Anda di halaman 1dari 2

MASA PENGAYAUAN SUKU DAYAK IBAN

Mohammad Fikri Zarkasyi

Sebuah tulisan dari Andrew P. Vayda ini merupakan studi etnosejarah mengenai
sebuah budaya unik di Borneo, yakni budaya berburu kepala manusia. Budaya ini
tumbuh dan turun menurun di kalangan Suku Dayak Iban. Dikutip dari kompas.com
diketahui bahwa Suku Dayak Iban dikenal tangguh semasa perang antarsuku yang
juga dikenal dengan masa pengayauan. Mengayau secara harfiah diartikan dengan
memenggal kepala musuh pada masa perang antarsuku.
Secara fundamental, perang adalah perjuangan antar organisme sosial, bukan
individu. Oleh karena itu, Andrew P. Vayda beranggapan bahwa ihwal ini bisa
dianalisis dari sisi sosial atau budaya, bukan psikologis perseorangan. Salah satu
pendapat dikemukakan seorang psikolog sosial, Newcomb yang mengatakan: Suku
dataran tidak biasa terlibat dalam perang karena laki-laki individu "suka
berperang." Laki-laki individu suka berperang karena sistem sosial budaya
mereka mengharuskan mereka untuk berperang. Sikap individu perang adalah
ekspresi dari proses sosial-budaya. Sementara itu, dalam diskusinya dengan
George Fathauer, ia berpendapat bahwa satu-satunya cara yang tepat untuk
mempelajari perang adalah dengan menentukan nilai-nilai yang memotivasi anggota
masyarakat untuk terlibat di dalamnya.
Selanjutnya, Andrew bergerak ke dalam untuk memastikan motif di balik
dikotomi budaya yang tumbuh subur di masyarakat kala itu. Menurut salah satu
entolog, Charles Hose: Serangan terhadap rumah atau desa oleh orang Iban
biasanya dilakukan dengan kekuatan yang sangat besar; tetapi tapi ada pula yang
masing-masing orang bertindak secara independen. Mereka tidak jarang menyerang
sebuah rumah dan membunuh sejumlah besar penghuninya tanpa motif lain selain
keinginan untuk mendapatkan kepala-kepala penghuni rumah tersebut. Gairah
untuk berburu kepala kala itu diakui sebagai adat nenek moyang yang secara patuh
mereka lestarikan.
Sementara itu, ada alasan lain yang ditemukan oleh Raymond Kennedy, seorang
pelajar budaya Kalimantan mengenai budaya pengayauan ini. Pada dasarnya
terletak pada gagasan orang-orang tentang kekuatan magis kepala manusia.
Katakanlah apabila ada sebuah pemukiman Kalimantan yang menderita epidemi,
gagal panen , dan ketidaksuburan perempuan. Mereka akan sampai pada gagasan
khas Indonesia bahwa kelompok mereka tidak memiliki kekuatan magis
sehingga ditimpa musibah dan nasib yang kurang beruntung, maka yang mereka
butuhkan adalah gelombang kekuatan supernatural yang baru yang dapat
memperkuat diri mereka, wanita-wanita mereka, serta melawan roh jahat untuk
menghindari bala bencana. Salah satu cara paling cepat untuk mendapatkan
kekuatan magis yang mereka butuhkan adalah dengan menangkap sejumlah kepala
dari kelompok lain.
Namun belakangan, ada indikasi lain terkait budaya magis yang tumbuh dan
berkembang di Borneo dan sebagian wilayah Sarawak tersebut. Melalui
jurnalnya, Charles Brooke menyangka bahwa perebutan wilayah hunian
menjadi salah satu faktor yang mendorong peperangan dan budaya
pengayauan tersebut. Secara kasat mata, memang wilayah Kalimantan
terbentang luas, tetapi perlu diketahui – meminjam kalimat Charles – bahwa
sebagian besar wilayah perawan adalah tanah miskin, sehingga Suku Dayak
Iban mempertahankan budaya pengayauan untuk menunjukkan superioritas
mereka.
Budaya pengayauan tersebut bahkan menjadi perhatian bagi kerajaan Inggris,
khususnya Ratu Victoria yang memberikan suku iban julukan Kalimantan Barbaric.
Namun budaya ini diketahui telah menjadi kenangan sejarah, sebab pada tahun 1894
budaya pengayauan telah dihentikan melalui Perjanjian Damai Tumbang Anoi dalam
rapat akbar di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah oleh semua subsuku Dayak yang
mendiami Pulau Borneo (sekarang masuk negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei).

Berdasarkan uraian di atas, apakah di masa pengayauan ini suku Iban melakukan
penyerangan dan perburuan kepala terhadap keluarga dengan taraf ekonomi
tertentu? Sehingga ada indikasi polemik finansial yang melandasi suburnya praktik
budaya tersebut. Ataukah perburuan membidik kaum penguasa – yang memiliki
tahta – sehingga ada indikasi politik yang melandasi budaya tersebut?

Anda mungkin juga menyukai