang kering secara alami seperti ke tanah kemudian
membuat terowongan untuk menghindari predator dan cekaman lingkungan
(Tomberlin dkk. 2009).
Suhu adalah faktor yang berperan pada siklus hidup maggot BSF karena
suhu yang lebih hangat (di atas 30°C) menyebabkan lalat dewasa menjadi lebih
aktif dan produktif. Suhu optimal agar dapat tumbuh dan berkembang adalah 30°C,
tetapi pada suhu 36°C menyebabkan pupa tidak dapat mempertahankan hidupnya
yang menyebabkan tidak mampu menetas menjadi lalat dewasa. Pemeliharaan
maggot dan pupa BSF pada suhu 27°C berkembang empat hari lebih lambat
dibandingkan dengan suhu 30°C (Tomberlin dkk. 2009). Suhu juga berpengaruh
terhadap masa inkubasi telur. Suhu yang hangat cenderung memicu telur menetas
lebih cepat dibandingkan dengan suhu yang rendah.
2.1.2. Pertumbuhan
Setelah masa inkubasi selesai telur akan menetas menjadi larva bayi yang
memiliki warna putih pada usia hari ke-0 dan akan menjadi larva dewasa yang
memiliki warna putih keciklatan pada usia hari ke-18 sampai usia hari ke-21 seperti
pada gambar. Molting (pergantian kulit) terjadi karena rangka luarnya tidak akan
muat dengan ukuran tubuh yang lebih besar sehingga menjadi larva dewasa,
pergantian kulit terjadi sampai beberapa kali kemudian larva dewasa akan menjadi
prapupa dan membutuhkan waktu selama 7 sampai dengan 9 hari untuk menjadi
pupa .

5
Larva akan berpindah menuju ke tempar yang gelap untuk berubah menjadi
pupa dan pupa akan lalat mengeras berwarna kecoklatan atau kemerahan, larva
pada masa pupa akan berhenti makan dan aktif membelah sehingga memerlukan
energi yang banyak. Membutuhkan waktu selama 14 hari untuk merubah jaringan
tubuh larva menjadi jaringan tubuh dewasa untuk berkembang menjadi lalat dewasa
(imago), 2 sampai 3 hari lalat dewasa dapat melakukan perkawinan dan
menghasilkan telur, kemudian siklus hidup lalat akan berulang dan terus berlanjut.
2.1.3. Kandungan Nutrisi
Nutrisi yang dimiliki maggot BSF dapat dilihat pada,Tabel 1. Kandungan
protein maggot cukup tinggi, yaitu 44,26% dengan kandungan lemak 29,65%
sedangkan nilai asam amino, asam lemak dan mineral terkandung pada maggot juga
tidak kalah dengan sumber protein lainnya, oleh sebab itu maggot BSF sebagai
bahan penyusunan pakan ternak (ransum) (Fahmi dkk. 2007).
Dilihat dari umur maggot mempunyai nutrisi yang berbeda, kandungan
bahan kering (BK) maggot BSF berhubungan positif dengan peningkatan usia yaitu
26,61% pada usia 5 hari berubah jadi 39,97% pada usia 25 hari. Nilai lemak kasar
(LK) sebanyak 13,37% pada usia 5 hari dan berubah jadi 27,50% pada usia 25 hari.
Kondisi ini berbeda dengan nilai PK menurun pada usia yang lebih tua (Tabel 2).

6
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Maggot BSF.
Asam Asam
Proksimat (%) (%) (%) Mineral (%)
amino lemak
0,05
Air 2,38 Serin 6,35 Linoleat 0,70 Mn
mg/g
Protein 44,26 Glisin 3,80 Linolenat 2,24 Zn 0,09
20,00
Lemak 29,65 Histidin 3,37 Saturated Fe 0,68
mg/g
Arginin 12,95 Monomer 8,71 Cu 0,01
Treonin 3,16 P 0,13
Alanin 25,68 Ca 55,65
Prolin 16,94 Mg 3,50
Tirosin 4,15 Na 13,71
Valin 3,87 K 10,00
Sistin 2,05
Isoleusin 5,42
Leusin 4,76
Lisin 10,65
Taurin 17,53
Sistein 2,05
NH3 4,33
Ornitina 0,51
(Fahmi dkk. 2007)

Elwert dkk. (2010) membandingkan pola asam amino tepung ikan dengan
tepung maggot BSF yang telah dikurangi lemaknya (BSF-37). Gambar 3
menunjukkan bahwa pola asam amino keduanya relatif sama, pada analisis jenis
asam amino (relatif terhadap lisin) terlihat dari kandungan isoleusin, leusin, treonin,
valin, fenilalanin dan arginin lebih tinggi pada tepung maggot BSF dibanding
tepung ikan. Perbedaan yang mencolok terlihat pada kandungan histidin. Adapun
kandungan metionin pada tepung maggot BSF relatif lebih rendah dibandingkan
dengan tepung ikan.

Gambar 3. Pola Asam Amino Antara Tepung Ikan dan Maggot BSF yang Sudah
Dikurangi Kandungan Lemaknya (Elwert Dkk. 2010).

7
2.2. Media Pertumbuhan Maggot BSF
Produksi maggot dapat ditentukan dari media hidupnya lalat H. illucens,
lalat suka dengan aroma yang khas oleh sebab itu tidak sembarang media bisa
dijadikan tempat bertelur untuk lalat (Falicia, dkk. 2014). Budidaya maggot dapat
menggunakan media bahan organik dari limbah. Penelitian yang telah dilakukan
menggunakan media eskreta ayam, ampas tahu dan bungkil limbah sawit. Karena
maggot betina meletakkan telur pada macam-macam substrat organik seperti buah-
buahan, sayuran, kompos, ampas kopi dan bahan-bahan pangan (Lecrecq, M.
1997).

Tabel 2. Kandungan Nutrien Tahap Maggot Prepupa yang Dipelihara pada Media
Bungkil Kelapa Sawit.
Kadar (%)
Usia (hari)
BK PK LK Abu kasar
5 26,61 61,42 13,37 11,03
10 37,66 44,44 14,60 8,62
15 37,94 44,01 19,61 7,65
20 39,20 42,07 23,94 11,36
25 39,97 45,87 27,50 9,91
(Rachmawati dkk. 2010).

Pemeliharaan maggot dan pupa BSF berkembang 4 hari lebih lambat jika
suhu 27°C dibandingkan suhu 30°C (Tomberlin dkk. 2009). Masa inkubasi telur
juga di pengaruhi oleh telur,karena suhu hangat dapat memicu penetasan telur lebih
cepat dibanding suhu rendah. Maggot mempunyai kemampuan dalam mengurai
senyawa organik karena terdapat beberapa bakteri di dalam saluran pencernaan
(Huang dkk. 2009; Cheng dkk. 2011). Olusole dkk. (2005) mengidentifikasi bakteri
yang diisolasi pada sistem pencernaan maggot BSF yaitu Micrococcus sp,
Streptococcus sp, Bacillus sp dan Aerobacter aerogens.
Kuantitas dan kualitas media hidup maggot berpengaruh terhadap nutrisi
tubuh dan kelangsungan hidup maggot (Rojo dkk. 2013; Ankreas dkk. 2014).
Koelmans dkk. (2006) menyebutkan bahwa kualitas media hidup maggot
berpengaruh positif dengan panjang maggot dan daya hidup lalat dewasa. Bobot
pupa yang kurang dari normal disebabkan oleh jumlah dan media yang kurang
kandungan nutrien, hal ini berakibat pada pupa yang tidak bisa berkembang
menjadi lalat dewasa (Muharsini dan Wardhana, 2004).

8
Air madu dapat memperpanjang masa hidup lalat dewasa dan meningkatkan
produksi telur karena pada masa lalat dewasa tidak membutuhkan makanan selama
hidupnya. Rachmawati dkk. (2010) menyebutkan pada hari ke 10 sampai 11 terjadi
kematian lalat dewasa dengan pemberian air madu, pada hari ke 5 sampai 8 terjadi
kematian pada lalat yang diberi minum air biasa. Pada hari ke 5 terjadi masa bertelur
lalat betina yang diberi air madu mencapai puncak dan pada hari ke 7 masa bertelur
jika diberi air biasa.
2.2.1. Eskreta Ayam
Ekskreta atau kotoran ayam merupakan campuran feses dan urin ayam yang
berasal dari pakan tidak tercerna di dalam saluran pencernaan ditambah dengan sisa
hasil metabolisme (Hidayatun, 2007). Ekskreta memiliki kandungan air, protein,
karbohidrat, lemak dan senyawa organik lainnya yang bervariasi dipengaruhi oleh
umur ayam, jenis ayam, kesehatan serta pakan yang dikonsumsi oleh ayam tersebut.
Kandungan gas ammonia yang tinggi dalam ekskreta menunjukkan kurang
sempurnanya proses pencernaan atau protein yang berlebihan dalam pakan ternak,
sehingga tidak semua dapat terabsorsi tetapi dikeluarkan sebagai ammonia dalam
ekskreta (Rohaeni,2005). Data BPS (Badan Pusat Statistik) populasi ayam ras
pedaging di Jawa Timur tahun 2017 adalah 224,815,584 ekor, sedangkan di tahun
2018 yaitu 228,187,819 ekor, terjadi peningkatan sebanyak 3,372,235 ekor di tahun
2018.
Pemberian pakan pada ayam pedaging memiliki kandungan zat gizi yaitu
Protein 28 sampai dengan 24%, SK 4%, Lemak 2,5%, Phospor (P) 0,7 sampai
dengan 0,9%, Kalsium (Ca) 1%, ME 2800 sampai dengan 3500 Kcal. Dari data
tersebut dapat disimpulkan ekskreta mempuyai nilai nutrisi yang tinggi, hal ini
terjadi karena penyerapan lambung tunggal pada unggas berjalan cepat yang
menyebabkan banyak kandungan nutrisi belum tercerna dengan baik dan ikut
terbuang bersama feses sekitar 5 sampai dengan 15% dari pakan yang di berikan.,
kandungan nutrisi pada eskreta ayam dapat di lihat pada tabel 3. Uren (2014)
menyatakan bahwa sekitar 18,26% lalat yang terdapat pada kandang ayam petelur
merupakan lalat H.illucenss. Feses unggas merupakan salah satu pakan utama lalat
H.illucenss (Tumiran dkk., 2017).

9
Tabel 3. Kandungan Nutrisi dari Kotoran Ayam Kering.
No Kandungan Nutrisi Hasil Analis (%)
1 Kadar air 16.86
2 Protein kasar 11.60
3 Lemak kasar 0.93
4 Serat kasar 17.25
5 Abu 20.32
6 Ca 2.31
7 P 1.23
(Widiari, 2018).

2.2.2. Limbah Sayur


Limbah sayur adalah sayuran yang tidak dimanfaatkan untuk konsumsi
manusia. Limbah sayuran bisa di dapatkan dari limbah rumah tangga, pasar
tradisional dan modern, limbah rumah makan maupun limbah hotel. Jumlah
konsumsi sayuran yang tinggi juga dapat menimbulkan adanya dampak negatif
yaitu munculnya limbah sayur di pasar, hal ini dikarenakan sayuran akan mudah
rusak karena cara pengiriman dari petani ke tempat penjualan yang cukup jauh dan
sayuran tersebut hanya di tumpuk yang menyebabkan sayuran pada bagian paling
bawah tumpukan rusak karena adanya tekanan dan hambatan di perjalanan ketika
akan di pasarkan, dapat di lihat pada tabel 4 berapa banyak pasokan sampah organik
dan potensi limbah yang di hasilkan setiap harinya. Pada tabel 5 dapat di lihat
potensi nutrisi libah paar dari sayuran yang dapat di manfaatkan sebagai media
hidup maggot BSF.

Tabel 4. Potensi Limbah di Kota Malang.


No. Jenis Sampah Jumlah Ton/Hari %
1 Sampah Basah/ Organik 405,41 61,50
2 Sampah Kering/ An-Organik 253,79 38,50
a. Kertas 45,49 6,90
b. Plastik 115,36 17,50
c. Logam 1,32 0,20
d. Karet/kulit 5,27 0,80
e. Kaca/gelas 4,61 0,70
f . Kain 23,07 3,50
h. Kayu 0,66 0,10
i. Lain-lain 58,01 8,80
Jumlah 659,21 100,00
Dinas Kebersihan Pemerintah Kota Malang Tahun 2013.

10
Tabel 5. Komposisi Beberapa Limbah Sayuran.
No Kandungan Nutrisi Hasil Analis (%)
1 Protein1 1,40
2 Lemak1 0,11
3 Kadar air1 93,81
4 Abu1 0,52
5 Karbohidrat1 4,16
6 PK2 22.78
7 SK2 15.90
8 LK2 1.82
1 2
(Maulyna, dkk. 2015) dan (Hartiningsih dan Fitasari. 2014) .

2.2.3. Serbuk Gergaji


Butiran kayu atau serbuk gergaji merupakan hasil dari proses menggergaji
(Setiyono, 2004). Serbuk gergaji diperoleh dari berbagai sumber seperti limbah
perkayuan dan pertanian. Sangat banyak jumlah serbuk gergaji yang dihasilkan dari
eksploitasi / pemanenan dan pengolahan kayu. Produksi total kayu gergajian
Indonesia mencapai 2,6 juta m3 per tahun, dengan asumsi bahwa jumlah limbah
yang terbentuk 54,24% dari produksi total. Dihasilkan limbah gergaji kayu
sebanyak 1,4 juta m3 tiap tahun (Pari, 2002). Limbah penggergajian sebanyak 10%
tersebut merupakan serbuk gergaji (Wibowo, 1990). Ibrahim dkk, (2013)
menyatakan bahwa serbuk gergaji merupakan biomasa berlignoselusolsa dengan
kandungan 79,9% bahan kering, dengan kandungan serat kasar mencapai 53,3%,
dan protein kasar 4,63%, adapun pendapat lain Serbuk gergaji kayu mengandung:
81,94 % serat kasar, 1,38 % abu, 0,90 % protein kasar, dan 0,32 % lemak kasar
(Bidura dkk, 1996). Dilihat dari komposisi tersebut serbuk gergaji memiliki potensi
menjadi sumber pakan ruminansia, seperti produk samping pertanian yang lain
dimana kandungan nutrisi dan kecernaan yang rendah maka serbuk gergaji perlu
perlakuan terlebih dahulu sebelum dijadikan pakan.
2.2.4. Mineral (Abu)
Tingkat kadar abu adalah campuran dari komponen anorganik yang terdapat
pada suatu bahan. Bahan pangan tersusun dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya ialah unsur mineral. Bahan organik dalam proses pembakaran
akan terbakar sedangkan komponen anorganik tidak terbakar karena itu disebut
sebagai kadar abu. Fungsi penentuan kadar abu dapat digunakan untuk berbagai
macam tujuan seperti mengetahui jenis bahan yang digunakan dan sebagai penentu

11
parameter nilai gizi, (Astuti, 2011). Kadar abu memiliki hubungannya dengan
kandungan mineral pada suatu bahan, untuk mengetahui kandungan mineral yang
terdapat dalam bahan yang di ukur dapat menggunakan metode pengabuan
(Sandjaja, 2009).

Tabel 6. Persentase Kandungan Nutrisi Maggot BSF.


Mineral (%)
Mn 0,05 mg/g
Zn 0,09
Fe 0,68
Cu 0,01
P 0,13
Ca 55,65
Mg 3,50
Na 13,71
K 10,00
(Fahmi dkk. 2007)

Unsur mineral sangat penting dalam proses fisiologis hewan seperti mineral
esensial makro (Ca, Mg, Na, K, dan P) yang diperlukan untuk menyusun struktur
tulang dan gigi, sedangkan unsur mikro (Fe, Cu, Zn, Mo, dan I) berfungsi untuk
aktifitas sistem enzim dan hormon dalam tubuh. Kasus penyakit defisiensi unsur
mineral esensial pada ternak telah dilaporkan baik di Jawa maupun luar Jawa
(Sutrisno,1983). Kadar abu dapat di tentukan dengan cara kering yaitu
mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi (500-600°C ) dan lalu dilakukan
penimbangan zat yang tertinggal sesudah proses pembakaran (Vanessa, 2008).
Kadar abu perlu diukur untuk mengetahui besarnya kandungan mineral dalam
bahan pakan (Sandjaja, 2009).

12

Anda mungkin juga menyukai