Anda di halaman 1dari 5

RESUME BAHAN BAHAN KULIAH 8

PROTOKOL-PROTOKOL KONVENSI TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (TOC)


(LANJUTAN)

A. PROTOKOL PERDAGANGAN MANUSIA KHUSUSNYA PEREMPUAN DAN


ANAK-ANAK

Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia terdiri dari 3 (tiga) pasal, yaitu:

a. Bantuan dan Perlindungan bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia.

Setiap Negara Peserta harus memperhatikan usia, gender, dan keperluan khusus bagi
korban terutama kebutuhan anak-anak termasuk tempat tinggal yang layak,
pendidikan, dan perawatan sebagaimana dikemukakan ayat (4) Pasal 6 ini. Ayat (5)
UU 14/2009 menegaskan bahwa Negara Peserta harus memberikan pengamanan fisik
(physical safety) terhadap korban ketika mereka berada dalam wilayahnya, sedangkan
ayat (6) UU 14/2009 meminta setiap negara untuk memiliki peraturan mengenai
kemungkinan korban untuk memperoleh kompensasi.
b. Status Para Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia di Negara Penerima
Pasal 7 ayat (1) UU 14/2009 meminta negara yang meratifikasinya untuk membuat
peraturan perundangundangan yang didalamnya mengizinkan korban untuk tetap
tinggal diwilayahnya baik sementara maupun permanen dalam kasus tertentu,
sedangkan ayat (2) UU 14/2009 Negara Peserta untuk mempertimbangkan faktor
kemanusiaan dan simpati kepada korban kejahatan.
c. Pemulangan Para Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia
Diatur oleh Pasal 8 UU 14/2009 Protokol yang didalamnya terdapat 6 ayat.
Contohnya pada :

Pasal 8 ayat (1) UU 14/2009 yang menyatakan: “Negara Peserta (negara asal) dimana
korban adalah warga negaranya/orang yang mempunyai hak tinggal permanen ketika
memasuki negara penerima tersebut, harus memfasilitasi dan menerima berkenaan
dengan pengamanan orang tersebut, memulangkannya tanpa penundaan berarti.”
Pasal 8 Ayat (2) UU 14/2009 menyatakan: “Ketika suatu Negara Peserta
mengembalikan seorang korban ke Negara Peserta dimana korban adalah warga
negaranya/mempunyai hak tinggal permanen, pemulangan tersebut harus
memperhatikan keselamatan korban dan status atas setiap proses hukum bahwa orang
tersebut adalah korban kejahatan.” P
asal 8 Ayat (3) UU 14/2009 menyatakan: “Negara Peserta dapat meminta Negara
Peserta lain untuk menjelaskan apakah orang yang menjadi korban adalah warga
negara/bukan.”

Demikian juga kalau korban yang tidak memiliki dokumen memadai, Negara Peserta
harus mengeluarkan dokumen perjalanan/otorisasi lainnya yang diperlukan untuk
memudahkan orang itu pergi dan memasuki kembali negaranya. Ketentuan Pasal 8 ini
dilaksanakan tanpa merugikan peraturan yang sudah ada dalam hukum
nasionalnya/persetujuan bilateral/multilateral yang mengatur pemulangan korban.

Pencegahan, kerjasama, dan upaya lain terdiri dar 5 pasar, yaitu Pasal 9-13 UU 14/2009
seperti:

a. Pencegahan Perdagangan Manusia


Negara Peserta menurut ketentuan Pasal 9 UU 14/2009 harus mengembangkan
kebijakan, pengembangan upaya untuk mencegah dan memerangi perdagangan
manusia serta melindungi korban khususnya wanita dan anak-anak, melakukan riset,
kampanye media massa dan informasi, inisiatif ekonomi, dan sosial, termasuk upaya
mengadakan kerjasama dengan organisasi non-pemerintah dan unsur-unsur lain
masyarakat madani. Oleh karena itu, negara peserta harus memperkuat upaya
mengadakan kerjasama multilateral dan bilateral serta membuat peraturan dibidang
pendidikan, sosial dan budaya guna menghilangkan semua bentuk eksploitasi wanita
dan anak yang menjadi korban.

b. Pertukaran Informasi dan Pelatihan


Pasal 10 UU 14/2009 perdagangan manusia mengatur pertukaran informasi dan
pelatihan dalam ayat (1) menegaskan bahwa aparat hukum, imigrasi/badan lain yang
berwenang dari Negara Peserta harus berkerjasama satu sama lain tukar-menukar
informasi sesuai dengan hukum nasional. Negara Peserta harus memberi pelatihan
bagi penegak hukum termasuk petugas imigrasi dan pihak berwenang lainnya yang
harus memfokuska metode yang digunakan dalam mencegah perdagangan manusia.
Sedangkan Pasal 10 ayat (3) ini mengingatkan Negara yang menerima informasi
harus mentaati permintaan dari Negara lain yang mengirim informasi bahwa ada
pembatasan penggunaan informasi.
c. Upaya-Upaya di Perabatasan

Menurut ayat (3) Pasal ini, tetapi tanpa mengabaikan konvensi-konvensi internasional
yang berlaku, upaya tersebut harus mengatur kewajiban pengangkutkomersial
termasuk transportasi/pemilik/operatornya,semua penumpang mempunyai dokumen
perjalanan yang diperlukan untuk masuk negara penerima (the receiving State).
Apabila pihak yang diminta memenuhi kewajiban tersebut melanggarnya, maka
Negara Peserta harus memberikan sanksi dengan mengacu pada hukum nasionalnya
(ayat 4). Demikian juga setiap Negara Peserta harus mengizinkan penolakan
masuk/mencabut visa orang yang terlibat tindak pidana menurut Protokol ini (ayat 5),
sedangkan ayat (6) Pasal 11 UU 14/2009 menegaskan kembali bahwa semua Negara
Peserta harus memperkuat kerjasama .antara badan pengawas perbatasan (border
control agencies) seperti pembentukan saluran langsung komunikasi.

d. Keamanan dan Pengawasan Dokumen

Diatur dalam Pasal 12 UU 14/2009 yang menyatakan masing-masing Negara Peserta


harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa kapal/dokumen
identitas yang dikeluarkannya memenuhi kualitas sehingga tidak mudah
disalahgunakan/dipalsukan/diubah/ditirukan/dikeluarkan secara tidak sah dan
Menjamin integritas dan keamanan dokumen identitas/perjalanan yang dikeluarkan
atas nama negara dan mencegah pengadaan, pengeluaran, dan penggunaan secara
tidak sah.

e.Legitimasi dan Keaslian Dokumen

Berdasarkan permintaan Negara Peserta lain, sesuai dengan Pasal 13 UU 14/2009


bahwa suatu Negara Peserta harus menjelaskan legitimasi dan keaslian dokumen
identitas/perjalanan yang dikeluarkannya kepada orang yang dicurigai melakukan
kejahatan perdagangan manusia.

f.Klausul Penyelamat Pasal 14 UU 14/2009

menyatakan tidak ada aturan yang mempengaruhi hak, kewajiban, dan tanggung
jawab negara dan individu menurut hukum internasional seperti yang terdapat dalam
hukum humaniter internasional, hukum hak asasi orang, Konvensi 1951 dan Protokol
1967 tentang status pengungsi dan prinsip non- refoulment yang terdapat didalamnya.

g.Penyelesaian Sengketa (Settlement Of Disputes)

Pasal 15 UU 14/2009 meminta semua Negara Peserta harus berusaha untuk


menyelesaikan sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Protokol melalui
perundingan (negotiation). Apabila sengketa antara dua negara/lebih mengenai
penafsiran dan penerapan Protokol ini tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi,
maka dapat ditempuh arbitrase. Ayat (2) menegaskan bahwa apabila enam (6) bulan
setelah tanggal permintaan proses arbitrase ini para pihak tidak mampu mencapai
kesepakatan, maka sengketa dapat diajukan kepada Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) sesuai dengan Statuta Mahkamah. Ayat (3)
mengingatkan setiap Negara Peserta pada saat penandatanganan, ratifikasi,
penerimaan, atau

permufakatan/aksesi mengatakan bahwa mereka tidak akan terikat oleh ketentuan ayat
(2) dan Negara Peserta lain tidak akan terikat oleh ketentuan ayat (2) dimana Negara
Peserta itu telah membuat reservasi (pensyaratan). Setiap Negara Peserta yang telah
membuat reservasi tersebut dapat setiap waktu mencabutnya dengan memberitahukan
kepada Sekretaris Jenderal PBB.

h. Pengaduan(Denunciation)
Negara Peserta dapat mengadukan Protokol ini dengan notifikasi tertulis kepada
Sekretaris Jenderal PBB dan pengaduan ini akan efektif satu tahun setelah tanggal
penerimaan oleh Sekreraris Jenderal PBB itu. Organisasi integrasi ekonomi regional
akan berhenti menjadi peserta terhadap Protokol ini apabila semua negara anggota
organisasi itu mengadukannya sebagaimana diatur Pasal 19.

Anda mungkin juga menyukai