Anda di halaman 1dari 3

TOPONIMI MA’AZA

Mohammad Fikri Zarkasyi

Joseph Hoobs adalah seorang geografer berkebangsaan Amerika yang memiliki


ketertarikan pada kehidupan Badui Mesir yang kemudian mengabdikan dirinya selama 2
tahun bersama Badui Ma’aza untuk meneliti bagaimana kehidupan dan budaya Badui.
Menurutnya, Ma’aza sejak 250 tahun yang lalu berimigrasi dari Barat laut Arab ke gurun
timur Mesir mempunyai kekhasan yaitu menamai setiap tempat yang tentunya mempunyai
makna tersendiri bagi mereka. Hal ini dimaksudkan untuk mengklaim bahwa tempat yang
mereka duduki adalah miliknya sendiri.
Dalam artikelnya yang berjudul Bedouin Place Names in the Eastern Desert Of Egypt,
Joseph melakukan kajian tentang toponimi suku Badui Ma’aza di bagian utara Eastern
Desert di Mesir. Nama- nama yang digunakan untuk melabeli beberapa wilayah tersebut
umumnya diambil dari beberapa sumber seperti nama individu, kelompok, peristiwa
bersejarah, tanaman, hewan, perilaku, budaya material dan persepsi lingkungan. Penamaan
tempat membantu menegaskan klaim masyarakat atas sebuah tanah. Selain itu, Tujuan
menamai beberapa tempat tersebut agar dapat meminimalisir resiko yang tidak
diinginkan.
Joseph menjelaskan, dahulu sebelum suku Ma'aza bermigrasi, sebagian besar nama
tempat di kawasan Eastern Desert, Mesir diucapkan dalam bahasa Tu-Bedawie, bahasa
Arab Ababda, dan Bisharin (kelompok Beja dengan pengaruh bahasa Arab yang lebih
sedikit). Lebih lanjut, segelintir nama tempat diciptakan oleh orang luar kuno seperti bukit
Qattar, Umm Diisa, Abul Hassan, Abu Harba dan Abu Dukhaan termasuk di antara yang
dinamai oleh orang Romawi. Abu Harba (penggemar tombak), nama tersebut konon
diambil dari seorang yang menancapkan tombak guna menciptakan lubang silinder
sedalam sekitar satu meter untuk menyediakan air minum bagi manusia dan hewan.
Pemberian nama pada tempat-tempat oleh orang Ma’aza juga dimaksudkan untuk
menjaga ingatan mereka terhadap peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di atasnya.
Misalnya, pada salah satu lembah yang memanjang dari satu rute lembah Nil ke Laut Merah
dimana sering terjadi perampokan yang dilakukan oleh orang-orang Maaza. Perampokan
atas pedagang yang melalui lembah tersebut sering menyebabkan terjadinya pembunuhan
sehingga lembah tersebut kemudian diberi nama Wadi Gush (Lembah Jeroan) karena bau
mayat pada tempat tersebut. Diceritakan oleh Murray dalam bukunya bahwa terdapat
tempat di lanskap Ma’aza terkait dengan penjarahan karavan di dekat Wadi Gush. Tempat
tersebut diberi nama Misikaat al-Juukh (Merebut kain lebar) karena pada sekitar tahun
1803 terjadi pencurian Juukh (kain lebar) dilakukan oleh orang-orang Ma’aza. Kain
tersebut kemudian dipergunakan untuk menutupi Ka’bah di Mekah.
Pada tempat lain terdapat rute yang diberi nama Khumr Husain. Pada rute tersebut
pernah terjadi pembunuhan atas pemuda Mesir karena telah melaporkan aksi
penyelundupan garam suku Ma’aza pada otoritas kolonial. Penamaan suatu tempat juga
sering didasarkap pada permulaan kehidupan yang penting. Seperti pada seorang anak
laki-laki bernama Salama ‘Iyd yang disunat pada suatu tempat dan kemudian tempat
tersebut diberi nama Umm Tahur Salama (tempat sunat Salam). Diceritakan juga salah
seorang pemuda belum menikah yang memiliki kedekatan pada suatu tempat sehingga
tempat tersebut diberi nama ‘Aruus ‘Ayd (pengantinnya). Selain itu penamaan sering
terkait dengan proses keberlangsungan hidup di gurun. Seperti kasus pemberian nama
pada pohon akasia, Sayaalit Ruwa’iy. Pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan pada pohon akasia yang dianggap berperan penting dalam
kehidupan manusia.
Dari hasil eksplorasi yang didapatkan dari penelitian yg dilakukannya dengan
metode observasi partisipan itu, Joseph menyimpulkan bahwa ada empat objek tempat
yang sering diberi nama oleh orang Ma’aza yaitu, pertama, lembah saluran air dan tanah
datar. Kedua, tempat tinggi berbatu dan bebatuan. Ketiga, tempat sumber daya air.
Keempat, pepohonan dan semak-semak.

Berdasarkan penelitian di atas, kemudian saya teringat pernah melihat sebuah jalan yang
melintang di wilayah pesantren. Dahulu, namanya jalan Imam Bonjol, padahal nama
tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan sejarah wilayah maupun asal usul
pesantren yang ada di sepanjang jalan tersebut. Kemudian belakangan, jalan tersebut
diubah menjadi Jalan KH. Bisri Syansuri yang tentu semua orang tau bahwa itu adalah
nama seorang tokoh pendiri pesantren yang dilintasi jalanan itu. Apakah dewasa ini,
penamaan jalan memiliki fungsi atau tujuan tertentu? Politik identitas, atau sebuah intrik
atas pelabelan suatu wilayah mungkin. Sebab bila tanpa alasan, tentu nama jalan bukan
sebuah urgensi untuk diganti tanpa diperbaiki. 😊

Anda mungkin juga menyukai