Anda di halaman 1dari 2

MENAKAR PEMICU KONFLIK DAN ISU PERPECAHAN

Mohammad Fikri Zarkasyi

Sebuah artikel “Ecology and Violence: The Environmental Dimensions of War” yang
ditulis oleh Timothy L. Fort dan Cindy A. Schipani membincangkan isu-isu konflik dan
kaitannya dengan sumber daya alam serta akibatnya terhadap lingkungan. Pada bagian
pertama, Timothy dan Cindy menguraikan bagaimana isu violence masuk ke dalam ranah
ekonomi global. Lalu di bagian kedua, mereka membahas tentang implikasi bisnis yang
bermuasal dari ketidakharmonisan, serta saran untuk menjadikan sebuah bisnis sebagai
mediator yang dapat meminimalisir ketegangan tersebut. Kemudian pada bagian ketiga
(terakhir), keduanya memberikan saran untuk pengadaan rekarakterisasi korporat terkait
dalam upaya meningkatkan kepekaan para pemegang kebijakan terhadap pemikiran
ekologis supaya dapat mengurai masalah violence dalam masyarakat.

Dalam artikelnya tersebut, Timothy dan Cindy juga mengulik penelitian Thomas
Homer Dixon yang mengemukakan lima efek sosial yang dapat meningkatkan
kemungkinan kekerasan di sebuah negara: (1) produksi pertanian dibatasi, (2)
produktivitas ekonomi terbatas, terutama memengaruhi orang yang sangat bergantung
pada sumber daya lingkungan, (3) migrasi orang-orang yang terdampak untuk mencari
kehidupan yang lebih baik, (4) segmentasi masyarakat yang lebih besar, (5) gangguan
terhadap institusi, terutama negara. Kelima efek tersebut dapat menciptakan ketegangan
yang cepat atau lambat dapat menjadi polemik dalam ekspresi kekerasan.

Sebagai visualisasi nyata, Timothy dan Cindy menyajikan salah satu fenomena yang
pernah terjadi di Kashmir dan Mozambik. Di Kashmir, penggundulan hutan yang ekstensif
diakibatkan oleh pertempuran kecil antara India dan Pakistan. Kurang lebih 150.000 orang
Hindu Kashmir diasingkan ke tenda-tenda pengungsian dengan perawatan kesehatan yang
terbatas. Situasi pengungsi bahkan lebih menggiriskan dalam konflik di Mozambik 1980-
1992. Serentang masa itu, lebih dari lima juta orang mengungsi secara internal dan 1,7 juta
lainnya melarikan diri ke negara lain.
Ketimpangan kebijakan dan kondisi lingkungan yang ada memicu perselisihan,
bahkan pertempuran. Konsekuensi perang menyebabkan kehancuran, baik dalam
kehidupan manusia maupun sumber daya alam, serta berdampak pada stabilitas dunia
bisnis. Seperti penggunaan napalm dalam konflik antara Timor Timur dan Indonesia, serta
sabotase asap dan polusi dari sumur di Perang Teluk 1991, perusakan rumah sakit dan
fasilitas kesehatan di Sudan yang menyebabkan rusaknya lingkungan, sumber daya alam,
dan menimbulkan penyakit, hingga kematian masyarakat sekitar. Sumber daya seperti
minyak, air, kayu, gas alam, dan lain sebagainya menjadi faktor yang sangat penting dalam
merumuskan aturan negara yang berada di sekitarnya. Seperti kawasan Teluk Arab,
terusan Suez, Laut Kaspia, Laut Cina Selatan, Sungai Tigris, Sungai Efrat, dan lain
sebagainya.

Menanggapi kompleksitas yang ada, Timothy dan Cindy menukil pemikiran Thomas
Homer yang mengatakan bahwa kecerdasan teknis, seperti tata kelola yang
menitikberatkan terhadap perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, standar tenaga
kerja, dan transaksi keuangan sangat dibutuhkan dalam upaya mengatasi persaingan bisnis
yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Pemikiran tersebut diaminkan oleh Timothy
dan Cindy di penghujung artikelnya dengan menyampaikan kesimpulan bahwa bisnis,
korupsi, kesetaraan gender, kemiskinan, demokrasi, dan penyakit berkaitan dengan
tumbuh kembang kekerasan dalam lingkungan masyarakat. Menurut mereka, pemangku
kebijakan seharusnya dapat memberikan perlakuan yang lebih adil terhadap perempuan,
berkontribusi pada pembangunan ekonomi dengan cara yang didistribusikan secara luas,
serta sumber daya dapat dikelola dengan cara partisipatif yang merangkul suara karyawan
dan pemangku kepentingan lainnya yang menunjukkan nilai-nilai demokrasi.

Sejumbuh dengan artikel tersebut, apakah perkembangan teknologi yang tidak


merata di suatu wilayah dapat menjadi faktor pemicu konflik? Jika ketidakmerataan
tersebut didasarkan pada ketidakmampuan SDM nya, apakah hal tersebut juga ke-alpa-an
pemangku kebijakan?

Anda mungkin juga menyukai