Anda di halaman 1dari 2

PEMBERDAYAAN ATAU DIPERDAYA

Sebuah artikel berjudul In The Shadow Of The Palm: Dispersed Ontologies among
Marind, West Papua menjabarkan ihwal masyarakat Marind Papua Barat dalam menyusun
konsep kelompok transformasi lingkungan sosial yang ditimbulkan oleh deforestasi skala
besar dan perluasan lahan kelapa sawit serta hutan adat mereka. Artikel ini ditulis oleh
Shopie Chao, di dalamnya dijelaskan hubungan tumbuhan dan manusia di Merauke sebagai
upaya memaparkan fenomena multispesies kaitannya dengan kesejahteraan manusia dan
mendorong perkembangan makhluk lain.

Dalam ekologi kehidupan Marind, kelapa sawit merupakan jenis entitas tertentu,
diberkahi dengan lembaga dan pengaruh tertentu. Partisipasi pasif dalam simbiosisnya
dengan spesies lain membahayakan kesejahteraan bentuk kehidupan yang mengisi
kosmologi multispesies yang dinamis, termasuk manusia. Menilik dari teori ontologis dan
pendekatan multispesies, Shopie Chao menunjukkan bagaimana orang-orang di tempat
terpencil terlibat dengan transformasi lingkungan yang merugikan bahkan tidak hanya
dilakukan oleh manusia saja. Selain itu, ia juga mengeksplorasi gesekan epistemologis yang
muncul dari penggabungan antropologi ontologi dengan etnografi multispesies.

Dalam penelusurannya, Shopie Chao menemukan Desa Khalaoyam yang rumah bagi
sekitar dua ratus rumah tangga Marind yang memperoleh penghidupan dari berburu dan
memancing. Orang-orang menelusuri hubungan kekerabatan satu sama lain melalui situs-
situs tempat amai mereka masing-masing menetap, beristirahat, berburu, atau berperang.
Selain itu, juga terdapat perkebunan kelapa sawit yang menjadi komoditas besar di sana.
Menurut Shopie, keberadaan sawit di sana sudah masuk dalam unsur yang cenderung
merusak lingkungan. Hal itu dikarenakan budidaya kelapa sawit yang membutuhkan
terlalu banyak air dan memakan lahan yang sangat luas. Selain itu, sawit juga mencemari
aliran air dengan limbah dari pabrik. Pencemaran juga terjadi di daratan, kulit organisme
darat membusuk karena iritasi yang disebabkan oleh pestisida yang meresap ke dalam air
yang mereka minum dan digunakan untuk mandi.

Sebetulnya, para penduduk Marind menyadari akan pelbagai kerusakan yang


ditimbulkan oleh lahan sawit. Namun mereka tak punya pilihan lain. Ada sebuah
kenampakan, penduduk Marind berusaha mempertahankan tingkat keliaran tertentu dan
enggan untuk terlibat dalam hortikultura karena melibatkan terlalu banyak manipulasi
pertumbuhan tanaman dan merampas kebebasannya, mendukung pertumbuhan sagu
dengan menipiskan kanopi, dan sebagainya. Mereka menganggap hal tersebut ‘kejahatan’
sawit merupakan akibat dari kelanjutan internal kolonialisme yang seiring dengan
pelanggaran hak asasi manusia, komunitas pemiskinan, maraknya eksploitasi sumber daya
alam, asimilasi budaya, dan kehadiran militer. Terakhir, Shopie menjabarkan beberapa
kerugian yang timbul dari perkebunan sawit diantaranya adalah deforestasi, eksploitasi
lahan gambut, perampasan tanah petani, kerusakan sungai, pencemaran, alih fungsi lahan,
dan dampak buruk lainnya dari pembukaan perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi
merugikan rakyat bahkan negara.

Bila eksploitasi lahan tersebut cenderung melahirkan kerusakan, sementara


masyarakat tidak punya kuasa atas penghentian proyek tersebut. Mungkin hal itu juga
terjadi di beberapa wlayah dengan potensi alam yang melimpah. Lalu apakah bisa disebut
solusi apabila pengelolaan sumber daya alam tersebut melibatkan lebih banyak
masyarakat pribumi daripada alat-alat dari pemerintah pusat?

Anda mungkin juga menyukai