Anda di halaman 1dari 8

Tugas Individu Dosen Pengampu

Dr.A.Muh.Taufiq, S.Pd., M.Pd

Peran Penting Hasil Pemikiran Kreatif Atau Kritis Dalam Mengedukasi Petani
Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Panen

Dikerjakan Oleh :

Nama : Nurlinda
Nim : 2169021138

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE


FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
TAHUN AJARAN 2021/2022
Abstract
Berpikir kritis dan kreatif merupakan perwujudan dari keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Berpikir kritis menuntut individu untuk menganalisa dan menilai pemikiran
dengan sebuah pandangan guna memperbaiki pemikiran yang didasarkan pada sebuah
tujuan. Sedangkan kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang
menyebabkan seorang individu dapat melahirkan suatu ide atau gagasan baru atau
gagasan kreatif mengenai sesuatu hal. Baik berpikir kritis maupun kreatif sangat
penting dikembangkan pada siswa SD/MI, sebab dalam pembelajaran tersebut siswa
dituntut untuk mengalisis suatu gagasan dan berpikir secara kritis dan objektif tentang
suatu masalah dan menyajikan argumen yang dibangun dengan baik. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran secara komprehensif tentang penerapan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di
SD/MI. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni deskriptif kualitatif
dengan tujuan untuk mendeskripsikan penerapan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada tingkat pendidikan dasar.

Pendahuluan
Perkembangan sektor pertanian pada dasarnya adalah bagian dari pertumbuhan
ekonomi. Kemampuan memenuhi kebutuhan pangan bagi populasi yang secara
eksponensial terus meningkat adalah suatu upaya yang sangat berat dan menantang,
terutama bila luas lahan yang merupakan faktor utama tidak menunjukkan
peningkatan. Data World Bank (2015) mengindikasikan bahwa dari seluruh
permukaan dunia, lahan yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan pertanaman atau
lahan penggembalaan permanen hanya mendekati angka 38%. Upaya untuk
meningkatkan luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam
antara lain adalah dengan upaya remediasi lahan, yaitu upaya meningkatkan
kesuburan lahan. Akan tetapi tindakan demikian menuntut biaya dan investasi yang
besar dengan rentang pengembalian dalam jangka panjang. Dengan pertimbangan
demikian, upaya peningkatan produksi dan produktivitas lahan harus didukung oleh
inovasi yang selaras dengan kondisi dan kebutuhan lahan yang dapat dimanfaatkan
untuk lahan pertanian. Di tingkat mikro operasional, meningkatkan produksi pangan
guna meningkatkan pendapatan rumah tangga bagi petani sudah menjadi tujuan
pembangunan pertanian. Guna mencapai tujuan tersebut, berbagai strategi yang
diterapkan di masa lalu seringkali terhenti di perjalanan karena tidak sejalan dengan
kondisi dan kegiatan usahatani di tingkat operasional. Sering diasumsikan bahwa
upaya meningkatkan produktivitas lahan adalah dengan mengubah strategi
pertanaman tumpangsari dan multiple cropping ke arah praktek monocropping
dengan mengusahakan komoditas yang memiliki nilai pasar dan ekspor yang lebih
baik. Namun dalam kenyataannya sangat sulit untuk mengubah pola pikir dan praktek
usahatani yang telah dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Padahal dari
sisi lain dapat dikembangkan inovasi teknologi dan strategi produksi pertanian yang
dirancang untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya produksi yang terdapat di
lingkungan sekitar lahan usahatani. Hal yang dapat disebutkan antara lain adalah
upaya meningkatkan penggunaan pupuk organik yang diproduksi sendiri seperti
pupuk kandang dan sisa-sisa panen tanaman, memilih spesies ternak atau varietas
tanaman yang tahan stress dan penyakit, dan lain-lain. Menuju Pertanian Modern
Berkelanjutan 59 Sustainabilitas Pembangunan Sektor Pertanian: Inovasi Teknologi
atau Inovasi Sosial Kelembagaan Guna mengimplementasikan pemikiran di atas
diperlukan informasi, keterampilan, dan kemampuan pengelolaan kegiatan usahatani
yang mampu mendukung kelancaran operasional kegiatan usahatani terintegrasi
antara tanaman dan ternak, dan mampu membawa kegiatan tersebut ke arah yang
terstruktur dan efisien. Kondisi demikian memerlukan suatu rancangan berusahatani
yang terfokus, memiliki tujuan yang jelas dan dapat dicapai, serta didukung oleh
inovasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan operasional, baik bagi kegiatan
usahatani keluarga, maupun bagi kegiatan perusahaan pertanian komersil. Dalam hal
ini proses dan kelancaran pembangunan sektor pertanian nasional sangat erat
kaitannya dengan evolusi dan perkembangan inovasi teknologi yang berkaitan dengan
tuntutan kebutuhan pembangunan sektor yang bersangkutan. Berbagai temuan dan
pengalaman telah menunjukkan bahwa inovasi teknologi regeneratif yang memiliki
kemampuan konservasi sumber daya ternyata mampu meningkatkan produktifitas
lahan pertanian, dan dalam waktu yang bersamaan juga memberikan berbagai
keuntungan dan dampak positif terhadap petani sebagai pelaku utama kegiatan sektor,
masyarakat sekitar, dan juga di tingkat nasional. Inovasi teknologi adalah suatu
kreativitas yang menakjubkan dari individu dan kelompok yang memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam mengatasi berbagai permasalahan
dalam kegiatan sektor pertanian. Kelompok inovator tersebut merupakan ujung
tombak dalam upaya menciptakan kegiatan usahatani alternatif yang diharapkan
mampu mengatasi masalah dan masa depan kegiatan pertanian. Suatu inovasi
merupakan alat yang tepat untuk mengubah suatu sistem (termasuk sistem usahatani)
yang tengah berjalan, baik secara berangsurangsur, maupun melakukan perubahan
drastis, baik terhadap sistem usaha maupun terhadap manusia pelakunya. Perubahan
yang terjadi disebabkan oleh invasi inovasi eksternal yang kemudian berinteraksi dan
berintegrasi dengan kondisi tekno-ekososial sistem tersebut. Proses integrasi inovasi
eksternal demikian berjalan secara bertahap dan secara berangsur-angsur diadopsi
oleh ekosistem yang bersangkutan. Proses demikian disebut proses amalgamasi
(penyerapan, difusi) karena sifatnya relatif lambat, dan pada umumnya terjadi secara
alami tanpa tekanan atau paksaan (Huntington, 1980). Namun walaupun terjadi
secara alami, intervensi inovasi demikian juga disebut inovasi intrusif karena
dianggap mengganggu keseimbangan sistem yang dimasuki inovasi eksternal
tersebut. Intervensi inovasi eksternal dapat juga terjadi secara lebih cepat bila
menerapkan strategi induced innovation, yaitu inovasi melalui upaya mempengaruhi
yang berkisar dari bujukan sampai pemaksaan (coercion, koersi) yang diprakarsai
atau difasilitasi pihak ketiga yang disebut fasilitator atau katalis. Katalis atau
fasilitator tersebut dapat diperankan oleh kelembagaan pemerintah,
swasta/perusahaan, atau individu-individu yang menguasai bidang-bidang yang 60
Menuju Pertanian Modern Berkelanjutan Sustainabilitas Pembangunan Sektor
Pertanian: Inovasi Teknologi atau Inovasi Sosial Kelembagaan berkaitan dengan
proses inovasi tersebut. Namun dalam beberapa dekade terakhir, strategi koersif
sudah mulai ditinggalkan. Berbagai temuan dan inovasi guna meningkatkan produksi
dan produktivitas sektor pertanian terlanjutkan (sustainable) adalah bagian upaya
meningkatkan keberlanjutan pembangunan pertanian dengan menerapkan sistem
usaha pertanian regeneratif. Pearson (2007) menyebutkan bahwa suatu kegiatan
pertanian regeneratif adalah “kegiatan yang dirancang untuk mengurangi input
eksternal dan dampak eksternal terhadap kondisi agronomi lahan.” Usaha pertanian
regeneratif adalah kegiatan sektor yang menggabungkan seluruh sektor yang terlibat
yang secara terintegrasi mampu meningkatkan produktivitas dan produksi sektor
pertanian. Inovasi teknologi tidak akan dapat diterapkan secara efektif bila terpisah
dari pendekatan sosiologis dan ekonomis, dan sebaliknya. Secara timbal balik,
inovasi regeneratif dan sistem pertanian regeneratif akan saling menumbuhkan satu
sama lain. Dalam memburu produksi yang lebih baik tersebut, segala cara telah
dilakukan, termasuk pengembangan dan penerapan teknologi yang lebih modern.
Upaya modernisasi pertanian melalui penerapan berbagai inovasi teknologi, sosial
dan ekonomi, mampu menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam hal
peningkatan produksi melalui penerapan inovasi teknologi secara masif. Revolusi
Hijau juga mendorong perkembangan industrialisasi sektor pertanian. Akan tetapi di
sisi lain masih dijumpai sistem usahatani tradisional, berinput rendah, dan tidak
menunjukkan kemajuan. Namun arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) yang semakin jeli telah menunjukkan bahwa arus utama sektor pertanian
abad ini adalah kegiatan berusahatani yang merangkul atau mengintegrasikan diri
dengan kondisi agroekosistem setempat. Pertimbangan ini didasarkan pada fakta
bahwa selama ini metode berusahatani dan pengembangan sektor secara negatif telah
menyedot sumber daya air secara berlebihan, meningkatkan erosi lahan, dan
menurunkan kesuburan lahan. Menurut laporan International Water Management
Institute dan UNEP (Boelee, 2011), saat ini tidak tersedia cukup air guna melanjutkan
praktek usahatani seperti itu. Pembangunan sektor pertanian masa depan harus lebih
berhati-hati dalam memanfaatkan sumber daya air, lahan, dan sumber daya
ekosistem. Pertanian masa depan harus mampu mempertahankan dan meningkatkan
sustainabilitas (keberlanjutan) kegiatan sektor pertanian yang memperhatikan
kemampuan ekosistem setempat berserta korbanan yang harus diberikan oleh
lingkungan dan peri kehidupan masyarakat. Ketimpangan atau ketidakmerataan hasil
pembangunan harus segera diatasi seperti pembagian hak atas air, perluasan lahan
pertanian, atau konservasi lahan untuk melindungi kepunahan jenis atau spesies
tanaman dan hewan.

TINJAUAN KONSEP INOVASI DAN INOVASI DISRUPTIF


Pada salah satu seminar di Surakarta, Rektor IPB selaku Ketua Forum Rektor
PTN menyatakan bahwa seyogyanya Indonesia dalam mengembangkan
perekonomiannya menerapkan pendekatan “pertumbuhan ekonomi yang dipimpin
oleh Inovasi” (Suhardiyanto, 2016). Lebih lanjut disampaikan bahwa untuk itu
diperlukan kreativitas dan pengembangan entrepreneurship, untuk dapat
memenangkan persaingan ke depan. Secara ideal dinyatakan oleh Rektor IPB bahwa
seyogyanya jumlah pengusaha yang ada di Indonesia adalah sebanyak 6,1 juta orang
(2,5 % dari populasi); namun jumlah wirausaha yanng telah mapan baru sekitar 4 juta
orang. Dibandingkan dengan dua negara ASEAN lainnya, Indonesia masih tertinggal
jauh; jumlah pengusaha di Thailand mencapai 3 persen dari jumlah penduduk,
sedangkan di Singapura sebesar 7 persen. Diduga bahwa hal ini juga merupakan
indikator bahwa tingkat penggunaan inovasi dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia juga masih rendah.
Apabila dicermati lebih lanjut, Inovasi ternyata berkaitan dengan beberapa
aspek ataupun konsep-konsep lain. Menurut Setyawati dan Rosiana (2016), beberapa
ahli berpendapat bahwa terdapat hubungan yang positif antara Inovasi dengan
perkembangan bisnis suatu kegiatan usaha. Dalam pada itu, ahli yang lain
menyatakan bahwa perkembangan bisnis lebih dicirikan oleh adanya Keunggulan
Kompetitif usaha yang bersangkutan. Keunggulan Kompetitif, di sisi lain, dinilai juga
banyak terkait dengan sejumlah inovasi yang dilakukan oleh perusahaan. Ditemukan
selanjutnya oleh Setyawarti dan Rosiana bahwa keunggulan kompetitif memediasi
hubungan positif antara inovasi dan kinerja bisnis.
Saat memberikan catatan memasuki tahun baru 2016, Rachman dan Latuputty
(2016) menyatakan bahwa tahun 2016 harus dilihat sebagai Tahun Inovasi. Hal ini
mengingat tantangan-tantangan yang makin nyata dihadapi oleh masyarakat, terutama
yang terkait dengan Globalisasi maupun penerapan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA). Inovasi harus menjadi semangat semua pihak untuk menyikapi
perkembangan yang terjadi. Pemikiran-pemikiran kreatif diperlukan dalam upaya
membangkitkan inovasi tersebut. Rachman dan Latuputty mencontohkan perlunya
inovasi lebih lanjut untuk mengembangkan kreatifitas yang terwujud menjadi Inovasi
Bank Sampah di Malang, kreativitas untuk berbagi tumpangan kendaraan menuju
arah yang sama, ataupun “inovasi lawan arus” yang dicontohkan Presiden Joko
Widodo dengan duduk di pesawat kelas ekonomi, misalnya.
Menyikapi lebih lanjut pernyataan Rachman dan Latuputty (2016) tentang
keterkaitan inovasi dengan kreativitas, Gaut (2010) menyatakan bahwa secara umum
Proses Kreatif terjadi melalui 4 (empat) tahapan: Persiapan, Inkubasi, Iluminasi, dan
Verifikasi atau Elaborasi. Dalam kondisi tertentu, proses Kreatif dapat pula melalui
hanya 2 (dua) tahapan saja: Mengembangkan, dan Mengeksplorasi. Burbiel (2009:
35) secara lebih terbuka bahkan menyebutkan bahwa: “Creativity is of paramount
importance to the innovation process”. Dalam pandangan Burbiel, kreativitas adalah
prasyarat untuk munculnya suatu Inovasi; lebih lanjut dinyatakannya bahwa
kreativitas adalah bentuk dari suatu “pre-innovation”. Henry dan Mayle (2016: 6)
memperluat hal tersebut dengan menyatakan bahwa Kreativitas dan Inovasi adalah
jalan untuk menuju kepada upaya melakukan sesuatu dengan lebih baik serta berbeda
dengan yang telah ada (“……ways of doing things better and differently).
Proses Kreatif ternyata juga dipengaruhi oleh ciri-ciri mereka yang memiliki
potensi untuk melakukan suatu upaya kreatif. Ciri-ciri individu yang kreatif menurut
Gaut antara lain adalah terbuka terhadap pengalaman orang lain, tidak terlalu
konvensional, lebih percaya diri, ambisius, namun juga cenderung impulsif. Hal ini
diduga menjadi salah satu penjelas pernyataan Gaut selanjutnya, yaitu bahwa Proses
Kreatif berhubungan erat dengan Imaginasi seseorang; ciri-ciri individu yang kreatif
diatas menunjukkan kecenderungan bahwa mereka secara psikologis adalah orang-
orang yang juga memiliki daya imajinasi tinggi. Para pemikir Sosiologi pasti akan
selalu ingat pada pemikiran Mills (1959) yang, melalui imajinasinya, memandang
bahwa Sosiologi adalah upaya untuk mencari keterkaitan antara kehidupan individu
dengan masalahmasalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Ciri-ciri
individu Kreatif merupakan situasi dalam lingkup analisis individu; namun apabila
hal tersebut dikaitkan dengan Inovasi sebagai pengembangan dari proses kreatif,
maka dampaknya dapat menjadi berskala kehidupan masyarakat secara meluas.
Pemerintah Indonesia menilai bahwa Inovasi seyogyanya menjadi pendorong
bagi jalannya pembangunan nasional. Untuk itu pada tahun 2010 dibentuk Komite
Inovasi Nasional7 , yang bertugas untuk menggali pemikiran dan pandangan dari
pihak-pihak yang berkepentingan dalam memajukan pembangunan sosio-ekonomi
nasional melalui sistem inovasi nasional. Namun demikian, dengan pertimbangan
efisiensi dan perampingan kelembagaan pemerintahan, serta terutama dengan adanya
pergantian pemerintahan, pada tahun 2014 lembaga ini dibubarkan.
Terkait dengan konsep Inovasi Disruptif (ID), Bower dan Christensen (1995)
memerkenalkan untuk pertama kali melalui media Harvard Business Review. Bower
dan Christensen menemukan kecenderungan bahwa ketika pasar dan teknologi
mengalami perubahan, perusahaan-perusahaan besar yang semula menguasai pasar
gagal untuk mempertahankan posisi mereka. Hal ini terjadi karena perusahaan-
perusahaan tersebut begitu “setia dan memanjakan” konsumen lama mereka. Dengan
adanya perubahan teknologi, perusahaan baru yang mampu menciptakan produk-
produk baru mereka yang lebih berorientasi kepada kebutuhan masa depan
konsumen, mampu secara perlahan menciptakan pasar baru yang meskipun kecil,
namun memiliki potensi perkembangan dimasa mendatang. Perusahaan ban Good
Year dan Firestone, misalnya, terlambat mengadopsi jenis ban radial. Demikian pula
perusahaan photo copy Xerox terlambat memikirkan pengembangan mesin copy kecil
yang dikembangkan oleh Canon. Dengan demikian Bower dan Christensen
merekomendasikan bahwa apabila perusahaan-perusahaan terkemuka tersebut masih
ingin mempertahankan posisinya, mereka harus berani untuk menciptakan organisasi
independen untuk mengikuti pola baru tersebut. Selanjutnya dikemukakan bahwa
terdapat 3 (tiga) kata kunci yang diperlukan untuk ini: Kreativitas, Inisiatif, dan
Obyektivitas.
Dalam perkembangan selanjutnya, Christensen (1997; 2016) memunculkan
pertanyaan: mengapa perusahan-perusahaan besar yang dikelola dengan manajemen
yang baik mengalami kegagalan? kesimpulan yang didapat oleh Christensen adalah
mereka gagal karena tidak dapat melakukan pengembangan Teknologi Disruptif yang
pada akhirnya mampu mengalihkan pasar yang selama ini dimiliki oleh para
perusahaan besar itu. Hal ini terjadi karena perusahan besar tersebut menjadi bias
terhadap 4 (empat) hal: (1) selalu mendengarkan permintaan pelanggan, (2)
‘memanjakan’ pelanggan dengan selalu 7 Peraturan Presiden No. 32 tahun 2010.
Menuju Pertanian Modern Berkelanjutan 39 Sustainabilitas Pembangunan Sektor
Pertanian: Inovasi Teknologi atau Inovasi Sosial Kelembagaan mengembangkan
teknologi yang telah ada (the sustaining technologies) untuk menghasilkan produk
yang sesuai dengan permintaan mereka, (3) selalu mencari marjin yang makin besar,
dan (4) berorientasi pada pengembangan pasar yang lebih besar. The Innovator's
Dilemma, menurut Christensen, menggambarkan bagaimana perusahaan-perusahaan
besar dengan kapasitas usaha dan omzet yang besar dapat justru mengalami
kegagalan usaha apabila salah dalam menyikapi perubahan pasar dan teknologi yang
berkembang.
Lebih lanjut Christensen menyatakan bahwa pada sisi yang berbeda, Teknologi
Disruptif mengubah nilai-nilai yang telah berlaku di pasaran. Pada awalnya
Teknologi Disruptif memiliki keragaan dibawah standar teknologi yang telah ada.
Namun Teknologi Disruptif menawarkan aspek-aspek baru yang tidak dimiliki
produk yang telah ada; teknologi ini lebih murah, lebih kecil ukurannya, lebih mudah
penggunaannya, serta lebih ramah pengguna (users’ friendly). Modal dasar ini
menjadi titik tolak yang sangat kuat bagi pengembangan Teknologi Disruptif untuk
terus meningkatkan kualitas produknya, menambah kelebihan-kelebihan baru, yang
pada akhirnya secara perlahan tetapi pasti mampu mengambil alih pasar perusahaan
terdahulu. Konsep Teknologi dan Inovasi Disruptif kemudian mewarnai
perkembangan bisnis global. Berbagai unit bisnis kemudian mencoba menerapkannya
dalam pengelolaan bisnis perusahaan yang bersangkutan. Tidak itu saja, pemikiran
dasar konsep ini juga digunakan dalam banyak bidang diluar kegiatan yang terkait
dengan bisnis. Bahkan Micalef ( dalam Noor II, 2015)8 menyatakan bahwa unit-unit
bisnis sudah mulai jenuh dengan penggunaan kata kunci “disruptif” ini.
Dinyatakannya selanjutnya bahwa bagi beberapa organisasi, kata 'gangguan' lebih
sering ditafsirkan sebagai sebuah evolusi dalam adopsi teknologi untuk menjadi lebih
kompetitif di dunia bisnis yang makin dinamis.

Anda mungkin juga menyukai