Anda di halaman 1dari 3

HUKUM DAN STRATIFIKASI SOSIAL

Dosen : H.Muhammad Husni,SH.MH

Stratifikasi sosial adalah suatu keadaan dimana dalam masyarakat tertentu


terdapat strata atau kelas yang mana strata atau kelas dalam masyarakat tersebut diukur
karena ada sesuatu yang dihargai.
Sesuatu yang dihargai dapat berupa bentuk :
- Kekuasaan
- Kekayaan
- Kehormatan
- Memiliki Pengetahuan
Stratifikasi sosial akhirnya mempengaruhi di berbagai sektor kehidupan sosial
masyarakat lainnya, salah satu diantaranya adalah sektor kehidupan hukum. Pentingnya
pembicaraan mengenai stratifikasi sosial dalam kaitannya dengan hukum adalah bahwa
dampak dari sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu mempengaruhi dalam hal
penerapan hukum, penciptaan, pemahaman bahkan dalam hal penyelesaian sengketa
yang ada dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini para ahli sosiologi hukum memberikan perhatiannya
yang besar bertahap hubungan antara hukum dengan stratifikasi sosial. Menurut Satjipto
Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 1986 : 164 – 165), para ahli tersebut melihat bahwa
dengan terjadinya stratifikasi sosial, maka hukum pun susah untuk mempertahankan
netralitasnya atau kedudukannya yang tidak memihak. Stratifikasi sosial ini merupakan
kunci bagi penjelasan mengenai hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada peraturan-
peraturannya sendiri maupun melalui penegakannya (Friedman, 1975 : 180 – 187). Para
ahli tersebut berpendapat bahwa peraturan-peraturan hukumnya sendiri tidaklah “tak
memihak”. Ia merupakan hasil dari suatu bantuan atau perjuangan kekuasaan dalam
masyarakat. Dalam keadaan yang demikian ini pendapat yang berkuasa pun akan
menentukan bagaimana isi peraturan itu. Dengan demikian bagaimana pun diusahakan
agar penegakan hukum itu tidak memihak, Namun karena Sejak awal kelahirannya
peraturan-peraturan itu tidak “lempang”, maka ia pun akan bersifat memihak pula.
Keadaan semacam itu akan ditemui juga dalam hal penerapannya. Dalam hubungan ini
kepustakaan tentang sosiologi hukum banyak berbicara mengenai penegakan hukum
yang “pilih-pilih”. Chambliss dan Seidman, sebagaimana yang dikutip oleh Satjipto
Rahardjo menjelaskan mengenai penegakan hukum itu menjadi pilih-pilih (Chambliss
dan Seidman, 1971 : 474 – 475) adalah disebabkan sebagai berikut :
1. Kompleksitas suatu masyarakat dimulai dari pembagian sumber-sumber daya di
situ yang kemudian menimbulkan struktur kekuasaan dalam masyarakat yang
berlapis-lapis. Di situ dijumpai golongan yang memperoleh kekuasaan lebih
besar dibanding dengan yang lain dan oleh karena itu juga bisa mendapatkan
kekayaan ekonomi dan politik yang lebih besar. Tercapailah suatu stratifikasi
dalam masyarakat berupa perbedaan dalam kedudukan-kedudukan sosial, politik
dan ekonomi.
2. Penegakan hukum yang dijalankan secara terorganisasi oleh badan-badan
penegak hukum akan dilakukan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaannya
diusahakan untuk memberikan keuntungan kepada badan-badan itu, sementara
pelaksanaan yang diperkirakan akan memberikan hambatan, dihindari.
3. Keuntungan-keuntungan akan diperoleh apabila penegakan hukum itu
dijalankan terhadap orang-orang dari golongan yang tidak atau hanya
mempunyai sedikit kekuasaan politik, sebaliknya apabila ia ditujukan terhadap
golongan yang mempunyai kekuasaan, ia hanya akan menciptakan hambatan
bagi badan penegak hukum.
4. Peraturan-peraturan yang melarang dilakukannya perbuatan yang lazim
dilakukan oleh orang-orang dari lapisan bawah, cenderung untuk lebih sering
diterapkan, sedang yang memuat larangan bagi mereka dari golongan menengah
serta atas, banyak kemungkinannya tidak dijalankan.

Dikaji dari pandangan sosiologi ini, pendapat bahwa hukum itu tidak memihak
disebut sebagai suatu mitos belaka, yang dalam pelaksanaan sehari-harinya sering
dibuktikan ketidak-benarannya (Chambliss & Seidman, 1971 : 3).
Oleh karena itu hal ini menguatkan dugaan kita, bahwa ide kesamaan dan
persamaan di depan hukum dalam suatu masyarakat yang menganut sistem berlapis-
lapis secara sosiologis tidak pernah ada.
Dalam hal ini mungkin lebih tepat apa yang diungkapkan oleh Soerjono
Soekanto (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1982 : 199 – 200), “Ada suatu
hipotesa dari ahli-ahli sosiologi yang menyatakan bahwa semakin kompleks stratifikasi
sosial suatu masyarakat maka semakin banyak hukumnya”.
Tiap-tiap tingkatan sosial, memiliki cara dan bentuk aturan tersendiri. Ada
aturan main antara mereka yang menempati status sosial tertentu dalam mengatur
hubungan kepentingan-kepentingannya. Ini tidak berarti hubungan antara petani
“penggarap” akan berbeda hukum yang mengaturnya dengan petani “berdasi”. Namun
yang jelas dalam masyarakat mereka yang menduduki strata “bawah” selalu cenderung
merasa sulit dalam kesempatan memperoleh keadilan dengan mereka yang duduk pada
strata “atas”.
Hipotesa tersebut di atas selanjutnya mempunyai akibat bahwa semakin rendah
status seseorang dalam masyarakat, semakin banyak hukum yang mengaturnya. Dengan
kata lain semakin banyak kekuasaan, kekayaan dan kehormatan maka semakin sedikit
hukum yang mengaturnya. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan hukum, yang tidak
membedakan keadaan-keadaan semacam itu.
Mungkin suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa adalah lebih sulit untuk
menindak pejabat tinggi yang terlibat dalam suatu kejahatan korupsi, daripada mereka
yang hanya duduk sebagai pegawai rendahan dalam suatu instansi yang sama. Bagi
seorang pimpinan akan lebih mudah menyingkapkan kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh bawahannya, daripada tindakan bawahannya untuk atasannya dalam
sebuah perlakuan kemungkinan yang sama. Jadi ada kecendrungan semakin ke atas
dalam stratifikasi sosial, semakin berkurang hukumnya. Ini bukan berarti hukum itu
akan hapus sama sekali bagi mereka yang duduk pada posisi puncak. Tetapi dalam
kenyataan secara sosiologis sering sulit untuk mengungkapkan penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi bila hal itu dilakukan oleh mereka yang berada pada strata
sosial yang di atas.

Anda mungkin juga menyukai