Anda di halaman 1dari 10

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-


18November 2017
Purwokerto

“Tema: 6 (Rekayasa Sosial dan Pengembangan Perdesaan)”

KERENTANAN RADIKALISME AGAMA


DI KALANGAN ANAK MUDA

Oleh

Rindha Widyaningsih, S.Fil, M.A; Dra. Sumiyem, M.Hum; Kuntarto, S. Ag, M.PdI;
Universitas Jenderal Soedirman
email : reindha_84@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memberikanpengetahuan tentang proses terjadinya
radikalisme di kalangan kaum muda, mengetahui perilaku keberagamaan di kalangan kaum
muda, dan memberikan gambaran mengenai kerentanan kaum muda terhadap radikalisme
agama. Penelitian dilakukan di Banyumas dengan pertimbangan Banyumas memiliki
komposisi demografi yang didominasi oleh kaum muda, dan secara geografis merupakan
jalur persilangan yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Informan dalam
penelitian ini adalah Organisasi Keagamaan, UKM Kerokhanian yang ada di berbagai
Universitas di Banyumas, dan Stakeholder terkait. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui observasi, wawancara dan Focus Group Disscussion serta
diperkuat dengan dengan dukungan literatur terkait tema. Model triangulasi data digunakan
untuk melakukan kroscek data mengingat radikalisme agama merupakan salah satu isu
sensitif. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah kalangan kaum muda yang ada
di Banyumas memiliki kerentanan yang tinggi terpapar dan terpengaruh paham-paham
radikalisme yang dipengaruhi oleh sikap keberagamaan, kondisi psikologis, dan kondisi
sosial politik. Paham-paham radikal menyusup melalui kegiatan-kegiatan keagamaan
mahasiswa dengan memberikan bantuan dana kegiatan kemahasiswaan sehingga
mendapatkan simpati di kalangan anak muda.
Kata Kunci: Radikalisme Agama, Kaum Muda, Perilaku Keberagamaan

ABSTRACT
This study aims to provide knowledge about the process of radicalism among young
people, to know the religious behavior of young people, and to illustrate the vulnerability
of young people to religious radicalism. The study was conducted in Banyumas with
consideration that Banyumas has a demographic composition dominated by young people,
and geographically is a crossing route connecting Central and West Java. Informants in this
research are Religious Organizations, Religious Organizationsin various universities in
Banyumas, and related Stakeholder. The method used in this study is through observation,
interview and Focus Group Disscussion and reinforced with the support of literature
related themes. The data triangulation model is used to perform data croscek considering
religious radicalism is one of the sensitive issues. The results obtained in this study are
among the young people in Banyumas have a high vulnerability exposed and affected the
radicalism idology that is influenced by the attitude of religious, psychological conditions,
and socio-political conditions. Radical ideology infiltrate through the religious activities of

1553
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

students by providing funding for student activities so as to gain sympathy among young
people.
Keywords: Religious Radicalism, Youth, Religious Behavior

PENDAHULUAN

Radikalisme agama dan terorisme adalah dua hal yang tidak bisa disamakan
walaupun keduanya berhubungan. Radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan
pengungkapan keberagamaan seseorang, sedangkan terorisme secara jelas telah mencakup
perilaku kriminal untuk tujuan-tujuan politik. Radikalisme agama lebih menekankan pada
persoalan intern agama, sedangkan terorisme lebih merupakan gejala global yang
memerlukan tindakan global (Fanani, 2013:5). Kasus radikalisme telah mengalami
berbagai perkembangan, baik modus, aksi, pola gerakan, pelaku hingga proses perekrutan
anggota. Perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan adanya perekrutan
anggota dari berbagai belahan dunia, untuk kemudian mengembangkan jaringan baik
secara berkelompok maupun sebagai pelaku tunggal (lone wolf).
Beberapa studi menunjukkan faktor munculnya radikalisme di kalangan anak
muda Indonesia dipengaruhi oleh faktor psikologis, kondisi politik tanah air dan
internasional, teks keagamaan tekstualitas, hilangnya figur panutan sehingga mencari figur
kharismatik baru (Qodir, 2014:90). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut
pula berkontribusi terhadap berkembangnya berbagai faktor yang menyebabkan seseorang
terlibat dalam radikalisme agama. Perubahan sosial menyebabkan degradasi moralitas
terjadi dengan mudahnya, selain itu pemahaman agama yang kurang dan dampak lanjutan
dari bacaan yang tidak utuh menyebabkan penggerak radikalisasi menemukan peluang
besar dengan cara memanipulasi emosi dan sentimen agama mendorong masyarakat untuk
menentang suasana mapan dalam perkembangan masyarakat.
Kalangan anak muda sebagai agensi memiliki kecenderungan lebih kuat dan
kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam gerakan sosial radikal dibandingkan dengan
orang dewasa yang disebabkan adanya fase transisi dalam pertumbuhan usia yang
menyebabkan rawan krisis identitas. Krisis inilah yang kemudian memungkinkan
terjadinya pembukaan kognitif sehingga mereka mampu menerima gagasan baru yang
bersifat radikal. Jalur lain yang memungkinkan kaum muda menjadi partisipan dalam
gerakan radikal adalah adanya “kegoncangan moral” (Azca, 2013:20).

1554
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

Pada penelitian ini permasalahan yang ingin coba diangkat adalah: Bagaimanakah
kerentanan kalangan kaum muda terhadap radikalisme agama? Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimanakah proses terjadinya radikalisme di kalangan kaum muda,
mengetahui perilaku keberagamaan di kalangan kaum muda, dan memberikan gambaran
mengenai kerentanan kaum muda terhadap radikalisme agama.

METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Wilayah Banyumas, dengan pertimbangan bahwa Banyumas
merupakan daerah yang strategis bagi pergerakan barang, orang, maupun pemahaman/ideologi.
Letak Banyumas merupakan pintu gerbang yang menjadi penghubung antara Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Yogyakarta, sehingga menjadi daerah yang rawan bagi berkembangnya paham
radikalisme agama. Selain itu, beberapa pelaku radikalisme maupun terorisme yang telah diproses
oleh pihak kepolisian diketahui berasal dari wilayah Banyumas.

Informan Penelitian dan Metode Pengumpulan Data


Informan penelitian (narasumber) yang dipilih adalah: Organisasi Keagamaan dan
organisasi massa berbasis agama, UKM Kerokhanian yang ada di berbagai Universitas di
Banyumas , tokoh agama dan tokoh masyarakat, dan Stakeholder terkait
Data primer diperoleh melalui wawancara dan Focus Group Discussion (FGD)
kepada informan yang telah ditentukan. Data Sekunder diperoleh melalui melalui kajian
kepustakaan (library research) maupun jurnal ilmiah yang didapat baik melalui
penelusuran secara konvensional dan teknologi elektronik (situs internet).
Metode Uji Data
Radikalisme merupakan isu sensitif sehingga wawancara dan hasil FGD
memerlukan kroscek lagi melalui metode triangulasi data yang dilakukan dengan cara
membandingkan informasi atau data dengan cara yang berdeda. Untuk memperoleh
kebenaran informasi yang handal dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu,
digunakan metode wawancara bebas dan wawancara terstruktur. Peneliti juga
menggunakan wawancara dan obervasi atau pengamatan untuk mengecek kebenarannya.
Selain itu, peneliti menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran
informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau pandangan diharapkan diperoleh hasil
yang mendekati kebenaran.

1555
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

Metode Penyajian dan Analisis Data


Content analysis digunakan untuk mengambil makna yang terkandung dalam
suatu data hasil dari penelitian. Hasil wawancara dan Focus Group Disscussion dikaitkan
dan dipadukan dengan berbagai teori dan literatur pendukung terkait dengan tema. Data
yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks naratif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Munculnya Radikalisme Agama
Radikalisme agama adalah sesuatu yang dapat muncul dari agama manapun,
namun karena di Indonesia Islam adalah agama mayoritas maka radikalisme agama identik
dengan radikalisme Islam. Menurut Azyumardi Azra (dalam Abdul Munip, 2012:162) di
kalangan Umat Islam radikalisme bersumber dari beberapa hal, antara lain adalah:
1. Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-potong terhadap ayat Al Quran.
2. Bacaan yang salah terhadap sejarah umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi
berlebihan terhadap umat Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan
gerakan salafi, khususnya dalam spektrum sangat radikal seperti wahabiyah yang muncul di
semenjanjung Arabia pada akhir abad ke 18 awal sampe pada abad 19 dan terus merebak
sampai sekarang. Tema pokok dan sel salafi ini adalah pemurnian Islam, yakni
membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek keagamaan yang mereka pandang sebagai
bid’ah, yang tidak jarang dilakukan dengan cara kekerasan.
3. Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat
yang bersamaan, disorientasi dan dislokasi sosial budaya dan ekses globalisasi, dan
semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan
kelompok-kelompok radikal. Kelompoj-kelompok sempalan tersebut tidak jarang
mengambil bentuk kultus (cult) yang sangat eksklusif, tertutup, dan berpusat pada seseorang
yang dipandang kharismatik.
Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang dunia sudah
menjelang akhir zaman dan kiamat, sekarang sudah waktunya bertaubat melalui pemimpin
dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis konflik sosial dan
kekerasan bernuansa intra dan antar agama, bahkan antar umat beragama dengan Negara.
4. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar agama dalam masa reformasi.
Lebih spesifik hal tersebut disebabkan karena: pertama, euphoria kebebasan sehingga tidak
peduli dengan pihak-pihak lain sehingga menurunkan toleransi. kedua, masih berlanjutnya
fragmentasi politik dan sosial khususnya di kalangan elite politik, sosial, milier, yang terus
mengimbas ke lapisan bawah dan menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas.
Terdapat beberapa indikasi, konflik, kekerasan bernuansa agama bahkan diprovokasi

1556
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

kalangan elit tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, tidak konsistennya
penegakan hukum. beberapa kasus konflik dan kekerasan beraroma agama atau membawa
simbol agama, menunjukkan indikasi konflik diantara aparat keamanan, dan kontestasi
kelompok-kelompok elit lokal. Keempat, meluasnya disorientasi dan dislokasi dalam
masyarakat Indoneisa karena kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
menyebabkan mereka menjadi mudah tersulut emosinya dan mudah dimanfaatkan untuk
kepentingan kekuatan elit.
5. Melalui internet, selain menggunakan menggunakan media kertas, kelompok radikal juga
memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku dan informasi mengenai jihad.
Sedangkan hasil penelusuran Muhammad Najib Azca, setidaknya ada 3 faktor
yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena radikalisme di kalangan kalangan anak
muda. Pertama, dinamika sosial politik di fase awal transisi menuju demokrasi yang
membuka struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang baru di tengah
tingginya gejolak dan ketidakpastian. Kedua, transformasi gerakan radikal Islam yang
sebagian memiliki geneologi pada awal kemerdekaan. Ketiga, tingginya angka
pengangguran di kalangan kalangan anak muda di Indonesia. Ketiga faktor itulah yang
berjalan berkelindan bersama faktor lain sehingga menyebakan radikalisme mendapat
tempat yang subur di kalangan generasi muda (Azca, 2013:34).
Perilaku Keberagamaan Kalangan Anak Muda

Perilaku keberagamaan pada kalangan anak muda dipengaruhi oleh beberapa


faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert H Thomas (dalam Hajaroh, 1998:20)
1. Faktor sosial, yaitu pengaruh pendidikan atau pengajaran dan tekanan sosial
Perilaku keberagamaan mahasiswa sangat dipengaruhi oleh bagaimana dia
dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan sekolah sebelumnya. Selain
itu lingkungan pergaulan mahasiswa, berupa pengaruh dan tekanan dari peer group
memiliki peranan sangat signifikan terhadap perilaku keberagamaannya, misalnya
mahasiswa yang masuk dalam organisasi keagamaan tertentu maka orientasi sikap,
perilaku keberagamaan dan preferensi-preferensi keagamaannya akan sangat
dipengaruhi oleh organisasi keagamaan yang diikutinya.
2. Faktor pengalaman-pengalaman yang membantu sikap keberagamaan, terutama pengalaman
mengenai berbagai faktor alami, yakni keindahan, keselarasan, dan kebaikan, juga
pengalaman mengenai konflik moral, dan pengalaman emosional keagamaan.
Keteladanan, latihan-latihan, dan petunjuk dari orang tua mengenai berbagai
pengalaman keagamaan. Interaksi dan aktivitas serta sarana dan prasarana yang terjadi di

1557
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

lingkungan kampus memberkan kontribusi terhadap lemah atau kuatnya sikap keagamaan
seseorang.
3. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi, terutama kebutuhan akan keamanan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman.
Tidak terpenuhinya kebutuhan psikis manusia akan menimbulkan rasa gelisah dan
akan mendorong perilaku untuk pencarian pemuasan atasnya. Salah satu cara untuk
memenuhi ketidakpuasan manusia tersebut secara positif adalah melalui agama. Seringkali
agama menjadi semacam pelarian ketika manusia mendapatkan masalah, dan mampu
memberikan ketenganan, serta “janji” akan kehidupan mendatang. Itulah mengapa misalnya
oleh Karl Marx agama disebut sebagai candu. Karena dengan agamalah manusia
menemukan ketenangan atas kegelisahan yang dialami manusia dan mampu memberikan
pemenuhan atas kebutuhan jiwa yang tidak didapatkan dalam kehidupan nyata.
4. Faktor intelektual yang meliputi berbagai proses pemikiran verbal
Faktor intelektualitas seseorang akan sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan
logika dan memberikan dampak pada perilaku keberagamaan.

Faktor-faktor tersebut memainkan peran dalam pembentukan sikap dan perilaku


keberagamaan walaupun sifatnya tentatif (dapat berubah), diakui adanya realitas mengenai
tidak semua faktor yang diajukan dapat menjawab secara keseluruhan faktor yang
membentuk dan merubah sikap dan perilaku keberagamaan seseorang.
Kondisi lingkungan kampus dan pengetahuan keagamaan secara tidak langsung
meningkatkan frekuensi perilaku keberagamaan melalui sikap keberagamaan. Seiring
dengan bertambahnya usia keimanan maka akan menuju pada realitas. Pada usia
mahasiswa yang masuk dalam kategori dewasa awal, kemampuan berpikir secara abstrak
telah berkembang dengan baik sehingga mampu menerima, memahami ajaran agama yang
berhubungan dengan masalah gaib, abstrak, dan rohaniah. Pengetahuan keagamaan yang
dimiliki oleh mahasiswa telah sampai pada pemikiran yang realistis, menumbuhkan
kesadaran beragama sebagai akibat dari berkembangnya pola-pola pikir keagamannya
merangsang dan mendorong untuk beribadah atau berperilaku sesuai dengan pengetahuan
keagamaan yang dimilikinya. Kondisi ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ajzen dan
Fishbein (1975) bahwa pengaruh faktor eksternal dari perilaku dapat mempengaruhi
perilaku melalui sikap dan norma subyektif atau pandangan diri yang bersangkutan
terhadap objek yang berada di luar dirinya, dan dari sikap dan norma subyektif akan
mempengaruhi perilaku. Faktor eksternal yang berupa situasi/lingkungan yang dihadapi
oleh mahasiswa di lingkungan kampus maupun dalam keluarga serta pengetahuan
keagamaan berpengaruh terhadap perilaku keagamaan melalui sikap keberagamaan (faktor
internal) (Hajaroh, 1998:29).

1558
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

Kerentanan Radikalisme Agama Di Kalangan Anak Muda

Menilik dari komposisi demografi yang ada di Kabupaten Banyumas, kalangan


anak muda yang merupakan kelompok usia paling rentan terhadap bahaya radikalisme,
memiliki proporsi yang cukup besar. Kategorisasi siapa yang dapat disebut sebagai
pemuda termuat dalam UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Meskipun dalam UU
tersebut disebutkan bahwa pemuda adalah mereka yang berusia 16-30 tahun namun hingga
saat ini masih jamak organisasi kepemudaan dipimpin oleh mereka yang berusia jauh di
atas 30 tahun, bahkan di atas 40 tahun. Salah satu contoh ekstrem adalah organisasi
Pemuda Pancasila hingga hari ini dipimpin oleh Japto Soerjosoemarno, yang kini umurnya
telah mencapai 60 tahun. Mendasarkan atas asusmsi batas usia kategorisasi pemuda
berdasarkan UU No.40 tahun 2009 tersebut jumlah penduduk Banyumas yang tergolong
usia muda adalah sebesar 474.317 orang berdasarkan atas data Badan Pusat Statistik
Kabupaten Banyumas pada tahun 2014. Jika penduduk Kabupaten Banyumas adalah
sebesar 1.620.918, artinya jumlah penduduk yang tergolong kalangan anak muda
menduduki 29,26% atau sepertiga dari total penduduk Kabupaten Banyumas. Jumlah ini
belum termasuk kalangan anak muda yang menjadi pendatang karena bersekolah atau
bekerja di wilayah Kabupaten Banyumas. Tercatat ada 93 SMU/SMK dan 27 Perguruan
Tinggi yang siswa atau mahasiswanya tidak hanya berasal dari Kabupaten Banyumas saja.
Hal ini berarti Kabupaten Banyumas memiliki potensi kalangan anak muda yang besar.
Kalangan anak muda yang sedang mengalami masa trasisi krisis identitas
menyebabkan mereka memiliki kerentanan yang tinggi terhadap pengaruh dan ajakan
radikalisme atas nama agama. Pada masa transisi ini terjadi cognitive opening (pembukaan
kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan
terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Hal ini dapat dibuktikan dengan data statistik
yang menunjukkan pelaku teror dan bom bunuh diri maupun mereka yang berjihad ke
Suriah didominasi oleh kalangan anak muda.
Problem psikologis generasi muda ini ditangkap dengan baik oleh kelompok
teroris yang mengincar mereka yang memiliki energi gejolak masa muda yang berlebih,
selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun
pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran
pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris
juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan
kegagahan dan melancarkan agenda kekerasannya (belmawa.ristekdikti.go.id).

1559
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

Menjadi radikal nampaknya menjadi sebuah trend baru di kalangan anak muda
karena berani memiliki pemikiran radikal dan terlibat dalam radikal bahkan terorisme
seperti halnya mengangkat senjata, perang dan melakukan pengeboman dianggap sebagai
sebuah gaya yang berani, keren dan cool, serta menunjukkan kegagahan. Narasi-narasi
semacam inilah yang digunakan oleh kelompok teroris untuk merekrut anggota baru dan
disebarkan secara masif melalui media sosial yang dapat diakses kapan saja dan dimana
saja.
Kalangan anak muda yang kurang mendapat perhatian dari keluarga dan
lingkungan, perasaan diabaikan dan kurang kasih sayang akan smakin meningkatkan
pretensi bagi kerentanan terhadap paham radikalisme. Dalam hal ini kita bisa melihat kasus
Ibnu Dar di Banyumas, yang terpapar paham radikalisme melalui internet dan media sosial
dan buku-buku yang dibcanya dan kemudian melakukan penyerangan terhadap Polisi
sebagai wujud jihadnya ternyata adalah seorang anak yang kurang mendapat perhatian dan
kasih sayang dari keluarganya.
Rentannya kalangan anak muda terhadap radikalisme di Kabupaten Banyumas
juga terlihat bahwa para pelaku yang terlibat dalam gerakan radikalisme, narapida kasus
radikalisme dan terorisme, serta pendukung gerakan radikalisme termasuk kategori
pemuda. Sebagaimana modus gerakan radikalisme di tempat lain, paham-paham
radikalisme disebarluaskan melalui forum-forum keagamaan, baik di lingkungan sosial
maupun lingkungan pendidikan, yang artinya pola gerakan yang dilakukan cukup terbuka,
dan tentu saja organisasi-organisasi eksklusif yang sifatnya underground dan tertutup.
Persebaran paham radikal di kalangan anak muda juga cukup marak terjadi di
lingkungan sekolah dan kampus. Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi yang ada
di Kabupaten Banyumas menjadi sangat rawan bagi persebaran paham radikal yang
menyusup secara halus melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler agama. Mushola dan
Masjid di lingkungan sekolah dan kampus seringkali dijadikan sebagai sarana dan tempat
bagi dilakukannya kajian-kajian dan pengajian yang pelan-pelan digiring ke arah radikal.
Misalnya Hizbut Tahrir Indonesia memiliki banyak pendukung yang berasal dari kalangan
pelajar dan mahasiswa di Kabupaten Banyumas serta secara rutin melakukan kegiatan-
kegiatan keagamaan dan bahkan memberikan sponsor bagi kegiatan-kegiatan keagamaan
sehingga mendapatkan simpati dari kalangan anak muda.
Lingkungan sekolah dan kampus merupakan sasaran empuk bagi kelompok-
kelompok radikal melebarkan sayap ideologinya dan mendapatkan dukungan dari kalangan

1560
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

anak muda yang terpelajar. Penting untuk diingat adalah, pelaku-pelaku radikalisme dan
terorisme sebagian besar adalah orang cerdas dan memiliki latar belakang catatan
akademis yang sangat baik, misalnya Dr.Azhari, Imam Samudra, Santoso, Daengkoro,dll.
Kelompok-kelompok radikal lebih suka menyasar kalangan anak muda terpelajar untuk
dijadikan sebagai garda depan dalam melancarkan aksi-aksinya. Menyasar kalangan anak
muda terpelajar merupakan upaya yang sangat strategis bagi keberlangsungan organisasi
radikal di masa mendatang, dan inflitrasi melalui kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah
dan kampus dinilai sebagai hal yang sangat efektif dan efisien.
Pengawasan dan pembinaan dari kepolisian, stakeholder, maupun dari pihak
sekolah dan kampus sendiri telah dilakukan, misalnya pengawasan yang ketat dari
pembina, dan dengan mewajibkan Unit Kerokhanian pada sekolah dan kampus untuk
melaporkan secara detail ketika akan ada kegiatan keagamaan yang dilakukan di
lingkungan sekolah dan kampus untuk mencegah adanya upaya infiltrasi ideologi dan
paham yang bertentangan dengan ideologi negara.
Pemaparan Badan Nasional Penanggulangan Teroris menyatakan ada tiga institusi
sosial yang sangat penting untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda.
Pertama Pendidikan, melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam
memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda. Kedua,
Keluarga, melalui peran orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada
generasi muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga,
komunitas: melalui peran tokoh masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan
ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.

KESIMPULAN
Kalangan kaum muda merupakan kelompok usia yang sangat rentan terpapar
paham radikalisme untuk kemudian terlibat dalam tindakan radikalisme atas nama agama.
Hal ini terjadi karena adanya faktor psikologis, dan juga kondisi sosial dan politik yang
mendukung. Di Kabupaten Banyumas sendiri, kalangan kaum muda yang dalam penelitian
ini adalah difokuskan kepada mahasiswa, terutama yang tergabung dalam Unit Kegiatan
Kerokhanian kampus, memiliki kerentanan yang tinggi terpapar dan terpengaruh paham
radikal yang salah satunya dapat diamati melalui perilaku keberagamaan yang
ditampakkan. Paham radikalisme tidak muncul secara terang-terangan dan frontal, namun
menyusup perlahan-lahan melalui berbagai kegiatan-kegiatan kampus dengan berbagai

1561
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII”17-
18November 2017
Purwokerto

macam modus pemberian bantuan dana kegiatan mahasiswa. Jumlah kaum muda di
Banyumas sendiri menempati porsi demografi yang cukup dominan sehingga menjadikan
Banyumas menjadi wilayah yang memiliki potensi yang besar bagi tumbuh dan
berkembangnya paham-paham radikal.
Perlu adanya suatu sistem pencegahan dan pengembangan deteksi dini yang
komprehensif sehingga mampu mencegah pengaruh paham radikalisme, dan penguatan
ideologi kebangsaan yang dilakukan dengan cara-cara kreatif dan menyentuh anak muda
menjadi hal yang mutlak dilaksanakan agar tercipta nasionalisme yang tinggi dan
menghindarkan perilaku apatis terhadap bangsa dan negaranya.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. 2016. Strategi Menghadapi Paham
Radikalisme Terorisme-ISIS.www.belmawa.ristekdikti.go.id/.../Strategi-
Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf. Diakses pada 16 Oktober 2017

Fanani, Ahmad Fuad. 2013.Fenomena Radikalisme Di Kalangan Kaum Muda. Hal 14.
Jurnal Maarif 8(1):4-14

Munip, Abdul.2012.Menangkal Radikalisme Di Sekolah. Jurnal Pendidikan Islam UIN Sunan


Kalijaga Program Pasca Sarjana2(1):160-175

Hajaroh, Mami.Sikap dan Perilaku Keagamaan Mahasiswa Islam di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Penelitian dan Evaluasi1(1):19-31

Azca, Muhammad Najib. Yang Muda Yang Radikal Refleksi Sosiologis Terhadap
Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru. Jurnal
Maarif 8(1):14-44

Qodir, Zuly. 2014. Radikalisme Agama Di Indonesia. Pustaka Pelajar.Yogyakarta

1562

Anda mungkin juga menyukai